TESIS
Oleh
HASANUL JIHADI 137011131 / M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
HASANUL JIHADI 137011131 / M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Madiasa Ablizar, SH, MHum
2. Notaris Dr. Suprayitno, SH, MKn
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Edy Ikhsan, SH, MA
Nim : 137011131
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS KEBERPIHAKAN HUKUM TERHADAP
HAK ASASI MANTAN NARAPIDANA DALAM PENGANGKATAN NOTARIS BERDASARKAN PASAL 3 HURUF (h) UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG JABATAN NOTARIS
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : HASANUL JIHADI Nim : 137011131
“Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang dan mewakili kekuasaan umum untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang- undang tersebut untuk kepentingan pembuktian atau sebagai alat bukti. Pasal 3 huruf h UUJN-P No. 2 Tahun 2014 menyebutkan bahwa, “mantan narapidana yang pernah dihukum 5 (lima) tahun ke atas tidak dapat diangkat menjadi notaris”. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUD 1945 tentang Kebebasan mencari penghidupan dan pekerjaan yang layak demi kemanusiaan. Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana status hukum calon notaris mantan narapidana anak Dengan adanya ketentuan Pasal 3 huruf (h) Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, bagaimana legalitas ketentuan Pasal 3 huruf (h) Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tersebut bila dihadapkan dengan asas persamaan hak dan kewajiban di dalam hukum (equality before the law) dan bagaimana pembelaan hukum terhadap calon notaris mantan narapidana anak terhadap penerapan Pasal 3 huruf (h) Undang-Undang No.2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris bila dikaitkan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945.
Jenis penelitian tesis ini menggunakan penelitian hukum normatif, yang bersifat deskriptif analitis, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang hukum kenotariatan dalam hal ini adalah UUJN No. 30 Tahun 2004 jo UUJN No. 2 Tahun 2014.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa status hukum calon notaris mantan narapidana anak dengan adanya ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 menjadi terbatasi hak asasinya dalam hal mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak yang dijamin sepenuhnya oleh pasal 28 D ayat (1), (2), (3) dan (4) UUD 1945. Namun demikian ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No. 2 Tahun 2014 tersebut menjadi tidak memiliki kekuatan hukum untuk diberlakukan karena bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak sah untuk diberlakukan terhadap mantan narapidana anak yang tidak dapat diangkat menjadi notaris. Kebasahan dan legalitas ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 apabila dihadapkan dengan Pasal 28 ayat (1), (2) dan (3) dan (4) UUD 1945, keabsahan dan legalitasnya menjadi tidak sah untuk diberlakukan karena bertentangan dengan UUD 1945 tersebut. Pasal 28 D ayat 1,2,3 dan 4 UUD 1945 dengan tegas menjamin menjamin hak asasi manusia dalam hal mencari pekerjaan, penghidupan yang layak demi kemanusiaan, sepanjang pekerjaan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 dapat dicabut keberlakuannya dengan melakukan hak uji materil ke Mahkamah Konstitusi sehingga mantan narapidana anak dapat juga diangkat menjadi notaris.
Kata Kunci : Keberpihakan Hukum, Mantan Narapidana Anak Dan Pengangkatan Notaris
General Provisions, Article 1 point 1 that “Notary is a public official who is authorized to make an authentic deed and have more authority as referred to in this Act for the benefit of verification or as an evidence. Article 3 letter h of UUJN-P No.
2/2014 states that “a former prisoner who has ever been sentenced by imprisonment of 5 (five years) or more cannot be designated as a notary.” This is clearly contrary to Article 28 paragraph (1), (2), (3) and (4) of the Constitution 1945 on the Freedom to make a living and have a proper occupation for humanity. The problems discussed are how about the legal status of the notary candidate who is a former juvenile prisoner with the provisions in Article 3 letter (h) of the Law No. 2/2014 on Notary, how about the legality of the provisions in Article 3 letter (h) of the Law No. 2/2014 on Notary if it is contrasted with the principle of rights and obligation equality before the law and how about the legal defense of the notary candidate who is a former juvenile prisoner concerning the implementation of Article 3 letter (h) of the Law No.
2/2014 on Notary if it is related to the protection for human rights secured in the Constitution 1945.
This is a normative legal research, which is descriptive analytical, which approach to the problems done by studying the provisions in the prevailing laws and regulations in the field of notarial law, in this case, UUJN (Notarial Act) No. 3/2004 in conjunction with UUJN No. 2/2014.
the results of the research finds out that the legal status of the notary candidate who is a former juvenile prisoner, with the provisions in Article 3 letter (h) of UUJN-P No. 2/2014, has his human rights to have an occupation and make a decent living as secured in the Article 28 D paragraph (1), (2), (3) and (4) of the Constitution limited. However, the provisions in Article 3 letter (h) of UUJN-P No.
2/2014 loses its legal force to prevail because it is contrary to the Constitution 1945, so that it is not legitimate to be applied to the former juvenile prisoner who cannot be designated to be a notary. The validity and legality of the provisions in Article 3 letter (h) of UUJN-P No. 2/2014 when contrasted with Article 28 D paragraph (1), (2), (3) and (4) of the Constitution 1945, become null and void to be applied because it is contrary to the Constitution 1945. Article 28 D paragraph (1), (2), (3) and (4) of the Constitution 1945 has firmly secured human rights to have an occupation, to make a living that is decent for the benefit of humanity, as long as the occupation is not contrary to the laws. The validity of the provisions in Article 3 letter (h) of UUJN-P No. 2/2014 can be revoked by performing the rights of Material Test to the Constitutional Court so that the former juvenile prisoner can also be designated as a notary.
