• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka dan Strategi Pemanfaatan Hasil Kebijakan/Regulasi Pemerintah

Dalam dokumen BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang (Halaman 137-158)

SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN A. Sinergi Koordinasi Kelembagaan Program

B. Pemanfatan Hasil Litbangyasa

1. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan Hasil Kebijakan/Regulasi Pemerintah

Agenda pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam peningkatan

sektor perikanan di daerah adalah melaksanakan Program

Pengembangan Sumber Daya Perikanan dengan beberapa kegiatan utama yaitu:

a. Pembinaan dan Pengembangan Sistem Usaha Perikanan melalui Pengembangan Pola Permodalan dan Investasi Dalam Negeri dan Asing,

b. Pengembangan Data dan Statistik Perikanan,

c. Penguatan dan Pengembangan Pemasaran Dalam Negeri dan Ekspor Hasi Perikanan melalui Peningkatan Konsumsi Ikan Melalui Program Nasional Gemarikan dan Promosi Produk, Fasilitasi Pembangunan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pemasaran Dalam Negeri dan Pembinaan Ekspor Produk Perikanan,

138

d. Peningkatan Mutu dan Pengembangan Pengolahan Hasil Perikanan melalui Pengembangan Sistem Rantai Dingin (Cool Chain System), Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Pengawasan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan, Peningkatan Kompetensi Lembaga Sertifikasi, Penguatan Kompetensi Laboratorium Penguji e. Penyelenggaraan Revitalisasi Perikanan

Dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, Pemerintah porovinsi Jawa Tengah mengagendakan kebijakan berupa: a. Peningkatan daya saing melalui penciptaan iklim yang kondusif,

melalui regulasi atau deregulasi serta peningkatan mutu dan keamanan produk

b. Pemantapan struktur melalui peningkatan kerjasama kemitraan nelayan dengan industri hasil perikanan dan industri terkait serta akademisi

c. Membangun kelembagaan agribisnis perikanan (Akuabisnis) melalui penataan kelembagaan dan ekonomi yang baik, keterpaduan antara pemasok bahan baku, industri pengolahan, serta pemasaran dan upaya terwujudnya produk akhir yang berkualitas dan berdaya saing.

Setiap Kabupaten/Kota juga memiliki kebijakan turunan tersendiri, baik yang bersinergi dengan pemerintah pusat maupun provinsi. Namun demikian, berdasarkan temuan lapangan tidak ditemukan adanya kebijakan dan regulasi khusus dari pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya pengembangan industri pengolahan ikan. Sebagian besar regulasi perikanan hanya mengatur mengenai mekanisme tata niaga ikan melalui TPI, sedangkan dalam aspek pengembangan industri makanan olahan tidak terdapat regulasi khusus.

Pemerintah Kabupaten/Kota hanya bertugas sebagai fasilitator dan melengkapi kebijakan pemerintah pusat dan provinsi, terutama dalam memberikan bantuan sarana dan prasarana serta pelatihan kepada sebagian kecil pengolah. Sebagian besar program dan kegiatan merupakan implementasi dan duplikasi dari program Kementerian yang berupa pembinaan melalui kelompok-kelompok terbatas. Beberapa

139

kebutuhan utama lainnya seperti permodalan, jaringan pasar, jaringan antar pengolah dan aspek teknologi belum begitu banyak mendapatkan kemajuan dari bantuan pemerintah daerah. Dengan demikian masih diperlukan adanya peningkatan dalam regulasi dan kebijakan serta program-program yang relevan dalam upaya pengembangan kemampuan pengolah.

Berdasarkan jawaban pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah dapat menyatakan kurang antusias. Kebijakan-kebijakan yang ada tidak memberikan dukungan secara langsung, di sisi lain kadang pengusaha merasa dihambat karena kebijakan tersebut. Sehingga mereka merasa tersingkir atau tidak mampu berkembang dibanding usaha skala besar. Contohnya peraturan mengenai higienitas, standar keamanan pangan dan aturan mengenai badan usaha tentu sulit untuk dipenuhi olah skala industri rumah tangga, namun di sisi lain tidak adanya upaya konkret pemerintah agar pelaku usaha mampu memenuhi standar tersebut di atas.

Sehingga kebijakan pemerintah dirasa justru memberikan ruang bagi usaha skala besar dan importir, bukan memberikan ruang berkembang bagi usaha skala mikro dan kecil. Oleh karena itu, perumusan kebijakan sebaiknya memperhatikan kondisi nyata dari pelaku usaha di lapangan.

