• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM KASUS ADELIN LIS

B. Struktur Hukum

Struktur hukum adalah agensi-agensi, organ-organ, pejabat-pejabat, badan dan lembaga yang mengawasi peraturan hukum dan melaksanakan fungsi struktural tersebut yang diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai 221

Faktor-faktor yang menghambat dalam penegakan hukum pidana dalam kasus a quo dari aspek struktur hukum adalah sebagai berikut:

. Setiap peraturan perundang-undangan harus mempunyai lembaga pengawas dan berfungsi untuk menegakkan undang-undang. Lembaga pengawas ditetapkan pada pasal 59 sampai pasal 64 dalam UU Kehutanan, yakni pemerintah pusat, daerah dan masyarakat.

1. Fungsi Pengawasan

Pembuat UU kehutanan menetapkan kewenangan pengawasan terhadap usaha pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan, yakni oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah bersifat berkewajiban untuk melakukan pengawasan, sedangkan bagi masyarakat dan atau perorangan bersifat berperan serta dalam pengawasan

220

Himpunan Peraturan Undangan. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Dengan Penjelasannya dan Lampirannya” (Bandung: Fokusmedia-2011): Penjelasan pasal 5 huruf f UU No. 10 tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hal 32

221

Lawrence M. Friedman. “American Law An Introduction,” (Secon Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001), hal 7.

pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung (vide pasal 59 sampai pasal 64 dan penjelasan umum UU Kehutanan).

UU Kehutanan dan dalam peraturan pelaksanaannya tidak menetapkan sanksi bagi pejabat pengawas yang tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana mestinya. Pernyataan ini didasarkan pada fakta penelitian dalam kasus a quo, sejak tahun 2000 s/d 2006 PT.KNDI tidak melaksanakan sistim TPTI dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (melakukan penebangan kayu diluar blok tebangan yang disahkan) dan tidak juga merealisasikan pengalokasian saham PT.KNDI kepada pihak yang berhak sejak tanggal 01 Oktober 2001, berdasarkan HPH atau IUPHHK SK.Menhut RI. Nomor:805/Kpts-IV/1999, tanggal 30 September 1999. Menhut RI tidak dengan segera menindak lanjuti rekomendasi dalam laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli LPI dengan surat LPI No. 184/FPG/XI/2005, tertanggal 18 Agustus 2005 tentang laporan kinerja PT.KNDI yang tidak menerapkan sistin TPTI dengan kualifikasi kinerja “SANGAT BURUK”.

2. Penyidikan dan Penuntutan

Jika ditinjau dari struktur hukumnya, hubungan tugas dan kewenangan dalam penegakan hukum penyidik Polri dengan Jaksa/Penuntut umum dalam penegakan hukum pidana diatur dalam pasal 13 huruf b UU No 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara RI “Tugas Pokok Polri adalah menegakkan hukum”. Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara RI “Dalam melaksanakan tugas pokok Polri dalam pasal 13 melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya”. Ketika penyidik sudah memulai melakukan penyidikan wajib memberitahukannya kepada Jaksa (pasal 109 ayat (1) KUHAP) dalam bentuk “surat pemberitahuan dimulainya penyidikan”. Pada tahap ini penyidik Polri dan Jaksa peneliti sudah aktif melakukan kordinasi terhadap perkembangan penyidikan Polri.

Dalam penegakan hukum pidana dalam kasus a quo, pelaksanaan kewenangan kordinasi pada tahap penyidikan antara penyidik dengan Jaksa/Penuntut umum telah dilaksanakan secara intensif. Hal itu ditemukan berdasarkan fakta-fakta dinamika kordinasi antara penyidik dengan jaksa peneliti sampai pada pengiriman berkas perkara tindak pidana kehutanan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dibuat dalam satu berkas perkara dengan persangkaan pasal komulatif, sedangkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang terpisah (disiplitising). Pada akhir kordinasi, oleh Jaksa /penuntut umum menyatakan penyidikan terhadap tindak pidana kehutanan dan pemberantasan tindak pidana korupsi atas nama tersangka ADELIN LIS dinyatakan lengkap (P.21), sedangkan terhadap berkas perkara pemberantasan tindak pidana pencucian uang dinyatakan belum lengkap dengan memberikan beberapa petunjuk untuk dilengkapi oleh penyidik, antara lain: bahwa pengiriman berkas perkara tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan setelah tindak pidana asal (predicate crime) yakni, tindak pidana kehutanan dan pemberantasan tindak pidana korupsi mendapat putusan hakim berkekuatan hukum tetap (inkracht). Artinya, belum ada komitmen diantara penegak hukum dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan untuk mewujudkan rasa keadilan dan kepastian hukum.

