• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cara Kerja Hakim dalam Melakukan Pembuktian Perkara Kepailitan yang Bersifat Complicated

PENGADILAN NIAGA

B. Cara Kerja Hakim dalam Melakukan Pembuktian Perkara Kepailitan yang Bersifat Complicated

Sebagaimana sudah dijelaskan pada Bab II bahwa sistem pembuktian yang dianut Hukum Acara Perdata tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dianut dalam Pasal 183 KUHAP, dimana proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran yang materil. Menurut sistem negatif ini, selain alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran tersebut harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki (materiele waarheid, ultimate truth).114

Berbeda dengan yang berlaku dalam proses peradilan perdata, dimana kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim, cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan. Sehingga dalam hal ini tidak dituntut keyakinan dari hati sanubari hakim.

Meskipun hakim berpendapat kebenaran dalil gugat yang diakui tergugat itu setengah benar dan setengah palsu, secara teoritis dan yuridis, hakim tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang diajukan para pihak dipersidangan. Hal ini

114 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Op.Cit., hal. 498.

sesuai dengan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan hakim dalam menangani perkara perdata yang perannya bersifat pasif, dan putusan harus berdasarkan pada pembuktian fakta.115

Prinsip yang menyatakan “Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif” memiliki arti bahwa hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas mencari dan menemukan kebenaran formil dan kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung.

Sehubungan dengan sifat pasif tersebut, sekiranya hakim yakin bahwa apa yang digugat dan diminta penggugat adalah benar, tetapi penggugat tidak mampu mengajukan bukti tentang kebenaran yang diyakininya, maka hakim harus menyingkirkan keyakinan itu, dengan menolak kebenaran dalil gugatan, karena tidak didukung dengan bukti dalam persidangan.

Pasif bukan hanya sekadar menerima dan memeriksa apa-apa yang diajukan para pihak, tetapi tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran fakta yang diajukan ke persidangan, dengan ketentuan sebagai berikut :116

d. Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan. Semua itu menjadi

115 Ibid.

116 Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 500.

147

hak dan kewajiban para pihak. Cukup atau tidak alat bukti yang diajukan, terserah sepenuhnya kepada kehendak para pihak.

e. Menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di persidangan, untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim.

f. Pemeriksaan dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan penggugat dalam gugatan.

Sehubungan dengan itu, hakim tidak boleh melanggar asas ultra vires atau ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR. Hakim dilarang memberi lebih banyak dari yang diminta (dituntut).

Sedangkan “Prinsip Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta”, memiliki arti bahwa hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Pembuktian hanya ditegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta dengan ketentuan sebagai berikut :117

1) Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas pada fakta yang diajukan dalam persidangan;

2) Hakim tidak dibenarkan menilai dan memperhitungkan fakta-fakta yang bersumber dari luar persidangan, seperti surat kabar, majalah, dll.

3) Selain fakta itu harus diajukan dan ditemukan dalam proses persidangan, fakta yang bernilai sebagai pembuktian hanya terbatas pada fakta yang konkret dan relevan (prima factie), yakni jelas dan nyata membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan perkara yang disengketakan.

117 Ibid.

Menurut pengamatan peneliti, prinsip-prinsip di atas sudah diterapkan oleh Majelis Hakim dalam memeriksa perkara kepailitan, baik pada tingkat judex facti, kasasi maupun peninjauan kembali. Karena hakim pada hakekatnya hanya memiliki kewenangan mendengarkan, menilai dan menyimpulkan keterangan-keterangan para pihak yang berperkara khususnya pihak yang mengajukan permohonan pailit. Bila menurut hakim pembuktian yang diajukan oleh pemohon pailit tidak sesuai dengan dan/tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, maka hakim wajib menolak permohonan pailit tersebut. Sebaliknya bila berdasarkan penilaian hakim bahwa apa yang disampaikan (dibuktikan) oleh pemohon sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh ketentuan Pasal 2 (1) UUK-PKPU, hakim akan mengabulkan permohonan pailit tersebut.

Jadi jelas bahwa sesungguhnya majelis hakim yang memeriksa perkara kepailitan, baik pada tingkat judex facti, judex juris (kasasi) maupun peninjauan kembali, sangat tergantung pada pembuktian yang dilakukan sepihak oleh pemohon pailit (disamping eksepsi dari termohon pailit). Dengan kata lain, cara kerja hakim dalam melakukan pembuktian dalam perkara kepailitan, apakah perkara itu mengandung sifat pembuktian yang complicated atau tidak sangat tergantung pada keterangan, saksi-saksi atau pembuktian yang dilakukan oleh pemohon pailit. Dengan peran hakim yang pasif tersebut, hakekatnya pembuktian itu dilakukan sendiri oleh pihak yang mengajukan permohonan pailit, dan hakim hanya bertugas mendengar, menilai dan menyimpulkan saja semua pembuktian yang dilakukan oleh pemohon tersebut. Hakim tidak wajib mendengarkan keterangan (pembuktian) dari termohon,

149

karena sifat pembuktian dalam perkara kepailitan adalah pembuktian sepihak, yang tidak mengenal jawab-menjawab, replik, duplik sebagaimana yang berlaku dalam perkara perdata biasa.

