• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye (Studi Kasus : Putusan Nomor : 199/PID/2009/PT.MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye (Studi Kasus : Putusan Nomor : 199/PID/2009/PT.MDN)"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009

TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE (STUDI KASUS : PUTUSAN NOMOR : 199/PID/2009/PT.MDN)

TESIS

Oleh :

097005026/HK DODI CANDRA

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009

TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE (STUDI KASUS : PUTUSAN NOMOR : 199/PID/2009/PT.MDN)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

097005026/HK DODI CANDRA

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009 TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE

(STUDI KASUS: PUTUSAN NOMOR:

199/PID/2009/PT.MDN) Nama Mahasiswa : Dodi Candra

Nomor Pokok : 097005026

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

K e t u a

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum)

(Dr. Faisal Akbar Nasution,SH, M.Hum)

A n g g o t a A n g g o t a

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 15 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum ANGGOTA : 1. Dr. Faisal Akbar Nasution,SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung merupakan perwujutan kedaulatan rakyat. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum legislatif tahun 2009 bertujuan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewaan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.

Dalam tahapan penyelenggaraan pemilihan umum legislatif tahun 2009 jika terjadi tindak pidana pemilihan umum laporan disampaikan kepada pengawas pemilu. Dalam upaya penegakan hukum perkara tindak pidana pemilihan umum sistem peradilan pidana terdiri dari sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan, sub sistem advokat, dan sub sistem lembaga pemasyarakatan.

Perkara tindak pidana pemilihan umum yang disangkakan dan didakwakan terhadap H. Iskan Qolab Lubis, MA, karena diduga melanggar pasal 84 ayat (1) huruf i jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 sehubungan adanya temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun berupa penempelan pemasangan contoh cara mencontreng surat suara pemilihan umum legislatif tahun 2009, berlogo Komisi Pemilihan Umum, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat, persoalan ini semestinya dapat diselesaikan diluar proses hukum pidana (non-penal

policy). Menurut Hoefnagels penyelesaian non-penal policy dapat dilakukan

diantaranya dengan penggunaan hukum sivil dan hukum administratif (administrative & civil law).

(6)

kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding sebagai upaya hukum terakhir ke Pengadilan Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan dalam putusannya Nomor : 199/PID/2009/PT.MDN menolak permohonan banding Jaksa Penuntut Umum dengan pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 tidak mengatur acara pemeriksaan ditingkat banding maka selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan mengunakan K.U.H.A.P. sedangkan menurut pasal 67 K.U.H.A.P. terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan banding.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, data yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library

research) dilengkapi dengan melakukan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan

Negeri Padangsidimpuan Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp Jo Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN.

Kata Kunci :

- Penegakan Hukum,

(7)

KATA PENGANTAR

ﻡﻴﺤﻠﺍﻦﻤﺤﺭﻟﺍ ﷲﺍ ﻡﺴﺑ

Innalhamdalillah, segala kesyukuran penulis hanyalah kepada Allah

Subhanaatu Wa Ta’ala yang senantiasa memberikan nikmat, rahmat dan karunia yang

tak terhingga kepada hamba-hamba-Nya. Shalawat dan salam penulis haturkan

kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu `Alaihi Wassalam semoga kita mendapat

syafaat diakhirat kelak.

Kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sungguh dirasakan sebagai

rezeki yang tak disangka-sangka dan menjadi bagian dari perjalan diri penulis.

Dengan mengharapkan ridho Allah Subhanaatu Wa Ta’ala penulis dapat

menyelesaikan Tesis dengan Judul : ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK

PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF

TAHUN 2009 TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE (STUDI

KASUS : PUTUSAN NOMOR : 199/PID/2009/PT.MDN).

Tugas akhir ini disusun sebagai satu bagian dari syarat untuk memperoleh

gelar Magister Hukum (MH) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penyelesaian Tesis ini, penulis banyak

memperoleh bantuan dari berbagai pihak baik berupa moril maupun materil. Pada

(8)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc. (CTM), Sp.A (K), sebagai

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, sebagai Ketua Komisi

Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahan

dalam penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum, sebagai Anggota Komisi

Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan dalam

penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, sebagai Anggota Komisi Pembimbing

yang telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan dalam penyelesaian

tesis ini.

7. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Penguji yang telah

memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

8. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum, sebagai Penguji yang telah

memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen yang telah menyampaikan ilmu pengetahuan yang

(9)

10. Para staf di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

11. Rekan-rekan pada Kantor Advokat/Penasihat Hukum “DODI CANDRA,SH” &

Rekan, yang telah bersama-sama berjuang dalam penegakan hukum.

12. Irwansyah, SH, MH, dan Ganda Maulana, S.Ag, SH (Direktur dan Sekretaris

Pusat Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Indonesia Cabang Sumatera

Utara) serta semua rekan-rekan yang selama ini sama-sama berjuang dalam

penegakan hukum dan hak asasi manusia. Juga selalu memberikan dukungan

dan bantuan dalam pendidikan ini.

Teristimewa penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Abah dan Omak (Rasyid Bakar dan Masni) yang telah mendidik, mengasuh dan

selalu mendo’akan untuk kesehatan dan keberhasilan anaknya. Begitu juga

Bapak dan Ibu mertua (H. Muhammad. Amin Simanjuntak dan Hj. Asriah

Nasution) dan semua keluarga di Panyabungan.

2. Istri (Amiria Agustina, Am. Keb) yang selalu sabar dan memberikan dukungan

untuk melanjutkan pendidikan. Anak-anakku tersayang (Muhammad Fahri

Candra dan Muhammad Fajri Candra).

3. Sanak, saudara, keluarga besar penulis yang selalu memberikan dukungan

kepada penulis dalam mengikuti pendidikan.

4. Rekan-rekan sekalian yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dan semua

(10)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa materi yang terdapat dalam tesis ini

masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun untuk

perbaikan tesis ini senantiasa penulis harapkan.

Dengan mengharap ridho Allah Subhanaatu Wa Ta’ala semoga tesis ini dapat

memberikan banyak manfaat, sehingga memperkaya khazanah ilmu pengetahuan

khususnya di bidang penegakan hukum tindak pidana pemilihan umum legislatif

tentang pelanggaran larangan kampanye.

