BAB II STATUS HUKUM CALON NOTARIS MANTAN
B. Tinjauan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana 51
Anak dalam kedudukannya sebagai pelaku tindak pidana seharusnya tidak langsung mendapat penilaian buruk di masyarakat, namun harus terlebih dahulu didalami latar belakang kehidupannya dalam keluarga dan lingkungan tempat tinggal dan tempat bermainnya, baru dapat dipahami tentang mengapa anak tersebut melakukan tindak pidana. Memahami tentang anak, harus mengerti benar tentang hakekat anak yang meliputi beberapa aspek yaitu perkembangan kepribadian anak, tanggung jawab terhadap anak sebagai generasi muda, hak-hak anak dan faktor-faktor anak melakukan pelanggaran hukum.
Anak-anak sama sekali bukan individualis. Mereka bergantung kepada orang dewasa yang mereka kenal, juga kepada ribuan orang lain, yang membuat keputusan setiap hari dan mempengaruhi kesejahteraan mereka. Kita semua, entah sadar atau tidak, bertanggung jawab untuk memutuskan apakah anak -anak kita dibesarkan dalam sebuah bangsa yang tidak hanya menjunjung nilai-nilai keluarga tetapi juga menghargai keluarga berikut anak-anak didalamnya.42
Pendapat tersebut mengingatkan kita untuk menyadari bahwa anak dalam perkembangannya menjadi individu dewasa, memerlukan orang lain sebagai teman yang terdekat dengan dirinya untuk membimbingnya atau pun mendidiknya. Ia belum
41 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notaris di Indonesia : Suatu Penjelasan, Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 23
42Darwan Prins, Hukum Anak di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 53-55
mampu melindungi dirinya sendiri dari tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian baik fisik, mental maupun sosial dalam berbagai segi kehidupannya. Dalam perkembangannya yang meliputi banyak segi, perlu diingat bahwa kecepatan perkembangan pun tidak sama pada setiap anak. Sehingga anak tidak boleh terlalu ditekan agar perkembangannya sama dengan kecepatan anak lain. Di dalam psikologi perkembangan banyak dibicarakan bahwa dasar kepribadian seseorang terbentuk pada masa anak-anak. Anak adalah generasi muda harapan bangsa. Generasi muda apabila sudah sampai saatnya akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara. Mereka nanti yang akan menentukan kesejahteraan bangsa di waktu mendatang. Oleh karena itu generasi muda perlu dibina dengan baik agar mereka tidak salah jalan dalam kehidupannya kelak.43
Mereka diharapkan dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dirinya dan menguntungkan bagi masyarakat. Ciri dan watak bangsa Indonesia saat ini akan banyak ditentukan oleh kasih sayang, perhatian dan pendidikan yang kita berikan kepada anak-anak kita pada saat sekarang. Hari depan (generasi muda) ditentukan oleh hari ini. Lebih tegas lagi dikatakan bahwa “the future is now”.44Dengan latar belakang pemikiran yang demikian maka di dalam hukum, seorang anak telah diberikan hak dan kewajiban tertentu. Hak-hak ini diatur secara tersebar dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Tidak hanya
43 Maidi Gultom, Perindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistim Peradilan Anak di Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, 2008, hal. 46
44Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 2010, hal. 78
di dalam Hukum Nasional anak-anak mempunyai hak dan kewajiban, tetapi juga dalam Hukum Internasional.