Namun disisi lain, Majelis Hakim yang memeriksa perkara kepailitan seringkali dalam putusannya tidak memberikan alasan-alasan (pertimbangan) hukum yang jelas dalam memutus perkara yang ditanganinya, sehingga akibatnya mendorong pihak yang dikalahkan merasa tidak puas dan akhirnya mengajukan upaya hukum, baik kasasi ataupun peninjauan kembali.

Walaupun putusan-putusan majelis hakim dalam perkara kepailitan yang peneliti analisis sudah memiliki pertimbangan hukum, tetapi pertimbangan hukum tersebut kurang memuaskan pihak yang dikalahkan. Umumnya itu terjadi pada putusan-putusan kasasi dan peninjauan kembali seperti terungkap dalam ulasan berikut ini :

1. Putusan Perkara No. 02/PAILIT/2007/PN.JKT.PST tanggal 19 Pebruari 2007, jo.

No. 09 K/N/2007 tanggal 25 April 2007, jo. No. 012 PK/Pdt.Sus/2008 tanggal 23 Juni 2008 antara KIM SUNG GON (Pemohon/Termohon Kasasi/Pemohon Peninjauan Kembali). vs. JUNG SUNG WON (Termohon/Pemohon Kasasi/Termohon Peninjauan Kembali).

Dasar Pertimbangan Hukum Kasasi : Mahkamah Agung menilai bahwa Judex Facti telah salah menerapkan hukum

Dasar Pertimbangan Hukum PK :

- Bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pemohon PK/Pemohon tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena bukti-bukti P.PK1 dan P.PK2 berupa rekaman pembicaraan antara Termohon PK/Termohon dengan Pemohon PK/Pemohon yang diajukan oleh Pemohon PK tidak merupakan bukti baru yang bersifat menentukan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 295 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

- Bahwa dalam putusan Mahkamah Agung yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dipertimbangkan bahwa fakta atau keadaan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 telah terpenuhi, tidak dapat dibuktikan secara sederhana (Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004), sehingga penyelesaian sengketa antara Pemohon PK/Pemohon dengan Termohon PK/Termohon harus diselesaikan melalui suatu gugatan perdata di Pengadilan Negeri.

2. Putusan Perkara No. 61/Pailit/2009/ PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 14 Desember 2009 jo. No. 66 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 24 Februari 2010 antara PT. Hanil Bakrie Finance Company (Pemohon Pailit/pemohon Kasasi), vs. Argo Intan Griyatama, Benny Lucman, John Lucman, James Lucman, PT. Asindoindah Griyatama (Termohon Pailit/ Termohon Kasasi).

Pertimbangan Hukum Kasasi : Mahkamah Agung menilai bahwa Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, Judex Facti telah tepat menolak permohonan pailit seluruhnya, tetapi alasan hukum putusan tersebut perlu diperbaiki yaitu

151

dengan alasan bahwa kedua unsur untuk pernyataan pailit berdasarkan ketentuan Pasal 2 (1) jo Pasal 8 (4) Undang-Undang Kepailitan tidak terpenuhi sehingga perkara ini bukan dalam kewenangan Pengadilan Niaga, dan bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka permohoan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tersebut harus ditolak.

3. Putusan Perkara No. 20/Pailit/2008/PN.Niaga.Sby., tanggal 13 Februari 2009 jo.

No. 199 K/PDT.SUS/2009, tanggal 16 April 2009, jo. No. 087 PK/Pdt.Sus/2009 tanggal 15 Desember 2009, antara PT. Trigana Air Service (Pemohon/Pemohon Kasasi/Pemohon PK) vs. PT. Kalstar Nusantara (Termohon/Termohon Kasasi/Termohon PK).

Pertimbangan Hukum Kasasi : Bahwa Judex Facti telah benar di dalam memberikan pertimbangan hukum dan menerapkan hukum. Oleh karenanya, pertimbangan hukum Judex Facti (sebagaimana dijelaskan di atas) tidak bertentangan dengan hukum.

Pertimbangan Hukum PK : Bahwa alasan peninjauan kembali tentang adanya kekeliruan nyata dari Hakim tidak dapat dibenarkan sebab setelah diteliti dan diperiksa dengan seksama putusan kasasi Mahkamah Agung yang menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, ternyata tidak terdapat kekeliruan nyata dari Hakim dimaksud baik kekeliruan Hakim pada tingkat kasasi maupun dari Hakim Pengadilan Niaga Surabaya, melainkan hanya merupakan pengulangan dari hal-hal yang telah dipertimbangkan oleh judex juris maupun judex facti yang pada dasarnya hanya perbedaan pendapat antara

Pemohon Peninjauan Kembali dengan judex juris maupun judex facti dalam menafsirkan dan menilai fakta yang terungkap di persidangan maupun bukti-bukti yang diajukan di persidangan, hal mana bukan merupakan alasan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 67 huruf a s/d f Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2009. Berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: PT. Trigana Air Service tersebut harus ditolak.

