• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STATUS HUKUM CALON NOTARIS MANTAN

C. Legalitas Ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014

Hukum (Equality Before The Law)

Equality before the law adalah asas persamaan di hadapan hukum, dimana didalamnya terdapat suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap Individu. Asas ini tertuang di dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Asas Equality Before The Law merupakan salah satu konsep negara hukum selain supremasi hukum dan hak asasi manusia. Dalam pelaksanaannya di Indonesia peraturan pelaksana terhadap hak-hak asasi manusia tertuang dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kedudukan yang sama dalam hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yaitu meliputi hukum privat dan hukum publik. Tujuan utama adanya Equality before the law adalah menegakkan keadilan dimana persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang

70 Masyhur Effendi, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 76

meminta keadilan kepadanya. Konsep ini merupakan bukti bahwa sistem hukum anglo saxon dengan ciri rule of law telah dikukuhkan dalam muatan konstitusi.

Hingga asas ini menghindari terjadinya diskriminasi dalam supremasi hukum di Indonesia. Berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang didalamnya terdapat ketentuan semua orang sama kedudukannya di dalam hukum yaitu:

1. UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaaan Kehakiman, khususnya Pasal 4 2. UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Acara Pidana tersurat di dalam bagian

menimbang huruf a dan penjelasan Umum butir 3 huruf a.

3. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3 ayat (2) dan Pasal (5) ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tersirat di dalam Pasal 10.

Konsep equality Before The Law di dalam negara pancasila ialah mengakui keberadaan persamaan didepan hukum, sebagai negara hukum dengan prinsip-prinsip HAM. Namun ketika berbicara tentang keadilan maka Negara Indonesia dengan Pancasilanya mengakui keadilan sosial.

Di dalam dokumen international yaitu Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948, tentang asas persamaan kedudukan di dalam hukum (APKDH) dapat dibaca melalui Pasal 6 yang menyatakan “Every has the right to recognition everywhere as a person before the law”. Konsep Equality before the law telah diintrodusir dalam konstitusi, suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di tanah air, prinsip ini berarti persamaan di hadapan hukum adalah untuk perkara (tindak pidana) yang sama. Dalam kenyataan, biasanya tidak

ada perlakuan yang sama dan itu menyebabkan hak-hak Individu dalam memperoleh keadilan terabaikan. Dalam Konsep equality before the law, hakim harus bertindak seimbang dalam memimpin sidang di pengadilan atau biasa disebut sebagai prinsip audi et alteram partem.

UUD 1945 secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Pasal 27 ayat (1). Pasal ini memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum.

Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above the law’, artinya tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas hukum.

Sementara yang dimaksudkan dengan kedudukan yang sama dalam hukum”

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 meliputi baik bidang hukum privat maupun hukum publik, dengan demikian setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dengan mempergunakan kedua kelompok hukum tersebut dan jika ditilik selanjutnya tampak bahwa “hukum” yang

dimaksud sebagai alat, sudah mencakup segi-segi keperdataan dan kepidanaan, serta cabang-cabang hukum publik lainnya, seperti hukum tata negara, hukum tata pemerintahan, hukum acara pidana/perdata dan sebagainya.71

Tujuan utama adanya Equality before the law adalah menegakkan keadilan dimana persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya. Diharapkan dengan adanya asas ini tidak terjadi suatu diskriminasi dalam supremasi hukum di Indonesia dimana ada suatu pembeda antara penguasa dengan rakyatnya. Bila meneliti ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014, maka ketentuan Pasal tersebut mengandung unsur diskriminatif dalam hal pengangkatan calon notaris, khususnya terhadap calon notaris yang telah oernah dipidana penjara dengan pidana penjara selama lima tahun atau lebih. Termasuk bila hukuman pidana penjara tersebut dijalani oleh seorang notaris pada saat ia masih berusia anak-anak atau dibawah umur. Pasal 3 huruf H tersebut sama sekali tidak memberikan maaf kepada calon notaris yang telah pernah menjalani pidana penjara selama lima tahun atau lebih, meskipun pidana penjara tersebut dijalani oleh calon notaris tersebut hanya satu kali saja. Dengan kata lain meskipun hukuman penjara yang dijalani oleh calon notaris tersebut hanya satu kali, namun bila pidana penjara yang dijalaninya itu mencapai lima tahun atau lebih maka calon nilotaris tersebut selama hidupnya tidak dapat diangkat sebagai notaris.

Ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P tersebut jelas sekali bertentangan dengan Pasal

71Arif Gosita, Hak dan Kewajiban Anak (Suatu Tinjauan Yuridis Sosiologis), Pustaka Ilmu, Jakarta, 2011, hal. 45

28D UUD 1945, ysng menjamin sepenuhnya hak asasi setiap warga negara Indonesia untuk mencari oekerjaan dan penghidupan yang layak.

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Setiap orang yang menjadi warga indonesia secara hukum telah mendapatkan perlindungan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, bila mana terjadi diskriminasi setiap warga indonesia berhak melapor ke polisi, dari situlah setiap warga Indonesia berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan perlindungan. Tidak memandang orang itu kaya atau miskin bila melakukan pelanggaran maka akan tetap kenai hukuman.

UUD 45 Pasal 28 juga Merupakan perintah konstitusi untuk menjamin setiap warga Negara, termasuk orang yang tidak mampu, untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan dengan baik. Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum tersebut melalui proses hukum yang dijalankan oleh penegak hukum, namun posisi dan kedudukan seseorang didepan hukum (the equality of law) ini, menjadi sangat penting dalam mewujudkan tatanan sistem hukum serta rasa keadilan masyarakat. Setiap orang juga berhak mendapatkan jaminan perlindungan bagi dirinya dan keluarganya secara adil dan merata, namun pada kenyataanya masih banyak dari mereka yang mendapatkan perilaku buruk di dalam mendapatkan perlindungan.

Selanjutnya Pasal 28D ayat (2) menyebutkan bahwa, "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". Setiap orang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, upah/imbalan merupakan hal yang sewajarnya sebagai bentuk kompensasi atas kontribusi yang diberikan buruh pada perusahaan, Setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja tersebut, misalnya perlakuan yang adil yaitu tanpa adanya perbedaan status, suku, maupun keyakinan, sehingga setiap pekerja merasa tenang dan nyaman atas perlakuan adil dan jaminan yang di berikan. Namun seiring berjalannya waktu perlindungan terhadap tenaga kerja masi sangat kurang, contohnya para TKI (migran), kematian kekerasan dan berbagai pelanggaran HAM lainnya, Salah satu faktor keberhasilan adalah anda telah mampu membangun kepercayaan di kalangan bawahan, bersama bawahan berkomitmen untuk menerapkan kerjasama dalam berperilaku dan bekerja. Bekerja dalam 1 tim yang solid.72

Pasal 28 D ayat 3, UUD 1945.menyebutkan bahwa, "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan". Setiap warga negara Indonesia berhak terlibat / aktif didalam pemerintahan dan dapat mengemukakan pendapat serta duduk didalam pemerintahan tersebut, asalkan memenuhi syarat – syarat dan ketentuan yang berlaku sehingga tidak heran jika orang berlomba –lomba untuk bisa duduk di kursi pemerintahan, namun masih saja ada diskriminasi sosial.

72Leden marpang, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta, Cet. 3, 2005, hal. 34

Selanjutnya Pasal 28D ayat 4 menyebutkan bahwa, "Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan". Setiap warga negara indonesia yang lahir di negara indonesia sudah merupakan warga negara Indonesia yang dapat di lihat dari akte kelahiran. Jadi sekirannya setiap orang dapat mendapatkan keadilan kesejaheraan dan kemakmuran dalam kehidupan bernegara dan bertanah air.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa legalitas keberlakuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 tersebut patut dipertanyakan, karena telah bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat 1, 2, 3 dan 4, yang melindungi dan menjamin hak-hak asasi setiap warga negara Indonesia, khususnya dalam hal mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. Negara menjamin sepenuhnya kebebasan setiap warga negara Indonesia dalam hal mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak demi kelangsungan hidup dirinya secara pribadi maupun keluarganya. Tidak semua warga negara dalam hidupnya luput dalam melakukan tindak pidana dan menjalani hukuman pidana penjara. Dalam kehidupan masing-masing warga negara, ada yang pernah khilaf dan melakukan tindak pidana bahkan ketika ia masih tergolong berusia anak-anak. karena perbuatannya tersebut ia terpaksa menjalani hukuman pidana penjara, untuk menebus kesalahannya tersebut. Namun meskipun ia telah menebus kesalahan tersebut dengan menjalani hukumannya, ia tetap saja dipandang sebagai manusia yang pernah berbuat kesalahan dan menjalani hukuman lima tahun ke atas.73