Khusus perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di dalam hukum nasional selain diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 juga diatur di dalam beberapa perundang-undangan lain yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 juncto UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Perlindungan hukum terhadap anak tersebut bertujuan untuk melindungi hak-hak anak yang telah melakukan pelanggaran hukum karena faktor-faktor yang sebenarnya tidak terlepas dari peran orang dewasa. Dengan demikian dapat kita pahami adalah merupakan hal yang penting pula untuk menyelidiki faktor-faktor penyebab ataupun latar belakang seorang anak melakukan tindak pidana dan selanjutnya menentukan langkah yang terbaik bagi anak tersebut sehubungan dengan perbuatan yang telah dilakukannya.45
Setelah memahami tentang perkembangan anak dan faktor-faktor penyebab anak melakukan tindak pidana, maka diperoleh pengertian bahwa terdapat suatu jurang antara anak-anak dan orang dewasa, sehingga seorang anak tidak dapat dipandang atau diperlakukan sama dengan orang dewasa. Dengan demikian anak selaku pelaku tindak pidana seharusnya memperoleh pembinaan akhlak dan moral yang lebih intensif agar dapat kembali menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan benar. Bukan sebaliknya setiap anak selaku pelaku tindak pidana dikucilkan, bahkan memperoleh Stigma buruk seilah-olah anak tersebut tidak akan bisa lagi
45Sri Widowati, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES, Jakarta, 2011, hal. 45
berubah ke jalan yang benar apabila anak tersebut telah melakukan tindak pidana walau hanya satu kali saja, dan telah menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan anak.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa nara pidana anak secara peraturan perundang-undangan yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 45 KUH Pidana dan juga Undang-Undang No.23 Tahun 2002 jo UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa perlakuan terhadap anak selaku tindak pidana harus dilakukan secara khusus mengingat usianya yang belum dewasa atau belum berusia 16 tahun, sehingga masih memiliki masa depan yang cukup panjang dan dapat merubah sikap dan perilaku di kemudian hari. Disamping itu anak selaku pelaku tindak pidana pada umumnya dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada, sehingga dalam pelaksanaan pidana yang dilakukan oleh anak belum dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan kepadanya, karena tingkat pengetahuan dan pola pikirnya yang masih sederhana yang tidak dapat dipersamakan dengan orang-orang dewasa.46
Secara umum perlindungan dan hak-hak anak dijamain oleh UUD 1945 pada Pasal 28 D ayat 2 yang berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Ketentuan dalam UUD 1945 ini memang tidak secara langsung memerintah terkait dengan anak-anak yang bermasalah dengan hukum, tetapi secara
46Beni Harmoni Harefa, Vivi Arianto, Seputar Perkembangan Sistem Peradilan Pidana Anak dan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2015, hal. 78
umum menegaskan perihal hak-hak dan perlindungan anak-anak. Ketentuan dalam UUD 1945 ini kemudian dipertegas dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 58 ayat 1 yang berbunyi “Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut”.
Secara khusus perlindungan dan hak anak yang bermasalah dengan hukum secara material dijamin dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Pasal 66 ayat 1 berbunyi “Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”. Pada Pasal 66 ayat 2 berbunyi “hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak”. Pada Pasal 66 ayat 4 berbunyi
“penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir”.
Pada Pasal 66 ayat 5 berbunyi “setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya”. Pada Pasal 66 ayat 6 berbunyi “Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku”, dan pada Pasal 66 ayat 7 yang berbunyi “setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum”
Perlindungan dan hak-hak anak juga ditegaskan secara spesifik dalam UU No.
3 tahun 1997 tentang Peradilan anak. Pada poin menimbang dalam Undang-Undang ini disebutkan, untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, sehingga ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.Dalam konteks perlindungan anak, dibentuklah sidang khusus anak-anak. Anak-anak yang belum mencapai 8 tahun dan melakukan atau diduga melakukan tindak pidana maka boleh dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. Penyidik mempunyai kewenangan untuk merekomendasikan pembinaannya kepada pembinaan orang tua, wali atau orang tua asuhnya. Penyidik juga berwenang merekomendasikan setelah memeriksa anak bermasalah dengan hukum untuk diserahkan kepada Departemen Sosial setelah mendapatkan pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.47
Pada Pasal 41 UU No. 3 tahun 1997 ditegaskan bahwa penyidik dalam kasus anak yang bermasalah dengan hukum ditetapkan dengan Surat Keputusan Kapolri yang menegaskan bahwa penyidik tersebut telah berpengalaman sebagai penyidik dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Penyidik dalam memeriksa kasus anak-anak harus melakukannya dengan nuansa kekeluargaan, dalam
47 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi, Refika Adiama, Bandung, 2012, hal. 90
melakukan penyidikan, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan bahkan jika perlu dapat meminta saran kepada ahli pendidikan, ahli kesehatan, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.
Penyidik juga harus merahasiakan terhadap proses penyidikan perkara anak-anak tersebut. Penahanan terhadap anak bermasalah juga harus mempertimbangkan kepentingan anak-anak dan masyarakat. Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa.48
Selama dalam masa tahanan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap terpenuhi. Penahanan terhadap anak paling lama 15 hari, jika dibutuhkan lagi demi kepentingan pemeriksaan, bisa dilakukan perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 hari, jika dalam penambahan waktu, hakim masih belum memutuskan maka anak yang bermasalah tersebut harus dikeluarkan. Setiap anak yang ditangkap dan ditahan berhak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum, pejabat yang melakukan penangkapan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali atau orang tua asuh mengenai hak memperoleh bantuan hukum, dan juga berhak untuk berhubungan langsung dengan penasehat hukum.
