ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009
TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE (STUDI KASUS : PUTUSAN NOMOR : 199/PID/2009/PT.MDN)
TESIS
Oleh :
097005026/HK DODI CANDRA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009
TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE (STUDI KASUS : PUTUSAN NOMOR : 199/PID/2009/PT.MDN)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
097005026/HK DODI CANDRA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009 TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE
(STUDI KASUS: PUTUSAN NOMOR:
199/PID/2009/PT.MDN) Nama Mahasiswa : Dodi Candra
Nomor Pokok : 097005026
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
K e t u a
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum)
(Dr. Faisal Akbar Nasution,SH, M.Hum)
A n g g o t a A n g g o t a
(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 15 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum ANGGOTA : 1. Dr. Faisal Akbar Nasution,SH, M.Hum
ABSTRAK
Pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung merupakan perwujutan kedaulatan rakyat. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum legislatif tahun 2009 bertujuan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewaan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.
Dalam tahapan penyelenggaraan pemilihan umum legislatif tahun 2009 jika terjadi tindak pidana pemilihan umum laporan disampaikan kepada pengawas pemilu. Dalam upaya penegakan hukum perkara tindak pidana pemilihan umum sistem peradilan pidana terdiri dari sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan, sub sistem advokat, dan sub sistem lembaga pemasyarakatan.
Perkara tindak pidana pemilihan umum yang disangkakan dan didakwakan terhadap H. Iskan Qolab Lubis, MA, karena diduga melanggar pasal 84 ayat (1) huruf i jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 sehubungan adanya temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun berupa penempelan pemasangan contoh cara mencontreng surat suara pemilihan umum legislatif tahun 2009, berlogo Komisi Pemilihan Umum, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat, persoalan ini semestinya dapat diselesaikan diluar proses hukum pidana (non-penal
policy). Menurut Hoefnagels penyelesaian non-penal policy dapat dilakukan
diantaranya dengan penggunaan hukum sivil dan hukum administratif (administrative & civil law).
kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding sebagai upaya hukum terakhir ke Pengadilan Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan dalam putusannya Nomor : 199/PID/2009/PT.MDN menolak permohonan banding Jaksa Penuntut Umum dengan pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 tidak mengatur acara pemeriksaan ditingkat banding maka selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan mengunakan K.U.H.A.P. sedangkan menurut pasal 67 K.U.H.A.P. terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan banding.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, data yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library
research) dilengkapi dengan melakukan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Padangsidimpuan Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp Jo Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN.
Kata Kunci :
- Penegakan Hukum,
KATA PENGANTAR
ﻡﻴﺤﻠﺍﻦﻤﺤﺭﻟﺍ ﷲﺍ ﻡﺴﺑ
Innalhamdalillah, segala kesyukuran penulis hanyalah kepada Allah
Subhanaatu Wa Ta’ala yang senantiasa memberikan nikmat, rahmat dan karunia yang
tak terhingga kepada hamba-hamba-Nya. Shalawat dan salam penulis haturkan
kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu `Alaihi Wassalam semoga kita mendapat
syafaat diakhirat kelak.
Kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sungguh dirasakan sebagai
rezeki yang tak disangka-sangka dan menjadi bagian dari perjalan diri penulis.
Dengan mengharapkan ridho Allah Subhanaatu Wa Ta’ala penulis dapat
menyelesaikan Tesis dengan Judul : ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK
PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF
TAHUN 2009 TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE (STUDI
KASUS : PUTUSAN NOMOR : 199/PID/2009/PT.MDN).
Tugas akhir ini disusun sebagai satu bagian dari syarat untuk memperoleh
gelar Magister Hukum (MH) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penyelesaian Tesis ini, penulis banyak
memperoleh bantuan dari berbagai pihak baik berupa moril maupun materil. Pada
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc. (CTM), Sp.A (K), sebagai
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, sebagai Ketua Komisi
Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahan
dalam penyelesaian tesis ini.
5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum, sebagai Anggota Komisi
Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan dalam
penyelesaian tesis ini.
6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, sebagai Anggota Komisi Pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan dalam penyelesaian
tesis ini.
7. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Penguji yang telah
memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
8. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum, sebagai Penguji yang telah
memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
9. Bapak dan Ibu Dosen yang telah menyampaikan ilmu pengetahuan yang
10. Para staf di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
11. Rekan-rekan pada Kantor Advokat/Penasihat Hukum “DODI CANDRA,SH” &
Rekan, yang telah bersama-sama berjuang dalam penegakan hukum.
12. Irwansyah, SH, MH, dan Ganda Maulana, S.Ag, SH (Direktur dan Sekretaris
Pusat Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Indonesia Cabang Sumatera
Utara) serta semua rekan-rekan yang selama ini sama-sama berjuang dalam
penegakan hukum dan hak asasi manusia. Juga selalu memberikan dukungan
dan bantuan dalam pendidikan ini.
Teristimewa penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Abah dan Omak (Rasyid Bakar dan Masni) yang telah mendidik, mengasuh dan
selalu mendo’akan untuk kesehatan dan keberhasilan anaknya. Begitu juga
Bapak dan Ibu mertua (H. Muhammad. Amin Simanjuntak dan Hj. Asriah
Nasution) dan semua keluarga di Panyabungan.
2. Istri (Amiria Agustina, Am. Keb) yang selalu sabar dan memberikan dukungan
untuk melanjutkan pendidikan. Anak-anakku tersayang (Muhammad Fahri
Candra dan Muhammad Fajri Candra).
3. Sanak, saudara, keluarga besar penulis yang selalu memberikan dukungan
kepada penulis dalam mengikuti pendidikan.
4. Rekan-rekan sekalian yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dan semua
Akhir kata, penulis menyadari bahwa materi yang terdapat dalam tesis ini
masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan tesis ini senantiasa penulis harapkan.