Jazakumullah Khairan Katsira

Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, Agustus 2011

Penulis,

(Dodi Candra)

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Dodi Candra

Tempat / Tgl Lahir : Peranap / 27 Juli 1976

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Advokat

Pendidikan :

1. Sekolah Dasar Negeri 001 Peranap (Lulus Tahun 1988) 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 01 Peranap (Lulus

Tahun 1991)

3. Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Peranap (Lulus Tahun 1994)

4. Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan (Lulus Tahun 1999)

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………... i

ABSTRACT ……….... iii

KATA PENGANTAR ………... v

RIWAYAT HIDUP ………... ix

DAFTAR ISI ……….. x

BAB I: PENDAHULUAN ……….1

A. Latar Belakang ………..………..….…...1

B. Rumusan Masalah ………..………..12

C. Tujuan Penelitian ………..………12

D. Manfaat Penelitian ………13

E. Keaslian Penelitian ………...13

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ………..14

G. Metode Penelitian ……….22

BAB II: KEWENANGAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE………...25

(13)

B. Tugas Dan Wewenang Pengawas Pemilihan Umum…………...29

BAB III: PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA…....…37

A. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Pemilihan Umum Dalam Sistem Hukum Di Indonesia……….……….37

B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilihan Umum Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye .……..………...………52

C. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilihan Umum Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye………...59

D. Penegakan Hukum Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilihan Umum Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye………...68

BAB IV: AKIBAT HUKUM TERHADAP CALON LEGISLATIF YANG MENJADI TERSANGKA DALAM MENGIKUTI TAHAPAN PEMILIHAN UMUM…...…………115

A. Proses dan Syarat Untuk Menjadi Calon Legislatif Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009………..115

B. Akibat Hukum Terhadap Calon Legislatif yang Menjadi Tersangka Dalam Mengikuti Tahapan Pemilihan Umum………123

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN………..…..129

A. Kesimpulan………..………129

B. Saran…..………..130

(14)

ABSTRAK

Pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung merupakan perwujutan kedaulatan rakyat. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum legislatif tahun 2009 bertujuan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewaan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.

Dalam tahapan penyelenggaraan pemilihan umum legislatif tahun 2009 jika terjadi tindak pidana pemilihan umum laporan disampaikan kepada pengawas pemilu. Dalam upaya penegakan hukum perkara tindak pidana pemilihan umum sistem peradilan pidana terdiri dari sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan, sub sistem advokat, dan sub sistem lembaga pemasyarakatan.

Perkara tindak pidana pemilihan umum yang disangkakan dan didakwakan terhadap H. Iskan Qolab Lubis, MA, karena diduga melanggar pasal 84 ayat (1) huruf i jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 sehubungan adanya temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun berupa penempelan pemasangan contoh cara mencontreng surat suara pemilihan umum legislatif tahun 2009, berlogo Komisi Pemilihan Umum, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat, persoalan ini semestinya dapat diselesaikan diluar proses hukum pidana (non-penal

policy). Menurut Hoefnagels penyelesaian non-penal policy dapat dilakukan

diantaranya dengan penggunaan hukum sivil dan hukum administratif (administrative & civil law).

(15)

kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding sebagai upaya hukum terakhir ke Pengadilan Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan dalam putusannya Nomor : 199/PID/2009/PT.MDN menolak permohonan banding Jaksa Penuntut Umum dengan pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 tidak mengatur acara pemeriksaan ditingkat banding maka selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan mengunakan K.U.H.A.P. sedangkan menurut pasal 67 K.U.H.A.P. terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan banding.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, data yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library

research) dilengkapi dengan melakukan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan

Negeri Padangsidimpuan Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp Jo Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN.

Kata Kunci :

- Penegakan Hukum,

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Pemilihan umum untuk selanjutnya disebut pemilu yang diselenggarakan

secara langsung merupakan perwujutan kedaulatan rakyat. Pengakuan tentang

kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan didalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yang menyatakan “pemilihan umum untuk selanjutnya disebut

pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945”.

Makna dari kedaulatan rakyat tersebut adalah:1 pertama rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintah guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat. Kedua rakyat memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.

1

(17)

Tujuan pemilu menurut ketentuan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Tujuan pemilu legislatif tahun 2009 menurut ketentuan Pasal 1 angka (2)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 adalah untuk memilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa pemilihan umum

tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi

suatu negara yang menyebutnya sebagai negara yang demokrasi, pemilihan umum itu

harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu.2

Komisi Pemilihan Umum untuk selanjutnya disebut KPU adalah suatu

lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk menyelenggarakan

pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sebagaimana diatur pada

Pasal 22E, Angka 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penyelenggaraan pemilu oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mendiri

merupakan amanat konstitusi. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi

2

(18)

perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan

demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemikiran Hatta tentang demokrasi (untuk Indonesia), yaitu kedaulatan rakyat

atau demokrasi dalam kehidupan politik dan ekonomi, berdasarkan nilai-nilai

kebersamaan dan kekeluargaan, yang menunjukan perbedaannya yang nyata dengan

demokrasi barat.3

Pemilihan umum di Indonesia sebagai salah satu upaya mewujudkan negara

yang demokrasi haruslah dapat dilaksanakan dengan baik, wilayah Negara Indonesia

yang luas dan jumlah penduduk yang besar dan menebar di seluruh nusantara serta

memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilihan umum yang

profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

4

Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat

terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai

integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas, sebagaimana dimaksud pada huruf (b)

Pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggara Pemilu.

Dalam hal ini diharapkan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dapat

melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu terlepas dari pengaruh serta

kepentingan dari pihak manapun.

3

Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara), hlm. 183.

4

(19)

Adapun yang menjadi peserta pada pemilu legislatif tahun 2009 untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota adalah partai politik. Sedangkan

untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. Ketentuan

tentang peserta pemilu ini diatur pada Pasal 7 dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.

