BAB II STATUS HUKUM CALON NOTARIS MANTAN
B. Ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 Sebagai
Hak Asasi Manusia adalah setiap hak yang dimiliki manusia yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupannya. Pengertian Hak Asasi Manuisa lainnya adalah setiap hak yang dimiliki manusia karena kelahirannya, bukan karena diberikan masyarakat atau Negara. Hak asasi manusia ini antara lain : hak atas hidup, kebebasan, hak atas milik pribadi, hak atas keamanan, beragama dan hak untuk mencapai kebahagiaan.
Di dalam Pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah “Seperangkat hak yang yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang yang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat bangsa.” Semua definisi yang dijelaskan di atas menunjukan tentang sikap melindungi hak-hak orang lain sehingga menjadi adil, yang mana keadilan itu ditempatkan pada tempatnya, dan Hak Asasi Manusia pun demikian.66
66Achmad Ai, Menguak Tabir Hukum, Tafsir Metampoul, Jakarta, 2000, hal. 42
HAM atau disebut dengan istilah“Human right”, yang mana istilah ini tidak terbentuk dengan sendirinya langsung seperti itu, tapi dengan melalui tahapan tertentu, awalnya istilah barat ini diperkenalkan dengan istilah “Natural right”, kembali diganti dengan istilah “Right of man” yang tentunya mengakomodasi istilah
“Right of women”, dan akhirnya menjadi“human right” karena lebih dianggap umum dan universal.
Ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa, “Syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris salah satu ya adalah bahwa calon notaris tersebut tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Dari ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 tersebut di atas maka zalah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris adalah tidak pernah dihukum pidana penjara lima tahun atau lebih. Hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih tersebut merupakan hukuman pidana penjara bagu setiap orang yang melakukan tindak pidana berat.
Tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih diantaranya adalah, pembunuhan (338 dan 340 KUHP), pencurian dengan kekerasan (363 KUHP), penggelapan (372 KUHP,), penipuan (378 KUHP), pemerkosaan (286 KUHP) dan lain-lain.67
67 Panjaitan dan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Prespektif Sitem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hal. 21
Setiap calon notaris yang telah pernah menjalani hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih dengan melakukan tindak pidana diantaranya adalah tindak pidana sebagaimana telah diuraikan di atas, maka calon notaris tersebut selamanya tidak dapat diangkat menjadi notaris, meskipun calon notaris tersebut telah memenuhi semua persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh undang-undang. Ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 tahun 2014 tersebut tidak hanya membatasi hak asasi dari seorang calon notaris untuk dapat diangkat sebagai notaris (pekerjaan yang diinginkannya), tapi juga menghukum calon notaris tersebut seumur hidupnya tidak bisa menjadi seorang notaris sebagai pekerjaan yang diinginkan dan dicita-citakannya. Ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P tersebut jelas bertentangan dengan asas kebebasan untuk mencari penghidupan dan pekerjaan yang layak sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesemptan itu.
Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana di Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa kepentingan yang adil bagi seluruh warga Negara. Pidana adalah tuntutan keadilan dan kebenaran Tuhan. Tidak boleh ada pemidanaan karena dendam dan pembalasan, melainkan pelaku telah berdosa. Hakim bertindak atas kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan, sedangkan negara bertindak sebagai pembuat Undang-undang. Penguasaan adalah abdi Tuhan untuk melindungi yang baik dan menghukum yang jahat. Ada kesepakatan abstrak antara rakyat dan negara, itu bearti rakyat berdaulat dan menentukan pemerintahan. Kekuasaan negara adalah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat, setiap rakyat menyerahkan sebagian hak asasi kepada negara dengan imbalan perlindungan untuk kepentingan hukumnya dari negara.68
Dasar dari pemidanaan ini adalah bahwa penerapan hukum pidana adalah utuk menjamin ketertiban hukum. Adanya tujuan pemidaan adalah langkah yang baik agar dalam pemidanaan agar ada arah yang jelas dan terukur dalam pemidanaan, oleh karena itu dalam penetapan tujuan pemidanaan sebaiknya mepertimbangkan keadaan nyata yang muncul disebabkan adanya pelanggaran hukum pidana, bukan menekan pada harapan dimasa yang akan datang yang abstrak supaya dapat mencegah bentuk pelanggaraan yang akan terjadi. Dan dalam penjatuhan pidana sebaiknya
68Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemayarakatan, Liberty, Jakarta, 1996, hal. 37
memperhatikan parameter keadilan dan hak asasi manusia. Tujuan Pemidanaan adalah:
1. Memenuhi rasa keadilan
2. Melindungi masyarakat (social defence) (TIRTA AMIDJAJA),
3. Melindungi kepentingan individu (HAM) dan kepentingan masyarakat dengan negara
4. Menyelesaikan konflik Tujuan hukuman Pidana yaitu:
1. Memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat.
2. Restraint, yaitu mengasingkan pelanggar dari masyarakat sehingga timbul rasa aman masyarakat
3. Retribution, yaitu pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan
4. Deterrence, yaitu menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensi menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.69 Adapun yang menjadi tujuan Pidana adalah sebagai berikut :
a. Pembalasan Bertujuan terhadap :
1) Subyek, kesalahan si pelaku,
69Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002, hal. 46
2) Obyek, perbuatan pelaku.
b. Preventif (pencegahan)
Bertujuan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat :
1) Umum (generale preventie), pencegahan terhadap masyarakat agar tidak melanggar ketertiban dengan cara memenjarakan agar takut. Menurut Anselm von Feuerbach, Psychologische zwang, pidana membuat menimbulkan paksaan atau tekanan psikologis adanya ancaman yang berat, dan
2) Khusus (speciale preventie), pencegahan agar si penjahat tidak mengulangi kejahatan.
c. Respresif (medidik) atau perbaikan (verbetering)
Bertujuan untuk mendidik seseorang yang pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa orang yang tanah menjalani hukuman pidana berarti ia telah menebus kesalahannya dengan mengorbankan kemerdekaannya selama wakru tertentu atas tindak pidana yang dilakukannya.
Apabila orang tersebut telah bebas maka ia telah selesai menebus kesalahannya, dan saat ia kembali ke masyarakat seharusnya ia harus diperlakukan secara baik oleh masyarakat di lingkungan masyarakatnya, dan seharusnya juga tidak ada pengecualian baginya dalam memperoleh hak-hak asasinya secara hukum. Karena bagaimana pun juga ia telah menebus kesalahannya dengan menjalani hukumannya
sampai selesai, dan pada saatcia bebas kembali, seharusnya ia diperlakukan secara adil dengan tidak memberikan stigma negatif selamanya kepadanya.70
Dengan demikian hak-hak asasinya secara hukum juga harus dipulihkan kembali sepanjang tidak dicabut oleh hakim. Salah satunya adalah hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaikan juga dijamin oleh UUD 1945.
C. Legalitas Ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 Bila