Keywords: Legal Partiality, Former Juvenile Prisoner and Notary Designation
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah penulis menyusun dan memilih judul :
“ANALISIS KEBERPIHAKAN HUKUM TERHADAP HAK ASASI MANTAN NARAPIDANA DALAM PENGANGKATAN NOTARIS BERDASARKAN PASAL 3 HURUF (h) UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG JABATAN NOTARIS”. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan didalam penulisan tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman dimasa yang akan datang.
Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara khusus Ketua Komisi Pembimbing Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Prof. Dr. Madiasa Ablizar, SH, M.Hum. dan Notaris Suprayitno, SH, M.Kn, masing masing selaku anggota Komisi Pembimbing yang banyak memberikan masukkan dan bimbingan kepada penulis selama dalam penulisan tesis ini.
Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Ketua Program Study Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, selaku Sekretaris Program Study Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.
6. Terima kasih kepada kedua orangtua saya yang tiada henti mengingatkan saya agar segera menyelesaikan studi magister ini, Bapak DR. Drs. Hasbullah Hadi, SH, M.Kn dan Ibunda Dr. Nurhanum Sitorus.
7. Kepada seluruh sahabat saya di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara khususnya Stambuk 2013 bang Wanda, Opung Eka, Mba Yaya, Karyok Aceh, Putra, Amel, AJ Rangkuti (makasi pinjaman almamaternya), dan seluruh teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Kodir, Botak, Fandi, Uli, Desi, Kiki, Mas Rari (bunda berang-berang) ninut, Faisal Jabat, haris PP dan jangan lupa Danil si Rumput Hijau, dan Yusrizal telur bebek.
10. Untuk kakak dan adik tercinta Nurhimmi Falahiyati, SH, M.Kn dan Dr.
Ummi Rizky Hadiyati, Tuyul-tuyul Kecil Habibi Qyuinsya.
11. Untuk seseorang yang mengingatkan saya tentang bertambahnya rezeki jika sudah menikah Yolanda Febriyanti, S.Sos.
Penulis berharap semoga bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi diri penulis dan juga bagi semua pihak khususnya yang berkaitan dengan bidang kenotariatan.
Medan, 08 Februari 2018
Hasanul Jihadi
Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 25 Juli 1988
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
II. KELUARGA
Nama Bapak : DR. Drs. Hasbullah Hadi, SH, M.Kn
Nama Ibu : Dra. Nurhanum Sitorus
Nama Kakak : Nurhimmi Falahiyati, SH, MKn
Nama Adik : dr. Ummi Rizky Hadiyati
II. PENDIDIKAN
Sekolah Dasar : SD Impres 066054, 1994-2004 Sekolah Menengah Pertama : MTSN2 Medan 2002-2003 Sekolah Menengah Atas : MAN 3 Medan, 2003-2006
S1 Universitas : Medan Area Fakultas Fisipol, 2006-2013 Al Wasliyah Medan Fakultas Hukum, 2008- 2012
S2 Universitas : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU 2013-2018
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 18
E. Keaslian Penelitian ... 19
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 22
1. Kerangka Teori... 22
2. Konsepsi ... 28
G. Metode Penelitian ... 30
1. Jenis dan Sifat Penelitian... 30
2. Sumber Data ... 31
3. Teknik dan Pengumpulan Data ... 33
4. Analisis Data ... 33
BAB II STATUS HUKUM CALON NOTARIS MANTAN NARAPIDANA ANAK DENGAN ADANYA KETENTUAN PASAL 3 HURUF H UUJN NO.30 TAHUN 2004 JO UUJN NO. 2 TAHUN 2014 ... 35
A. Tinjauan Umum Tentang Notaris Sebagai Pejabat Umum ... 35
B. Tinjauan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana 51 C. Status Hukum Cakon Notaris Mantan Narapidana Anak Dengan Adanya Ketentuan Pasal 3 huruf h UUJN No.30 Tahun 2004 Jo UUJN No.2 Tahun 2014 ... 65
Di Dalam Hukum (Equality Before The Law) ... 81
B. Ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 Sebagai Pembatasan Hak Asasi Calon Notaris Untuk Diangkat Menjadi Notaris ... 88
C. Legalitas Ketentuan Pasal 3 huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 Bila Dihadapkan Dengan Asas Persamaan Hak Dan Kewajiban Di Dalam Hukum (Equality Before The Law) ... 94
BAB IV PEMBELAAN HUKUM TERHADAP CALON NOTARIS MANTAN NARAPIDANA ANAK TERHADAP PENERAPAN PASAL 3 HURUF H UUJN-P NO.2 TAHUN 2014 BILA DIKAITKAN DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA YANG DIJAMIN DALAM UUD 1945... 103
A. Tinjauan Umum Tentang Fungsi Hukum Dalam Masyarakat ... 103
B. Pengertian Tentang Keberpihakan Hukum Dalam Penerapannya di Masyarakat ... 106
C. Pembelaan Hukum Terhadap Calon Notaris Mantan Narapidana Anak Terhadap Penerapan Pasal 3 Huruf H UUJN-P No.2 Tahun 2014 Bila Dikaitkan Dengan Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia Yang Dijamin Dalam UUD 1945 ... 111
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 118
A. Kesimpulan ... 118
B. Saran... 119
DAFTAR PUSTAKA ... 121
A. Latar Belakang
Notaris adalah Pejabat Umum/publik sebagaimana yang tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang No,. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 butir 1 bahwa “Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang dan mewakili kekuasaan umum untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut untuk kepentingan pembuktian atau sebagai alat bukti.”1
Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang.2 Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Notaris : de ambtenaar.
Jika ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1
1A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni Bandung, 1983, hal.64
2 Ellise T. Sulastini dan Aditya Wahyu, Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Berindikasi Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2010, hal 19.
UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014. Maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 dan untuk melayani kepentingan masyarakat, Profesi Notaris adalah menjalankan sebagian tugas negara, khususnya yang berkaitan dengan keperdataan, yang dilindungi oleh undang- undang.3
Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pasal 1 UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 menyebutkan bahwa :
De Notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift blijken zal, daarvan de dagtekenig te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschrif akten en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door ene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is.