Dengan mengharap ridho Allah Subhanaatu Wa Ta’ala semoga tesis ini dapat
memberikan banyak manfaat, sehingga memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
khususnya di bidang penegakan hukum tindak pidana pemilihan umum legislatif
tentang pelanggaran larangan kampanye.
Jazakumullah Khairan Katsira
Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Medan, Agustus 2011
Penulis,
(Dodi Candra)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Dodi Candra
Tempat / Tgl Lahir : Peranap / 27 Juli 1976
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Advokat
Pendidikan :
1. Sekolah Dasar Negeri 001 Peranap (Lulus Tahun 1988) 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 01 Peranap (Lulus
Tahun 1991)
3. Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Peranap (Lulus Tahun 1994)
4. Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan (Lulus Tahun 1999)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………... i
ABSTRACT ……….... iii
KATA PENGANTAR ………... v
RIWAYAT HIDUP ………... ix
DAFTAR ISI ……….. x
BAB I: PENDAHULUAN ……….1
A. Latar Belakang ………..………..….…...1
B. Rumusan Masalah ………..………..12
C. Tujuan Penelitian ………..………12
D. Manfaat Penelitian ………13
E. Keaslian Penelitian ………...13
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ………..14
G. Metode Penelitian ……….22
BAB II: KEWENANGAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE………...25
B. Tugas Dan Wewenang Pengawas Pemilihan Umum…………...29
BAB III: PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA…....…37
A. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Pemilihan Umum Dalam Sistem Hukum Di Indonesia……….……….37
B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilihan Umum Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye .……..………...………52
C. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilihan Umum Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye………...59
D. Penegakan Hukum Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilihan Umum Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye………...68
BAB IV: AKIBAT HUKUM TERHADAP CALON LEGISLATIF YANG MENJADI TERSANGKA DALAM MENGIKUTI TAHAPAN PEMILIHAN UMUM…...…………115
A. Proses dan Syarat Untuk Menjadi Calon Legislatif Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009………..115
B. Akibat Hukum Terhadap Calon Legislatif yang Menjadi Tersangka Dalam Mengikuti Tahapan Pemilihan Umum………123
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN………..…..129
A. Kesimpulan………..………129
B. Saran…..………..130
ABSTRAK
Pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung merupakan perwujutan kedaulatan rakyat. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum legislatif tahun 2009 bertujuan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewaan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.
Dalam tahapan penyelenggaraan pemilihan umum legislatif tahun 2009 jika terjadi tindak pidana pemilihan umum laporan disampaikan kepada pengawas pemilu. Dalam upaya penegakan hukum perkara tindak pidana pemilihan umum sistem peradilan pidana terdiri dari sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan, sub sistem advokat, dan sub sistem lembaga pemasyarakatan.
Perkara tindak pidana pemilihan umum yang disangkakan dan didakwakan terhadap H. Iskan Qolab Lubis, MA, karena diduga melanggar pasal 84 ayat (1) huruf i jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 sehubungan adanya temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun berupa penempelan pemasangan contoh cara mencontreng surat suara pemilihan umum legislatif tahun 2009, berlogo Komisi Pemilihan Umum, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat, persoalan ini semestinya dapat diselesaikan diluar proses hukum pidana (non-penal
policy). Menurut Hoefnagels penyelesaian non-penal policy dapat dilakukan
diantaranya dengan penggunaan hukum sivil dan hukum administratif (administrative & civil law).
kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding sebagai upaya hukum terakhir ke Pengadilan Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan dalam putusannya Nomor : 199/PID/2009/PT.MDN menolak permohonan banding Jaksa Penuntut Umum dengan pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 tidak mengatur acara pemeriksaan ditingkat banding maka selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan mengunakan K.U.H.A.P. sedangkan menurut pasal 67 K.U.H.A.P. terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan banding.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, data yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library
research) dilengkapi dengan melakukan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Padangsidimpuan Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp Jo Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN.
Kata Kunci :
- Penegakan Hukum,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pemilihan umum untuk selanjutnya disebut pemilu yang diselenggarakan
secara langsung merupakan perwujutan kedaulatan rakyat. Pengakuan tentang
kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan didalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang menyatakan “pemilihan umum untuk selanjutnya disebut
pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
Makna dari kedaulatan rakyat tersebut adalah:1 pertama rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintah guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat. Kedua rakyat memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.
1
Tujuan pemilu menurut ketentuan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Tujuan pemilu legislatif tahun 2009 menurut ketentuan Pasal 1 angka (2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 adalah untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa pemilihan umum
tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi
suatu negara yang menyebutnya sebagai negara yang demokrasi, pemilihan umum itu
harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu.2
Komisi Pemilihan Umum untuk selanjutnya disebut KPU adalah suatu
lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk menyelenggarakan
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sebagaimana diatur pada
Pasal 22E, Angka 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penyelenggaraan pemilu oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mendiri
merupakan amanat konstitusi. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi
2
perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan
demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemikiran Hatta tentang demokrasi (untuk Indonesia), yaitu kedaulatan rakyat
atau demokrasi dalam kehidupan politik dan ekonomi, berdasarkan nilai-nilai
kebersamaan dan kekeluargaan, yang menunjukan perbedaannya yang nyata dengan
demokrasi barat.3
Pemilihan umum di Indonesia sebagai salah satu upaya mewujudkan negara
yang demokrasi haruslah dapat dilaksanakan dengan baik, wilayah Negara Indonesia
yang luas dan jumlah penduduk yang besar dan menebar di seluruh nusantara serta
memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilihan umum yang
profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
4
Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat
terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai
integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas, sebagaimana dimaksud pada huruf (b)
Pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu.
Dalam hal ini diharapkan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dapat
melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu terlepas dari pengaruh serta
kepentingan dari pihak manapun.
3
Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara), hlm. 183.
