HASIL HUTAN KAYU
A. Pengaturan Hukum Pidana Materiil Terhadap Tindak Pidana Kehutanan, Khususnya Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
A. Pengaturan Hukum Pidana Materiil Terhadap Tindak Pidana Kehutanan, Khususnya Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.
Ketentuan perbuatan yang dilarang diatur pasal 38 ayat (4) dan pada pasal 50 ayat (1), (2), dan (3) huruf (a) s/d huruf (m) UU Kehutanan.42
1. Pengaturan Larangan Pidana Kehutanan
ditetapkan sebagai berikut:
Penetapan larangan dalam hukum pidana kehutanan oleh pembuat UU Kehutanan dimaksudkan dapat menjadi kenyataan melalui proses penegakan hukum pidana kehutanan untuk mencegah kerusakan hutan dan mewujudkan cita-cita hukum
42
kehutanan agar pemanfaatan hutan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang berkeadilan dan berkelanjutan atau lestari.43
a. Perbuatan Yang Dilarang Dalam Tindak Pidana Kehutanan
Sehingga ketentuan larangan ditetapkan secara eksplisit dan ada yang diperjelas serta diperluas baik dalam penjelasan UU Kehutanan dan dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menhut RI sebagai berikut:
Secara umum, perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana kehutanan, yaitu diatur dalam:
1). Pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan “dilarang melakukan penambangan dengan pola penambangan terbuka pada kawasan hutan lindung. Pasal 38 ayat (4) ini berkaitan pasal 38 ayat (1) (2) yakni penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan antara lain kegiatan ekploitasi pertambangan dengan pola tertutup hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, dan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri (vide penjelasan pasal 38 ayat (1) UU Kehutanan). Artinya, apabila kegiatan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka dilakukan dengan sengaja walaupun ada izin pinjam pakai dari Menteri adalah perbuatan yang dilarang. Pembentuk undang-undang kehutanan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pola pertambangan
43
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, ( Yogyakarta: Genta Publishing-2009) hal 24 dan baca juga penjelasan umum UU Kehutanan pada alinea kedua.
terbuka. Menurut Van der Vlies,44 perumusan tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke regelgeving), antara lain “asas kejelasan tujuan” dan “asas ketertiban dan kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel).” sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam penegakan hukumnya dan dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.45
2). Pasal 50 ayat (1) tentang larangan merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. Maksud frasa “Prasarana dan sarana perlindungan hutan” dalam penjelasan pasalnya adalah prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan, dan alat angkut (vide penjelasan pasal 50 ayat (1) UU Kehutanan).
3). Pasal 50 ayat (2) “Pemegang izin, yakni izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
44
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang, (Jakarta: Raja Grafindo Persada-2010) hal 113
45 “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan penjelasannya”, (Bandung: Fokusmedia-2011) hal 32 dan 34: UU No. 10 tahun 2004, penjelasan pasal 5 huruf f: “yang dimaksud dengan “Asas Kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.” Pasal 5 huruf i: “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum”.
hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.”
Ketentuan pada pasal ini adalah delik meteriil karena untuk terpenuhinya unsur objektif, yakni “kerusakan hutan” harus dapat dibuktikan terjadinya akibat yang nyata berupa kerusakan hutan sebagai syarat utama untuk dipidananya sipembuat delik. Yang dimaksud kerusakan hutan, adalah kerusakan baik dari aspek fisik, sifat fisik dan hayatinya. Pembentuk undang-undang kehutanan dalam merumuskan maksud kerusakan hutan sangat bersifat umum, yakni hanya merumuskan terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Secara khusus PP 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan, pada pasal 46 ayat (3) ada menjelaskan maksud perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, masih dapat mengundang perdebatan yakni:
“Yang dimaksud dengan perubahan fisik adalah kondisi terjadinya perubahan bentuk lapangan dan atau tegakan hutan, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung atau hutan konservasi. Indikasi perubahan fisik berupa perubahan bentang alam, tegakan pohon atau penutupan vegetasi.
Yang dimaksud dengan perubahan sifat fisik adalah kondisi terjadinya perubahan sifat fisik tanah, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung, atau hutan konservasi. Indikasi perubahan sifat fisik meliputi perubahan: sifat kimia tanah, iklim mokro atau kualitas air.
Yang dimaksud dengan perubahan hayati adalah kondisi terjadinya perubahan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung, atau hutan konservasi. Indikasi perubahan hayati meliputi perubahan: keragaman dan kerapatan jenis flora, keragaman dan kelimpahan jenis fauna.”
