• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori menurut Bruggink dalam bukunya “Refleksi tentang hukum”, adalah keseluruhan pernyataan (statement, claim, bewenngen) yang saling berkaitan.7 Sedangkan kerangka teori merupakan” kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.8

Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis, menurut Soerjono Soekamto untuk penelitian hukum normatif, diperlukan kerangka teoritis lain, yang khas ilmu hukum.9

Dalam membahas mengenai analisis penegakan hukum tindak pidana pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye, penulis terlebih dahulu akan mengemukakan tentang penegakan hukum.

Kerangka teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonsrtuksi keterkaitan antara konsep secara dedukatif ataupun indukatif.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang dimaksudkan adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakan

7

M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, (Medan: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 3.

8

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80

9

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI press, Universitas Indonesia, 1986), hlm.127

kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Aristoteles dalam bukunya berjudul Politics menyimpulkan bahwa negara memang harus diperintah oleh kepala negara yang tunduk kepada hukum yang berlaku (rule of law).10

Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Didalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya:11 1. jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;

2. kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;

3. legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum;

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata12

10

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 27

.

11

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI 2008), hlm. 46-47

12

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. Vii

Dalam hal penegakan hukum sehubungan terjadinya tindak pidana pemilu maka upaya penegakan hukum yang akan dilakukan semestinya melihat kembali apa yang menjadi tujuan dari pemilu tersebut, bagaimana pengaruh pelanggaran hukum yang terjadi dihubungan dengan tujuan yang hendak dicapai pada pemilu. Pemilu di Indonesia merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada negara yang demokrasi pemilu ditandai dengan keikutsertaan partai politik sebagai peserta pemilu. Dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi, karena mereka memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintah negara (the state) dengan warga negaranya (the citizens).13

Menurut Schattscheider (1942) didalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi dikatakan “Political parties created

democracy” partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh

sebab itu, partai politik merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis.14

13

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 709, 710.

14

Penegakan hukum dalam perkara tindak pidana pemilu di Indonesia haruslah disesuaikan dengan tujuan negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terkait erat

dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materil. Pelaksanaan paham negara hukum materil akan mendukung dan mempercepat

terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia.15

Hukum itu tidak akan bisa tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak akan mampu mewujudkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur didalam undang-undang dengan sendiri, akan tetapi dalam penegakan hukum selalu melibatkan manusia yakni para penegak hukum dan juga masyarakat.

Ketika terjadi suatu peristiwa pidana dalam upaya melakukan penegakan hukum, tidak bisa terlepas dari politik kriminal atau criminal policy yaitu berupa usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana. Politik kriminal atau criminal policy merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Politik kriminal atau criminal policy pernah dikemukakan oleh Marc Ancel dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society, Sedangkan G. Peter Hoefnagels bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”.16

15

Op. Cit. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 48

16

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta, Kencana, 2008), hlm. 1 dan 2.

Adapun sejarah timbulnya criminal policy adalah dari usulan negara-negara dalam beberapa pertemuan internasional diantaranya:17

1. Kongres PBB Ke- 4 Tahun 1970 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Kyoto Jepang;

2. Kongres Ke- 5 PBB Tahun 1975 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Geneva;

3. Kongres Ke- 6 PBB Tahun 1980 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Caracas;

4. Kongres Ke- 7 PBB Tahun 1985 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Milan;

5. Kongres Ke- 8 PBB Tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Havana;

6. The International Seminar Course 1973 di Jepang tentang Reform in Criminal Justice.

Kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Kebijakan sosial dapat dimaknai sebagai suatu kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Hubungan antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial dapat digambarkan dengan skematis sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief berikut ini:18

17

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 51,52, 53, 54.

18

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op. Cit, hlm.3.

Social Welfare Policy

Social Defence

Criminal

Social Policy Tujuan

Penal

Kebijakan penanggulangan tindak pidana menurut Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal

policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana

diluar hukum pidana (non-penal policy)19

Dari uraian diatas dapat dilihat dengan jelas bahwasanya kebijakan penaggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

A. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy)

B. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non-penal policy).

Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana (penal policy) berawal dari bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (legislatif). Kebijakan yang dilakukan oleh pembuat undang-undang (legislatif) sangat berpengaruh dan menentukan kepada tahapan-tahapan penegakan hukum berikutnya. Dalam hal ini lembaga legislatif yang merumuskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan perbuatan kriminal atau tidak.

Sudarto berpendapat kriminalisasi dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses itu diakhiri

19

Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.17.

dengan terbentuknya undang-undang, dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.20

2. Kerangka Konsepsi

Supaya konsep yang dipergunakan dalam penelitian, terutama konsep-konsep yang terkait langsung dengan variabel penelitian tidak ditafsirkan berbeda, maka perlu dirumuskan kerangka konsep atau dengan menggunakan model defenisi operasional.21 Sedangkan pentingnya defenisi operasional menurut Tan Kamelo, “Untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian.22

a. Penegakan hukum

Selanjutnya penulis akan mencantumkan beberapa defenisi operasional sebagai berikut:

Menurut Andi Hamzah penegakan hukum merupakan tindakan untuk mencapai kebenaran dan keadilan.23

b. Tindak pidana pemilu

Menurut Topo Santoso tindak pidana pemilu adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam UU Pemilu maupun didalam UU Tindak Pidana Pemilu24

20

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 39-40.

. Dengan cakupan dan

21

Pedoman penulisan usulan penelitian dan tesis, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hlm. 72.

22

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 31.

23

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 158.

24

pengertian seperti ini akan dengan mudah mencari tindak pidana pemilu, yaitu didalam undang-undang pemilu.

c. Pemilihan umum (pemilu)

Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Defenisi tentang pemilu ini disebutkan pada pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008. d. Kampanye

Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu. Defenisi tentang kampanye pemilu ini disebutkan pada pasal 1 angka (26) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.

e. Pelanggaran

Pelanggaran overtrading; violation; contravention. Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang oleh undang-undang pidana ditentukan lebih ringan pidananya daripada kejahatan. Pelanggaran undang-undang,

wetschending perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang; misalnya, orang yang melanggar larangan, atau tidak melakukan kewajiban hukum pidana.25

f. Legislatif

Legislatif dapat diartikan yang berkuasa dalam merancang undang-undang. Badan legislatif berarti dewan yang berkuasa dalam merancang

undang-25

undang. Legislator berarti perancang undang, penyusun undang-undang.26

G. Metode Penelitian