4
Adapun yang menjadi peserta pada pemilu legislatif tahun 2009 untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota adalah partai politik. Sedangkan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. Ketentuan
tentang peserta pemilu ini diatur pada Pasal 7 dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.
Dalam pelaksanaan pemilu meskipun telah ada undang-undang serta peraturan
yang khusus mengatur tentang pelaksanaan pemilu supaya dapat berjalan dengan baik
namun masih juga terjadi pelanggaran dan kecurangan. Pelanggaran dan kecurangan
ada yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, oleh peserta pemilu dan bahkan oleh
masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu pengawasan supaya pemilu
benar-benar dapat dilaksanakan berdasarkan asas pemilu sebagaimana dimaksud pada
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang
menyatakan pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Adapun yang menjadi pengawas untuk selanjutnya disebut panwaslu dalam
penyelenggaraan pemilu diatur dalam ketentuan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pengawasan
penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu
Kabupaten/Kota, Paswaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas
Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan
ekstern yang dilakukan oleh Bawaslu serta Panwaslu Provinsi, Panwaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas
Pemilu Luar Negeri. Pembentukan Pengawas Pemilu tersebut tidak dimaksudkan
untuk mengurangi kemandirian dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara
pemilu.5
Dengan adanya pengawasan terhadap penyelenggara pemilu dari dalam dan
dari luar lembaga penyelenggara diharapkan pemilu dapat terlaksana dengan
demokratis dan memenuhi asas pemilu.
Pada tahapan pelaksanaan pemilu, Panwaslu baik di pusat maupun di daerah
berhak melakukan pengawasan terhadap peserta pemilu dan juga terhadap
penyelenggara pemilu. Apabila dalam tahapan pemilu ditemukan adanya pelanggaran
maka panwaslu akan melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya.
Jika dari data dan fakta yang ditemukan panwaslu menganggap telah terjadi
pelanggaran administrasi maka persoalan tersebut dapat dilimpahkan kepada KPU,
Jika panwaslu menemukan adanya pelanggaran pidana maka perkara tersebut akan
dilanjutkan kepada pihak kepolisian selaku penyidik.
Pada pemilu legislatif tahun 2009 KPU telah menetapkan partai politik yang
menjadi peserta pemilu yaitu terdiri dari 34 (tiga puluh empat) partai politik nasional
dan 6 (enam) partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.
Adapun nama dan nomor urut partai politik nasional pada pemilu legislatif tahun 2009 adalah :6
1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 2. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)
3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) 4. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
5. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 6. Partai Barisan Nasional (Barnas)
7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
9. Partai Amanat Nasional (PAN)
10.Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) 11.Partai Kedaulatan
12.Partai Persatuan Daerah (PPD) 13.Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 14.Partai Pemuda Indonesia (PPI)
15.Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenis 16.Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) 17.Partai Karya Perjuangan (PKP)
18.Partai Matahari Bangsa (PMB)
19.Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) 20.Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) 21.Partai Republika Nusantara (PRN) 22.Partai Pelopor
23.Partai Golkar
24.Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 25.Partai Damai Sejahtera (PDS)
26.Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI) 27.Partai Bulan Bintang (PBB)
28.Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) 29.Partai Bintang Reformasi (PBR)
30.Partai Patriot 31.Partai Demokrat
32.Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) 33.Partai Indonesia Sejahtera (PIS)
34.Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
Partai Politik sebagai peserta pemilu menunjuk anggota ataupun kader partai
untuk menjadi calon legislatif. Untuk dapat memperoleh kursi legislatif partai politik
6
dan calon legislatif harus bisa mendapatkan dukungan suara dari pemilih. Untuk
mendapatkan perolehan suara yang maksimal dari pemilih, partai politik dan calon
legislatif akan melakukan berbagai upaya diantaranya dengan melakukan kampanye
atau sosialisasi kepada pemilih.
Menurut ketentuan Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2008 pelaksana kampanye pada pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota terdiri dari pengurus partai politik, calon anggota legislatif,
juru kampanye, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Selanjutnya menurut ketentuan pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2008, kampanye pemilu dapat dilaksanakan melalui:
a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka;
c. media massa cetak dan media massa elektronik; d. penyebaran bahan kampanye kepada umum; e. pemasangan alat peraga ditempat umum; f. rapat umum, dan
g.kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan perundang-undangan;
Pada Pemilu Legislatif tahun 2009, Partai Keadilan Sejahtera nomor urut (8)
sebagai salah satu partai peserta pemilu mengajukan kader partai sebagai calon
legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan
Salah satu calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dari Partai Keadilan Sejahtera untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera
Utara II adalah H. Iskan Qolba Lubis, MA.
H. Iskan Qolba Lubis, MA, sebagai salah seorang calon legislatif dalam upaya
untuk mendapatkan dukungan suara dari masyarakat pernah melakukan kampanye
dan sosialisasi kepada masyarakat disekitar rumah orang tuanya di pasar Sibuhuan,
Kecamatan Ulu Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara.
Salah satu bentuk sosialisai yang dilakukan adalah memperagakan cara mencontreng
pada saat pemilu dengan menunjukan contoh surat suara yang berlogo KPU, nama
dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera
terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA Calon Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia pada urutan ke-1.
Pada hari Sabtu, tanggal 31 Januari 2009 Ketua Panwaslu Kecamatan Ulu
Barumun menerima laporan bahwa di kedai kopi milik Nazaruddin Nasution di Desa
Pasar Ipuh, Kecamatan Ulu Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera
Utara dan di kedai kopi milik Indo Hasibuan, di Desa Paringgonan, Kecamatan Ulu
Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara telah terpasang
selebaran contoh cara mencontreng surat suara pemilu tahun 2009, berlogo KPU,
kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai
Keadilan Sejahtera nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA sebagai calon
Menurut Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun pemasangan contoh cara
mencontreng surat suara pemilu legislatif tahun 2009, berlogo KPU, kemudian nama
dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera,
nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA calon legislatif untuk Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesi pada urutan ke-1, hal tersebut termasuk
pelanggaran terhadap larangan kampanye sebagaimana dimaksud Pasal 84 ayat (1)
huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan
“Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang: membawa atau menggunakan
tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta
Pemilu lain yang bersangkutan”.
Temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun ini kemudian diberitahukan
kepada Panwaslu Kabupaten Padang Lawas. Panwaslu Kabupaten Padang Lawas
berpendapat bahwa temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun berupa pemasangan
contoh cara mencontreng surat suara pemilu legislatif tahun 2009, berlogo KPU,
kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai
Keadilan Sejahtera, nomor (8) terdapat nama H.Iskan Qolba Lubis, MA sebagai calon
legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada urutan ke-1,
merupakan tindak pidana pemilu. Kemudian persoalan tersebut dilimpahkan kepada
Kepolisian Resort Tapanuli Selatan untuk proses penyidikan.
Kepolisian Resort Tapanuli Selatan setelah menerima laporan dari Panwaslu
Kabupaten Padang Lawas kemudian menjadikan H.Iskan Qolba Lubis, MA sebagai
atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan
atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 84
ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2008. Kemudian perkara pidana pemilu ini oleh Kepolisian Resor Tapanuli Selatan
dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan.
Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan kemudian menetapkan H. Iskan Qolba
Lubis, MA sebagai terdakwa dalam perkara tindak pidana pemilu “membawa atau
menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan atau
atribut peserta pemilu yang bersangkutan” sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2008.
Pengadilan Negeri Padangsidimpuan telah memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pidana atas nama terdakwa H. Iskan Qolba Lubis,MA, dalam
putusannya menyatakan terdakwa H. Iskan Qolba Lubis,MA tidak terbukti bersalah
melakukan tindak pidana membawa atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut
lain selain dari tanda gambar dan atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 (Putusan No: 116/Pid.B/2009/PN Psp).
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan kemudian
mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan
menyatakan menolak permohonan banding Jaksa Penuntut Umum, (Putusan Nomor:
Jika dilihat dari contoh kasus tindak pidana pada pemilu legislatif tahun 2009
sebagaimana diuraikan diatas, kemudian dibandingkan dengan upaya penegakan
hukum yang dilakukan, terlihat begitu rumitnya upaya penegakan hukum yang
dilakukan mulai dari penyidikan dikepolisian, penututan oleh Jaksa Penuntut Umum,
persidangan di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, kemudian upaya hukum banding
di Pengadilan Tinggi Medan.
Demikian juga H. Iskan Qolba Lubis,MA, sebagai calon legislatif semestinya
konsentrasi dalam melaksanakan kampanye kepada masyarakat, akan tetapi akhirnya
disibukan oleh proses hukum dalam perkara pidana pemilu tersebut mulai dari
penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan.
Dari uraian yang telah penulis kemukakan tentang pemilu di Indonesia
khususnya tentang pemilu legislatif tahun 2009 beserta tahapannya dan upaya
penegakan hukum yang dilakukan dengan mengajukan contoh kasus, memotifasi
penulis untuk melakukan penelitian dan menganalisis terhadap penegakan hukum
tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan
kampanye. Dalam perkara pidana atas nama terdakwa H. Iskan Qolba Lubis, MA
Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Jo. Perkara
pidana Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN. di Pengadilan Tinggi Medan, tentang
membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu lain
selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud pada pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan pada latar belakang di atas,
penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan dari Pengawas Pemilihan Umum dalam
menangani perkara tindak pidana Pemilihan Umum tentang pelanggaran
larangan kampanye.
2. Bagaimana sistem pengaturan tindak pidana pemilihan umum dalam
penegakan hukum di Indonesia.
3. Bagaimana akibat hukum terhadap calon legislatif yang menjadi tersangka
dalam mengikuti tahapan pemilihan umum.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kewenangan dari Pengawas Pemilu dalam menangani
perkara tindak pidana Pemilu tentang pelanggaran larangan kampanye.
2. Untuk mengetahui system pengaturan tindak pidana pemilu dalam
penegakan hukum di Indonesia.
3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap calon legislatif yang menjadi
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis
penelitian ini diharapkan dapat memeberikan manfaat dalam bentuk
sumbangan pemikiran dan saran demi kemajuan dan perkembangan ilmu
hukum khususnya yang berhubungan dengan upaya penegakan hukum dalam
perkara tindak pidana pemilu legislatif tentang pelanggaran larangan
kampanye.
2. Secara praktek
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, menjadi masukan dan membantu
semua lapisan masyarakat terutama pengurus partai politik, calon legislatif,
para penegak hukum untuk lebih memahami tentang tindak pidana pemilu
pada pemilu legislatif, khususnya tentang pelanggaran larangan kampanye.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada dan yang sedang dilaksanakan pada
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Tesis mengenai “Analisis Penegakan
Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun
2009 Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye (Studi Kasus : Putusan Pengadilan
Negeri Padangsidimpuan Nomor: 116/Pid.B/2009 PN Psp Jo. Putusan Pengadilan
Tinggi Medan Nomor: 199/PID/2009/PT.Mdn)” belum pernah dilakukan oleh
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori menurut Bruggink dalam bukunya “Refleksi tentang hukum”, adalah
keseluruhan pernyataan (statement, claim, bewenngen) yang saling berkaitan.7
Sedangkan kerangka teori merupakan” kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.8
Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis,
menurut Soerjono Soekamto untuk penelitian hukum normatif, diperlukan kerangka
teoritis lain, yang khas ilmu hukum.9
Dalam membahas mengenai analisis penegakan hukum tindak pidana pemilu
legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye, penulis terlebih dahulu
akan mengemukakan tentang penegakan hukum.