Walaupun secara khusus pada pasal 46 ayat (3) PP 45 tahun 2004, telah menjelaskan maksud perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, masih terdapat ruang untuk diperdebatkan karena peraturan pemerintah ini tidak merumuskan standar indikator kerusakan akibat adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayatinya, misalnya, bagaimana ukuran perubahan fisik bentang alam, tegakan pohon atau penutupan vegetasi, bagaimana ukuran perubahan sifat fisik kimia tanah, iklim mokro atau kualitas air, dan bagaimana ukuran perubahan keragaman dan kerapatan jenis flora, keragaman dan kelimpahan jenis fauna yang dapat dikategorikan bahwa hutan telah mengalami kerusakan. Pasal 46 ayat (4) PP No.45 tahun 2004, menyatakan “Ketentuan lebih lanjut tentang tingkat kerusakan hutan diatur oleh Menteri”, namun Menhut RI belum ada mengeluarkan kriteria kerusakan hutan sampai saat ini.
Bandingkan dengan UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup perubahan atas UU No 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan lingkungan hidup pada pasal 21 telah menetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dengan belum ditetapkannya kriteria baku kerusakan hutan maka produk hukum tersebut dapat menimbulkan multi tafsir yang akhirnya menimbulkan ketidak pastian hukum. Hal tersebut menjadi celah untuk diperdebatkan dan bertentangan dengan “asas kepastian hukum (het rechtszekerheids-beginsel).” 46
46
4). Pasal 50 ayat (3) huruf: (a) tentang larangan mengerjakan, menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Pembentuk undang-undang merumuskan pengertian tentang mengerjakan, menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan dalam penjelasan pasal 50 ayat (3) huruf a sebagai berikut:
1). Maksud mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.
2).Maksud menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.
3).Maksud menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Menurut Zain, kawasan hutan adalah suatu wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah baik yang berhutan dan tidak berhutan.47
47
Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, (Jakarta: Rineka Cipta-1997) hal 2
Menurut UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, pasal 1 ayat (3) menetapkan tentang pengertian kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan” mengandung pengertian yang bersifat komuliatif dan afternatif. Kegiatan bersifat komulatif adalah proses
pengukuhan kawasan hutan,48 yang dimulai dari kegiatan penunjukan sampai kegiatan penetapan kawasan hutan yaitu mulai tahap:49
“Penunjukan,
penataan batas, pemetaan, sampai pada tahap penetapan kawasan hutan. Kegiatan bersifat alternatif yakni bersifat pilihan, yaitu baru tahap penunjukan kawasan hutan, yaitu tahap persiapan berupa: 1). Pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar; 2). Pembuatan pancang batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas luar; 3). Pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan 4). Pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi yang berbatasan dengan hak-hak masyarakat, misalnya hutan hak, tanah hak (vide penjelasan pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan). Pada tahap penunjukan kawasan hutan belum ada kegiatan penataan batas, pemetaan, sampai pada tahap penetapan kawasan hutan (vide pasal 1 ayat (9) dan pasal 17 PP No. 44 tahun 2004, tentang perencanaan kehutanan)”.
Makna pentingnya penegasan tentang kawasan hutan dalam penegakan hukum kehutanan adalah untuk memberikan kepastian hukum atas tata batas, luas kawasan hutan untuk dipertahankan manfaatnya secara lestari. Menurut Satjipto Raharjo, dalam penegakan hukum adalah suatu proses untuk
48 PP No 44 Tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan Pasal 1 ayat (8) Pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan.
49
Ibid PP No 44 tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan Pasal 1 ayat (9) Penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan.Pasal 1 ayat (10) Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengumuman, inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran dan pemetaan serta pembuatan Berita Acara Tata Batas. Pasal 1 ayat (11) Penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas dan luas suatu kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap. PP No 44 tahun 2004, pasal 21, Pemetaan kawasan hutan dalam rangka kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses pembuatan peta: (a) penunjukan kawasan hutan: wilayah propinsi skala 1 : 250.000, peta parsial skala 1 : 50.000; (b) rencana trayek batas dengan skala 1 : 250.000; (c) pemancangan patok batas sementara dengan skala 1 : 25.000; (d) penataan batas kawasan hutan dengan skala 1 : 25.000; (e) penetapan kawasan hutan dengan skala 1 : 100.000.
mewujudkan keinginan-keinginan hukum (cita-cita hukum) pembuat hukum menjadi kenyataan.50
5). Pasal 50 ayat (3) huruf (b) tentang larangan merambah kawasan hutan. Maksud kata “merambah” adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Artinya, barang siapa saja dilarang melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
6). Pasal 50 ayat (3) huruf (c) tentang “larangan menebang pohon dalam kawasan hutan dengan radius/jarak sampai dengan: a) 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; b) 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; c) 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; d) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; e) 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; f) 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai”. Penjelasan pasal 50 ayat (3) huruf c Secara umum jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Artinya, bahwa ketentuan larangan ini hanya berlaku pada waduk, danau, tepi pantai, sungai, anak sungai, tepi jurang dalam kawasan hutan.
