BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANATERHADAP TINDAK
B. Pengaturan Hukum Pidana Formil Terhadap Tindak Pidana
procedure) mengatur tentang dasar-dasar dan aturan-aturan hukum untuk
menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut atau bagaimana cara atau prosedurnya untuk menuntut ke muka pengadilan orang-orang yang disangka
melakukan perbuatan pidana. 79 Menurut E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, bagaimana untuk melakukan penyidikan oleh penyidik (Polri dan PPNS), penuntutan oleh Jaksa penuntut umum, mengadili, memutuskan dan menjatuhkan pidana oleh hakim serta mengeksekusi pidana oleh Jaksa penuntut umum.80 Juga menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita, di Indonesia dikenal dengan sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) yang dimulai dari tahapan penyidikan oleh penyidik Kepolisian atau PPNS pada bidang khusus, penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, sampai pengadilan oleh Hakim dan lembaga pemasyarakatan oleh petugas lembaga itu sendiri.81
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya” Hukum pidana formil,82
79
Moeljatno, Op.Cit, hal 1 dan hal 7, baca juga C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal 264 tentang, Pembagian Hukum Pidana,
hukum pidana obyektif (jus punale), yang dapat dibagi ke dalam: a. Hukum pidana materiil; b. Hukum pidana formil (hukum acara pidana).
atau hukum acara pidana (criminal procedure) adalah mengatur tentang dasar-dasar dan aturan-aturan hukum untuk menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut atau bagaimana
80
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Op. Cit hal 20-21
81 Hari Sasangka dan Lily Rosita,
Hukum pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal 3-4
82
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Ibid hal 20 “Hukum Pidana formil atau juga disebut hukum acara pidana, adalah seluruh garis hukum, yang menjadi dasar atau pedoman bagi penegak hukum dan keadilan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil. Dengan perkataan lain hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana caranya negara dengan perantaraan badan-badannya (Polisi, Jaksa, Hakim) dapat menjalankan kewajibannya untuk menyidik, menuntut, menjatuhkan dan melaksanakan pidana”.
cara atau prosedurnya untuk menuntut ke muka pengadilan orang-orang yang disangka melakukan perbuatan pidana.83
Dari pendapat para sarjana hukum diatas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana formil adalah mengatur tentang dasar-dasar dan aturan-aturan hukum atau mengatur tugas pokok dan fungsi para penegak hukum pidana untuk membuktikan kesalahan seseorang melalui suatu sistem pembuktian.
Apa dasar-dasar dan aturan-aturan yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang disangkakan atau didakwakan kepada tersangka atau terdakwa oleh aparat penegak hukum mulai organ penyidik, penuntut umum dan hakim untuk menempatkan alat bukti yang sah menentukan salah tidaknya seseorang yang disangka/didakwa sehingga tidak salah meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa.
1. Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini (vide pasal 1 ayat (5) KUHAP).
Penyidikan adalah bagian dari sistem penegakan hukum pidana berdasarkan UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP yang merumuskan fungsi dan tujuan
83 Moeljatno,
Op.Cit, hal 1 dan hal 7, baca juga C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal 264 tentang “Pembagian Hukum Pidana” hukum pidana obyektif (jus punale), yang dapat dibagi ke dalam: a. Hukum pidana materiil; b. Hukum pidana formil (hukum acara pidana).
penyidikan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 ayat (2) KUHAP yakni mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu menjadi terang pidananya guna menemukan tersangkanya.
a. Esensi Penyelidikan
Esensi penyelidikan dalam perspektif penyidikan tindak pidana adalah selain dimaksudkan untuk menentukan sikap objektif dari penyidik dapat atau tidaknya ditindak lanjuti ke tahap penyidikan juga dimaksudkan untuk menegakkan asas-asas hukum pidana secara universal maupun berdasarkan hukum acara pidana Nasional yang mengatur perlindungan terhadap hak asasi manusia,84
b. Esensi Penyidikan
dan mencegah pelanggaran terhadap asas-asas hukum.