Kerangka teoritis dalam penulisan ilmiah
berfungsi sebagai pemandu untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena dan atau
objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonsrtuksi keterkaitan antara konsep
secara dedukatif ataupun indukatif.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang
dimaksudkan adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakan
7
M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, (Medan: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 3.
8
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80
9
kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.
Aristoteles dalam bukunya berjudul Politics menyimpulkan bahwa negara memang
harus diperintah oleh kepala negara yang tunduk kepada hukum yang berlaku (rule of
law).10
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita
melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law),
kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan
cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Didalam
penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya:11
1. jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;
3. legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga
negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum;
Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide,
cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum
memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus
mampu diwujudkan dalam realitas nyata12
10
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 27
.
11
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI 2008), hlm. 46-47
12
Dalam hal penegakan hukum sehubungan terjadinya tindak pidana pemilu
maka upaya penegakan hukum yang akan dilakukan semestinya melihat kembali apa
yang menjadi tujuan dari pemilu tersebut, bagaimana pengaruh pelanggaran hukum
yang terjadi dihubungan dengan tujuan yang hendak dicapai pada pemilu. Pemilu di
Indonesia merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan
pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada negara yang demokrasi pemilu ditandai dengan keikutsertaan partai
politik sebagai peserta pemilu. Dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada
pokoknya memiliki kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting
dalam setiap sistem demokrasi. Partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi,
karena mereka memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara
pemerintah negara (the state) dengan warga negaranya (the citizens).13
Menurut Schattscheider (1942) didalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok
Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi dikatakan “Political parties created
democracy” partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh
sebab itu, partai politik merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat
penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization)
dalam setiap sistem politik yang demokratis.14
13
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 709, 710.
14
Penegakan hukum dalam perkara tindak pidana pemilu di Indonesia haruslah
disesuaikan dengan tujuan negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terkait erat
dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materil.
Pelaksanaan paham negara hukum materil akan mendukung dan mempercepat
terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia.15
Hukum itu tidak akan bisa tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak
akan mampu mewujudkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur didalam
undang-undang dengan sendiri, akan tetapi dalam penegakan hukum selalu melibatkan
manusia yakni para penegak hukum dan juga masyarakat.
Ketika terjadi suatu peristiwa pidana dalam upaya melakukan penegakan
hukum, tidak bisa terlepas dari politik kriminal atau criminal policy yaitu berupa
usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana. Politik
kriminal atau criminal policy merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum
(law enforcement policy). Politik kriminal atau criminal policy pernah dikemukakan
oleh Marc Ancel dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the
control of crime by society, Sedangkan G. Peter Hoefnagels bahwa “Criminal policy
is the rational organization of the social reaction to crime”.16
15
Op. Cit. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 48
16
Adapun sejarah timbulnya criminal policy adalah dari usulan negara-negara dalam beberapa pertemuan internasional diantaranya:17
1. Kongres PBB Ke- 4 Tahun 1970 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Kyoto Jepang;
2. Kongres Ke- 5 PBB Tahun 1975 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Geneva;
3. Kongres Ke- 6 PBB Tahun 1980 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Caracas;
4. Kongres Ke- 7 PBB Tahun 1985 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Milan;
5. Kongres Ke- 8 PBB Tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Havana;
6. The International Seminar Course 1973 di Jepang tentang Reform in Criminal Justice.
Kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari
kebijakan sosial. Kebijakan sosial dapat dimaknai sebagai suatu kebijakan untuk
mencapai kesejahteraan sosial.
Hubungan antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial dapat
digambarkan dengan skematis sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief
berikut ini:18
17
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 51,52, 53, 54.
18
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op. Cit, hlm.3.
Social Welfare Policy
Social Defence
Criminal
Social Policy Tujuan
Penal
Kebijakan penanggulangan tindak pidana menurut Teguh Prasetyo dan Abdul
Halim Barkatullah dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan
penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal
policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana
diluar hukum pidana (non-penal policy)19
Dari uraian diatas dapat dilihat dengan jelas bahwasanya kebijakan
penaggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
A. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum
pidana (penal policy)
B. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana diluar
hukum pidana (non-penal policy).
Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana
(penal policy) berawal dari bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dengan baik dan
memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (legislatif). Kebijakan yang
dilakukan oleh pembuat undang-undang (legislatif) sangat berpengaruh dan
menentukan kepada tahapan-tahapan penegakan hukum berikutnya. Dalam hal ini
lembaga legislatif yang merumuskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan
perbuatan kriminal atau tidak.
Sudarto berpendapat kriminalisasi dapat diartikan sebagai proses penetapan
suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses itu diakhiri
19
dengan terbentuknya undang-undang, dimana perbuatan itu diancam dengan suatu
sanksi berupa pidana.20
2. Kerangka Konsepsi
Supaya konsep yang dipergunakan dalam penelitian, terutama
konsep-konsep yang terkait langsung dengan variabel penelitian tidak ditafsirkan berbeda,
maka perlu dirumuskan kerangka konsep atau dengan menggunakan model defenisi
operasional.21 Sedangkan pentingnya defenisi operasional menurut Tan Kamelo,
“Untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari
suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan
pada proses penelitian.22
a. Penegakan hukum
Selanjutnya penulis akan mencantumkan beberapa defenisi
operasional sebagai berikut:
Menurut Andi Hamzah penegakan hukum merupakan tindakan untuk
mencapai kebenaran dan keadilan.23
b. Tindak pidana pemilu
Menurut Topo Santoso tindak pidana pemilu adalah semua tindak pidana yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam UU Pemilu
maupun didalam UU Tindak Pidana Pemilu24
20
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 39-40.
. Dengan cakupan dan
21
Pedoman penulisan usulan penelitian dan tesis, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hlm. 72.
22
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 31.
23
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 158.