7). Pasal 50 ayat (3) huruf (d) tentang larangan membakar hutan. Penjelasan pasal ini menetapkan suatu prinsip “larangan membakar hutan”, namun pada
50
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru-1984) hal 24
kondisi tertentu dan tujuan khusus antara lain untuk pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa dapat diperkenankan wajib dengan seizin dari pejabat yang berwenang. 8). Pasal 50 ayat (3) huruf (e) tentang larangan menebang pohon, atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin pejabat yang berwenang. Ketentuan ini menetapkan pengertian pohon atau hasil hutan pada penjelasan pasal 4 ayat (1), yakni hasil nabati dan turunannya, hasil hewani beserta turunannya, benda-benda non hayati, jasa yang diperoleh dari hutan, hasil produksi yang langsung diperoleh dari bahan baku kayu, dan benda-benda tambang.
Pengertian “hasil hutan” berpedoman pada penjelasan pasal 4 ayat (1), hasil hutan (corpora delicti), yakni hasil nabati dan turunannya, hasil hewani beserta turunannya, benda-benda non hayati, jasa yang diperoleh dari hutan, hasil produksi yang langsung diperoleh dari bahan baku kayu, dan benda-benda tambang.
Sedangkan yang dimaksud dengan “dalam hutan” adalah “dalam hutan negara (termasuk dalam hutan adat sepanjang ada pengakuan atas keberadaannya berdasarkan hukum) dan dalam hutan hak.” Jadi maksud dalam hutan adalah dalam hutan negara (termasuk hutan adat) dan hutan hak”.
Kata “hutan” merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) atau
forest (Inggris). Forest adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas, dan burung-burung hutan, tempat perburuan, tempat istirahat, dan tempat
bersenang-senang bagi raja dan pegawai-pegawainya.51 Menurut Dengler, hutan adalah “sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal), dan pepohonan yang tumbuh pada areal yang luas serta tumbuh secara berkelompok. 52
Hutan adalah suatu lapangan (yang cukup luas, minimal luasnya seperempat hektar) bertumbuhan pohon pohon (kayu, bambu, palem, flora dan fauna) yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya, dan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.(vide pasal 1 ayat (1) UU No 5 tahun 57, tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kehutanan),
53
Menurut beberapa sarjana tentang pengertian izin. N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, izin merupakan persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah atas larangan perundang-undangan.54 Artinya, bahwa pihak pemegang izin diberikan hak oleh penguasa untuk menyimpangi suatu larangan peraturan undang-undang. Pendapat Spelt dan Berge ini tidak secara jelas menyebutkan tentang bentuk persetujuan tertulis atau lisan. Dengan demikian bentuk persetujuan itu dapat tertulis atau lisan. Menurut Prajudi Atmosudirjo, menyatakan, izin (vergunning) adalah suatu penetapan (beschikking) yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang-undang.55
51 Salim H.S. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta: Sinar Grafika-2004) hal 40
Dengan tegas Prajudi Atmosudirjo, menyatakan bahwa yang
52
Ibid
53
Ibid hal 41
54
N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, dikutip Y.Sri Pudyatmoko, dalam bukunya, Perizinan Problem Dan Upaya Pembenahan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia/Grasindo-2009), hal 7.
55
Mr. S. Prajudi Atmosudirjo, “Hukum Administrasi Negara” Edisi Revisi,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm 97. Pada umumnya pasal undang-undang bersangkutan berbunyi “dilarang tanpa izin... (melakukan) ... dan seterusnya.” Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan perincian dari
dimaksudkan izin itu adalah suatu dispensasi dalam bentuk penetapan yang merinci larangan tersebut diikuti dengan perincian dari syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan penetapan prosedur dan juklak (petunjuk pelaksana) kepada pejabat-pejabat Administrasi Negara yang bersangkutan.
