DALAM KASUS ADELIN LIS
A. Substansi Hukum sebagai berikut: sebagai berikut:
Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitap-kitab hukum (law in books), 209 tetapi juga pada tataran hukum yang hidup (living law) 210
Jeremy Bentham, mengidentifikasi ketidak sempurnaan materi undang-undang yang dapat mempengaruhi undang-undang disebabkan hal-hal yang meliputi: a) mengandung arti ganda (ambiguity); b) kekaburan (obscurrity); c) mengandung arti luas (overbulkinnes).
yakni “produk” berupa keputusan-keputusan administrasi negara yang dihasilkan oleh pejabat publik dalam lingkup sistem hukum itu, misalnya surat keputusan.
211
Ketidak sempurnaan materi undang-undang bertentangan dengan prinsip terminologi dan sistimatika yang jelas.212 Produk administrasi negara yang menimbulkan multi tafsir dan menjadi faktor penghambat penegakan hukum dalam kasus a quo, meliputi:
208
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Terjemahan M. Khozim, Bandung, 2009, hal 12.
209
Ibid hal 7
210 Ibid hal 8
211
Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal 129
212
1. Pengenaan Sanksi Uang pengganti dan Sanksi Administrasi.
Pembuat UU Kehutanan menetapkan konsep sanksi bersifat komulatif, yakni: sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda yang ditetapkan dalam pasal 78 ayat (1) sampai dengan ayat (12) “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ... diancam dengan pidana penjara paling lama ... dan denda paling banyak...”. Dalam UU No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan hukuman pokok (penjara dan denda) bersifat komulatif bukan bersifat alternatif, berbeda dengan UU No 5 tahun 1967, tentang kehutanan yo PP No 28 tahun 1985, bersifat alternatif dan ambivalen, hal ini dapat dilihat dalam rumusan setiap kalimat pada pasal 18, mulai ayat (1) s/d ayat (5) yakni dengan kata “atau” yang menghubungkan kalimat “...dipidana dengan pidana penjara...atau denda...dst”.; Pengenaan sanksi “ganti rugi” ditetapkan dalam pasal 80 ayat (1) yakni: “dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara,...”, artinya, bahwa pengenaan “ganti rugi” tidak mengesampingkan hukuman pokok (pidana dan denda); sanksi “administratif” ditetapkan dalam pasal 80 ayat (2) “Setiap pemegang izin... apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 78 dikenakan sanksi administratif”, artinya, bahwa pengenaan sanksi administratif hanya berlaku bagi pemegang izin usaha dibidang kehutanan apabila melanggar ketentuan diluar ketentuan pidana pasal 78. Kesimpulannya, bahwa khusus bagi pemegang izin usaha dibidang kehutanan, seperti HPH atau IUPHHK yang apabila
terbukti melanggar pasal 78 UU Kehutanan dikenakan hukuman pokok secara komulatif (pidana dan denda) dan hukuman tambahan berupa “ganti rugi” serta “administratif”.
Dalam kasus a quo, tuntutan pidana pokok, yakni pidana penjara dan denda, dengan tuntutan uang pengganti atas kerugian negara dari nilai PSDH dan DR dibuat secara bersamaan dalam memori kasasi JPU pada hal 136-137, sebagai berikut:
Menohon agar Ketua Mahkamah Agung RI memutuskan: “untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ADELIN LIS dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan dan membayar uang pengganti secara tanggung renteng dengan Ir. OSCAR SIPAYUNG dan Ir. WASHINTON PANE, Msc, Ir. BUDI ISMOYO dan Ir. SUCIPTO LUMBAN TOBING sebesar Rp 119.802.393.040,00 (seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah) dan US$ 2.938.556,24 (dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US dollar)” Terhadap tuntutan JPU tersebut, dengan putusan MARI No. 68 tahun 2008 pada hal 304 memutuskan bahwa dakwaan Pertama Primair dan Kedua Primair dari JPU terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan kehutanan secara bersama-sama dan berlanjut, sehingga menghukum terdakwa ADELIN LIS pidana penjara dan denda, serta menghukum untuk membayar uang pengganti sesuai tuntutan JPU, sebagai berikut:
Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan membayar denda sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan; Menghukum pula Terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.119.802.393.040,- (seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat
puluh rupiah) dan US$ 2.938.556,24 (dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US Dollar) dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Terdakwa tidak dapat melunasi uang pengganti tersebut maka hartanya disita dan apabila hartanya tidak cukup maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun
Bahwa kewenangan membuat tuntutan hukuman pokok (pidana penjara dan denda) dan hukuman tambahan (membayar uang pengganti) ada pada JPU, dan kewenangan mengadili dan memutuskannya ada pada hakim peradilan pidana. Artinya, bahwa hukuman dibidang kehutanan bersifat komulatif dan kewenangan mengadili dan memutuskannya ada pada hakim peradilan pidana. Secara umum hal ini telah sejalan dengan kewenangan yang ditetapkan dalam KUHAP dan secara khusus diatur juga dalam pasal 18 ayat (1) (2) (3) UU PTPK tentang pidana tambahan, antara lain mengenai “uang pengganti”.