73AZ Nasution, Hukum perindungan Suatu Pengantar, Diadil Media, Jakarta, 2002, hal. 23

Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 tetap memandang orang yang telah pernah menjalani hukuman lima tahun ke atas tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi notaris. Oleh karena itu Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 legalitasnya harus dipandang tidak sah karena bertentangan dengan UUD1945 dan HAM di Indonesia. Namun untuk membatalkan ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P Nom2 Tahun 2014 tersebut harus diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, sebagai satu-satunya peradilan yang berwenang menguji suatu ketentuan peraturan perundang-undangan apakah bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. apabila Mahkamah Konstitusi memandang bahwa Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 maka ketentuan tersebut dapat dibatalkan/dicabut keberlakuannya, dan karena itu menjadi tidak lagi memiliki kekuatan mengikat.

Ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 yang menyamakan perlakuan antara narapidana antara dewasa dan narapidana anak yang sama-sama tidak dapat dilantik adalah suatu ketentuan yang melanggar asas keadilan bagi anak sebagai generasi penerus bangsa. Pada hakekatnya meskipun seorang anak telah melakukan tindak pidana, namun dalam hal proses hukum terhadap anak pelaku tindak pidana tersebut oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tetap diperlakukan secara khusus diantaranya adalah hakim maupun jaksa penuntut umum yang menangani perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut tidak boleh menggunakan toga (pakaian dinas jaksa maupun hakim), demikian juga pengacara tidak boleh menggunakan toga sidang, agar tidak menimbulkan rasa takut kepada

anak tersebut, dan jalannya persidangan yang diharapkan bersahabat bagi narapidana anak tersebut.

Demikian pula halnya dengan penjatuhan hukuman kepada narapidana anak berbeda dengan penjatuhan hukuman kepada narapidana dewasa. Dalam hal penjatuhan hukuman anak maka hukuman yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari setengah dari penjatuhan hukuman terhadap narapidana orang dewasa yang melakukan tindak pidana yang sama. Dalam hal penanganan dan pemasyarakatan napi anak juga harus diperlakukan secara khusus dengan memisahkan napi dewasa dengan napi anak yaitu dengan mengadakan secara khusus lembaga pemasyarakatan anak tersebut. Hal ini membuktikan bahwa meskipun seorang anak telah melakukan tindak pidana namun undang-undang tetap memberikan perlakuan khusus kepada narapidana anak tersebut, karena masih memiliki cukup besar peluang untuk merubah sikap dan perilaku serta masih cukup banyak kesempatan untuk berubah sikap menjadi baik dan kembali dapat diterima di masyarakat.

BAB IV

PEMBELAAN HUKUM TERHADAP CALON NOTARIS MANTAN NARAPIDANA ANAK TERHADAP PENERAPAN PASAL 3 HURUF H

UUJN-P NO.2 TAHUN 2014 BILA DIKAITKAN DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA

YANG DIJAMIN DALAM UUD 1945

A. Tinjauan Umum Tentang Fungsi Hukum Dalam Masyarakat

Hukum harus dilihat sebagai suatu hubungan kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutu-han-kebutuhan sosial. Hukum itu merupakan a tool of social engineering yang terjemahannya hukum sebagai pranata sosial atau hukum sebagai alat untuk membangun masyarakat.

Pada saat terjadinya keseimbangan antara kepentingan dalam masyarakat maka yang akan muncul adalah keinginan hukum. Ada tiga penggolongan utama terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Pertama, public interests, yang meliputi kepentingan negara sebagai badan hukum dalam tugasnya untuk memelihara hakikat negara dan kepentingan negara sebagai penjaga dari kepentingan sosial. Kedua, kepenting orang-perorangan yang dibeda-kan menjadi tiga kepentingan lagi, yakni; a) kepentingan pribadi (fisik, kebebasan, kemauan, kehor-matan, privacy, kepercayaan dan pendapat), b) kepentingan-kepentingan dalam hubu-ngan di rumah tangga, dan c) kepentihubu-ngan mengenai harta benda. Ketiga, kepentihubu-ngan sosial yang meliputi keamanan umum, keamanan dari institusi-institusi sosial, moral umum, pengamalan sumber daya sosial, kemajuan sosial dan kehidupan individual.74

74Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri, (Direktorat jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2004, hal.56

Fungsi hukum lainnya yaitu hukum sebagai a tool of social control (fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial). Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial maka hukum itu bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya. Di dalam peranannya yang demikian ini, hukum hanya mempertahankan apa saja yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima dalam masyarakat atau hukum sebagai penjaga status quo, tetapi di luar itu hukum masih dapat menjalankan fungsinya yang lain, yaitu dengan tujuan utuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat.