3 Habib Adjie, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai Unifikasi Hukum Pengaturan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2012, hal. 38
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan tidak dikecualikan.4
Didalam UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 ditetapkan mengenai ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang calon notaris untuk dapat diangkat menjadi notaris. Di dalam UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut ada satu ketentuan yang ditambahkan dari UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014. Ketentuan tersebut termuat dalam Pasal 3 huruf (h) yang berbunyi, “Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Secara lengkap bunyi Pasal 3 UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut adalah sebagai berikut: Syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. Warga Negara Indonesia
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. Berumur paling sediikit 27 (duapuluh tujuh) tahun
4Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hal 31.
d. Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater
e. Berijazah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan.
f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu paling singkat 24 (duapuluh empat) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri, atau atas rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan.
g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris.
h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.5
Selain syarat-syarat pengangkatan notaris yang termuat dalam UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut di atas, ketentuan yang sama juga termuat dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.HT.03.01 Tahun 2006 tanggal 5 Desember 2006 tentang tata cara pengangkatan, perpindahan dan pemberhentian notaris yang merupakan peraturan pelaksana dari UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014.6
5Sartika Ratnawati, Notaris UUJN dan Kode Etik Profesi, Eresco, Bandung, 2012, hal. 92
6Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 3
Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris menurut Peraturan Mentri Hukum dan HAM RI No.M.01.HT.03.01 Tahun 2006, tanggal 5 Desember 2006 tentang syarat dan tata cara pengangkatan, perpindahan dan pemberhentian notaris adalah :
1. Warga Negara Indonesia;
2. Bertakwa kepada Tuhan YME;
3. Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar RI tahun 1945;
4. Sehat jasmani yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari dokter rumah sakit pemerintah/swasta;
5. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan atau berijazah sarjana hukum dan lulus pendidikan spesialis notariat yang belum diangkat sebagai notaris pada saat UU jabatan Notaris mulai berlaku;
6. Berumur paling rendah 27 (dua puluh tujuh) tahun;
7. Telah mengikuti pelatihan teknis calon nataris yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI bekerja sama dengan pihak lain;
8. Telah menjalani magang atau telah nyata-nyata bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris yang dipilih atas prakarsa sendiri atau yang ditunjuk atas rekomendasi organisasi notaris setelah lulus pendidikan sebagaimana dimaksud dalam angka (6);
9. Tidak pernah terlibat dalam tindak kriminal yang dinyatakan dengan surat keterangan dari Kepolisian Negara RI;
10. Mengajukan permohonan pengangkatan menjadi notaris secara tertulis kepada Menteri;
11. Tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri, Pejabat Negara, Advokat, Pemimpin atau Pegawai BUMN/BUMD Badan usaha Milik Swasta atau sedang memangku jabatan lain yang oleh peraturan perundang-undangandilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris.7
12. Permohonan Pengangkatan sebagaimana dimaksud diatas diajukan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut :
a. Fotokopi KTP yang disahkan oleh Instansi yang mengeluarkan atau oleh Notaris;
b. Fotokopi buku nikah akta perkawinan yang disahkan oleh instansi yang mengeluarkan atau oleh notaris (bagi yang sudah menikah);
c. Fotokopi ijazah pendidikan sarjana hukum dan magister kenotariatan atau fotokopi ijazah sarjana hukum dan pendidikan spesialis notariat yang disahkan oleh perguruan tinggii yang mengeluarkan;
d. Fotokopi sertifikat pelatihan teknis calon nataris yang disahkan oleh Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI;
7Irfan Handoyo, Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Dalam Teori dan Praktek, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2012, hal. 45
e. Fotokopi akta kelahiran surat kenal lahir yang disahkan oleh Instansi yang mengeluarkan atau oleh Notaris;
f. Fotokopi sertifikat kode etik yang diselenggarakan oleh organisasi notaris yang disahkan oleh Notaris;
g. Fotokopi surat keterangan telah magang atau telah nyata-nyata bekerja di kantor notaris selama 12 (dua belas) bulan berturut turut setelah selesai pendidikan magister kenotariatan atau spesialis notaris;
h. Asli surat keterangan catatan kepolisian setempat;
i. Asli surat keterangan Asli surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan bahwa pemohon sehat jasmani dari dokter rumah sakit pemerintah/swasta;
j. Asli surat keterangan sehat rohani dari psikiater rumah sakit pemerintah/swasta;
k. Asli surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan bahwa pemohon tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri, Pejabat Negara, Advokat, Pemimpin atau Pegawai BUMN/BUMD Badan usaha Milik Swasta atau sedang memangku jabatan lain yang oleh peraturan perundang- undangandilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris;
l. Asli surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan bahwa pemohon bersedia ditempatkan diseluruh wilayah Republik Indonesia;
m. Asli surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan bahwa pemohon bersedia menjadi pemegang protokol notaris lain;
n. Pas foto berwarna ukuran 3x4 sebanyak 4 lembar;
o. Asli daftar riwayat hidup yang dibuat oleh pemohon dengan menggunakan formulir yang disediakan oleh Departemen Hukum dan HAM RI;
p. Alamat surat menyurat, nomor telepon/seluler/fax/email;
q. Prangko pos yang nilainya sesuai dengan biaya prangko pos pengirim.8 Dari dua ketentuan yang memuat tentang prosedur, persyaratan dan tata cara pengangkatan notaris sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat diketahui bahwa ketentuan yang termuat dalam UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut di atas khususnya pada Pasal 3 huruf (h) tersebut di atas merupakan pembatasan hak asasi dari seorang manusia untuk dapat diangkat menjadi seorang notaris. Bahwa setiap orang yang telah dijatuhi hukuman melalui satu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dimana perbuatan pidana tersebut diancam dengan hukuman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih maka orang tersebut telah kehilangan haknya untuk diangkat menjadi notaris.9
Meskipun perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh seseorang pada saat usianya masih tergolong anak (di bawah 18 tahun), namun apabila perbuatan pidana tersebut diancam dengan hukuman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih maka orang tersebut berdasarkan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No.