Dalam pelaksanaan pemilu meskipun telah ada undang-undang serta peraturan

yang khusus mengatur tentang pelaksanaan pemilu supaya dapat berjalan dengan baik

namun masih juga terjadi pelanggaran dan kecurangan. Pelanggaran dan kecurangan

ada yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, oleh peserta pemilu dan bahkan oleh

masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu pengawasan supaya pemilu

benar-benar dapat dilaksanakan berdasarkan asas pemilu sebagaimana dimaksud pada

Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang

menyatakan pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Adapun yang menjadi pengawas untuk selanjutnya disebut panwaslu dalam

penyelenggaraan pemilu diatur dalam ketentuan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pengawasan

penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu

Kabupaten/Kota, Paswaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas

(20)

Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan

ekstern yang dilakukan oleh Bawaslu serta Panwaslu Provinsi, Panwaslu

Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas

Pemilu Luar Negeri. Pembentukan Pengawas Pemilu tersebut tidak dimaksudkan

untuk mengurangi kemandirian dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara

pemilu.5

Dengan adanya pengawasan terhadap penyelenggara pemilu dari dalam dan

dari luar lembaga penyelenggara diharapkan pemilu dapat terlaksana dengan

demokratis dan memenuhi asas pemilu.

Pada tahapan pelaksanaan pemilu, Panwaslu baik di pusat maupun di daerah

berhak melakukan pengawasan terhadap peserta pemilu dan juga terhadap

penyelenggara pemilu. Apabila dalam tahapan pemilu ditemukan adanya pelanggaran

maka panwaslu akan melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya.

Jika dari data dan fakta yang ditemukan panwaslu menganggap telah terjadi

pelanggaran administrasi maka persoalan tersebut dapat dilimpahkan kepada KPU,

Jika panwaslu menemukan adanya pelanggaran pidana maka perkara tersebut akan

dilanjutkan kepada pihak kepolisian selaku penyidik.

Pada pemilu legislatif tahun 2009 KPU telah menetapkan partai politik yang

menjadi peserta pemilu yaitu terdiri dari 34 (tiga puluh empat) partai politik nasional

dan 6 (enam) partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.

(21)

Adapun nama dan nomor urut partai politik nasional pada pemilu legislatif tahun 2009 adalah :6

1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 2. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)

3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) 4. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)

5. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 6. Partai Barisan Nasional (Barnas)

7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

9. Partai Amanat Nasional (PAN)

10.Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) 11.Partai Kedaulatan

12.Partai Persatuan Daerah (PPD) 13.Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 14.Partai Pemuda Indonesia (PPI)

15.Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenis 16.Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) 17.Partai Karya Perjuangan (PKP)

18.Partai Matahari Bangsa (PMB)

19.Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) 20.Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) 21.Partai Republika Nusantara (PRN) 22.Partai Pelopor

23.Partai Golkar

24.Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 25.Partai Damai Sejahtera (PDS)

26.Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI) 27.Partai Bulan Bintang (PBB)

28.Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) 29.Partai Bintang Reformasi (PBR)

30.Partai Patriot 31.Partai Demokrat

32.Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) 33.Partai Indonesia Sejahtera (PIS)

34.Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)

Partai Politik sebagai peserta pemilu menunjuk anggota ataupun kader partai

untuk menjadi calon legislatif. Untuk dapat memperoleh kursi legislatif partai politik

6

(22)

dan calon legislatif harus bisa mendapatkan dukungan suara dari pemilih. Untuk

mendapatkan perolehan suara yang maksimal dari pemilih, partai politik dan calon

legislatif akan melakukan berbagai upaya diantaranya dengan melakukan kampanye

atau sosialisasi kepada pemilih.

Menurut ketentuan Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 10 Tahun 2008 pelaksana kampanye pada pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan

DPRD Kabupaten/Kota terdiri dari pengurus partai politik, calon anggota legislatif,

juru kampanye, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu

anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Selanjutnya menurut ketentuan pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 10 Tahun 2008, kampanye pemilu dapat dilaksanakan melalui:

a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka;

c. media massa cetak dan media massa elektronik; d. penyebaran bahan kampanye kepada umum; e. pemasangan alat peraga ditempat umum; f. rapat umum, dan

g.kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan perundang-undangan;

Pada Pemilu Legislatif tahun 2009, Partai Keadilan Sejahtera nomor urut (8)

sebagai salah satu partai peserta pemilu mengajukan kader partai sebagai calon

legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan

(23)

Salah satu calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia dari Partai Keadilan Sejahtera untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera

Utara II adalah H. Iskan Qolba Lubis, MA.

H. Iskan Qolba Lubis, MA, sebagai salah seorang calon legislatif dalam upaya

untuk mendapatkan dukungan suara dari masyarakat pernah melakukan kampanye

dan sosialisasi kepada masyarakat disekitar rumah orang tuanya di pasar Sibuhuan,

Kecamatan Ulu Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara.

Salah satu bentuk sosialisai yang dilakukan adalah memperagakan cara mencontreng

pada saat pemilu dengan menunjukan contoh surat suara yang berlogo KPU, nama

dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera

terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA Calon Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia pada urutan ke-1.

Pada hari Sabtu, tanggal 31 Januari 2009 Ketua Panwaslu Kecamatan Ulu

Barumun menerima laporan bahwa di kedai kopi milik Nazaruddin Nasution di Desa

Pasar Ipuh, Kecamatan Ulu Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera

Utara dan di kedai kopi milik Indo Hasibuan, di Desa Paringgonan, Kecamatan Ulu

Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara telah terpasang

selebaran contoh cara mencontreng surat suara pemilu tahun 2009, berlogo KPU,

kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai

Keadilan Sejahtera nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA sebagai calon

(24)

Menurut Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun pemasangan contoh cara

mencontreng surat suara pemilu legislatif tahun 2009, berlogo KPU, kemudian nama

dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera,

nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA calon legislatif untuk Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesi pada urutan ke-1, hal tersebut termasuk

pelanggaran terhadap larangan kampanye sebagaimana dimaksud Pasal 84 ayat (1)

huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan

“Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang: membawa atau menggunakan

tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta

Pemilu lain yang bersangkutan”.

Temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun ini kemudian diberitahukan

kepada Panwaslu Kabupaten Padang Lawas. Panwaslu Kabupaten Padang Lawas

berpendapat bahwa temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun berupa pemasangan

contoh cara mencontreng surat suara pemilu legislatif tahun 2009, berlogo KPU,

kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai

Keadilan Sejahtera, nomor (8) terdapat nama H.Iskan Qolba Lubis, MA sebagai calon

legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada urutan ke-1,

merupakan tindak pidana pemilu. Kemudian persoalan tersebut dilimpahkan kepada

Kepolisian Resort Tapanuli Selatan untuk proses penyidikan.

Kepolisian Resort Tapanuli Selatan setelah menerima laporan dari Panwaslu

Kabupaten Padang Lawas kemudian menjadikan H.Iskan Qolba Lubis, MA sebagai

(25)

atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan

atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 84

ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun

2008. Kemudian perkara pidana pemilu ini oleh Kepolisian Resor Tapanuli Selatan

dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan.

Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan kemudian menetapkan H. Iskan Qolba

Lubis, MA sebagai terdakwa dalam perkara tindak pidana pemilu “membawa atau

menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan atau

atribut peserta pemilu yang bersangkutan” sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 10 Tahun 2008.

Pengadilan Negeri Padangsidimpuan telah memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara pidana atas nama terdakwa H. Iskan Qolba Lubis,MA, dalam

putusannya menyatakan terdakwa H. Iskan Qolba Lubis,MA tidak terbukti bersalah

melakukan tindak pidana membawa atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut

lain selain dari tanda gambar dan atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan,

sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 (Putusan No: 116/Pid.B/2009/PN Psp).

Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan kemudian

mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan

menyatakan menolak permohonan banding Jaksa Penuntut Umum, (Putusan Nomor:

(26)

Jika dilihat dari contoh kasus tindak pidana pada pemilu legislatif tahun 2009

sebagaimana diuraikan diatas, kemudian dibandingkan dengan upaya penegakan

hukum yang dilakukan, terlihat begitu rumitnya upaya penegakan hukum yang

dilakukan mulai dari penyidikan dikepolisian, penututan oleh Jaksa Penuntut Umum,

persidangan di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, kemudian upaya hukum banding

di Pengadilan Tinggi Medan.

Demikian juga H. Iskan Qolba Lubis,MA, sebagai calon legislatif semestinya

konsentrasi dalam melaksanakan kampanye kepada masyarakat, akan tetapi akhirnya

disibukan oleh proses hukum dalam perkara pidana pemilu tersebut mulai dari

penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan.

Dari uraian yang telah penulis kemukakan tentang pemilu di Indonesia

khususnya tentang pemilu legislatif tahun 2009 beserta tahapannya dan upaya

penegakan hukum yang dilakukan dengan mengajukan contoh kasus, memotifasi

penulis untuk melakukan penelitian dan menganalisis terhadap penegakan hukum

tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan

kampanye. Dalam perkara pidana atas nama terdakwa H. Iskan Qolba Lubis, MA

Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Jo. Perkara

pidana Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN. di Pengadilan Tinggi Medan, tentang

membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu lain

selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan

sebagaimana dimaksud pada pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang

(27)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan pada latar belakang di atas,

penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kewenangan dari Pengawas Pemilihan Umum dalam

menangani perkara tindak pidana Pemilihan Umum tentang pelanggaran

larangan kampanye.

2. Bagaimana sistem pengaturan tindak pidana pemilihan umum dalam

penegakan hukum di Indonesia.

3. Bagaimana akibat hukum terhadap calon legislatif yang menjadi tersangka

dalam mengikuti tahapan pemilihan umum.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan dari Pengawas Pemilu dalam menangani

perkara tindak pidana Pemilu tentang pelanggaran larangan kampanye.

2. Untuk mengetahui system pengaturan tindak pidana pemilu dalam

penegakan hukum di Indonesia.

3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap calon legislatif yang menjadi

(28)

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

penelitian ini diharapkan dapat memeberikan manfaat dalam bentuk

sumbangan pemikiran dan saran demi kemajuan dan perkembangan ilmu

hukum khususnya yang berhubungan dengan upaya penegakan hukum dalam

perkara tindak pidana pemilu legislatif tentang pelanggaran larangan

kampanye.

2. Secara praktek

penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, menjadi masukan dan membantu

semua lapisan masyarakat terutama pengurus partai politik, calon legislatif,

para penegak hukum untuk lebih memahami tentang tindak pidana pemilu

pada pemilu legislatif, khususnya tentang pelanggaran larangan kampanye.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis

terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada dan yang sedang dilaksanakan pada

Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Tesis mengenai “Analisis Penegakan

Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun

2009 Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye (Studi Kasus : Putusan Pengadilan

Negeri Padangsidimpuan Nomor: 116/Pid.B/2009 PN Psp Jo. Putusan Pengadilan

Tinggi Medan Nomor: 199/PID/2009/PT.Mdn)” belum pernah dilakukan oleh

(29)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori menurut Bruggink dalam bukunya “Refleksi tentang hukum”, adalah

keseluruhan pernyataan (statement, claim, bewenngen) yang saling berkaitan.7

Sedangkan kerangka teori merupakan” kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,

teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.8

Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis,

menurut Soerjono Soekamto untuk penelitian hukum normatif, diperlukan kerangka

teoritis lain, yang khas ilmu hukum.9

Dalam membahas mengenai analisis penegakan hukum tindak pidana pemilu

legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye, penulis terlebih dahulu

akan mengemukakan tentang penegakan hukum.

Kerangka teoritis dalam penulisan ilmiah

berfungsi sebagai pemandu untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena dan atau

objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonsrtuksi keterkaitan antara konsep

secara dedukatif ataupun indukatif.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang

dimaksudkan adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakan

7

M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, (Medan: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 3.

8

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80

9

(30)

kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.