Beberapa faktor kunci yang dapat menjadi penentu kebijakan dalam peningkatan industri pengolahan ikan. Memahami kebutuhan di tingkat bawah dan sinergi antar pelaku adalah kunci utama dalam memahami kebutuhan dan arah kebijakan. Dalam teori kebijakan, ada proses awal dimana sebuah kebijakan harus menjadi isu bersama, setelah menjadi isu maka akan dirumuskan menjadi sebuah agenda seting kebijakan yang melibatkan segenap unsur. Setelah itu ditetapkan model kebijakan dan secara teknis mengatur pelaksanaannya.

Selama ini kebijakan pengembangan pengolahan ikan sifatnya sangat top down, kurang memperhatikan kebutuhan dan kapasitas para pengolah ikan atau masyarakat bawah. Sehingga bentuk-bentuk kebijakan

140

dan hasilnya kurang memberikan dampak yang berarti. Seringkali ada salah sasaran, salah objek, kapasitas yang tidak sesuai dan bantuan yang tidak berdasarkan kebutuhan.

Selain tidak berdasarkan pada kondisi dan kebutuhan kebijakan dan program yang dijalankan masih sangat sektoral,. Oleh karena itu perlunya sinergi antar sektor terutama dalam lembaga pemerintahan agar bisa memberikan dampak yang nyata, perlakuan yang lebih komprehensif dan sasaran kebijakan dapat tertata dengan baik.

Penyediaan Bahan Baku

Sesuai paturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor : Kep.025/Dj-P2hp/2012 Tentang Penetapan Jenis-Jenis Hasil Perikanan Yang Dapat Dimasukkan Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia ditetapkan bahwa Bahan Baku Industri Pengolahan Hasil Perikanan yang Menghasilkan Ikan Kaleng hanya boleh mengimpor berupa ikan Sarden (Sardinella spp.), sednagkan untuk industri Ikan Tradisional Berupa Pemindangan hanya boleh memasukkan ikan Salem (Scomber japonicus).

Tingkat keberlanjutan usaha pengolahan sangat bergantung pada penyediaan bahan baku ikan setiap harinya. Pengadaan bahan baku oleh pengolah ikan sagat bervariasi, hal ini tergantung dari kapasitas modal yang dimiliki setiap pengusaha untuk pengadaan bahan baku ikan dan tempat penyimpanan & bahan pengawet ikan. Sebagian besar pengolah tidak tentu mengadakan bahan baku. Untuk pengolah ikan pindang, ikan kering, ikan asap umumnya disebabkan didak memiliki tempat dan modal untuk melakukan pengadaan bahan baku terutama pada saat tidak musim ikan. Pola kerjasama antar pengolah dalam pengadaan haban baku tampaknya belum dilakukan.

Oleh karena itu permasalahan pengadaan bahan baku salah satu pemecahannya adalah dengan membentuk kerjasama antar anggota kelompok pengolah ikan pindang/asin/asap. Bagi pengolah ikan yang menjawab selalu menjawab mengadakan bahan baku umumnya dilakukan

141

oleh pengolah bakso, nugget, sosis dan beberapa pengolah kerupuk ikan dan terasi, karena umumnya mereka memiliki sarana penyimpanan bahan baku dan modal.

Dari hasil analisis faktor-faktor yang berpengaruh pada pengembangan usaha pengolahan ikan dapat dikelompokan menjadi faktor internal dan ekternal. Faktor yang menjadi potensi atau kekuatan yang berhubungnan dengan bahan baku adalah ketersediaan ikan sebagai bahan baku pada saat musim ikan sebenarnya banyak didaratkan di Tempat tempat Pendaratan Ikan (TPI) di kota Pekalongan dan sekitarnya yang harganya relatif lebih murah dibanding ketika tidak musim ikan.

Sebagai kekuatan lain dalam mengembangkan industri pengolahan ikan yaitu berbagai macam/banyak ragak jenis ikan baik kelompok ikan demersal (ikan petek, ekor kuning, kakap, pari, cucut , dan lain-lain), kelompok ikan pelagis (layang kembung, tenggiri, tongkol, dan lain-lain),

Crustaceae/udang-udangan (udang windu, udang krosok, udang rebon,

kepiting, udang karang, dan lain-lain), moloska/kekerangan (kerang, simping, siput, dan lain-lain), rumput laut (glasilaria, euchema, see gras, dan lain-lain). Disamping itu produksi ikan air payau (seperti ikan bandeng, nila, udang tambak, dan lain-lain), ikan air tawar (seperti ikan lele, nila, patin, dan lain-lain) sudah banyak diproduksi di beberapa daerah di perairan pesisir.