2 Tahun 2014 tidak dapat lagi diangkat sebagai seorang notaris.10
8A. Gunawan Setiardjo, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Idelogi Pancasila, Kaninus, Yogyakarta, 2009, hal. 71
9GHS Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1990, hal 120.
10 Pieter E Latumenten, Prosedur Hukum Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Berdasarkan UUJN No. 30 Tahun 2004, Eressco, Bandung, 2010, hal.27.
Di dalam Pasal 64 Undang-Undang No.35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa, "Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang dinaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ini dilakukan melalui :
a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya
b. Pemisahan dari orang dewasa
c. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif d. Pemberlakuan kegiatan rekreasional
e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya.
f. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup g. Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai
upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
h. Pemberian keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak dan dalam sidang yang tertutup untuk umum.
i. Penghindaran dari publikasi atas identitasnya
j. Pemberian pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak k. Pemberian advokasi sosial
l. Pemberian kehidupan pribadi
m. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas
n. Pemberian pendidikan
o. Pemberian pelayanan kesehatan
p. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Dari ketentuan Pasal 64 Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui bahwa anak sebagai generasi penerus bangsa dalam berhadapan dengan hukum atau menghadapi permasalahan hukum wajib memperoleh perlakuan khusus dari aparat penegak hukum. Hal ini disebabkan karena meskipun anak tersebut melakukan perbuatan melanggar/melawan hukum, tapi dipandang masih belum cukup umur atau belum dapat mempertanggung jawabkan sepenuhnya perbuatannya secara hukum sebagaimana layaknya orang dewasa. Itulah sebabnya undang-undang memerintahkan kepada aparat penegak hukum untuk mem perlakukan anak tersebut dengan perlakuan khusus.11
Anak yang bermasalah dengan hukum dipandang masih punya harapan yang cukup besar untuk berubah dan juga memiliki masa depan yang masih cukup panjang. Sehingga anak memperoleh perlakuan khusus yang diberikan oleh hukum dimaksudkan agar anak tersebut menyadari kesalahan perbuatan yang telah dilakukannya yang mengakibatkan ia harus berurusan dengan hukum. Perlakuan khusus yang dimaksud adalah bahwa aparat penegak hukum wajib memperlakukan anak tersebut dengan baik, berperikemanusiaan, tidak menggunakan kekerasan
11 Bintar Tamba, Perlindungan Hak Anak Dalam Proses Peradilan Pidana Pada Tahap Penyidikan, Harvarindo, Jakarta, 2010, hal. 42
phsikis naupun fisik terhadap anak tersebut, namun memberikan pengajaran dan didikan yang baik untuk dapat merubah perilaku anak tersebut ke arah yang lebih baik, dan bukan sebaliknya merusak kejiwaan anak tersebut, sehingga menjadi lebih buruk prilakunya dari sebelumnya.
Di dalam proses penyelidikan dan penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak, Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, juga memberikan perlakuan khusus (perlindungan hukum) terhadap anak yang bermasalah atau berurusan dengan hukum. Bentuk perlakuan khusus dan perlindungan hukum tersebut merupakan bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya. Perlindungan terhadap anak sudah diatur dalam ketentuan hukum mengenai anak. Khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 jo UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.12
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 jo UU No.35 Tahun 2014 memberikan pembedaan perlakuan dan perlindungan terhadap pelaksanaan hak-hak dan kewajiban anak, khususnya anak sebagai tersangka
12Virnawaty Hasni, Anak dan Masalah Hukum Yang Dihadapinya, Citra Ilmu, Yogyakarta, 2011, hal. 26
dalam proses peradilan pidana, yaitu meliputi seluruh prosedur acara pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana.
Dalam proses tahapan penyidikan anak nakal, tidak hanya sekedar mencari bukti serta penyebab kejadian, tetapi juga diharapkan dapat mengetahui latar belakang kehidupan anak tersebut sebagai pertimbangan dalam menentukan tuntutan terhadap tersangka. Pasal 1 (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana yaitu :
1. Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana;
2. Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena:
1. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum; atau 2. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau
3. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.13
13Nilma Suryani, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjalani Pidana Penjara di Lembaga Pemasyarakatan, Armico, Bandung, 2008, hal. 72
Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi :
1. Pelaku atau tersangka tindak pidana;
1. Korban tindak pidana;
2. Saksi suatu tindak pidana.14
Pasal 71 ayat (1) sampai ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, menyatakan:
“(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
a. Pidana peringatan;
b. Pidana dengan syarat:
1) Pembinaan di luar lembaga;
2) Pelayanan masyarakat; atau 3) Pengawasan.
c. Pelatihan kerja;
d. Pembinaan dalam lembaga; dan e. Penjara.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat.
(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.”
Terkait penjatuhan pidana yang dapat dilakukan terhadap anak, Pasal 26 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menyatakan:
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf a, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dngan pidana mati atau pidana
14Ibid, hal. 73
penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka terhadap anak nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.”
Pasal 79 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak,menyatakan:
(1)Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan.
(2)Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancam terhadap orang dewasa.
(3)Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak.
(4)Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.”
“Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.”