Aristoteles dalam bukunya berjudul Politics menyimpulkan bahwa negara memang

harus diperintah oleh kepala negara yang tunduk kepada hukum yang berlaku (rule of

law).10

Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita

melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law),

kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan

cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Didalam

penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya:11

1. jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;

2. kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;

3. legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga

negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum;

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide,

cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum

memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus

mampu diwujudkan dalam realitas nyata12

10

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 27

.

11

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI 2008), hlm. 46-47

12

(31)

Dalam hal penegakan hukum sehubungan terjadinya tindak pidana pemilu

maka upaya penegakan hukum yang akan dilakukan semestinya melihat kembali apa

yang menjadi tujuan dari pemilu tersebut, bagaimana pengaruh pelanggaran hukum

yang terjadi dihubungan dengan tujuan yang hendak dicapai pada pemilu. Pemilu di

Indonesia merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan

pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada negara yang demokrasi pemilu ditandai dengan keikutsertaan partai

politik sebagai peserta pemilu. Dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada

pokoknya memiliki kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting

dalam setiap sistem demokrasi. Partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi,

karena mereka memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara

pemerintah negara (the state) dengan warga negaranya (the citizens).13

Menurut Schattscheider (1942) didalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok

Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi dikatakan “Political parties created

democracy” partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh

sebab itu, partai politik merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat

penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization)

dalam setiap sistem politik yang demokratis.14

13

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 709, 710.

14

(32)

Penegakan hukum dalam perkara tindak pidana pemilu di Indonesia haruslah

disesuaikan dengan tujuan negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terkait erat

dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materil.

Pelaksanaan paham negara hukum materil akan mendukung dan mempercepat

terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia.15

Hukum itu tidak akan bisa tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak

akan mampu mewujudkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur didalam

undang-undang dengan sendiri, akan tetapi dalam penegakan hukum selalu melibatkan

manusia yakni para penegak hukum dan juga masyarakat.

Ketika terjadi suatu peristiwa pidana dalam upaya melakukan penegakan

hukum, tidak bisa terlepas dari politik kriminal atau criminal policy yaitu berupa

usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana. Politik

kriminal atau criminal policy merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum

(law enforcement policy). Politik kriminal atau criminal policy pernah dikemukakan

oleh Marc Ancel dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the

control of crime by society, Sedangkan G. Peter Hoefnagels bahwa “Criminal policy

is the rational organization of the social reaction to crime”.16

15

Op. Cit. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 48

16

(33)

Adapun sejarah timbulnya criminal policy adalah dari usulan negara-negara dalam beberapa pertemuan internasional diantaranya:17

1. Kongres PBB Ke- 4 Tahun 1970 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Kyoto Jepang;

2. Kongres Ke- 5 PBB Tahun 1975 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Geneva;

3. Kongres Ke- 6 PBB Tahun 1980 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Caracas;

4. Kongres Ke- 7 PBB Tahun 1985 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Milan;

5. Kongres Ke- 8 PBB Tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Havana;

6. The International Seminar Course 1973 di Jepang tentang Reform in Criminal Justice.

Kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari

kebijakan sosial. Kebijakan sosial dapat dimaknai sebagai suatu kebijakan untuk

mencapai kesejahteraan sosial.

Hubungan antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial dapat

digambarkan dengan skematis sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief

berikut ini:18

17

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 51,52, 53, 54.

18

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op. Cit, hlm.3.

Social Welfare Policy

Social Defence

Criminal

Social Policy Tujuan

Penal

(34)

Kebijakan penanggulangan tindak pidana menurut Teguh Prasetyo dan Abdul

Halim Barkatullah dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan

penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal

policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana

diluar hukum pidana (non-penal policy)19

Dari uraian diatas dapat dilihat dengan jelas bahwasanya kebijakan

penaggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

A. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum

pidana (penal policy)

B. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana diluar

hukum pidana (non-penal policy).

Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana

(penal policy) berawal dari bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dengan baik dan

memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (legislatif). Kebijakan yang

dilakukan oleh pembuat undang-undang (legislatif) sangat berpengaruh dan

menentukan kepada tahapan-tahapan penegakan hukum berikutnya. Dalam hal ini

lembaga legislatif yang merumuskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan

perbuatan kriminal atau tidak.

Sudarto berpendapat kriminalisasi dapat diartikan sebagai proses penetapan

suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses itu diakhiri

19

(35)

dengan terbentuknya undang-undang, dimana perbuatan itu diancam dengan suatu

sanksi berupa pidana.20

2. Kerangka Konsepsi

Supaya konsep yang dipergunakan dalam penelitian, terutama

konsep-konsep yang terkait langsung dengan variabel penelitian tidak ditafsirkan berbeda,

maka perlu dirumuskan kerangka konsep atau dengan menggunakan model defenisi

operasional.21 Sedangkan pentingnya defenisi operasional menurut Tan Kamelo,

“Untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari

suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan

pada proses penelitian.22

a. Penegakan hukum

Selanjutnya penulis akan mencantumkan beberapa defenisi

operasional sebagai berikut:

Menurut Andi Hamzah penegakan hukum merupakan tindakan untuk

mencapai kebenaran dan keadilan.23

b. Tindak pidana pemilu

Menurut Topo Santoso tindak pidana pemilu adalah semua tindak pidana yang

berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam UU Pemilu

maupun didalam UU Tindak Pidana Pemilu24

20

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 39-40.

. Dengan cakupan dan

21

Pedoman penulisan usulan penelitian dan tesis, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hlm. 72.

22

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 31.

23

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 158.

24

(36)

pengertian seperti ini akan dengan mudah mencari tindak pidana pemilu, yaitu

didalam undang-undang pemilu.

c. Pemilihan umum (pemilu)

Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Defenisi tentang pemilu ini disebutkan pada

pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.

d. Kampanye

Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para

pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu. Defenisi

tentang kampanye pemilu ini disebutkan pada pasal 1 angka (26)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.

e. Pelanggaran

Pelanggaran overtrading; violation; contravention. Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang oleh undang-undang pidana ditentukan lebih ringan pidananya daripada kejahatan. Pelanggaran undang-undang,

wetschending perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang; misalnya, orang yang melanggar larangan, atau tidak melakukan kewajiban hukum pidana.25

f. Legislatif

Legislatif dapat diartikan yang berkuasa dalam merancang undang-undang.