Penuntutan terhadap anak bermasalah dengan hukum juga harus dilakukan oleh Penuntut Umum berdasarkan keputusan Jaksa Agung atau pejabat lainnya yang ditunjuk Jaksa Agung, dengan syarat para penuntut umum tersebut mempunyai
48Safroedin Bahar, Hak Asasi Manusia, Analisis Komnas HAM dan Jajaran Jankam/ABRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2013, hal. 34
pengalaman sebagai penuntut umum dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan mempunyai pemahaman terhadapa masalah anak. Demikian juga hakimnya, syarat-syaratnya harus berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Demi kepentingan hak anak, dalam pemeriksaan di Sidang Pengadilan, sebelum sidang dibuka, hakim memerintahkan agar pembimbing kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan, setelah sidang dibuka, persidangan tertutup untuk umum dan terdakwa didampingi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan.49
Perlindungan dan hak-hak yang bermasalah dengan hukum juga dikemukakan dalam UU No. 23 tahun 2002 juncto UU no.39 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 1 ayat 2 dikatakan bahwa perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pada Pasal 2 dikatakan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-HakAnak yang meliputi, non diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.
49Ibid, hal. 35
Terkait perlindungan dan hak anak yang bermasalah dengan secara spesifik dikatakan pada Pasal 16 ayat 1 yang berbunyi “setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”. Pasal 16 Ayat 2 berbunyi “setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum”. Pasal 16 Ayat 3 berbunyi “penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Pasal 17 ayat 1 dan 2 juga ditegaskan bahwa setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk, pertama, mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa. Kedua, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
Ketiga, membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Keempat, setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Perlindungan khusus terkait anak yang bermasalah dengan hukum dinyatakan pada Pasal 64 ayat 1, 2 dan 3 yang meliputi, pertama, perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Kedua, perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. Ketiga, penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini. Keempat, penyediaan sarana dan prasarana khusus. Kelima, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.
Keenam, Jika dianggap telah melanggar hukum pidana, anak berhak agar keputusan dan setiap tindakan yang dikenakan sebagai akibatnya ditinjau kembali oleh pejabat yang lebih tinggi yang berwenang, independen dan tidak memihak atau oleh badan peradilan sesuai dengan hukum yang berlaku. Ketujuh, dijamin untuk memperoleh bantuan cuma-cuma dari seorang penerjemah apabila anak tidak dapat memahami atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan. Kedelapan, dijamin untuk dihormati sepenuhnya kehidupan pribadinya dalam semua tahap proses pengadilan.50
Dalam konvensi juga ditegaskan bahwa negara harus berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana, dan khususnya, pertama, menetapkan usia minimum sehingga anak-anak yang berusia di bawahnya dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana. Kedua, bilamana layak dan diinginkan, melakukan langkah-langkah untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa harus menempuh jalur hukum, dengan syarat bahwa HAM dan perangkat pengamanan hukum sepenuhnya dihormati.
Pada Pasal 40 ayat 4 Konvensi ini juga menegaskan bahwa berbagai penyelesaian perkara seperti pemeliharaan, perintah pemberian bimbingan dan pengawasan; pemberian nasihat, masa percobaan, pemeliharaan anak, program-program pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan alternatif-alternatif lain di luar
50W. Soetodjo, Hukum Acara Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2014, hal. 65
memasukkan anak ke dalam lembaga perawatan harus disediakan guna menjamin anak-anak ditangani dengan cara yang layak bagi kesejahteraan mereka, dan sebanding baik dengan keadaan mereka, maupun dengan pelanggaran yang dilakukan.
Perlindungan dan hak anak yang bermasalah dengan hukum juga diatur dalam Peraturan-Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Adiministrasi Peradilan Bagi Anak. Peraturan ini menegaskan beberapa hal, pertama, pada saat penangkapan, orang tua harus segera diberitahu tentang penangkapan, dan pejabat yang berwenang tanpa penundaan mempertimbangkan isu pembebasan sehingga ada penghormatan terhadap status hukum, memajukan kesejahteraan dan menghindarkan kerugian.
Kedua, para penegak hukum harus mempertimbangkan penanganan anak-anak yang bermasalah lewat jalur di luar pengadilan. Ketiga, agar dilakukan pendidikan dan pelatihan khusus bagi Polisi-Polisi yang bertugas pencegahan kejahatan remaja.