Dari uraian ketentuan peraturan perundang-undangan baik dalam Undang- Undang No.23 Tahun 2002 jo UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maupun dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka dapat dikatakan bahwa anak sebagai generasi penerus bangsa, dalam kaitannya dengan permasalahan hukum pidana yang terjadi padanya dari segi penelidikan, penyidikan, penahanan, penuntutan maupun penjatuhan sanksi pidana
oleh pengadilan tetap memperoleh perlakuan khusus berdasarkan undang-undang tersebut. Meskipun ancaman hukuman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak pelaku tindak pidana tersebut 5 (lima) tahun atau lebih, namun pada prinsipnya penjatuhan sanksi pidana tersebut wajib dengan memperhatikan dan mempertimbangkan semua aspek yang terdapat dalam diri anak tersebut. Aspek yang dimaksud adalah aspek psikis, perkembangan kejiwaan, dan pertumbuhan fisik, maupun aspek masa depan anak tersebut sebagai generasi penerus bangsa. Undang- Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradikan Pidana Anak tersebut bahkan memberukan perlakuan khusus dari segi penjatuhan sanksi pidana apabila anak tersebut melakukan tindak pidana berat yang diancam dengan sanksi pidana 5 (lima) tahun ke atas diupayakan untuk dijatuhi sanksi pidana setengah dari sanksi pidana yang dijatuhkan kepada orang dewasa.15
Hal ini mengingat bahwa pelaku tindak pidana tersebut adalah seorang yang masih di bawah umur (di bawah 18 tahun), dan masih memikiki kesempatan untuk berubah menjadi baik dan masih memiliki masa depan yang cukup panjang.
Berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak, yang diancam dengan hukuman pidana 5 (lima) tahun penjara atau lebih tersebut dan telah diputuskan oleh pengadilan melalui suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu, maka anak tersebut telah menjadi seorang narapidana. Apabila anak tersebut telah menjalani seluruh jangka waktu hukumannya di lembaga pemasyarakatan (LP)
15 Henny Artaulina, Permasalahan Hukum Anak dan Proses Penanganan Hukumnya di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, hal. 48
dan selama sebagai warga binaan di rutan anak, ia berkelakuan baik hingga selesai menjalani hukumannya, kemudian ketika anak tersebut telah dewasa, dan telah menyekesaikan pendidikan S.1 Hukum dan S.2 kenotariatan dengan baik dan telah memenuhi persyaratan untuk diangkat menjadi notaris, namun karena ia pernah menjadi narapidana anak karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana 5 (lima) tahun ke atas.16
Mantan narapidana anak yang akan dilantik menjadi notaris tersebut dibatasi hak asasi nya untuk memperoleh pekerjaan/profesi yang layak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan nungkin juga keluarganya (anak-istrinya) karena ketentuan yang termuat dalam Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 yang berbunyi, "Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
Dari ketentuan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa calon notaris yang telah pernah menjadi narapidana anak karena telah melakukan tindak pidana berat dengan ancaman hukuman pidana 5 (lima) tahun atau lebih tidak dapat diangkat menjadi notaris.
Permasalahan ini menarik untuk dikaji dan dianalisis secara lebih mendalam tentang larangan seseorang untuk diangkat menjadi notaris karena pernah menjadi narapidana anak karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima)
16Ibid, hal. 48
tahun lebih meskipun telah menjalani keseluruhan jangka waktu hukunannya tersebut dan selama menjalani hukuman di Rutan selalu berkelakuan baik atau telah berubah sikap menjadi baik.
Untuk membahas permasalahan yang terjadi dalam pembatasan hak seorang calon notaris untuk diangkat menjadi notaris karena adanya larangan berdasarkan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 2 Tahun 2014, dimana seorang yang telah menjadi mantan narapidana (khususnya anak) yang telah melakukan tindak pidana berat yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih tidak dapat diangkat menjadi notaris, maka judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah: “Analisis Keberpihakan Hukum Terhadap Mantan Narapidana Anak Dalam Pengangkatan Notaris Berdasarkan Pasal 3 huruf (h) Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana status hukum calon notaris mantan narapidana anak Dengan adanya ketentuan Pasal 3 huruf (h) Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris?
2. Bagaimana legalitas ketentuan Pasal 3 huruf (h) Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tersebut bila dihadapkan dengan asas persamaan hak dan kewajiban di dalam hukum (equality before the law)?
3. Bagaimana pembelaan hukum terhadap calon notaris mantan narapidana anak terhadap penerapan Pasal 3 huruf (h) Undang-Undang No.2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris bila dikaitkan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui status hukum calon notaris mantan narapidana anak Dengan adanya ketentuan Pasal 3 huruf (h) Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
2. Untuk mengetahui legalitas ketentuan Pasal 3 huruf (h) Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tersebut bila dihadapkan dengan asas persamaan hak dan kewajiban di dalam hukum (equality before the law)
3. Untuk mengetahui pembelaan hukum terhadap calon notaris mantan narapidana anak terhadap penerapan Pasal 3 huruf (h) Undang-Undang No.2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris bila dikaitkan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis dibidang hukum kenotariatan khususnya mengenai hak seorang calon
notaris untuk diangkat menjadi notaris karena adanya larangan berdasarkan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 2 Tahun 2014 yang dibuatnya yaitu :
1. Secara Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi perkembangan hukum kenotariatan khususnya tentang masalah hak seorang calon notaris untuk diangkat menjadi notaris karena adanya larangan berdasarkan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 2 Tahun 2014 dimana seorang yang telah menjadi mantan narapidana (khususnya anak) yang telah melakukan tindak pidana berat yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih tidak dapat diangkat menjadi notaris.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat praktisi, maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai hak seorang calon notaris untuk diangkat menjadi notaris karena adanya larangan berdasarkan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 2 Tahun 2014 dimana seorang yang telah menjadi mantan narapidana (khususnya anak) yang telah melakukan tindak pidana berat yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih tidak dapat diangkat menjadi notaristersebut.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum
pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain:
1. Irwanda, NIM. 137011001/MKn, dengan judul tesis “Tanggung Jawab Notaris Setelah Berakhir Masa Jabatannya Ditinjau Dari Undang-Undang No.