Penyidikan dalam perspektif penegakan hukum pidana pada tingkat penyidikan adalah untuk mencari dan mengumpulkan bukti secara obyektif berdasarkan hukum dan menegakkan asas-asas hukum pidana secara universal maupun berdasarkan hukum acara pidana Nasional yang mengatur perlindungan terhadap hak asasi manusia,85
Dari rumusan pengertian penyidikan terdapat kata kerja “mencari”, berarti: berusaha mendapatkan, menemukan, memperoleh sedangkan kata kerja
84
P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika-2010) hal 9. “Pasal 28A sampai dengan pasal 28J UUD1945 dan UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman”.
85 P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang,
Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika-2010) hal 9. “Pasal 28A sampai dengan pasal 28J UUD1945 dan UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman”.
“mengumpulkan”, berarti: membawa sesuatu dan menyatukan dengan yang lain agar berkumpul.
2. Penuntutan
Sebelum tugas dan wewenang penuntutan, Jaksa melakukan prapenuntutan terhadap suatu penyidikan tindak pidana yang sedang dilakukan oleh Polri dan PPNS. Dalam hal prapenuntutan, tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyiditan dari penyidik, mempelajari, atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan dan memberikan petunjuk apabila dipandang perlu untuk dilengkapi oleh penyidik (vide penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf a UU No. 16 tahun 2004, perubahan atas UU No. 5 tahun 1991, tentang Kejaksaan RI).
3. Putusan
Pemeriksaan perkara pidana di pengadilan oleh hakim untuk memeriksa kenyataan yang terjadi dan menghukuminya berdasarkan hukum formil yang berlaku. Mengadili adalah tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana dengan asas bebas, jujur dan tidak memihak dalam sidang pengadilan dengan sistem pembuktian dalam KUHAP (pasal 1 angka 2, 7, 9 dan pasal 185 KUHAP), sedangkan lembaga pemasyarakatan itu untuk membina para narapidana. 86
Prinsip penjatuhan pidana “tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah
86
bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya (vide pasal 6 ayat (2) UU No 48 tahun 2009, tentang kekuasaan kehakiman perubahan atas UU No. 4 tahun 2004).
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan (pasal 29 UU No. 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung).
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: (a) tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; (b) salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; (c) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang- undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (vide pasal 30 UU No. 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung).
Sistem pembuktian tindak pidana menurut UU No 8 tahun 1981, tentang KUHAP, pada pasal 183 menganut sistem pembuktian minimal, negatif wetterljik
atau asas minimal pembuktian, yakni: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”, dikaitkan dengan alat bukti yang sah, yakni: keterangan saksi, keterangan ahli, adanya surat, adanya petunjuk, dan keterangan terdakwa (pasal 184 ayat (1) KUHAP).
Pemohon kasasi wajib diajukan dalam waktu 14 (empat belas hari) oleh terdakwa atau penuntut umum apabila menilai ada persoalan-persoalan hukum (rechtsuragen) yang diputuskan oleh hakim di pengadilan negeri dan atau pengadilan
tinggi, yaitu: (a) apabila satu aturan hukum tidak diperlakukan oleh hakim; (b) ada kekeliruan hakim dalam memperlakukan satu aturan hukum; atau (c) hakim melampaui batas kekuasaannya (pasal 244 dan pasal 253 ayat (1) KUHAP).
4. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Jaksa berwenang untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 270 KUHAP dipertegas dengan pasal 30 ayat (1) huruf b KUHAP). Dalam hal putusan pengadilan menetapkan barang bukti dirampas untuk negara, jaksa mengusahakan benda tersebut kepada kantor lelang negara untuk dan atas nama jaksa berwenang melelang barang bukti yang hasilnya dimasukkan ke kas negara (pasal 273 ayat (3) KUHAP).
Pada setiap pengadilan harus ada hakim pengawas dan pengamat untuk melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan gunanya untuk memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya (pasal 277 ayat (1) dan pasal 280 ayat (1) KUHAP). Artinya, hakim dan jaksa dalam mengeksekusi putusan pengadilan harus bertanggung jawab tentang benar tidaknya pelaksanaan eksekusi.