Badan legislatif berarti dewan yang berkuasa dalam merancang

undang-25

(37)

undang. Legislator berarti perancang undang, penyusun

undang-undang.26

G. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.

Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal

(doctrinal reaserch) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik

yang tertulis didalam buku (law as is written in the book), maupun hukum

yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by

the judge through judicial process).27

Adapun data yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diperolah

dari penelitian penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik

pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan

perundang-undangan, buku-buku karya ilmiah, bahan kuliah, putusan

pengadilan, serta sumber data lainnya yang dibahas oleh penulis.

Tentang penggunaan pendekatan yuridis normatif pada penelitian ini

karena masalah yang akan diteliti berkisar mengenai keterkaitan beberapa

peraturan undang-undang sehubungan dengan penegakan hukum tindak

26

Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern English Press, 2002) hlm. 848.

27

(38)

pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan

kampanye.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif maksudnya

penelitian dengan menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks

teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang

penerapan peraturan perundang-undangan dalam kasus tindak pidana pemilu

pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye.

(Studi kasus perkara pidana Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan

Negeri Padangsidimpuan Jo. Perkara pidana Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN. di

Pengadilan Tinggi Medan).

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara:

Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui

pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur,

tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan pengadilan dalam perkara

pidana Nomor: 116/Pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan

Jo. Putusan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN di Pengadilan Tinggi Medan, yang

(39)

4. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan ditelaah dan dianalisis

berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan:

1. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum

(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi

terhadap bahan hukum tersebut.

2. Mengelompokan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau

berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah aspek hukum

pidana terkait dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu tentang

pelanggaran larangan kampanye dalam hal menggunakan tanda gambar dan

atau atribut selain partai yang bersangkutan.

3. Menemukan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan kemudian

diolah.

4. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai peraturan

perundang-undangan dengan permasalahan, kemudian dianalisis secara

deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan

(40)

BAB II

KEWENANGAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM

PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE

A. Pengertian Tindak Pidana Pemilihan Umum.

Didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 terdapat

ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana yang berhubungan dengan Pemilu. Selain

itu didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga terdapat

ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan tindak pidana Pemilu.

Walaupun ada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang

mengatur tentang tindak pidana pemilu, akan tetapi tidak ada satupun peraturan

perundang-undangan dimaksud yang memberikan defenisi pengertian tindak pidana

pemilu.

Adanya defenisi tentang tindak pidana pemilu merupakan suatu yang penting

untuk membantu membedakan antara tindak pidana pemilu dengan tindak pidana

lainnya, defenisi diperlukan supaya ada pemahaman yang sama antara penegak

hukum, penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, peserta pemilu dan semua lapisan

masyarakat tentang tindak pidana pemilu.

Sebelum meguraikan defenisi tentang tindak pidana pemilu, penulis akan

menguraikan terlebih dahulu defenisi tentang tindak pidana secara umum. Adapun

defenisi tindak pidana menurut pendapat bebrapa ahli hukum adalah sebagai berikut:

(41)

dipergunakan dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Subversi). Sedangkan didalam beberapa keputusan sering dipakai istilah pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perkara hukuman perdata, dan lain sebagainya. Didalam ilmu pengetahuan hukum, secara universal dikenal dengan istilah “delik”28.

Delik bukan saja berarti tindakan aktif dari pelaku tindak pidana akan tetapi

dapat juga diartinkan dalam bentuk pengabaian ataupun kelalaian seseorang dalam

suatu peristiwa pidana yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian.

Andi Hamzah mengemukakan, delik, delict, strafbaar feit, pffence, criminal act. Istilah yang umum dipakai dalam perundang-undangan Indonesia ialah “tindak pidana”, suatu istilah yang sebenarnya tidak tepat, karena delik itu dapat dilakukan tanpa berbuat atau bertindak, yang disebut pengabaikan (Belanda: nalaten; Inggris, negligence) perbuatan yang diharuskan. Oleh karena itu, orang Belanda memakai istilah strafbaar feit, yang jika diterjemahkan harfiah berarti peristiwa yang dapat dipidana. Dipakai istilah

feit maksudnya meliputi perbuatan dan pengabaian.29

H.R.Abdussalam mengatakan Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Untuk dapat dipidananya perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, perbuatan tersebut harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat30.

Tindak pidana dalam bahasa asing disebut dengan “Strafbare Feit” sering diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan berbagai macam terjemahan diantaranya diterjemahkan menjadi “Perbuatan yang dapat dihukum”, “Peristiwa pidana”, “Perbuatan pidana dan Tindak Pidana”, Para pakar hukum pun berbeda dalam menerjemahkan istilah tersebut, misalnya Moeljanto dan Ruslan Saleh menerjemahkan sebagai perbuatan pidana, sementara Ultrecht menganjurkan untuk memakai istilah peristiwa pidana, dan Satochid Kartanegara menganjurkan pemakaian istilah tindak pidana.31

28

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: CV. Rajawali 1987), hlm. 120.

29

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana , Op Cit, hlm. 47 dan 48.

30

H.R. Abdussalam, Hukum Pidana Prospek Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat (1) Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Restu Agung, 2006), hlm. 13.

31

(42)

Bahwa membahas tentang tindak pidana secara umum tentunya tidak bisa

lepas dari ketentuan yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Buku Kesatu diatur tentang

Ketentuan Umum, Buku Kedua tentang Kejahatan dan pada Buku Ketiga tentang

Pelanggaran.

Sedangkan pengertian tentang tindak pidana pemilu beberapa ahli hukum

telah memberikan defenisi sebagai berikut:

Djoko Prakoso mengemukakan tindak pidana pemilu adalah “Setiap orang,

badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum,

mengacaukan, menghalang-halangi atau menggangu jalannya pemilu yang

diselenggarakan menurut undang-undang”32

H. Muhsin mengemukakan tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 adalah “tindak pidana yang diatur secara limitative pada UU No. 10 tahun 2008, yang bila dirinci terdapat sebanyak 59 pasal. Berdasarkan pengertian tersebut, maka bila terjadi tindak pidana dalam proses pelaksanaan Pemilu yang bentuknya diluar sebagaimana diatur didalam UU tersebut, yaitu sebanyak 59 pasal, maka tindakan tersebut tidak dapat disebut sebagai tindak pidana pemilu, tetapi merupakan tindak pidana biasa.