30 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris”.
Pemasalahan yang dibahas :
a. Bagaimana tanggungjawab notaris sebagai pejabat umum atas akta yang dibuatnya?
b. Bagaimana batas waktu pertanggung jawaban notaris terhadap akta yang telah dibuatnya pada saat telah berakhir masa jabatannya?
c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap notaris yang telah berakhir masa jabatannya apabila terjadi gugatan secara perdata oleh pihak ketiga terhadap akta yang telah dibuatnya?
2. Meyaty, NIM. 117011159/MKn, dengan judul tesis “Kajian Yuridis Pencabutan Pasal 66 Ayat (1) Uujn No. 30 Tahun 2004 Oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan MK No. 49/PUU-X/2012) dan keluarnya UU NO.2 TAHUN 2014 Tentang Perubahan UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”
Pemasalahan yang dibahas :
a. Apa yang menjadi pertimbangan hukum munculnya Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 tentang perlindungan terhadap notaris?
b. Apakah pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam membatalkan / mencabut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 telah sesuai dengan asas hukum Indonesia?
c. Bagaimana keberlakuan Pasal 66 ayat (1) sampai dengan (4) pada UUJN No. 2 Tahun 2014?
3. Wimphy Laksamana, NIM. 077011074/MKn, dengan judul tesis “Analisis Hukum Terhadap Keterlibatan Notaris dalam Praktek Pidana”
Pemasalahan yang dibahas :
a. Bagaimana akibat hukum keterlibatan notaris dalam perkara pidana selaku pejabat umum?
b. Bagaimana prosedur hukum penyelidikan notaris sebagai pejabat umum yang terlibat perkara pidana?
c. Bagaimana pertanggung jawaban notaris sebagai pejabat umum yang terlibat dalam perkara pidana?
Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.17Suatu teori harus dikaji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan pegangan teoritis.18 Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan.
Menurut Rawls, suatu konsepsi keadilan sosial harus dipandang sebagai instansi pertama, standar dari mana aspek distributif struktur dasar masyarakat dinilai.
Konsepsi seperti itu haruslah menetapkan cara menempatkan hak-hak dan kewajiban di dalam lembaga-lembaga dasar masyarakat, serta caranya menetapkan pendistribusian yang pas berbagai nikmat dan beban dari kerja sama sosial.
Pandangan ini dituangkan Rawls dalam konsepsi umum keadilan intuitif berikut:
Semua nikmat primer kemerdekaan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar kehormatan diri harus dibagikan secara sama (equally), pembagian tak sama (unequal) sebagian atau seluruh nikmat tersebut hanya apabila menguntungkan semua pihak.
Konsep umum di atas menampilkan unsur-unsur pokok keadilan sosial Rawls.
Bahwa (1) prinsip pokok keadilan sosial adalah equality atau kesamaan; yaitu: (2)
17 JJJ.Wuisman, penyunting M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, FE UI Jakarta, 2006, hal.203
18M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal.80.
kesamaan dalam distribusi; atas (3) nikmat-nikmat primer (primary goods); namun (4) ketidaksamaan (inequalities) dapat ditoleransi sejauh menguntungkan semua pihak. Dalam konsepsi umum ini, tampak bahwa teori keadilan Rawls mencakup dua sisi dari masalah keadilan: kesamaan (equality) dan ketidaksamaan (inequality). Di satu sisi, keadilan sosial adalah penerapan prinsip kesamaan dalam masalah distribusi nikmat-nikmat primer. Sementara di lain sisi, diakui, ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh hal itu menguntungkan semua, terutama golongan yang tertinggal.
Bagi John Rawls, konsepsi keadilan harus berperan menyediakan cara di dalam mana institusi-institusi sosial utama mendistribusikan hak-hak fundamental dan kewajiban, serta menentukan pembagian hasil-hasil dan kerja sama sosial. Suatu masyarakat tertata benar (well-ordered) apabila tidak hanya dirancang untuk memajukan nilai yang-baik (the good) warganya, melainkan apabila dikendalikan secara efektif oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu:
(1) Setiap orang menerima dan tahu bahwa yang lain juga menerima prinsip keadilan yang sama, dan
(2) Institusi-institusi sosial dasar umumnya puas dan diketahui dipuaskan oleh prinsip-prinsip ini.
John Rawls mengemas teorinya dalam konsep justice as fairness, bukan karena ia mengartikan keadilan sama dengan fairness, tapi karena dalam konsep keadilan tersebut terkandung gagasan bahwa prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan objek persetujuan asal dalam posisi simetris dan fair.
Dalam kesamaan posisi asal wakil-wakil mereka menetapkan syarat-syarat
fundamnetal ikatan mereka, menetapkan bentuk kerja sama sosial yang akan mereka masuki, dan bentuk pemerintahan yang akan didirikan. Cara memandang prinsip- prinsip keadilan seperti itu disebut Rawls justice as fairness.
Berkaitan dengan teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls tersebut di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 yang memuat ketentuan tentang larangan bagi pengangkatan calon notaris yang telah pernah dijatuhi hukuman pidana melalui suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (narapidana), dimana ancaman hukumannya adalah 5 (lima) tahun atau lebih.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan narapidana tersebut adalah narapidana anak, yang telah selesai menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan sesuai jangka waktu pidana penjara yang telah dijatuhkan hakim kepadanya. Namun demikian meskipun mantan narapidana anak tersebut telah lama bebas dari Lembaga Pemasyarakatan, namun pada saat ia akan diangkat menjadi notaris UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014, khususnya Pasal 3 huruf (h) tidak memperolehkannya. Hal ini jelas bertentangan dengan teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls. Karena semua orang memikiki hak dan kewajiban yang sama, serta memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.19
Ketentuan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut memiliki makna pembatasan hak asasi seseorang untuk memilih
19 Heru Supramono, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya Secara Perdata dan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 9
pekerjaan yang sesuai dengan keinginan irang tersebut, demi untuk memperoleh penghidupan yang layak bagi dirinya dan mungkin juga bagi keluarganya. Oleh karena itu Pasal 3 huruf (h) tersebut merupakan pendiskriminasian terhadap seorang narapidana (termasuk narapidana anak) yang ancaman hukuman pidana penjaranya 5 (lima) tahun atau lebih ketika akan diangkat menjadi notaris. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak asasi seseorang dalam memilih pekerjaan yang dikehendakinya atau yang dinginkannya agar dapat berkehidupan yang layak bersama keluarganya.20
Seorang mantan narapidana (termasuk mantan narapidana anak) setelah menjalani seluruh masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan berarti telah menebus kesalahannya dengan mengorbankan kebebasannya selama bertahun-tahun.