24
pengertian seperti ini akan dengan mudah mencari tindak pidana pemilu, yaitu
didalam undang-undang pemilu.
c. Pemilihan umum (pemilu)
Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Defenisi tentang pemilu ini disebutkan pada
pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.
d. Kampanye
Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para
pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu. Defenisi
tentang kampanye pemilu ini disebutkan pada pasal 1 angka (26)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.
e. Pelanggaran
Pelanggaran overtrading; violation; contravention. Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang oleh undang-undang pidana ditentukan lebih ringan pidananya daripada kejahatan. Pelanggaran undang-undang,
wetschending perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang; misalnya, orang yang melanggar larangan, atau tidak melakukan kewajiban hukum pidana.25
f. Legislatif
Legislatif dapat diartikan yang berkuasa dalam merancang undang-undang.
Badan legislatif berarti dewan yang berkuasa dalam merancang
undang-25
undang. Legislator berarti perancang undang, penyusun
undang-undang.26
G. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal
(doctrinal reaserch) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik
yang tertulis didalam buku (law as is written in the book), maupun hukum
yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by
the judge through judicial process).27
Adapun data yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diperolah
dari penelitian penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik
pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan
perundang-undangan, buku-buku karya ilmiah, bahan kuliah, putusan
pengadilan, serta sumber data lainnya yang dibahas oleh penulis.
Tentang penggunaan pendekatan yuridis normatif pada penelitian ini
karena masalah yang akan diteliti berkisar mengenai keterkaitan beberapa
peraturan undang-undang sehubungan dengan penegakan hukum tindak
26
Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern English Press, 2002) hlm. 848.
27
pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan
kampanye.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif maksudnya
penelitian dengan menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks
teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang
penerapan peraturan perundang-undangan dalam kasus tindak pidana pemilu
pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye.
(Studi kasus perkara pidana Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan
Negeri Padangsidimpuan Jo. Perkara pidana Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN. di
Pengadilan Tinggi Medan).
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara:
Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui
pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur,
tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan pengadilan dalam perkara
pidana Nomor: 116/Pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan
Jo. Putusan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN di Pengadilan Tinggi Medan, yang
4. Analisis Data
Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan ditelaah dan dianalisis
berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan:
1. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum
(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi
terhadap bahan hukum tersebut.
2. Mengelompokan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau
berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah aspek hukum
pidana terkait dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu tentang
pelanggaran larangan kampanye dalam hal menggunakan tanda gambar dan
atau atribut selain partai yang bersangkutan.
3. Menemukan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan kemudian
diolah.
4. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai peraturan
perundang-undangan dengan permasalahan, kemudian dianalisis secara
deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan
BAB II
KEWENANGAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM
PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE
A. Pengertian Tindak Pidana Pemilihan Umum.
Didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 terdapat
ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana yang berhubungan dengan Pemilu. Selain
itu didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga terdapat
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan tindak pidana Pemilu.
Walaupun ada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
mengatur tentang tindak pidana pemilu, akan tetapi tidak ada satupun peraturan
perundang-undangan dimaksud yang memberikan defenisi pengertian tindak pidana
pemilu.
Adanya defenisi tentang tindak pidana pemilu merupakan suatu yang penting
untuk membantu membedakan antara tindak pidana pemilu dengan tindak pidana
lainnya, defenisi diperlukan supaya ada pemahaman yang sama antara penegak
hukum, penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, peserta pemilu dan semua lapisan
masyarakat tentang tindak pidana pemilu.
Sebelum meguraikan defenisi tentang tindak pidana pemilu, penulis akan
menguraikan terlebih dahulu defenisi tentang tindak pidana secara umum. Adapun
defenisi tindak pidana menurut pendapat bebrapa ahli hukum adalah sebagai berikut:
dipergunakan dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Subversi). Sedangkan didalam beberapa keputusan sering dipakai istilah pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perkara hukuman perdata, dan lain sebagainya. Didalam ilmu pengetahuan hukum, secara universal dikenal dengan istilah “delik”28.
Delik bukan saja berarti tindakan aktif dari pelaku tindak pidana akan tetapi
dapat juga diartinkan dalam bentuk pengabaian ataupun kelalaian seseorang dalam
suatu peristiwa pidana yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian.
Andi Hamzah mengemukakan, delik, delict, strafbaar feit, pffence, criminal act. Istilah yang umum dipakai dalam perundang-undangan Indonesia ialah “tindak pidana”, suatu istilah yang sebenarnya tidak tepat, karena delik itu dapat dilakukan tanpa berbuat atau bertindak, yang disebut pengabaikan (Belanda: nalaten; Inggris, negligence) perbuatan yang diharuskan. Oleh karena itu, orang Belanda memakai istilah strafbaar feit, yang jika diterjemahkan harfiah berarti peristiwa yang dapat dipidana. Dipakai istilah
feit maksudnya meliputi perbuatan dan pengabaian.29
H.R.Abdussalam mengatakan Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Untuk dapat dipidananya perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, perbuatan tersebut harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat30.
Tindak pidana dalam bahasa asing disebut dengan “Strafbare Feit” sering diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan berbagai macam terjemahan diantaranya diterjemahkan menjadi “Perbuatan yang dapat dihukum”, “Peristiwa pidana”, “Perbuatan pidana dan Tindak Pidana”, Para pakar hukum pun berbeda dalam menerjemahkan istilah tersebut, misalnya Moeljanto dan Ruslan Saleh menerjemahkan sebagai perbuatan pidana, sementara Ultrecht menganjurkan untuk memakai istilah peristiwa pidana, dan Satochid Kartanegara menganjurkan pemakaian istilah tindak pidana.31
28
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: CV. Rajawali 1987), hlm. 120.
29
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana , Op Cit, hlm. 47 dan 48.
30
H.R. Abdussalam, Hukum Pidana Prospek Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat (1) Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Restu Agung, 2006), hlm. 13.