Keempat, penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir dan diganti dengan langkah-langkah alternatif seperti pengawasan secara dekat, perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga atau suatu tempat atau rumah pendidikan. Kelima, proses peradilan harus kondusif bagi kepentingan anak-anak dan dilaksanakan dalam suasana pengertian yang memungkin anak-anak terlibat di dalamnya. Keenam, selama proses peradilan anak-anak yang bermasalah dengan hukum berhak mewakilkan seorang penasehat hukum, berhak atas bantuan hukum bebas biaya, dan orang tua atau walinya berhak untuk ikut serta
dalam proses peradilan. Ketujuh, sebelum vonis dijatuhkan, latar belakang dan keadaan anak harus diselidiki secara benar.51
Keenam, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. Ketujuh, pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga. Kedelapan, perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Kesembilan, perlindungan melalui upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. Kesepuluh, upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Kesebelas, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial, dan pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Perlindungan dan hak-hak anak yang bermasalah dengan hukum juga dijamin sangat serius dalam instrumen hukum HAM internasional. Konvensi hak anak (Convention on the Rights of child) Pasal 37 menegaskan beberapa hal, pertama, tidak seorang anak pun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Hukuman mati, atau seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak boleh dikenakan pada kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang berusia di bawah 18
51 Rika Salaswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 12
tahun. Kedua, tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang.52
Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum, dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Ketiga, Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat kemanusiaannya, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia seusianya. Khususnya, setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus dipisahkan dari orang-orang dewasa, kecuali bila dianggap bahwa kepentingan terbaik si anak yang bersangkutan menuntut agar hal ini tidak dilakukan, dan anak berhak untuk mempertahankan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaan khusus. Keempat, setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak untuk secepatnya memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain yang layak, dan juga untuk menggugat keabsahan perampasan kemerdekaannya di depan pengadilan atau pejabat lain yang berwenang, independen, dan tidak memihak, dan berhak untuk dengan segera memperoleh keputusan mengenai tindakan perampasan kemerdekaan tersebut.
Pasal 40 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa hak setiap anak yang disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan peningkatan perasaan anak akan martabat dan harga dirinya, yang memperkuat penghargaan anak pada hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang
52Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta, 2001, hal. 213
lain, dan yang mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk meningkatkan reintegrasi anak dan menciptakan anak yang berperan konstruktif dalam masyarakat.
Dalam rangka untuk memenuhi hak-hak tersebut, harus dijamin, pertama, tak seorang anak pun dapat disangka, dituduh atau dinyatakan melanggar hukum pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada saat tindakan itu dilakukan. Kedua, dijamin tidak bersalah hingga dibuktikan kesalahannya menurut hukum. Ketiga, dijamin untuk secepatnya dan secara langsung diberitahu mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan jika dipandang layak, melalui orang tua atau wali anak yang sah, dan untuk memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain dalam mempersiapkan dan mengajukan pembelaannya. Keempat, dijamin memperoleh keputusan atas masalah tersebut tanpa ditunda-tunda oleh pejabat atau lembaga pengadilan yang berwenang, independen, dan tidak memihak dalam suatu pemeriksaan yang adil sesuai dengan hukum, dengan kehadiran penasihat hukum atau bantuan lain yang layak. Kelima, dijamin untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau mengakui kesalahan; untuk memeriksa atau menyuruh memeriksa saksi-saksi yang memberatkan, dan untuk memperoleh peran serta dan pemeriksaan saksi-saksi yang meringankan anak dalam kondisi kesetaraan.
Dari uraian di atas maka secara hukum kedudukan anak tetap memperoleh perlindungan hukum dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan anak, peradilan anak maupun HAM meskipun anak tersebut telah melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi hukuman dan telah menjalani hukuman tersebut. Hal ini disebabkan karena pertimbangan bahwa anak pelaku tindak pidana
tersebut, masih punya harapan sebagai penerus bangsa, dan masih punya kesempatan yang cukup luas untuk berubah sikap kembali ke jalan yang baik dan benar.Bila dikaitkN dengan Pasal 3 huruf h UUJN perubahan No.2 Tahun 2014, yang tidak memberi kesempatan kepada mantan narapidana anak untuk menjadi notaris, merupakan ketentuan yang sudah bertentangan dengan peraturan yang mengatur tentang HAM, perlindungan anak dan juga sistem psradilan anak yang pada prinsipnya tetap mengakui dan melindungi hak-hak anak meskipun anak tersebut telah melakukan tindak pidana, telah dijatuhi hukuman dan telah menjalani
tersebut, masih punya harapan sebagai penerus bangsa, dan masih punya kesempatan yang cukup luas untuk berubah sikap kembali ke jalan yang baik dan benar.Bila dikaitkN dengan Pasal 3 huruf h UUJN perubahan No.2 Tahun 2014, yang tidak memberi kesempatan kepada mantan narapidana anak untuk menjadi notaris, merupakan ketentuan yang sudah bertentangan dengan peraturan yang mengatur tentang HAM, perlindungan anak dan juga sistem psradilan anak yang pada prinsipnya tetap mengakui dan melindungi hak-hak anak meskipun anak tersebut telah melakukan tindak pidana, telah dijatuhi hukuman dan telah menjalani