BAB I PENDAHULUAN
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.17Suatu teori harus dikaji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan pegangan teoritis.18 Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan.
Menurut Rawls, suatu konsepsi keadilan sosial harus dipandang sebagai instansi pertama, standar dari mana aspek distributif struktur dasar masyarakat dinilai.
Konsepsi seperti itu haruslah menetapkan cara menempatkan hak-hak dan kewajiban di dalam lembaga-lembaga dasar masyarakat, serta caranya menetapkan pendistribusian yang pas berbagai nikmat dan beban dari kerja sama sosial.
Pandangan ini dituangkan Rawls dalam konsepsi umum keadilan intuitif berikut:
Semua nikmat primer kemerdekaan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar kehormatan diri harus dibagikan secara sama (equally), pembagian tak sama (unequal) sebagian atau seluruh nikmat tersebut hanya apabila menguntungkan semua pihak.
Konsep umum di atas menampilkan unsur-unsur pokok keadilan sosial Rawls.
Bahwa (1) prinsip pokok keadilan sosial adalah equality atau kesamaan; yaitu: (2)
17 JJJ.Wuisman, penyunting M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, FE UI Jakarta, 2006, hal.203
18M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal.80.
kesamaan dalam distribusi; atas (3) nikmat-nikmat primer (primary goods); namun (4) ketidaksamaan (inequalities) dapat ditoleransi sejauh menguntungkan semua pihak. Dalam konsepsi umum ini, tampak bahwa teori keadilan Rawls mencakup dua sisi dari masalah keadilan: kesamaan (equality) dan ketidaksamaan (inequality). Di satu sisi, keadilan sosial adalah penerapan prinsip kesamaan dalam masalah distribusi nikmat-nikmat primer. Sementara di lain sisi, diakui, ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh hal itu menguntungkan semua, terutama golongan yang tertinggal.
Bagi John Rawls, konsepsi keadilan harus berperan menyediakan cara di dalam mana institusi-institusi sosial utama mendistribusikan hak-hak fundamental dan kewajiban, serta menentukan pembagian hasil-hasil dan kerja sama sosial. Suatu masyarakat tertata benar (well-ordered) apabila tidak hanya dirancang untuk memajukan nilai yang-baik (the good) warganya, melainkan apabila dikendalikan secara efektif oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu:
(1) Setiap orang menerima dan tahu bahwa yang lain juga menerima prinsip keadilan yang sama, dan
(2) Institusi-institusi sosial dasar umumnya puas dan diketahui dipuaskan oleh prinsip-prinsip ini.
John Rawls mengemas teorinya dalam konsep justice as fairness, bukan karena ia mengartikan keadilan sama dengan fairness, tapi karena dalam konsep keadilan tersebut terkandung gagasan bahwa prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan objek persetujuan asal dalam posisi simetris dan fair.
Dalam kesamaan posisi asal wakil-wakil mereka menetapkan syarat-syarat
fundamnetal ikatan mereka, menetapkan bentuk kerja sama sosial yang akan mereka masuki, dan bentuk pemerintahan yang akan didirikan. Cara memandang prinsip-prinsip keadilan seperti itu disebut Rawls justice as fairness.
Berkaitan dengan teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls tersebut di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 yang memuat ketentuan tentang larangan bagi pengangkatan calon notaris yang telah pernah dijatuhi hukuman pidana melalui suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (narapidana), dimana ancaman hukumannya adalah 5 (lima) tahun atau lebih.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan narapidana tersebut adalah narapidana anak, yang telah selesai menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan sesuai jangka waktu pidana penjara yang telah dijatuhkan hakim kepadanya. Namun demikian meskipun mantan narapidana anak tersebut telah lama bebas dari Lembaga Pemasyarakatan, namun pada saat ia akan diangkat menjadi notaris UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014, khususnya Pasal 3 huruf (h) tidak memperolehkannya. Hal ini jelas bertentangan dengan teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls. Karena semua orang memikiki hak dan kewajiban yang sama, serta memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.19
Ketentuan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut memiliki makna pembatasan hak asasi seseorang untuk memilih
19 Heru Supramono, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya Secara Perdata dan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 9
pekerjaan yang sesuai dengan keinginan irang tersebut, demi untuk memperoleh penghidupan yang layak bagi dirinya dan mungkin juga bagi keluarganya. Oleh karena itu Pasal 3 huruf (h) tersebut merupakan pendiskriminasian terhadap seorang narapidana (termasuk narapidana anak) yang ancaman hukuman pidana penjaranya 5 (lima) tahun atau lebih ketika akan diangkat menjadi notaris. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak asasi seseorang dalam memilih pekerjaan yang dikehendakinya atau yang dinginkannya agar dapat berkehidupan yang layak bersama keluarganya.20
Seorang mantan narapidana (termasuk mantan narapidana anak) setelah menjalani seluruh masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan berarti telah menebus kesalahannya dengan mengorbankan kebebasannya selama bertahun-tahun.
