• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilihan umum Pelanggaran Larangan Kampanye. Pelanggaran Larangan Kampanye

PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

C. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilihan umum Pelanggaran Larangan Kampanye. Pelanggaran Larangan Kampanye

Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) menurut Muladi didalam diktat Sistem Peradilan Pidana Mahmud mulyadi adalah sebagai suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Didalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) ini terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Gerak sistemik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi sasaran kerja sistem kerja sistem peradilan pidana (criminal

justice system) ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku

kejahatan, sasaran jangka menengah adalah pencegahan kejahatan, serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.65

Sistem peradilan pidana dari suatu negara akan terbentuk disebabkan pertumbuhan maupun perkembangan dari nilai-nilai yang terdapat dalam hukum pidana serta penegakan hukum dinegara tersebut. Faktor-faktor penyebab dari pertumbuhan dan perkembangannya dapat saja terjadi dari berbagai faktor sosial-ekonomi, kebijakan politik suatu bangsa mungkin juga pandangan filsafat bangsa tersebut, dan juga proses perkembangan sejarah dari suatu negara, serta penyebab lainnya.66 Sistem peradilan pidana erat kaitannya dengan hak tersangka dan terdakwa yang harus dilindungi berkenaan dengan adanya perlakuan dari penegak hukum dalam melakukan upaya paksa.67

Menurut Chainur Arrasjid Indonesia mempunyai 4 (empat) sub-sistem peradilan pidana terdiri dari sub-sistem Kepolisian, sub-sistem Kejaksaan, sub-sistem

65

Mahmud Mulyadi, Diktat Sistem Peradilan Pidana (Bahan Kuliah Semester Ganjil (III) Tahun Akademik 2007/2008 Konsentrasi Hukum Pidana, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU), hlm. 6.

66

Chainur Arrasjid, Diktat Sistem Peradilan Pidana, (Program S2 Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005), hlm.3.

67

O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Tersangka, Terdakwa Dan Terpidana, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 134.

Pengadilan, dan sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan. Keempat sub-sistem ini mempunyai hubungan keterkaitan di dalam sistem peradilan pidana yang berlaku.68

Dalam hal terjadi tindak pidana maka ke empat sub-sistem peradilan pidana tersebut yang akan menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing selaku penegak hukum. Ke empat sub-sistem peradilan pidana tersebut dalam menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan. Sub-sistem Kepolisian berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sub-sistem Kejaksaan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, sub-sistem Pengadilan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

Dalam perkembangannya sistem peradilan pidana (criminal justice system) selain dari sub-sistem Kepolisian, sub-sistem Kejaksaan, sub-sistem Pengadilan, dan sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan pada saat ini Advokat juga merupakan penegak hukum. Advokat sebagai penegak hukum ditegaskan didalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang menyatakan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan”.

68

Peranan Advokat sebagai bagian dari sub-sistem peradilan pidana dapat juga dilihat didalam Pasal 54 dan 56 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (K.U.H.A.P.). Pasal 54 K.U.H.A.P. menyatakan “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkatan pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Selanjutnya Pasal 56 K.U.H.A.P. menyatakan “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkatan pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”

Menurut Bagir Manan berdasarkan ketentuan undang-undang (UU No. 18 Tahun 2003), advokat adalah penegak hukum. Status ini bukanlah ciptaan undang-undang. Undang-undang hanya mengukuhkan prinsip yang sudah ada dan diterima umum. Baik ditinjau dari doktrin maupun tradisi, advokat adalah unsur penegak hukum, disamping polisi, jaksa, dan hakim atau penegak hukum lainnya. Sebagai yang mewakili atau memberi bantuan hukum kepada klien yang berperkara di pengadilan, advokat turut serta dalam proses penegakan hukum.69

Sehubungan dengan tugas, wewenang dan tanggungjawab masing-masing sub-sistem peradilan pidana dalam memproses suatu perkara pidana antara sub-sistem Kepolisian, sub-sistem Kejaksaan, sub-sistem Pengadilan dan sub-sistem Lembaga

69

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), hlm. 93, 94

Pemasyarakatan dan sub-sistem Advokat masing-masing mempunyai tugas, wewenangan dan tanggungjawab yang terpisah.