.

33

Topo Santoso mengemukakan ada tiga kemungkinan pengertian dan cakupan dari tindak pidana pemilu: pertama, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam undang-undang pemilu;

kedua, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu

yang diatur baik didalam maupun diluar undang-undang pemilu (misalnya dalam UU Partai Politik ataupun didalam KUHP); dan ketiga, semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas, penganiayaan (kekerasan), perusakan dan sebagainya). Namun dia lebih memilih bahwa pengertian tindak pidana pemilu adalah semua tindak pidana

32

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, Op. Cit, hlm. 148.

33

(43)

yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam UU Pemilu maupun didalam UU Tindak Pidana Pemilu.34

Eko Wiyono didalam tulisannya tentang Optimalisasi Eksekusi Putusan

Tindak Pidana Pemilu Legislatif 2009 mengemukakan pelanggaran pidana pemilu

adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam

Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008.35

Pelaksanaan Pemilu Legislatif tahun 2009 dalam rangka memilih Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah diselenggarakan dengan beberapa tahapan, adapun

tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut36

1. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; :

2. Pendaftaran peserta Pemilu; 3. Penetapan peserta pemilu;

4. Penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan;

5. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota; 6. Masa Kampanye;

7. Masa Tenang;

8. Pemungutan suara dan penghitungan suara terdiri dari: a. Pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan TPSLN;

b. Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, PPLN, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi;

9. Penetapan hasil pemilu, terdiri dari: a. Penetapan hasil pemilu;

b. Penetapan perolahan kursi dan calon terpilih; 10.Pengucapan sumpah/janji anggota:

a. DPRD Kabupaten/Kota; b. DPRD Provinsi;

34

Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Op. Cit, hlm. 4 dan 5.

35

Eko Wilyono, Varia Peradilan, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2009), hlm. 23.

36

(44)

c. DPR dan DPD;

Menurut Eko Wilyono pada setiap tahapan dalam penyelenggaraan pemilu tersebut ternyata tidak terlepas dari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu yang dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan pemilu khususnya pada tahapan kampanye yang sangat riskan dan berpotensi menimbulkan pelanggaran terutama adanya money politics

sebagai salah satu cara efektif yang dapat digunakan oleh para peserta pemilu guna meraup suara sebanyak-banyaknya dengan cara yang tidak sah yang lazim terjadi dinegara sedang berkembang yang pada akhirnya akan dapat tidak hanya menghambat tapi juga dapat menggagalkan pesta demokrasi yang sangat diharapkan oleh semua pihak elemen bangsa dapat berlangsung dengan baik dan lancar37.

Dalam tahapan pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2009 sering terjadi

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

pemilu. Pelanggaran tersebut ada yang berupa pelanggaran administrasi pemilu dan

ada berupa pelanggaran pidana pemilu.

Pelanggaran administrasi pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu dan terhadap ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU, sedangkan pelanggaran pidana pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008.38

B.Tugas Dan Wewenang Pengawas Pemilihan Umum.

Penyelenggara pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 terdiri dari KPU,

KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia

Pemungutan Suara, Panitia Pemilihan Luar Negeri, Kelompok Penyelenggara

Pemungutan Suara Luar Negeri. Dalam rangka penyelenggaraan pemilu legislatif

37

Eko Wilyono, Varia Peradilan, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2009), Op cit. hlm. 22.

38

(45)

tahun 2009 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2007 Penyelenggara Pemilu haruslah berpedoman kepada asas :

a. Mandiri; b. Jujur; c. Adil;

d. Kepastian hukum;

e. Tertib penyelenggara Pemilu; f. Kepentingan umum;

g. Keterbukaan; h. Proporsionalitas; i. Profesionalitas; j. Akuntabilitas; k. Efisiensi; dan l. Efektivitas.

Supaya penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugasnya mentaati asas

penyelenggara pemilu maka diperlukan adanya pengawasan. Pasal 70 ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 menyatakan

“Pengawasan penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi,

Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan

Pengawas Pemilu Luar Negeri”.

Pengangkatan pengawas pemilu dilakukan melalui beberapa tahapan seleksi.

Untuk pengangkatan Anggota Bawaslu setelah dinyatakan layak dan patut oleh Tim

Seleksi maka pengesahannya ditetapkan dengan keputusan Presiden, untuk Anggota

Panwaslu Provinsi ditetapkan dengan keputusan Bawaslu, untuk anggota Panwaslu

Kabupaten Kota ditetapkan dengan keputusan Bawaslu, anggota Panwaslu

(46)

Pengawas Pemilu Lapangan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kecamatan,

pengawas Pemilu Luar Negeri dapat dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan

Bawaslu atas usulan kepala Perwakilan Republik Indonesia.

Netralitas dan independensi pengawas pemilu dalam mengawasi

penyelenggaraan pemilu legislatif tahun 2009 pada setiap tahapannya sangat

diharapkan, karena pada pemilu sebelumnya ketidakberdayaan panwaslu didaerah

dalam melaksanakan tugasnya sangat jelas terlihat, persoalan ini sangat terkait

dengan netralitas dari lembaga tersebut dalam melakukan pengawasan.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu memberikan perubahan dalam hal independensi. Meskipun tidak signifikan. Meskipun panwaslu di daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD, namun Bawaslu sendiri masih dipilih oleh DPR. Kita sudah mafhum, bahwa fit and proper test

yang dilakukan DPR sesungguhnya hanyalah formalitas semata. Sebab pilihan mereka sesungguhnya sudah jadi setelah lolos 15 nama dari hasil seleksi. Lima nama calon Bawaslu yang akan dipilih sebenarnya sudah jadi dan terkompromikan atas nama kepentingan politik yang tidak lepas dari unsur pragmatisme.39

Pengawasan didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam kata lainnya

disebut juga berupa kontrol, pemeriksaan, pengendalian.40

39

Dengan adanya

pengawasan diharapkan orang ataupun suatu lembaga dapat menjalankan fungsinya

sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya.