31
Bahwa membahas tentang tindak pidana secara umum tentunya tidak bisa
lepas dari ketentuan yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Buku Kesatu diatur tentang
Ketentuan Umum, Buku Kedua tentang Kejahatan dan pada Buku Ketiga tentang
Pelanggaran.
Sedangkan pengertian tentang tindak pidana pemilu beberapa ahli hukum
telah memberikan defenisi sebagai berikut:
Djoko Prakoso mengemukakan tindak pidana pemilu adalah “Setiap orang,
badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum,
mengacaukan, menghalang-halangi atau menggangu jalannya pemilu yang
diselenggarakan menurut undang-undang”32
H. Muhsin mengemukakan tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 adalah “tindak pidana yang diatur secara limitative pada UU No. 10 tahun 2008, yang bila dirinci terdapat sebanyak 59 pasal. Berdasarkan pengertian tersebut, maka bila terjadi tindak pidana dalam proses pelaksanaan Pemilu yang bentuknya diluar sebagaimana diatur didalam UU tersebut, yaitu sebanyak 59 pasal, maka tindakan tersebut tidak dapat disebut sebagai tindak pidana pemilu, tetapi merupakan tindak pidana biasa.
.
33
Topo Santoso mengemukakan ada tiga kemungkinan pengertian dan cakupan dari tindak pidana pemilu: pertama, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam undang-undang pemilu;
kedua, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu
yang diatur baik didalam maupun diluar undang-undang pemilu (misalnya dalam UU Partai Politik ataupun didalam KUHP); dan ketiga, semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas, penganiayaan (kekerasan), perusakan dan sebagainya). Namun dia lebih memilih bahwa pengertian tindak pidana pemilu adalah semua tindak pidana
32
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, Op. Cit, hlm. 148.
33
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam UU Pemilu maupun didalam UU Tindak Pidana Pemilu.34
Eko Wiyono didalam tulisannya tentang Optimalisasi Eksekusi Putusan
Tindak Pidana Pemilu Legislatif 2009 mengemukakan pelanggaran pidana pemilu
adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam
Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008.35
Pelaksanaan Pemilu Legislatif tahun 2009 dalam rangka memilih Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah diselenggarakan dengan beberapa tahapan, adapun
tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut36
1. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; :
2. Pendaftaran peserta Pemilu; 3. Penetapan peserta pemilu;
4. Penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan;
5. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota; 6. Masa Kampanye;
7. Masa Tenang;
8. Pemungutan suara dan penghitungan suara terdiri dari: a. Pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan TPSLN;
b. Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, PPLN, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi;
9. Penetapan hasil pemilu, terdiri dari: a. Penetapan hasil pemilu;
b. Penetapan perolahan kursi dan calon terpilih; 10.Pengucapan sumpah/janji anggota:
a. DPRD Kabupaten/Kota; b. DPRD Provinsi;
34
Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Op. Cit, hlm. 4 dan 5.
35
Eko Wilyono, Varia Peradilan, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2009), hlm. 23.
36
c. DPR dan DPD;
Menurut Eko Wilyono pada setiap tahapan dalam penyelenggaraan pemilu tersebut ternyata tidak terlepas dari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu yang dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan pemilu khususnya pada tahapan kampanye yang sangat riskan dan berpotensi menimbulkan pelanggaran terutama adanya money politics
sebagai salah satu cara efektif yang dapat digunakan oleh para peserta pemilu guna meraup suara sebanyak-banyaknya dengan cara yang tidak sah yang lazim terjadi dinegara sedang berkembang yang pada akhirnya akan dapat tidak hanya menghambat tapi juga dapat menggagalkan pesta demokrasi yang sangat diharapkan oleh semua pihak elemen bangsa dapat berlangsung dengan baik dan lancar37.
Dalam tahapan pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2009 sering terjadi
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
pemilu. Pelanggaran tersebut ada yang berupa pelanggaran administrasi pemilu dan
ada berupa pelanggaran pidana pemilu.
Pelanggaran administrasi pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu dan terhadap ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU, sedangkan pelanggaran pidana pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008.38
B.Tugas Dan Wewenang Pengawas Pemilihan Umum.
Penyelenggara pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 terdiri dari KPU,
KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia
Pemungutan Suara, Panitia Pemilihan Luar Negeri, Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara Luar Negeri. Dalam rangka penyelenggaraan pemilu legislatif
37
Eko Wilyono, Varia Peradilan, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2009), Op cit. hlm. 22.
38
tahun 2009 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2007 Penyelenggara Pemilu haruslah berpedoman kepada asas :
a. Mandiri; b. Jujur; c. Adil;
d. Kepastian hukum;
e. Tertib penyelenggara Pemilu; f. Kepentingan umum;
g. Keterbukaan; h. Proporsionalitas; i. Profesionalitas; j. Akuntabilitas; k. Efisiensi; dan l. Efektivitas.
Supaya penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugasnya mentaati asas
penyelenggara pemilu maka diperlukan adanya pengawasan. Pasal 70 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 menyatakan
“Pengawasan penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi,
Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri”.
Pengangkatan pengawas pemilu dilakukan melalui beberapa tahapan seleksi.
Untuk pengangkatan Anggota Bawaslu setelah dinyatakan layak dan patut oleh Tim
Seleksi maka pengesahannya ditetapkan dengan keputusan Presiden, untuk Anggota
Panwaslu Provinsi ditetapkan dengan keputusan Bawaslu, untuk anggota Panwaslu
Kabupaten Kota ditetapkan dengan keputusan Bawaslu, anggota Panwaslu
Pengawas Pemilu Lapangan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kecamatan,
pengawas Pemilu Luar Negeri dapat dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan
Bawaslu atas usulan kepala Perwakilan Republik Indonesia.