Faktor kendala atau kelemahan terkait dengan bahan baku yaitu bahan baku yang bisa di adakan akan disimpan dimana, tempat menyimpanan sementara (gudang/cool box) umumnya tidak dimiliki oleh

pengusaha pengolah ikan pada umumnya. Kemudian

keterampilan/keahlian serta peralatan untuk mengolah bahan baku lain juga tidak dimiliki.

Kemudian faktor ekternal yang mempengaruhi industri pengolahan ikan terkait dengan pengadaan bahan baku adalah faktor peluang. Faktor peluang yaitu permintaan pasar tradisional (pasar desa) maupun pasar moderen (pasar swalayan di kota) untuk produk pengolahan setengah jadi

142

maupun produk akhir siap konsumsi yang memenuhi standarisasi keamanan pangan masih cukup banyak dan umumnya belum terpenuhi. Permintaan akan produk olahan ikan yang cederung meningkat ini seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan kenaikan tingkat kesejahtraan masyarakat.

Peluang untuk mengembangkan industri pengolahan dari aspek bahan baku yaitu potensi ikan laut maupun ikan air tawar yang dapat diproduksi di tempat-tempat pendaratan ikan (TPI) yang agak jauh dari pusat industri pengolahan ikan. Kemudian bahan baku impor dalam bentuk bahan mentah maupun bahan setengah jadi dengan kualitas yang lebih baik, produk tersebut dapat dengan mudah dipesan dan dengan harga relatif lebih murah. Jaringan komunikasi antar pasar produk olahan ikan maupun bahan baku telah ada di setiap wilayah. Selanjutnya yang menjadi ancaman dalam mengembangkan produk olahan makanan dari bahan baku ikan adalah produk makanan yang berbahan baku ikan banyak membanjiri pasar di dalam negri terutama di pasar swalayan.

Oleh karena itu, pengadaan bahan baku yang diharapkan dalam upaya mengembangkan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan adalah :

1) Pengadaan tempat penyimpanan sementara bahan baku ketika musim ikan dengan cara sewa atau membeli, atau mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi ketika musin ikan.

2) Pada saat tidak musim ikan mengembangkan jaringan komunikasi untuk pengadaan bahan baku diluar TPI/pasar ikan terdekat.

3) Membuat kontrak/kerjasama pengadaan bahan baku ikan laut/ikan hasil budidaya dengan para pedagang ikan/nelayan/petani ikan di daerah terdetekat maupun yang jauh dengan sentra produksi pengolahan.

4) Diversifikasi pengadaan bahan baku lokal dan impor guna melakukan mengembangkan penganekaragaman produk olahan berbahan baku ikan seperti produk olahan import.

143

Sarana dan Prasarana

Kondisi sarana dan prasarana pengolah ikan yang ada di daerah penelitian menggambarkan kondisi secara umum industry pengolahan ikan di Jawa Tengah yang masih sangat sederhana dan jauh dari memenuhi standar higienitas. Namun demikian, para pelaku usaha tidak merasa kesulitan memproduksi olahan ikan sesuai keinginan konsumen yang mayoritas kelas menengah kebawah.

Dari hasil penelitian ini bahwa profil sarana dan prasarana pengolahan ikan di Provinsi Jawa Tengah yang sudah dimiliki antara lain meliputi: Bangunan milik pribadi, Bangunan pendukung, Mendapat dukungan masyarakat, peralatan milik sendiri, peralatan sudah memadahi, pembaruan, alat-alat moderen, memanfaatkan bantuan peralatan, mempunyai peralatan penyimpang frozen, cold storage, air sudah mencukupi, prasarana jalan sudah memadahi.

Sebagian besar bangunan pengolahan ikan milik pribadi, sebesar 70 % letak bangunan ini menyatu dengan bangunan induk rumah tingggal dan pemukiman penduduk. Letak bangunan pengolahan ikan sudah mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar dikarenakan sebagian warga masyarakat mempunyai aktifitas pengolah ikan jadi soal poplusi udara yang berbau ikan anggota masyarakat sudah terbiasa.