C. Budaya Hukum

Pemahaman dan pendapat penegak hukum ini dipengaruhi oleh pola sikap dan perilaku seseorang penegak hukum dengan segala latar belakang dan kepentingannya yang berbeda. Budaya hukum lahir dari sejumlah fenomena yang saling berkaitan.

Pertama, dari pemahaman publik mengenai pola-pola sikap dan perilaku terhadap sistem hukum antara seorang ke orang lain akan berbeda. misalnya apakah pengadilan itu telah adil?, kapan orang-orang bersedia menggunakan pengadilan?, unsur hukum mana yang sah (ligitimate), bagaimana pemahaman mereka mengenai hukum? Kedua, satu jenis kultur hukum kelompok, yakni kultur hukum para profesional hukum bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum, dan prinsip-prinsip para pengacara, hakim dan lain-lainnya yang bekerja dalam sistem hukum 222

Hasil penelitian terhadap penegakan hukum kasus a quo ditemukan fakta-fakta tentang sikap dan perilaku penegak hukum sebagai berikut:

.

1. Pembuat UU kehutanan dan peraturan pelaksanaannya tidak menetapkan sanksi terhadap pejabat pemberi izin usaha pemanfaatan kehutanan, dan atau pejabat pengawas dibidang pemanfaatan kehutanan yang terbukti memberikan pernyataan baik tertulis maupun lisan yang bersifat meringankan perbuatan pemegang izin dalam penegakan hukum kehutanan.

222

Lawrence M. Friedman. “Sistem Hukum perspektif ilmu sosial”, Penterjemah: M. Khozim, diterjemahkan dari buku Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russel Sage Fundation, 1975),Bandung, Nusa Media, 2009, hal 254-255

2. UU Kehutanan tidak menetapkan sanksi terhadap pejabat pemberi izin usaha pemanfaatan hutan dan pejabat pengawas yang dengan sengaja atau karena lalainya melakukan pembiaran terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemegang izin pemanfaatan hutan, misalnya: pemberi izin atau pejabat pengawas tidak memberikan sanksi atas perbuatan pemanfaatan hasil hutan kayu yang tidak melaksanakan sistim TPTI dan atau tidak mengalokasikan sahamnya kepada yang berhak dalam batas waktu yang ditentukan dalam izinnya. Bandingkan dengan Pasal 73 ayat (1) UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang “Setiap Pejabat Pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (7), yang berbunyi: “Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.”

3. UU Kehutanan menganut prinsip penyelamatan kekayaan negara melalui tindakan hukum dengan merampas dan melelang terhadap hasil hutan (corpora delicti) dari kejahatan atau pelanggaran termasuk alat-alat untuk kejahatan dan pelanggaran (instrumental delicti), akan tetapi dalam kasus a quo, JPU tidak ada mengeksekusi terhadap putusan MARI yang menyatakan “merampas untuk negara” barang bukti alat-alat untuk melakukan kejahatan dan hasil hutan kayu dari hasil kejahatan. Pembuat UU Kehutanan tidak ada menetapkan sanksi terhadap sikap penegak hukum seperti ini.

4. Dalam kasus a quo, JPU tidak ada melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan Terdakwa untuk melunasi uang pengganti atas kerugian negara dari PSDH

dan DR (PNBP) sebesar Rp.119.802.393.040,- (seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah) dan US$ 2.938.556,24 (dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US Dollar) sebagaimana dalam putusan MARI No. 68 tahun 2008 pada hal 304 dan hakim pengawas pada PN.Medan pun membiarkan hal tersebut. Sikap bersama penegak hukum seperti ini merupakan bukti penghambat dalam penegakan hukum.

5. Fakta penyidikan dalam kasus a quo, ditemukan fakta, bahwa penyidik juga mempersangkakan tindak pidana pencucian uang terhadap Terdakwa, dalam tindak pidana pencucian uang tersebut ditemukan fakta, bahwa Terdakwa ada menggunakan uang miliaran rupiah dari hasil penjualan kayu secara illegal untuk membangun usaha perkebunan besar dan sebuah PKS di Kec. Manduamas, Kab. Tapteng, akan tetapi JPU menolak (P.18 dan 19) hasil penyidikan tindak pidana pencucian uang walaupun tindak pidana asalnya (tindak pidana korupsi dan kehutanan) telah dinyatakan lengkap dan sudah inkracht. Akibatnya, asset recovery dalam prinsip penegakan hukum pidana pencucian uang dan pemberantasan tindak pidana korupsi terlanggar. Tidak ada sanksi bagi penegak hukum yang melanggar prinsip tersebut. 6. Pengalaman penegak hukum dibidang tindak pidana korupsi dengan latar belakang tindak pidana kehutanan dan tindak pidana pencucian uang sangat terbatas. Hal ini didasarkan pada data yang ada.