Negara telah memberikan hukuman atas kesalahannya yaitu dengan merampas kemerdekaannya dan memasukkannya ke Lembaga pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan selain tempat untuk menjalani hukuman bagi pelaku tindak pidana, juga sekaligus sebagai tempat pembinaan bagi orang-orang yang sedang menjalani hukuman tersebut (warga binaan).
Disebut dengan istilah lembaga pemasyarakatan menggantikan istilah penjara karena lembaga pemasyarakatan tersebut merupakan suatu wadah untuk melakukan proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya. Selanjutnya pembinaan
20 Rusdianto Sugondo, Tanggung Jawab Dan Sanksi Hukum Bagi Notaris Atas Akta Yang Dibuatnya¸ Rineka Cipta, Jakarta, 2013, hal. 58
diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.21
Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Suatu hal yang sangat ironis apabila warga binaan yang telah selesai menjalani hukuman dan juga telah memperoleh pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan tersebut pada saat ia bebas dan kembali ke masyarakat untuk kembali memperoleh pekerjaan dan penghidupan layak, ternyata ada ketentuan peraturan perundang-undangan yakni Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut yang tidak bisa memaafkan atau tetap menghukum mantan narapidana anak tersebut untuk tidak bisa diangkat menjadi seorang notaris hanya karena orang tersebut sudah pernah menjadi narapidana anak karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana penjara 5 tahun atsu lebih.22
21Abidin Murtama, Wewenang Tanggung Jawab Notaris Berdasarkan UUJN No. 30 Tahun Tahun 2004, Mitra Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 18
22Maidi Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Mitra Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 12
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut telah memvonis tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan HAM bahwa seorang mantan narapidana anak meskipun telah selesai menjalani hukumannya, namun karena anak tersebut telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, maka ia tidak bisa diangkat menjadi notaris, meskipun syarat-syarat lainnya untuk pengangkatan orang twrsebut menjadi notaris telah terpenuhi seluruhnya.23
Oleh karena itu ketentuan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut dipandang telah bertentangan dengan teori keadilan dari John Rawls yang digunakan sebagai pisau analisis bagi penelitian ini. Setiap orang harus memperoleh hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan ketetapan yang telah digariskan dalam undang-undang mengenai hak asasi manusia. Orang yang meskipun ia mantan narapidana anak, dan telah menjalani masa hukumannya dengan baik, pada saat ia kembaki ke masyarakat maka hak-haknya telah sama kembali dengan hak-hak anggota masyarakat lainnya. Ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh memperlakukan mantan narapidana anak tersebut secara diskriminatif dan tidak adil, karena hal tersebut telah melakukan diskriminasi terhadap mantan napi anak tersebut. Ketentuan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut telah menghukum mantan narapidana anak tersebut untuk kedua kalinya setelah hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadapnya. Bahkan hukuman
23 Darwin Prints, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakkan Hak Asasi Manusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal. 15
yang dijatuhkan oleh Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut seolah olah kesalahan mantan narapidana anak tersebut tidak termaafkan/tidak terampuni selama-lamanya, meskupun mantan narapidana anak tersebut telah berprilaku baik di tengah-tengah masyarakat.
2. Konsepsi
Konsepsi diterjemahkan sebagagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan "definisi operasional".24Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu:
1. Keberpihakan hukum adalah: suatu keadaan dimana ketentuan peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan dan keadilan kepada anggota masyarakat yang membutuhkan perlindungan hukum dan keadilan karena telah diperlakukan secara tidak adil oleh aparat penegak hukum maupun ketentuan peraturan perundang-undangan itu sendiri dalam memperjuangkan hak-hak asasinya untuk mendapatkan pekerjaan yang dikehendakinya dan memperoleh kehidupan layak untuk melanjutkan hidupnya dan keluarganya.
2. Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat Akta Otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh
24Bambang Sunggono, Methode Penelitian Hukum, Harvarindo, Jakarta, 2013, hal.59
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosee, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.
3. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
4. Mantan Narapidana Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 5 tahun atau lebih dan telah divonis oleh pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan telah selesai menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan.
5. Pengangkatan Notaris adalah pelantikan seseorang oleh negara (DEPKUMHAM) berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk dapat resmi menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik dan kewenangan lainnya yang diberikan UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 kepada notaris tersebut.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Methode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian methode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku dalam bidang hukum kenotariatan, dan hukum tentang Hak Asasi Manusia (HAM), mengenai ketentuan tentang syarat-syarat pengangkatan notaris dan tentang larangan pengangkatan notaris karena telah menjadi mantan narapidana anak berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014, dikaitkan dengan ketentuan tentang hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945, Undnag-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM, dimana Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut mengandung unsur pembatasan terhadap hak asasi manusia, khususnya tentang hak untuk mendapatkan pekerjaan yang dikehendaki seseorang yang menjadi mantan narapidana anak yang tidak boleh diangkat menjadi notaris.