Sanitasi air bersih cukup tersedia dari sumber PDAM dan air tanah dari sumur 60 %, sedangkan pembuangan limbah kotoran ikan dari pengolahan dibuang di saluran pembuangan air setempat belum ada treatment pengolah limbah terpadu, sehingga menimbulkan bau yang kurang sedap.

Kondisi peralatan pengolahan ikan yang dipergunakan untuk ikan pindang dan ikan asap antara lain berupa kompor gas, air bersih, dandang, besek bambu, garam, frozen, cooll storage, packing sebesar 80% peralatan ini merupakan milik sendiri.. Peralatan tersebut dibuat dan di desain sendiri oleh pengrajin kerjasama bengkel dengan menggunakan teknologi tepat guna. Bantuan dari pemerintah yang berupa peralatan

144

bertehnologi modern sebesar 69 % sangat dibutuhkan oleh pengrajin pengolahan ikan agar tujuan pengolahan ikan berkualitas dan efisien.

Sarana jalan dari tempat pengolahan ikan menuju pasar 63 % dalam kondisi baik. Sedang jenis alat transportasi yang dimiliki dan digunakan antara lain: sepeda motor roda dua, viar roda tiga dan mobil box roda empat, dari jenis alat transpotasi sudah mencukupi akan tetapi dikarena kepadatan arus lalu lintas antar kota besar hal ini menyebabkan terjadi keterlambatan pengiriman ikan sampai di pasar sehingga menyebabkan menurunkan kualitas ikan sampai di pasar 10 %.

Persoalan sarana dan prasarana memang menjadi hambatan paling besar dalam meningkatkan mutu hasil perikanan. Hampir semua pengolah ikan tradisional belum memiliki sarana prasarana yang memadai sebagai standar keamanan pangan yang baik. Persoalan sanitasi dan higienitas belum bisa diwujudkan dengan sarana dan prasarana yang dimiliki pengusaha. Persoalan lain adalah dalam pengemasan dan pengiriman hasil olahan. Sebagain besar mengalami kesulitan dalam menjaga kualitas produk, baik berupa kelembaban maupun perlindungan dari bakteri. Persoalan pokok sarana dan prasarana pengolahan ikan meliputi rendahnya sanitasi air bersih, rendahnya kualitas bahan baku, pengolahan belum masuk ke sentra pemasaran, pengolahan belum masuk bahan baku dan pemasaran,

Di Kabupaten Rembang sebagai penghasil pengolahan ikan pindang mengalami kekurangan tentang sarana dan prasarana, antara lain: bangunan, kompor, dandang, besek, garam, Es sanitasi, alat timbang, kotak pendingin, alat transportasi. Di Kabupaten Pati potensi terbesarnya adalah pengolahan ikan pindang dan ikan asap kondisi sarana dimana menggunakan sanitasi yang kotor, pembuangan limbah dan peralatan pengolahan yang terbilang kotor.

Di Kota Pekalongan sebagai sentra penghasil ikan asin dan olahan ikan kondisi sarana dan prasarananya berupa bangunan, garam, rak bambu, kotak pendingin, penggilingan ikan, pencucian, alat rebus, alat penggorengan, pengemasan alat transportasi.). Kabupaten Brebes

145

sebagai sentra penghasil ikan asap dan ikan asin kondisi sarana prasarananya berupa bangunan, kompor, dandang, besek, garam, Es sanitasi, alat timbang, kotak pendingin, Garam, rak bambu, alat transportasi. Kabupaten Cilacap sebagai sentra penghasil ikan segar dan ikan asap kondisi sarana prasarana berupa bangunan, pisau, alat timbang, sanitasi, garam dan kotak pendingin, alat transportasi.

Secara umum kebutuhan pengembangan sentra pengolahan makanan olahan berbahan ikan di lima Kabupaten - Kota sebagai daerah peneliltian membutuhkan intitusi baik berupa Koperasi yang menyediakan kebutuhan: Permodalan, Stok bahan baku ikan segar dan sejumlah peralatan pengolahan secara terperincian sebagai berikut : Kabupaten Rembang sebagai sentra Pindang, Ikan kering/asin, terasi dan ikan asap membutuhkan: Cool box , Cold stroge, Cerobong pengasapan, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. Kabupaten Pati sebagai sentra Ikan Pindang, terasi, ikan asap, Pindang bandeng lunak, dan bandeng olahan membutuhkan: Blung berinsulasi, Cool box , Cold stroge, Cerobong pengasapan, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. Kota Pekalongan sebagai sentra Ikan Olahan. Ikan Kering membutukan: Trays, Troley, Ice crusher, Chest frezeer, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. Kabupaten Brebes sebagai sentra Ikan Pindang, Ikan Asap dan Ikan kering membutuhkan: Troley, Cerobong pengasapan, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih.