Netralitas dan independensi pengawas pemilu dalam mengawasi
penyelenggaraan pemilu legislatif tahun 2009 pada setiap tahapannya sangat
diharapkan, karena pada pemilu sebelumnya ketidakberdayaan panwaslu didaerah
dalam melaksanakan tugasnya sangat jelas terlihat, persoalan ini sangat terkait
dengan netralitas dari lembaga tersebut dalam melakukan pengawasan.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu memberikan perubahan dalam hal independensi. Meskipun tidak signifikan. Meskipun panwaslu di daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD, namun Bawaslu sendiri masih dipilih oleh DPR. Kita sudah mafhum, bahwa fit and proper test
yang dilakukan DPR sesungguhnya hanyalah formalitas semata. Sebab pilihan mereka sesungguhnya sudah jadi setelah lolos 15 nama dari hasil seleksi. Lima nama calon Bawaslu yang akan dipilih sebenarnya sudah jadi dan terkompromikan atas nama kepentingan politik yang tidak lepas dari unsur pragmatisme.39
Pengawasan didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam kata lainnya
disebut juga berupa kontrol, pemeriksaan, pengendalian.40
39
Dengan adanya
pengawasan diharapkan orang ataupun suatu lembaga dapat menjalankan fungsinya
sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya.
Rakyat), Panwaslu dan Bawaslu, Serupa Tapi (Tetap) sama, tanggal 1/6/2011, hlm. 2.
40
Adapun kedudukan dan tugas pengawas pemilu masing-masing berbeda
sesuai dengan tingkatannya. Pasal 1 angka (15), (16), (17), (18), (19)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 menyatakan : Badan Pengawas
Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang bertugas mengawasi
penyelenggaraan Pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Panwaslu Provinsi dan Panwaslu adalah Panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan kabupaten/kota,
Panwaslu Kecamatan adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota
untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah kecamatan atau nama lain,
Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan
untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di desa atau nama lain/kelurahan,
Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu untuk
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.
Dalam membahas tentang tugas dan wewenang pengawas pemilu, untuk
memudahkan kita memahaminya perlu diuraikan terlebih dahulu pengertian tugas dan
wewenag tersebut.
Tugas dalam kata lainnya dapat disebut sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan
atau yang ditentukan untuk dilakukan, pekerjaan yang menjadi tanggungjawab
seseorang pekerjaan yang dibebankan, pegawai hendaklah menjalankan
masing-masing dengan baik.41
41
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op cit, hlm. 1215.
kekuasaan untuk bertindak, dan kewenangan adalah kekuasaan membuat keputusan,
memerintah dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain.42
Tulisan ini membahas tentang analisis penegakan hukum tindak pidana
pemilu legislatif tentang pelanggaran larangan kampanye dengan mengemukakan
contoh kasus tindak pidana pemilu pelanggaran larangan kampanye tentang
menggunakan atribut dan/atau tanda gambar selain atribut dan/atau tanda gambar
peserta pemilu yang bersangkutan pada pemilu legislatif tahun 2009 yang terjadi di
Kabupaten Padang Lawas dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Padangsidimpuan
Jo. Pengadilan Tinggi Medan . Untuk itu akan diuraikan tentang tugas dan wewenang
serta kewajiban Panwaslu Kabupaten/Kota.
Pasal 78 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2007 menyatakan:
(1). Tugas dan wewenag Panwaslu Kabupaten/Kota adalah:
a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kabupaten/kota yang
meliputi:
1 pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap;
2. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;
3. proses penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;
42
4. penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;
5. pelaksanaan kampanye;
6. perlengkapan pemilu dan pendistribusiannya;
7. pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil pemilu; 8. mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara; 9. pergerakan surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;
10. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU kabupaten/kota dari seluruh kecamatan;
11. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu Lanjutan, dan Pemilu susulan; dan
12. proses penetapan hasil Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;
b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;
c. menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan pemilu yang tidak mengandung unsur tindak pidana;
d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti;
e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu oleh penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota;
g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu yang sedang berlangsung;
h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan pemilu; dan
i. melaksanakan tugas dan wewenag lain yang diberikan oleh undang-undang. (2). Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Panwaslu
Kabupaten/Kota berwenang;
b. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu.
Dari ketntuan Pasal 78 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2007 dapat dikelompokan beberapa bentuk tugas dan wewenang
dari Panwaslu Kabupaten/Kota diantaranya yaitu:
1. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan kelengkapan administrasi;
2. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan pelaksanaan kampanye;
3. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan perlengkapan pemilu,
pendistribusian dan pelaksanaan pemungutan suara;
4. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan prnghitungan suara hingga
penetapan hasil pemilu;
5. Kewenangan berhubungan dengan menerima laporan, memproses laporan,
meneruskan laporan, dan memberikan rekomendasi kepada yang berwenang.
Adapun tentang kewajiban Panwaslu Kabupaten/kota diatur pada Pasal 79
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 yang menyatakan
Panwaslu Kabupaten/Kota berkewajiban:
a. Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Panwaslu
pada tingkatan dibawahnya;
c. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;
d. Menyampaikan laporan kepada Panwaslu Provinsi sesuai dengan tahapan pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan;
Kabupaten/Kota yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan pemilu ditingkat kabupaten/kota; dan
f. Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Dari uraian tentang tugas dan wewenang Panwaslu kabupaten/kota, jika
terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai
pemilu maka Panwaslu kabupaten/kota berwenang untuk menerima laporan dan
kemudian menyelesaikan permasalahan tersebut atau meneruskan kepada instansi
yang berwenang.
Dalam hal adanya temuan atau laporan yang mengandung unsur tindak pidana
pemilu maka Panwaslu kabupaten/kota berwenang untuk menerima laporan
kemudian memberikan rekomendasi kepada yang berwenang, Dalam hal ini batasan
tugas dan kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota jelas hanya sampai ketingkat
pemberian rekomendasi, sedangkan kewenangan untuk melakukan penyidikan tetap