Seseorang yang telah divonis pengadilan dengan hukuman pidana penjara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, karena telah melakukan tindak pidana berat yang diancam dengan hukuman pidana penjara 5 tahun atau lebih, tidak
diperbolehkan untuk diangkat menjadi notaris, meskipun orang tersebut telah menjalani masa hukumannya dengan baik dan telah memiliki sikap dan perilaku yang baik pula. Anak sebagai seseorang yang masih di bawah umur (di bawah 18 tahun), yang oleh Undang-Undang No.23 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak diperlakukan secara khusus, meskipun sedang mengalami masalah dengan hukum, namun oleh Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tidak memperoleh maaf, karena tetap dilarang diangkat menjadi seorang notaris. Alasan utamanya adalah karena orang tersebut (meskipun masih tergolong anak-anak) telah melakukan tindak pidana berat yang diancam dengan hukuman pidana 5 tahun ke atas, sehingga dipandang tidak layak untuk menjadi seorqng notaris
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat, bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut25
2. Sumber Data
Data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tertier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan yang terdiri dari:
25Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif, UI Press, Jakarta, 2006, hal.30.
a. Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum hak asasi manusia, dan hukum kenotariatan dalam hal larangan terhadap pengangkatan notaris bagi mantan narapidana anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara 5 tahun atau lebih, dan juga kaitannya dengan pembatasan hak asasi manusia. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah UUD 1945, UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan pidana anak dan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah tentang hukum hak asasi, perlindungan anak dan hukum kenotariatan khususnya tentang pembahasan larangan pengangkatan mantan narapidana anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih untuk diangkat sebagai notaris.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia dan lain sebagainya.
3. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data
Teknik dan alat pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data primer yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum hak asasi manusia, perlindungan anak dan hukum kenotariatan di bidang syarat-,syarat pengangkatan notaris dan larangan pengangkatan notaris bagi mantan narapidana anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih yang termuat dalam Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014 yang merupakan pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam UUD 1945, Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM, dan juga tentang perlindungan terhadap anak yang bermasalah secara hukum, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.26Di dalam
26Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyu Media Malang, 2005, hal 8.)
penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.27 Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif.
Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari suatu penelitian, yang dilakukan dengan cara menjelaskan dengan kalimat sendiri dari data yang ada, baik primer, sekunder maupun tertier, sehingga menghasilkan kualifikasi yang sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, untuk memperoleh jawaban yang benar mengenai permasalahan pembatasan hak asasi manusia melalui larangan pengangkatan notaris mantan narapidana anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara 5 tahun atau lebih sebagaimana termuat dalam Pasal 3 huruf (h) UUJN No. 30 Tahun 2004 Jo UUJN No. 2 Tahun 2014, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat dengan metode deduktif, yaitu melakukan penarikan kesimpulan, diawali dari hal-hal yang bersifat umum untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, sebagai jawaban yang benar dalam pembahasan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.
27 .Raimon Hartadi, Methode Penelitian Hukum Dalam Teori Dan Praktek, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, 2010, hal.16
BAB II
STATUS HUKUM CALON NOTARIS MANTAN NARAPIDANA ANAK DENGAN ADANYA KETENTUAN PASAL 3 HURUF H UUJN NO.30
TAHUN 2004 JO UUJN NO.2 TAHUN 2014
A. Tinjauan Umum Tentang Notaris Sebagai Pejabat Umum
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.28
Menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M.01- HT.03.01 Tahun 2016, tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemindahan, dan Pemberhentian Notaris, dalam Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris adalah pejabat umum maksudnya adalah seseorang yang diangkat, diberi wewenang dan kewajiban oleh Negara untuk melayani publik dalam hal tertentu.
Notaris merupakan pejabat publik yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, guna memberi perlindungan dan jaminan hukum demi tercapainya kepastian hukum dalam masyarakat.
28G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Surabaya, 2005, hal.31
Pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi publik negara, yang khususnya di bidang hukum perdata. Bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “pejabat umum”. Jadi dalam pengertian-pengertian Notaris diatas ada hal penting yang tersirat, yaitu ketentuan dalam permulaan Pasal tersebut, bahwa Notaris adalah pejabat umum dimana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta otentik, jadi Notaris merupakan pejabat umum sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1868 KUHPerdata.
Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUJN No. 30 Tahun 2004 jo UUJN no.2 Tahun yang menyebutkan bahwa:
a. Warga negara Indonesia;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Berumur paling sedikit 27 tahun;
d. Sehat jasmani dan rohani;
e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. Telah menjalani magang selama 2 tahun atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan
g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.
h. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan perbuatan pidana yang diancam hukuman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pada Pasal 3 huruf h UUJN No. 30 Tahun 2004 jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tidak menyebutkan secara spesifik tentang orang yang dijatuhi hukuman pidana di atas 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap apakah orang tersebut sudah dewasa saja atau termasuk juga anak-anak yang dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun ke atas. Namun demikian secara penafsiran perundang-undangan maka yang dimaksud dengan Pasal 3 huruf h UUJN No. 30 Tahun 2004 jo UUJN No. 2 Tahun 2014 tersebut adalah semua orang yang dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun ke atas tidak dapat dilantik menjadi seorang notaris tanpa membedakan apakah orang tersebut masih anak-anak atau telah dewasa. Dalam hal ini undang-undang hanya menyebutkan semua orang yang telah pernah dipidana dengan hukuman pidana penjara 5 (lima) tahun ke atas tidak dapat dilantik menjadi seorang notaris. Hal ini tentu bertentangan dengan hak asasi manusia, dimana Pasal 3 huruf h UUJN No. 30 Tahun 2004 jo UUJN No. 2 Tahun 2014 telah membatasi ketentuan tentang kebebasan untuk mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai peraturan tertinggi di Negara Indonesia.
Notaris berwenang untuk membuat akta otentik, hanya apabila hal itu dikehendaki atau diminta oleh yang berkepentingan, hal mana berarti bahwa Notaris