Oleh karena itu dari hasil penelitian tersebut maka kabupaten kota dimana terdapat pengusaha/industri makanan berbahan baku ikan laut perlu melakukan upaya-upaya pengembangan

Kabupaten Cilacap sebagai sentra Ikan Kering, Ikan segar, Kerupuk membutuhkan: Ice crusher, Chest frezeer, Peralatan pengolahan, Mesin pembuat sosis, Meat bone sparator, Cold storage.

Kebijakan dari Pemerintah Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Provinsi Jawa Tengah dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

146

menaruh perhatian besar pada : Mengembangkan menyalurkan bantuan secara simbolis bernilai kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah/pemasar hasil perikanan seperti yang telah dilakukan di Kabupaten Brebes

Dalam upaya mendorong pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut di Kabupaten Brebes, KKP berencana membangun sistem rantai dingin dan ketersediaan cold storage dalam menjamin ketersediaan pasokan bahan baku bagi industri pengolahan ikan.

Di beberapa Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan sentra-sentra pengolahan telah dipasilitasi dengan Sarpras agar dapat mampu menunjang Sistem Logisitik Ikan Nasional. Di beberapa daerah telah di bangun dan akan di bangun cold storage sebagai tempat penyimpanan ikan di sentra-sentra pengolahan ikan agar dapat menunjang pengemangan industri pengolahan ikan

KKP juga mengembangkan program revitalisasi sarana dan prasarana lain untuk penunjang pelabuhan perikanan yang memadai, dapat meningkatkan efektivitas rantai suplai ikan sehingga dapat meningkatkan daya saing produk perikanan di pasar domestik maupun ekspor.

Revitalisasi pelabuhan perikanan yang dapat menjamin pasokan ikan serta peningkatan kapasitas industri pengolahan hasil perikanan. Selanjutnya KKP juga mengembangkan pengawasan sistem jaminan mutu dan traceability (ketelusuran) produk hasil perikanan dan jaminan akan ketersediaan bahan baku industri

Ketersediaan Pengembangan Teknologi

Teknologi menjadi persoalan yang sering diabaikan namun sebenarnya memberikan dampak yang cukup luas. Pada industri pengolahan tradisional, teknologi yang digunakan kadang memberikan beban tambahan cukup besar bagi biaya produksi. Untuk pemindangan misalnya, selama ini di Kabupaten Rembang menggunakan bahan bakar

147

minyak solar dengan konsumsi yang cukup tinggi, jika dibandingkan dengan bahan bakar kayu mencapai 2 kali lipatnya. Minyak solar digunakan akibat kelangkaan dan mahalnya harga minyak tanah. Selama ini pengrajin sudah merasa cocok dengan nyala api yang dihasilkan oleh minyak solar yang diberi tekanan udara. Sebaliknya, mereka enggan menggunakan gas karena tekanan api kurang tinggi, terutama jika isi tangki sudah mendekati separuhnya.

Dalam aspek pengemasan pindang menggunakan keranjang dengan isi ikan antara 2 – 5 ekor. Hal tersebut menyesuaikan dengan keinginan pembeli dimana mereka bisa membeli eceran dengan kuantitas rendah sehingga harganya murah. Akan tetapi bagi pengusaha itu merupakan ongkos tambahan karena selama ini biaya keranjang mencapai Rp 200,- dari harga ikan tiap keranjang sekitar Rp 1.500,-

Aspek lainnya adalah pengemasan dan pengiriman. Kebanyakan pengemasan belum bisa memenuhi unsur higienitas dan daya tahan produk. Dalam pengiriman, terutama untuk produk daging olahan (surimi) seperti : bakso, nugget dan sebagainya yang memerlukan teknologi rantai dingin yang sangat diperlukan untuk menjaga kualitas produk. Rantai dingin juga menjadi persoalan pada saat panen ikan dari laut, ikan didaratkan di TPI dan ketika ikan masuk di tempat pengolahan.

Seringkali kekurangan teknologi menjadikan kualitas bahan baku ikan rendah. Dalam hal pengawetan, juga masih ditemukan banyaknya nelayan maupun pengolah yang menggunakan hidrogen peroksida (H2O2) dan formalin untuk penampilan ikan bersih/putih dan mempertahankan kesegaran ikan.

Aspek teknologi pengolahan inilah yang menjadikan kualitas olahan ikan belum bisa menembus pasar ekspor karena rendahnya mutu dan kualitas produk. Beberapa program telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan teknologi, akan tetapi orientasi program hanya sekedar proyek sehingga bantuan yang diberikan kadang kurang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas pengolah. Tingginya ongkos produksi, biaya untuk bahan bakar dan daya listrik yang terlalu tinggi menjadikan

148

bebebrapa peralatan teknologi pengolahan yang lebih canggih belum bisa digunakan seperti mixer besar, vacum fraying dan lainnya.

Selain itu, perilaku para pengolah juga kadang menghambat peningkatan kualtas produk. Perilaku yang higines belum terbiasa ketika para bekerja memproduksi ikan olahan. Sarana dan prasarana pendukung lainnya juga turut mendukung perilaku para pekerja untuk bekerja secara higines.

Faktor internal dan ekternal terkait dengan pengembangan teknologi industri makanan berbahan baku ikan laut yaitu perilaku/budaya yang higinies, peralatan yang dimiliki, permintaan pasar, dan kebijakan pengawasan sanitasi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut. Jenis teknologi yang diperlukan dalam pengembangan indusrti makanan berbahan baku ikan yaitu teknologi proses pengolahan, pengemasan dan penanganan limbah. Pengembangan penerapan teknolgi dalam industri makanan berbahan baku ikan laut tentu untuk waktu sementara akan meningkatkan biaya produksi yang menyebabkan industri pengolahan menjadi tidak efisien.

Oleh karena itu, dalam mengembangkan usaha industri pengolahan makanan berbahan baku ikan, para pengolah harus selalu berusaha berorientasi pada IPTEK agar produk yang dihasilkan dapat bersaing dengan produk yang dihasilkan pengusaha dalam maupun luar daerah. Pemerintah selaku fasilitator dan dinamisator dalam mengembangkan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan sekala kecil menengah harus melakukan upaya meningkatkan budaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) antara lain dengan memberikan pelatihan dan bimbingan teknis (bintek) kepada masyarakat pengolah sehingga tumbuh perilaku berbudaya IPTEK.

Kemudian pemerintah juga harus mengembangkan sistem fasilitasi/insentif kepada para pengusaha pengolahan ikan yang memiliki potensi/kemampuan mengembangkan teknologi. Selanjutnya melakukan pendampingan dan evaluasi pengembangan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan untuk dikembangkan lebih lanjut.

149

Sebelum masyarakat pengolah melek dan berperilaku budaya teknologi, program pendampingan/penguatan tersebut sebaiknya tidak diberhentikan. Bersamaan dengan upaya peningkatan berbudaya IPTEK kepada para pengolah ikan, pemerintah juga harus melakukan pengembangan sosialisasi kepada para konsumen akan manfaat produk makanan berbahan baku ikan bagi kesehatan dan kesejahtraan manusia, sehingga akan meningkatkan permintaan produk makanan berbahan baku ikan. Jika masyarakat sudah gemar dan berbudaya makan ikan (mananan berbahan baku ikan) diharapkan akan meningkatkan permintaan produk industi makanan berbahan baku ikan.

Ketersediaan Tenaga Kerja

Dari hasil peneltian pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah, bahwa kendala yang dihadapi oleh pengusaha pengolah ikan meliputi :

a. Pada waktu musim ikan dimana ikan dalam kondisi banyak pengusaha pengolah ikan berlomba untuk mengolah ikan dengan jumlah yang lebih banyak dari pada pada waktu tidak musim ikan, sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak sedangkan tenaga kerja yang mau bekerja sebagai pengolah ikan terbatas, sedangkan pengolah ikan yang membutuhkan tenaga kerja sangat banyak dari pada hari-hari tidak musim ikan, akhirnya tenaga kerja memilih lokasi pengolah ikan yang tidak jauh dari lokasi rumahnya, dan pengusaha

Dalam dokumen BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang (Halaman 137-158)