Pasal 87 ayat (1) huruf c pada PP. No. 34 tahun 2002 yang diganti dengan pasal 128 ayat (1) huruf c pada PP. No. 6 tahun 2007 tentang kewenangan pengenaan sanksi administratif berupa “denda” ada pada Menhut RI dan pasal 46 ayat (1) pada PP. No 45 tahun 2004 tentang kewenangan pengenaan pembayaran dan besarnya ganti rugi akibat kerusakan hutan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara ada pada Menhut RI. Artinya, ketentuan dalam kedua PP tersebut telah bertentangan dengan asas lex superior derogat lex inferior,dan prinsip-prinsip serta koktrin hukum, 213
213 Ibid hal 36: Penjelasan pasal 7 ayat (4) Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPRD, MA, MK, BPK, Gubernur BI, Menteri, Kepala Bidang, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-undang atau Pemerintah atas pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Propinsi,
hakim peradilan pidana. Dengan putusan MARI No. 68 tahun 2008 tersebut, maka kewenangan Menhut RI tentang penjatuhan sanksi administratif berupa “denda” dan “uang pengganti” atas kerugian negara berupa PNBP dari PSDH dan DR yang ditetapkan dalam PP. No. 34 tahun 2002 dan PP No. 45 tahun 2004 dapat dikesampingkan dalam penegakan hukum pidana kehutanan.
2. Dalam pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan tidak merumuskan standar tingkat kerusakan hutan itu. Pengertian kerusakan hutan dalam penjelasan pasalnya cukup sederhana, yaitu adanya kerusahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya sehingga menimbulkan gangguan terhadap peran atau fungsi hutan itu sendiri (lindung, konservasi dan produksi). Pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan belum ada membuat ketentuan yang menetapkan kriteria baku kerusakan hutan secara operasionalnya, walaupun telah diamanatkan pada pasal 46 ayat (4) PP No 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan, yaitu: “Ketentuan lebih lanjut tentang tingkat kerusakan hutan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh Menteri.” Hal tersebut bertentangan dengan “asas kejelasan rumusan dan asas ketertiban dan kepastian hukum (het rechtszekerheids-beginsel).”214
Bandingkan dengan standar tingkat kerusakan lingkungan yang dirumuskan dalam UU No 32 tahun 2009, tentang Pengelolaan lingkungan hidup atas perubahan
Gubernur, DPRD Kab/Kota, Bupati, Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Penjelasan pasal 7 ayat (5) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
214
UU No 23 tahun 1997, tentang pengelolaan lingkungan hidup pada pasal 21 (3) dan (4) menetapkan rumusan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, yakni kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat iklim ditetapkan secara terukur.
Ketidak pastian atas rumusan tingkat kerusakan hutan tersebut, telah menimbulkan multi tafsir dari penegak hukum (Jaksa/Penuntut Umum, Majelis Hakim, Pengacara) dalam kasus a quo.
3. Dalam pasal 78 ayat (15) menetapkan semua hasil hutan dari kejahatan dan pelanggaran (korpora delicti) dan atau alat-alat untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran (instrumental delicti) dalam pasal 78 dirampas untuk negara. Pasal 79 ayat (1) menetapkan bahwa semua hasil hutan baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran dalam pasal 78 adalah “Kekayaan negara” dilelang untuk negara. Pasal 53 ayat (2) PP No. 45 tahun 2004, menetapkan: “hasil hutan yang cepat rusak dan memerlukan biaya tinggi untuk penyimpanannya diupayakan segera dilelang”. Artinya, pembentuk UU kehutanan dan peraturan pelaksanaannya telah menetapkan suatu prinsip “penyelamatan kekayaan negara”.