Selanjutnya, fungsi hukum sebagai simbol, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan simbolis adalah “involes the process whereby persons consider in simpleterm the social relationships and other phenomena arising from theri interaction...”(simbolis ini mencakup proses-proses dalam mana seseorang menerjemahkan atau menggambarkan atau mengartikan dalam suatu istilah yang sederhana tentang perhubungan sosial serta fenomena-fenomena lainnya yang timbul dari interaksinya dengan orang lain). Contohnya dalam hukum, seseorang yang mengambil barang orang lain dengan maksud untuk memiliki, dengan jalan melawan hukum, maka oleh hukum pidana disimbolkan sebagai tindakan pencurian yang seyogyanya dihukum.

Berikutnya, fungsi hukum sebagai alat politik, bahwa hukum (hukum tertulis) sebagai alat politik merupakan hal yang universal. Apalagi dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka peranan penguasa politik terhadap hukum adalah sangat besar. Begitupun dalam sistem hukum kita di Indonesia undang-undang

adalah produk bersama antara dewan perwakilan rakyat dengan pemerin-tah.

Kenyataan ini tidak mungkin disangkal betapa para politisilah yang memproduk undang-undang (hukum tertulis).

Menurut pandangan aliran realisme dalam filsafat bahwa hukum adalah produk pollitik. Hukum tidak lahir dari ruang hampa sosial, hukum hasil kompromi politik. Oleh karena itu, hukum menjadi salah satu alat bagi kepentingan politik. Jika hukum dan politik berhadapan, maka hukum bisa dipastikan akan tersingkir. Suatu fakta politik yang mengintervensi hukum menjadi pandangan determinan, bahwa hukum adalah produk politik. Selain keempat fungsi hukum tersebut di atas, hukum juga berfungsi sebagai mekanisme untuk integrasi. Hukum ditempatkan sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Di samping hukum terdapat sub-sub sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sub sistem dimaksud adalah budaya, politik dan ekonomi.75

Budaya berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia, dan oleh karena itu harus dipertahankan. Sub sitem ini berfungsi mempertahankan pola-pola ideal dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of the game) fungsi utama sub sistem ini mengkoordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan aturan main. Politik bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Tugasnya dalah pendayagunaan kekuasaan dan kewenangan untuk mencapai tujuan. Sedangkan ekonomi menunjuk pada sumber daya material yang dibutuhkan menopang hidup sistem. Tugas sub sistem ekonomi

75Sudikto Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2004, hal. 76

adalah mejalankan fungsi adaptasi berupa kemampuan menguasai sarana-sarana dan fasilitas utuk kebutuhan sistem hukum tersebut.

B. Pengertian Tentang Keberpihakan Hukum Dalam Penerapannya di Masyarakat

Di Indonesia, posisi hukum dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan ber-masyarakat belum berada pada tempat dan posisis yang semestinya. Hukum masih berada dalam bayang-bayang politik dan kekuasaan. Sebuah kebijakan publik dari semua lapisan kehidupan ini, termasuk dalam bidang pembangunan ekonomi, sangat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Besar kecil pengaruhnya ditentukan oleh kesamaan paradigma hukum dari keompok kepentingan tersebut.76

Hukum tidak lepas dari ekonomi. Selanjutnya hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi atas. Hal ini karena hukum telah dikuasai oleh kelas pemilik modal. Isu utama dalam hukum menurut bukanlah keadilan. Anggapan bahwa hukum itu tatanan keadilan, hanyalah kamuflase belaka. Faktanya, hukum melayani “orang-orang yang berasal dari kelompok ekonomi atas”.77

Hukum tak jarang dijadikan sarana penguasaan dan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai dengan kepentingan para penguasa dan pemilik modal. Hukum merupakan salah satu unsur ideologi kelas, dan karenanya menjadi pemicu konflik. Bahkan merupakann faktor penyebab terjadinya alienasi.