Sub-sistem Kepolisian mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan proses hukum ditingkat penyelidikan dan penyidikan. Pasal 1 Angka (4) K.U.H.A.P. menyatakan “Penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”, selanjutnya Pasal 1 Angka (1) K.U.H.A.P. menyatakan “Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

Sub-sistem Kejaksaan bertugas mengajukan dakwaan dan melakukan penuntutan terhadap terdakwa. Pasal 1 Angka (6) huruf b K.U.H.A.P. menyatakan “Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim”,

Sub-sistem Pengadilan, pada sub-sistem pengadilan hakim merupakan pejabat pada lembaga peradilan yang bertugas memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara. Pasal 1 Angka (8) K.U.H.A.P. menyatakan “Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili, selanjutnya Pasal 1 Angka (9) K.U.H.A.P. menyatakan “ Mengadili adalah serangkaian tindakan Hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang Pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai tempat bagi terpidana dalam menjalani hukumannya dan mendapatkan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Sub-sistem Advokat atau Penasihat Hukum dalam menjalankan profesinya bertugas memberikan dampingan hukum, bantuan hukum atau nasihat hukum kepada tersangka, terdakwa, terpidana pada semua tingkat proses peradilan pidana. Pasal 1 Angka (13) K.U.H.A.P. menyatakan “Penasihat Hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk member bantuan hukum. Undang-undang yang dimaksudkan adalah undang-undang yang mengatur tentang Penasihat Hukum yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Dalam perkara tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 Panwaslu mempunyai peranan yang penting untuk terlaksananya sistem peradilan pidana karena Panwaslu yang bertugas dan berwenang untuk menerima laporan, meneruskan temuan dan laporan ataupun memberi rekomendasi kepada sub-sistem peradilan pidana untuk selanjutnya dilakukan penegakan hukum secara terpadu.

Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Ayat (1), Angka 12, huruf b dan huruf e, Pasal 78 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Panwaslu mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

1. Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;

2. Meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;

3. Memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilu.

Jika dalam tahapan penyelenggaraan pemilu terjadi pelanggaran terhadap peraturan undang-undang pemilu, laporan disampaikan kepada panwaslu sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 247 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan “Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan Pemilu”. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan “Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh :

a. Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih; b. Pemantau pemilu; atau

c. Peserta pemilu.

Dari beberapa pasal didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang berhubungan dengan tugas dan wewenang Panwaslu terlihat lembaga ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam memproses suatu perkara tindak pidana pemilu, lembaga ini merupakan pintu masuk menuju ke proses peradilan pidana.

Dalam proses peradilan pidana meskipun diantara masing-masing sub-sistem dalam penegakan hukum mempunyai tugas, wewenang dan tanggungjawab secara tersendiri, semestinya masing-masing sub sistem penegak hukum berupaya agar terciptanya sistem peradilan terpadu hal ini perlu dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang efisien, efektif, dalam menemukan dan menerapkan hukum secara tepat, benar dan adil.

Sehubungan dengan sistem peradilan terpadu Bagir Manan mengemukakan sistem peradilan terpadu menyangkut hubungan antara penegak hukum. Dalam perkara pidana, kegaduhan keterpaduan terutama menyangkut hubungan antara hakim, jaksa sebagai pendakwa dan penuntut, dan polisi sebagai penyidik. Persoalan ini timbul akibat dianutnya “konsep kemandirian masing-masing penegak hukum”. Konsep kemandirian ini secara idealistik bertujuan agar masing-masing penegak hukum dapat berkiprah tanpa terpengaruh oleh unsur penegak hukum lain. Tidak ada unsur penegak hukum yang membawakan atau dibawakan satu sama lain seperti didapati dalam tata peradilan yang diatur dalam Rechterlijke Organisatie atau RO (1847).Hubungan antar penegak hukum semata-mata atas dasar kemitraan.70 Kemandirian masing-masing sub-sistem penegak hukum dalam perjalanannya dijumpai berbagai masalah yang mempengaruhi proses peradilan. Hal ini terjadi karena ada beberapa hal yang terlupakan yakni:71

Pertama; kebebasan suatu alat kelengkapan negara atau organ pemerintah

yang mengandung muatan kekuasaan seperti kebebasan hakim dapat menjadi tempat berlindung bagi penyalahgunaan kekuasaan, bahkan kesewenang-wenangan dalam menjalankan kekuasaan. Karena itu, dalam sistem apapun yang memberikan wewenang mandiri atau bebas bagi alat-alat kelengkapan tau organ-organ dalam suatu organisasi harus disertai pula dengan penciptaan sistem kontrol baik dalam bentuk sistem pertanggungjawaban maupun sistem

checks and balances antara berbagai organ tersebut.