Akan tetapi menjadi timbul suatu hambatan dalam penegakan hukum pidana kehutanan dengan terbitnya Permenhut RI No 48/Kpts-II/2006, tanggal 12 Juni 2006, yang telah diubah dengan Permenhut RI. No: P.47/Menhut-II/2009, tanggal 22 Juli 2009, pasal 3 ayat (2) karena memuat suatu larangan untuk melelang kekayaan negara berupa hasil hutan, yakni: “hasil hutan temuan, sitaan, dan atau rampasan yang tidak dapat dilelang meliputi satwa dan atau tumbuhan liar dan hasil hutan yang berasal
dari hutan konservasi dan atau hasil hutan kayu yang berasal dari hutan lindung”. Frasa “hasil hutan yang berasal dari hutan konservasi dan atau hasil hutan kayu yang berasal dari hutan lindung”.
Ketentuan ini bersifat melarang penegak hukum untuk menyelamatkan harta kekayaan Negara dan melindungi hak-hak negara dengan cara merampas dan melelang atas barang bukti hasil hutan. Kalimat tersebut kontradiktif dengan prinsip penyelamatan harta kekayaan negara (asset recovery) yang ditetapkan dalam pasal 78 ayat (15) dan pasal 79 ayat (1). Jika hasil hutan berupa kayu dari hasil kejahatan dan pelanggaran tidak dilelang untuk negara. Lalu digunakan untuk apa kekayaan negara tersebut yang sudah menjadi kayu!, sebab hasil hutan dalam bentuk kayu (bulat dan atau olahan) tidak mungkin dikembalikan kehabitatnya (kedalam hutan), tetapi habitat kayu itu untuk bahan baku industri atau dimusnahkan, kecuali pohon kayu dan hewan hasil hutan yang masih hidup dapat dikembalikan ke habitatnya di hutan lindung atau konservasi.
Permenhut No 48/2006 tersebut menjadi tidak sah menurut hukum karena telah bertentangan dengan prinsip-prinsip “pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik” yakni: “asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan” 215
215
“Himpunan Peraturan Undangan. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Dengan Penjelasannya dan Lampirannya” (Bandung: Fokusmedia-2011): Penjelasan pasal 5 huruf f UU No. 10 tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hal 31
dimana materi muatan permenhut dimaksud telah bertentanagan dengan materi muatan pasal 78 ayat (15) dan pasal 79 ayat (1) UU Kehutanan, semestinya materi muatan dalam pasal pada undang-undang harus tidak boleh menyimpang dari materi muatan dalam
Permenhut RI dimaksud atau istilah dalam undang-undang disebut harus “sebagaimana mestinya”216 . Selain bertentangan dengan prinsip hukum, ketentuan pasal dimaksud juga bertentangan dengan doktrin hukum, yang mengisyaratkan bahwa “Apabila kekuasaan dari suatu otoritas publik dianggap berlebihan atau telah melampaui kewenangannya sendiri, maka peraturan yang ditetapkan diluar kewenangannya itu tidak sah karena alasan ultra vires. 217 Jika terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang berbeda tingkatannya misalnya, UU dengan PP, PP dengan Permen, maka diterapkan kriteria untuk mengesampingkan peraturan tersebut, yakni asas “ketentuan yang lebih tinggi mengesampingkan ketentuan yang lebih rendah “lex superior derogat legi inferiori”.218 Juga menurut pendapat sarjana hukum Yuliandri, yang digali dari prinsip pembentukan undang-undang “bahwa setiap produk aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi, oleh karena itu bersifat dilarang bagi pejabat lembaga negara untuk membuat suatu peraturan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tingkatannya ”219
216
Ibid hal 36 (Penjelasan atas pasal 10 UU No 10 tahun 2004): Yang dimaksud dengan “sebagaimana mestinya” adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-undang yang bersangkutan”
oleh karena disamping tidak sahnya
217
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada-2010),hal 226
218
Yuliandri Op. Cit hal 235
219
permenhut itu haruslah dikesampingkan karena juga bertentangan dengan asas-asas hukum, yakni “asas kejelasan rumusan”.220