Hukum juga sering berpihak terhadap kepentingan orang penguasa. Mengapa Pengadilan acap kali merupakan panggung di mana lapisan masyarakat yang satu

76Abdul Manan, Aspek-Aspek Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2006, hal. 87

77Ibid, hal. 88

mengadili lapisan yang lain. Hal ini karena adanya ketimpangan kekuasaaan. Hukum dikuasai oleh kelompok yang memegang atau memiliki kuasa. Struktur sosial sesungguhnya terkonfigurasi dalam relasi kekuasaan. Ada terdapat dilkotomi antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan, sedangkan yang lain tidak. Beberapa orang memiliki kekuasaan, sedangkan yang lain tidak. Hal ini karena yang memproduksi hukum adalah mereka yang ada dalam struktur kekuasaan, tidak mengherankan jika hukum cenderung memihak dan melayani kaum pemegang otoritas.

Dalam pandangan the class character of law, menyatakan bahwa tidak benar ideologi umum yang memandang hukum sebagai bagian nilai yang diterima secara konsensus dan intersubjektif. Menurut mereka hukum itu bukan lembaga yang objektif dan bukan pula institusi netral yang bebas dari nilai keberpihakan. Selain itu bahwa secara riil orang tunduk kepada hukum, bukan karena nilai kemaslahatannya, tapi semata-mata karena kesadaran palsu (false conciousness) yang berhasil ditanamkan oleh pengusaha dan penguasa. Aslinya hukum itu, wujud aspirasi dan kepentingan kelas “kaum penguasa dan pengusaha.” yang merupakan alat penindasan kelas borjuis. Oleh karena itu membungkus konflik kelas, membungkus disquality dan disequili-birium. Oleh karena hanya melayani kemauan kelas tertentu, maka hukum benar-benar berfungsi sebagai alat kelas. Hal ini melahirkan teori instrumentalis tentang hukum. Hukum dilihat sebagai alat dominasi, alat peniindasan dan penyebab penderitaan. Di mana-mana dalam masyarakat yang telah disusupi

ekonomi kapitalis, hukum hanya berwujud mekanisme dari penindasan dan dominasi ideologi, alat bagi kelas “orang berpunya” dan sebagai kontrol kepentingan politik serta ekonomi dan kelas tersebut. Di tangan penguasa yang berselingkuh dengan pemilik modal, hukum akhirnya tampil sebagai the iron boxing and the velvet glove (tinju besi berselubung kain beludru). Kiasan iron boxing merupakan realitas hukum, sementara kiasan velvet glove adalah selubung penutup kebohongan dari hukum.

Keberpihakan hukum terhadap kepentingan tertentu, juga dikemukakan oleh gerakan/aliran critical legal studiesi atau dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan dengan studi hukum kritis. Penganut aliran ini percaya bahwa logika dan struktur hukum muncul dari adanya power relationship dalam masyarakat. Kepentingan hukum adalah untuk mendukung kepentingan atau kelas dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut.

Dalam kerangka pemikiran ini, mereka yang kaya dan kuat menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekanan-penekanan kepada masyarakat, sebagai cara untuk mempertahankan kedudukannya. 0leh karena itu hukum hanya diperlukan sebagai a collection of beliefs. Ide dasar gerakan/aliran critical legal studies ini bertumpu pada pemikiran bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari politik, dan hukum tidak bebas nilai atau netral, dengan kata lain hukum mulai dari proses pembuatan sampai kepada pemberlakuan liberal legal order, dibenntuk akan keyakinan, kenetralan, objektivitas, pre-diktibilitas.

Dalam kerangka pemikiran ini, mereka yang kaya dan kuat menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekanan-penekanan kepada masyarakat, sebagai cara untuk mempertahankan kedudukannya. 0leh karena itu hukum hanya diperlukan sebagai a collection of beliefs. Ide dasar gerakan/aliran critical legal studies ini bertumpu pada pemikiran bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari politik, dan hukum tidak bebas nilai atau netral, dengan kata lain hukum mulai dari proses pembuatan sampai kepada pemberlakuan liberal legal order, dibenntuk akan keyakinan, kenetralan, objektivitas, pre-diktibilitas.