Negara telah memberikan hukuman atas kesalahannya yaitu dengan merampas kemerdekaannya dan memasukkannya ke Lembaga pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan selain tempat untuk menjalani hukuman bagi pelaku tindak pidana, juga sekaligus sebagai tempat pembinaan bagi orang-orang yang sedang menjalani hukuman tersebut (warga binaan).
Disebut dengan istilah lembaga pemasyarakatan menggantikan istilah penjara karena lembaga pemasyarakatan tersebut merupakan suatu wadah untuk melakukan proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya. Selanjutnya pembinaan
20 Rusdianto Sugondo, Tanggung Jawab Dan Sanksi Hukum Bagi Notaris Atas Akta Yang Dibuatnya¸ Rineka Cipta, Jakarta, 2013, hal. 58
diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.21
Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Suatu hal yang sangat ironis apabila warga binaan yang telah selesai menjalani hukuman dan juga telah memperoleh pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan tersebut pada saat ia bebas dan kembali ke masyarakat untuk kembali memperoleh pekerjaan dan penghidupan layak, ternyata ada ketentuan peraturan perundang-undangan yakni Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut yang tidak bisa memaafkan atau tetap menghukum mantan narapidana anak tersebut untuk tidak bisa diangkat menjadi seorang notaris hanya karena orang tersebut sudah pernah menjadi narapidana anak karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana penjara 5 tahun atsu lebih.22
21Abidin Murtama, Wewenang Tanggung Jawab Notaris Berdasarkan UUJN No. 30 Tahun Tahun 2004, Mitra Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 18
22Maidi Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Mitra Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 12
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut telah memvonis tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan HAM bahwa seorang mantan narapidana anak meskipun telah selesai menjalani hukumannya, namun karena anak tersebut telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, maka ia tidak bisa diangkat menjadi notaris, meskipun syarat-syarat lainnya untuk pengangkatan orang twrsebut menjadi notaris telah terpenuhi seluruhnya.23
Oleh karena itu ketentuan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut dipandang telah bertentangan dengan teori keadilan dari John Rawls yang digunakan sebagai pisau analisis bagi penelitian ini. Setiap orang harus memperoleh hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan ketetapan yang telah digariskan dalam undang-undang mengenai hak asasi manusia. Orang yang meskipun ia mantan narapidana anak, dan telah menjalani masa hukumannya dengan baik, pada saat ia kembaki ke masyarakat maka hak-haknya telah sama kembali dengan hak-hak anggota masyarakat lainnya. Ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh memperlakukan mantan narapidana anak tersebut secara diskriminatif dan tidak adil, karena hal tersebut telah melakukan diskriminasi terhadap mantan napi anak tersebut. Ketentuan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut telah menghukum mantan narapidana anak tersebut untuk kedua kalinya setelah hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadapnya. Bahkan hukuman
23 Darwin Prints, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakkan Hak Asasi Manusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal. 15
yang dijatuhkan oleh Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut seolah olah kesalahan mantan narapidana anak tersebut tidak termaafkan/tidak terampuni selama-lamanya, meskupun mantan narapidana anak tersebut telah berprilaku baik di tengah-tengah masyarakat.
2. Konsepsi
Konsepsi diterjemahkan sebagagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan "definisi operasional".24Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu:
1. Keberpihakan hukum adalah: suatu keadaan dimana ketentuan peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan dan keadilan kepada anggota masyarakat yang membutuhkan perlindungan hukum dan keadilan karena telah diperlakukan secara tidak adil oleh aparat penegak hukum maupun ketentuan peraturan perundang-undangan itu sendiri dalam memperjuangkan hak-hak asasinya untuk mendapatkan pekerjaan yang dikehendakinya dan memperoleh kehidupan layak untuk melanjutkan hidupnya dan keluarganya.
2. Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat Akta Otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh
24Bambang Sunggono, Methode Penelitian Hukum, Harvarindo, Jakarta, 2013, hal.59
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosee, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.
3. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
4. Mantan Narapidana Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 5 tahun atau lebih dan telah divonis oleh pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan telah selesai menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan.
5. Pengangkatan Notaris adalah pelantikan seseorang oleh negara (DEPKUMHAM) berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk dapat resmi menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik dan kewenangan lainnya yang diberikan UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 kepada notaris tersebut.