Rakyat), Panwaslu dan Bawaslu, Serupa Tapi (Tetap) sama, tanggal 1/6/2011, hlm. 2.

40

(47)

Adapun kedudukan dan tugas pengawas pemilu masing-masing berbeda

sesuai dengan tingkatannya. Pasal 1 angka (15), (16), (17), (18), (19)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 menyatakan : Badan Pengawas

Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang bertugas mengawasi

penyelenggaraan Pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Panwaslu Provinsi dan Panwaslu adalah Panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk

mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan kabupaten/kota,

Panwaslu Kecamatan adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota

untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah kecamatan atau nama lain,

Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan

untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di desa atau nama lain/kelurahan,

Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu untuk

mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.

Dalam membahas tentang tugas dan wewenang pengawas pemilu, untuk

memudahkan kita memahaminya perlu diuraikan terlebih dahulu pengertian tugas dan

wewenag tersebut.

Tugas dalam kata lainnya dapat disebut sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan

atau yang ditentukan untuk dilakukan, pekerjaan yang menjadi tanggungjawab

seseorang pekerjaan yang dibebankan, pegawai hendaklah menjalankan

masing-masing dengan baik.41

41

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op cit, hlm. 1215.

(48)

kekuasaan untuk bertindak, dan kewenangan adalah kekuasaan membuat keputusan,

memerintah dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain.42

Tulisan ini membahas tentang analisis penegakan hukum tindak pidana

pemilu legislatif tentang pelanggaran larangan kampanye dengan mengemukakan

contoh kasus tindak pidana pemilu pelanggaran larangan kampanye tentang

menggunakan atribut dan/atau tanda gambar selain atribut dan/atau tanda gambar

peserta pemilu yang bersangkutan pada pemilu legislatif tahun 2009 yang terjadi di

Kabupaten Padang Lawas dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Padangsidimpuan

Jo. Pengadilan Tinggi Medan . Untuk itu akan diuraikan tentang tugas dan wewenang

serta kewajiban Panwaslu Kabupaten/Kota.

Pasal 78 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2007 menyatakan:

(1). Tugas dan wewenag Panwaslu Kabupaten/Kota adalah:

a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kabupaten/kota yang

meliputi:

1 pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap;

2. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;

3. proses penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;

42

(49)

4. penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;

5. pelaksanaan kampanye;

6. perlengkapan pemilu dan pendistribusiannya;

7. pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil pemilu; 8. mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara; 9. pergerakan surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;

10. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU kabupaten/kota dari seluruh kecamatan;

11. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu Lanjutan, dan Pemilu susulan; dan

12. proses penetapan hasil Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;

b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;

c. menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan pemilu yang tidak mengandung unsur tindak pidana;

d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti;

e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;

f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu oleh penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota;

g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu yang sedang berlangsung;

h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan pemilu; dan

i. melaksanakan tugas dan wewenag lain yang diberikan oleh undang-undang. (2). Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Panwaslu

Kabupaten/Kota berwenang;

(50)

b. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu.

Dari ketntuan Pasal 78 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 2007 dapat dikelompokan beberapa bentuk tugas dan wewenang

dari Panwaslu Kabupaten/Kota diantaranya yaitu:

1. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan kelengkapan administrasi;

2. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan pelaksanaan kampanye;

3. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan perlengkapan pemilu,

pendistribusian dan pelaksanaan pemungutan suara;

4. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan prnghitungan suara hingga

penetapan hasil pemilu;

5. Kewenangan berhubungan dengan menerima laporan, memproses laporan,

meneruskan laporan, dan memberikan rekomendasi kepada yang berwenang.

Adapun tentang kewajiban Panwaslu Kabupaten/kota diatur pada Pasal 79

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 yang menyatakan

Panwaslu Kabupaten/Kota berkewajiban:

a. Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Panwaslu

pada tingkatan dibawahnya;

c. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;

d. Menyampaikan laporan kepada Panwaslu Provinsi sesuai dengan tahapan pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan;

(51)

Kabupaten/Kota yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan pemilu ditingkat kabupaten/kota; dan

f. Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Dari uraian tentang tugas dan wewenang Panwaslu kabupaten/kota, jika

terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai

pemilu maka Panwaslu kabupaten/kota berwenang untuk menerima laporan dan

kemudian menyelesaikan permasalahan tersebut atau meneruskan kepada instansi

yang berwenang.

Dalam hal adanya temuan atau laporan yang mengandung unsur tindak pidana

pemilu maka Panwaslu kabupaten/kota berwenang untuk menerima laporan

kemudian memberikan rekomendasi kepada yang berwenang, Dalam hal ini batasan

tugas dan kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota jelas hanya sampai ketingkat

pemberian rekomendasi, sedangkan kewenangan untuk melakukan penyidikan tetap

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi intensitas

Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, Perdagangan, dan Energi Sumber Daya Mineral adalah Instansi pemerintah yang menangani seluruh aspek terkait perkembangan industri

Buberian melihat relasi suami istri dalam kemanunggalan pada relasi I- Thou, seperti kata bijak, “Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku….” (Kej

Populasinya adalah mahasiswa Proram Studi Pendidikan Tata Boga angkatan 2010 sebanyak 46 orang dengan sampel jenuh.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada elemen

Dengan selesainya penulisan skripsi yang berjudul “REKONVENSI DALAM PERKARA PERMOHONAN CERAI TALAK (Analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Pekalongan Nomor:

Untuk mengetahui pengaruh secara serempak potensi kerja potensi kerja yang meliputi : motivasi, kemampuan dan komitmen organisasi terhadap kinerja terhadap kinerja

(1) Pemberian Bantuan Pemerintah dilaksanakan berdasarkan permohonan yang dilakukan secara tertulis dari calon penerima Bantuan Pemerintah kepada satuan kerja pemberi

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 126 Tahun 2016 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri sebagaimana