Kaitannya dengan pemanfaatan hasil hutan kayu, pembuat UU Kehutanan dalam pasal 28 ayat (2) mempertegas bahwa untuk seseorang mendapatkan IUPHHK pada hutan produksi harus dilaksanakan melalui suatu proses antara lain: mulai dari tahap pelelangan sampai pada tahap penetapan pemenang lelang oleh Menteri Kehutanan (vide PP 34 tahun 2002, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan).
Pemenang lelang adalah yang berhak memiliki dan pemegang IUPHHK yang diterbitkan oleh Menhut RI. Jadi pemegang IUPHHK adalah Putusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam bentuk penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara, yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat
syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan penetapan prosedur dan juklak (petunjuk pelaksana) kepada pejabat-pejabat Administrasi Negara yang bersangkutan.
konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (pasal 1 ayat (3) UU No. 5 tahun 1986, tentang PTUN).56
Dengan penetapan dan pemberian IUPHHK, membuktikan: (1) pemegang IUPHHK adalah pemenang lelang yang telah memenuhi syarat-syarat formil, materil dan teknis, (2) dengan IUPHHK terciptanya hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara organ pemerintah selaku administrasi negara dan pengawas dengan individu atau suatu badan hukum selaku pemegang hak, (3) lahirnya hak/wewenang dan kewajiban hukum, dan (4) campur tangan dan ikut bertanggung jawab organ pemerintah ke dalam proses pemanfaatan hasil hutan
56
Penjelasan Pasal 1 ayat (3) UU No 5 tahun 1986, tentang PTUN sebagai berikut: Istilah ‘penetapan tertulis’terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat tata usaha negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau pejabat tata usaha negara menurut undang-undang ini apabila sudah jelas: a. Badan atau pejabat tata usaha negara mana yang mengeluarkannya; b. maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; c. kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya. Badan atau pejabat tata usaha negara adalah pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
Tindakan hukum tata usaha negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat tata usaha negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam keputusan tata usaha negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri, (izin usaha dibidang kehutanan).
Bersifat individual artinya Keputusan tata usaha negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu harus disebutkan. Umpanya, keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut.
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari badan administrasi kepegawaian negara.
Baca juga pasal 2 huruf a sampai g dan penjelasannya tentang yang tidak termasuk jenis Keputusan Tata Usaha Negara.
kayu, yaitu: (a) pra-pemanfaatan kayu, yaitu proses pemberian izin, (b) saat pemanfaatan kayu, yaitu diberikan hak penebangan pohon kayu secara terbatas hanya pada pohon kayu yang telah disahkan dalam RKT dan hak pemasaran kayu, (c) pasca pemanfaatan kayu, yaitu usaha pelestarian hutan dalam bentuk pembibitan, penanaman, pengayaan dan pengamanan.
9). Pasal 50 ayat (3) huruf (f) tentang larangan menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Pengertian sahnya hasil hutan adalah pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti (vide penjelasan pasal 50 ayat (3) huruf (h) UU Kehutanan dan pasal 12 PP No 45 tahun 2004, tentang perlindungan hutan.
10). Pasal 50 ayat (3) huruf (g) tentang larangan melakukan penyelidikan umum, atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pada pasal ini adalah ketentuan larangan yang bersifat umum, oleh karena itu tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan larangan yang bersifat khsus pada pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan.
11). Pasal 50 ayat (3) huruf (h) tentang larangan mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Legalitas hak memiliki, menguasai dan
mengangkut hasil hutan disahkan dan dibuktikan melalui klarifikasi: (1) asal kayu berasal dari blok tebangan (RKT yang disahkan) dibuktikan dengan LHP dan hasil ceking tebangan dilapangan dengan metode lacak balak; (2) bukti pembayaran PSDH dan DR; dan (3) autentikasi SKSHH yang diproses sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
12). Pasal 50 ayat (3) huruf (i) tentang larangan mengembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang. Dalam penjelasan pasalnya, pejabat yang berwenang menetapkan tempat-tempat yang khusus untuk kegiatan penggembalaan ternak dalam kawasan hutan.
13). Pasal 50 ayat (3) huruf (j) tentang larangan membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang. Dalam penjelasan pasalnya, yang dimaksud dengan alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, buldozer, truk, logging truck, trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helikopter, jeep, tugboat, dan kapal. 14). Pasal 50 ayat (3) huruf (k) tentang larangan membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Dalam penjelasan pasalnya bahwa alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat tidak termasuk dalam ketentuan ini.
15). Pasal 50 ayat (3) huruf (l) tentang larangan membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan