• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Kerangka Teori dan Konsep 1.Kerangka Teori 1.Kerangka Teori

2. Kerangka Konsepsi (Definisi Operasional)

2. Kerangka Konsepsi (Definisi Operasional)

Dalam melakukan penelitian tesis ini, dijelaskan beberapa istilah sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan, yaitu:

19

Ibid Lawrence M. Friedman. “Sistem Hukumperspektif ilmu sosial”, Penterjemah: M. Khozim, diterjemahkan dari buku Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russel Sage Fundation, 1975),Bandung, Nusa Media, 2009, hal 254-255

20

Lawrence M. Friedman. “American Law An Introduction,” (Secon Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001), hal 10

a) Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum atau “penerapan hukum” adalah pelaksanaan penegakan hukum secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari terhadap pelanggaran hukum. Dalam bahasa asing (Belanda: Rechtdtoepassing, rechtshandhaving; dan Amerika: Law enforcement, application); 21 Peradilan adalah proses mengadili, yaitu pada saat hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara. Hakim memeriksa kenyataan yang terjadi, dan menghukuminya dengan peraturan yang berlaku. Hasil akhir proses peradilan adalah putusan pengadilan atau putusan hakim. 22 Yang dimaksud penegakan hukum dalam penelitian ini adalah suatu proses penegakan hukum pidana dengan hukum formal yang dirumuskan dalam hukum formal, yakni: kitab undang-undang hukum acara pidana, yakni UUNo. 8 tahun 1981, tentang KUHAP, yang lebih dikenal dengan administrasi keadilan (administration of justice); 23

21

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal 181

dan ketentuan formal yang melekat pada undang-undang yang bersangkutan, contoh: Pasal 78 ayat (14) (15) UU Kehutanan, yang menetapkan: tentang pertanggung jawaban tindak pidana dijatuhkan pada pengurusnya dan hak/wewenang penegak hukum dalam mengurus barang bukti dengan merampas untuk Negara atas “semua hasil hutan (corpora delicti ) dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat angkutnya (instrumental delicti) yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran” dan pasal 79 ayat (1) UU Kehutanan, yang menetapkan hak/wewenang penegak hukum melelang untuk Negara atas “kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa

22

Ibid hal 182

23

temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran dan hukum pidana formal lainnya yang terkait terhadap penegakan hukum materiil.

b) Hukum Pidana: Menurut Moeljatno 24

“Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut atau disebut perbuatan pidana (criminal act). 2). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan atau Pertanggungjawaban hukum pidana (criminal liability

atau criminal responsibility) 3). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

(a) Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas (principles of legality), yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang (pasal 1 ayat 1 KUHP) atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa (pasal 4 ayat (2) UUDS dahulu) sebelum orang dapat dituntut untuk dipidana karena perbuatannya.

(b) Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana. Akan tetapi ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan tersebut lalu mesti dipidana. Sebab untuk memidana seseorang disamping melakukan perbuatan yang dilarang, dikenal asas yang berbunyi: “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.” Dalam bahasa belanda “Geen straf zonder schul.” Jerman: “Keine Straf ohne Schuld.” Dalam hukum pidana Inggris asas dikenal dalam bahasa Latin yang berbunyi: “Actus non facit, nisi mens sit rea. (An act does not make a person guilty, unless the mind is guilty). Asas tersebut tidak kita dapat dalam KUHP sebagaimana halnya dengan asas legalitas. Juga tidak ada dalam lain-lain perundangan. Asas ini adalah asas yang ada dalam hukum yang tidak tertulis, yang hidup dalam anggapan masyarakat dan yang tidak kurang mutlak berlakunya daripada asas yang tertulis dalam perundangan. Buktinya ialah, andaikata ada orang yang dipidana tanpa mempunyai kesalahan, misalnya dia

24

melakukan perbuatan yang tidak tahu, bahkan tidak mungkin untuk mengetahuinya bahwa merupakan perbuatan pidana, niscaya hal itu akan melukai perasaan keadilan. Seyogianya dalam hal yang demikian, sipelanggar diberi peringatan dahulu. Perwujudan dalam KUHP tentang tidak dipidananya orang yang telah melakukan perbuatan pidana, misalnya pasal 44 KUHP mengenai orang yang tidak mampu bertanggungjawab, pasal 48 KUHP mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa (overmacht).

c) Tindak pidana, Menurut Moeljatno, adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana, adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan itu ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan, atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan orang) sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya. 25 Kata “tindak pidana” merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”, Tirtaamidjaja menggunakan istilah “pelanggaran pidana”, sedangkan Utrecht menggunakan istilah “peristiwa pidana”. Sinonim dari tidak pidana adalah “delik”, yang dalam bahasa latin adalah delictum yang artinya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap perundang-undangan pidana. 26

25

Dikutip dari buku Pietrus Waine “Penyidikan Tindak Pidana Tertentu (beberapa Ketentuan Pidana di Luar KUHP”, Sanggar Krida Aditama Semarang, 2008, hal 11

Dalam penelitian ini akan digunakan Tindak Pidana.

26

d) Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan, sebagaimana ditetapkan pada pasal 1ayat (7) PP. No 34 tahun 2002, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.

e) Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan Produksi pada hutan alam dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu disingkat IUPHHK melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pemeliharaan (pembibitan, permudaan pengayaan/ rehabilitasi/reklamasi), dan pemasaran (vide pasal 28 ayat (2) UU Kehutanan dan pasal 1ayat (13) PP. No 34 tahun 2002, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan).

f) Yang dimaksud dengan Tindak Pidana kehutanan adalah perbuatan yang ditentukan sebagai perbuatan pidana sebagaimana telah diatur dan ditetapkan dalam pasal 78 UU Kehutanan. Dalam penelitian ini terbatas pada tindak pidana kehutanan pada pasal 78 ayat (1) (5) (7) jo pasal 50 ayat (2), ayat (3) huruf e,f, h UU Kehutanan. g) Yang dimaksud dengan Tindak pidana Korupsi adalah perbuatan yang ditentukan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diatur dan ditetapkan dalam pasal 2 s/d pasal 24 UU No. 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah di ubah dengan UU No. 20 tahun 2001. Dalam penelitian ini terbatas pada tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian Keuangan Negara sebagaimana di tetapkan pada pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun

1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang di ubah dengan UU No. 20 tahun 2001 (untuk selanjutnya disebut UU TPK).