70

Ibid, hlm. 94.

71

Kedua ; badan-badan penegak hukum yang mandiri bekerja untuk satu objek yang sama yaitu proses peradilan (proses mengadili). Berbagai tahapan atau tingkatan proses akan menentukan keberhasilan setiap tingkat proses selanjutnya, dan yang lebih penting akan menentukan keluaran akhir (output) dari keseluruhan proses.

Ketiga ; perkembangan secara berlebihan sifat dan sikap sektarian antara penegak hukum atau lazim disebut sebagai “ego sektoral”.

Dari beberapa permasalahan antar masing-masing sub-sistem penegakan hukum dalam mewujudkan sitem peradilan terpadu untuk mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang efisien, efektif, dalam menemukan dan menerapkan hukum secara tepat, benar dan adil. Bagir Manan mengemukakan ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam upaya mewujudkan sistem peradilan terpadu:72

Pertama; harus diciptakan sistem checks and balances antar lembaga penegak hukum, agar seluruh proses sebagai satu kesatuan dapat lebih menjamin suatu proses dan keluaran peradilan yang efisien, efektif, produktif, tepat, benar, dan adil yang akan memberi rasa puas (staisfaction) baik bagi pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya.

Kedua; tumbuhnya kesadaran bekerja sama dan rasa tanggungjawab untuk

saling menunjang keberhasilan pada setiap proses peradilan. Kerjasama ini bukan saja menjamin kesempurnaan setiap proses, tetapi untuk segera mengambil langkah-langkah apabila suatu proses diketahui atau diyakini dijalankan dengan tidak sempurna untuk menuju keluaran tertentu.

Harmonisasi dan hubungan kemitraan antara sub-sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub-sistem kepolisian, sub-sistem kejaksaan, sub-sistem pengadilan, sub-sistem kemasyarakatan, dan sub-sistem advokat sangat diperlukan guna mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang efisien, efektif, dalam menemukan dan menerapkan hukum secara tepat, benar dan adil. namun jangan sampai hubungan kemitraan antara sub-sistem peradilan pidana tersebut disalahgunakan untuk

72

menutupi kekurangan dan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu sub-sistem sehingga melanggar hak-hak masyarakat pencari keadilan.

Dalam upaya penegakan hukum dalam perkara pidana pemilu tentang pelanggaran larangan kampanye pada pemilu legislatif tahun 2009, tindak pidana tersebut diatur didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, dengan demikian maka sistem peradilan pidana yang tepat diterapkan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (K.U.H.A.P.).

Berdasasarkan Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (K.U.H.A.P.) maka komponen-komponen yang bekerja dalam system ini adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat. Khusus untuk permasalahan Pemilu ditambah dengan Laporan Panwaslu.

Ketika terjadi tindak pidana pemilu maka dalam upaya penegakan hukumnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 mengatur tentang jangka waktu penyelesaiannya dengan batasan waktu yang sangat singkat, karenanya penegakan hukum tindak pidana pemilu harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan sederhana serta profesional hal ini diperlukan agar dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu nilai-nilai demokrasi dapat terjaga dengan baik.

Dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu telah dibentuk Sentra Penegakan Hukum Terpadu (SENTRA GAKUMDU) sebagai lembaga yang merupakan wadah penanganan tindak pidana pemilu yang didasarkan pada kesepahaman bersama antara Jaksa Agung Republik Indonesia, kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum, Nomor 055/A/JA/VI/2008, Nomor

B/06/VI/2008, Nomor 01/BAWASLU/KB/VI/2008 tertanggal 27 Juni 2008, tentang “Sentra Penegakan Hukum Terpadu dan Pola Penangan Perkara Tindak Pidana Pemilu Legislatif Tahun 2009”. Dengan terbentuknya wadah penegakan hukum tindak pidana pemilu terpadu ini diharapkan dapat diwujudkan penanganan pelanggaran/tindak pidana pemilu sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak yang pada akhirnya dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.73

D. Penegakan Hukum Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilihan Umum