4. Putusan Perkara Nomor : 40/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 03 September 2009, jo. No. 734 K/Pdt.Sus/2009, tanggal 18 November 2009, antara PT. Garuda Maintenance Facility Aero Asia (Pemohon Pailit/Pemohon Kasasi) vs. PT. Nurman Avia Indopura (Termohon Pailit/Termohon Kasasi).

Pertimbangan Hukum Kasasi : Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum karena tidak terbukti adanya kreditur lain. Berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : PT. Garuda Maintenance Facility Aero Asia tersebut harus ditolak.

5. Putusan Perkara No. 04/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 23 Maret 2010, jo.

No. 389 K/Pdt.Sus/2010, tanggal 25 Mei 2010, antara PT. Buana Finance, Tbk, (Pemohon Pailit/Pemohon Kasasi) vs. Sajan Naraindas Vaswani, dan Sweeta S.

Vaswani, alias Ny. Sajan (Termohon Pailit/Termohon Kasasi).

153

Pertimbangan Hukum Kasasi : Alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab Judex Facti/Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak permohonan pernyataan pailit seluruhnya dari Pemohon Pailit sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, oleh karena fakta yang terungkap di persidangan dalam perkara a quo dari surat-surat bukti bertanda P.11 berupa kutipan kliping pemberitaan media massa sehubungan dengan kreditur lain dari Termohon I hanya berupa foto copy yang tidak dapat diperlihatkan aslinya di muka sidang, serta keterangan 2 (dua) orang saksi yaitu Irwin Ibrahim dan Perhath Fauzie Nazief yang mereka peroleh melalui Sistem Informasi Debitur (SID) di mana kedua saksi tersebut bekerja dan menerima upah (gaji) dari Pemohon sehingga keterangannya diragukan oleh Hakim. Oleh karenanya surat bukti dan keterangan saksi-saksi tersebut belum cukup membuktikan bahwa Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditur dalam perkara ini, yang merupakan syarat essensil yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

6. Putusan Perkara No. 40/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 30 Juni 2010 jo.

No : 693 K / PDT.SUS / 2010 tanggal 3 September 2010, antara Lufthansa Technik Ag (Pemohon/Pemohon Kasasi) Vs. PT. Metro Batavia (Termohon / Termohon Kasasi).

Pertimbangan Hukum Kasasi : Alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, pertimbangannya telah tepat.

Penilaian hasil pembuktian tidak tunduk pada kasasi. Unsur “Debitor memiliki dua atau lebih Kreditur” tidak terpenuhi dan karenanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Lufthansa Technik AG selaku Pemohon terhadap PT.

Metro Batavia selaku Termohon harus dinyatakan ditolak.

7. Putusan Perkara No.10/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 13 Juni 2002 jo No : 021 K/N/2002 tanggal 5 Juli 2002, antara Paul Sukran,SH (Pemohon /Termohon Kasasi) Vs PT.Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, dkk (Para Termohon Pailit/Pemohon Kasasi).

Pertimbangan Hakim Kasasi : Keberatan kasasi dapat dibenarkan, karena judex Facti telah salah menerapkan hukum. Bahwa pemeriksaan terhadap perkara ini tidak dapat dilakukan secara sederhana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) Undang-undang kepailitan, sebab harus dibuktikan terlebih dahulu apakah memang ada “Deviden tahun 1999”, apakah terhadap deviden tersebut RUPS telah memerintahkan untuk dibagikan ?, apakah pembagian tersebut telah sesuai menurut keputusan RUPS ? , dan seterusnya.

Menarik untuk diperhatikan bahwa perkara-perkara pailit yang diputus oleh majelis hakim di atas, 6 (enam) putusan diantaranya (Perkara I, II, IV, V, VI dan VII) telah memberikan pertimbangan yang berisi alasan penolakan permohonan pailit yang pada pokoknya memiliki arti “pembuktian complicated”. Sedangkan 1 (satu) putusan (Perkara III) memberikan pertimbangan yang sulit dipahami, karena menggunakan redaksi yang berbeda dengan perkara-perkara lain, walaupun mungkin majelis hakim PK bermaksud menguatkan pertimbangan hukum majelis hakim pada tingkat kasasi

155

dan judex facti yang pada intinya menolak permohonan pailit dari pemohon karena pembuktiannya juga bersifat tidak sederhana (complicated).

Berikut bunyi pertimbangan-pertimbangan hukum dari perkara-perkara pailit (Putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali) sebagaimana dimaksudkan di atas:

Perkara I : “tidak dapat dibuktikan secara sederhana” (Pertimbangan Hukum PK)

Perkara II : “kedua unsur untuk pernyataan pailit berdasarkan ketentuan Pasal 2 (1) jo Pasal 8 (4) Undang-Undang Kepailitan tidak terpenuhi sehingga perkara ini bukan dalam kewenangan Pengadilan Niaga”

(Pertimbangan Hukum Kasasi)

Perkara III : “alasan yang dikemukakan oleh baik judex juris maupun judex facti bahwa perkara ini mengandung suatu sengketa keperdataan adalah benar, dan oleh karena itu, apakah Termohon Pailit berkedudukan sebagai Debitor dari Pemohon Pailit tidak dapat dibuktikan secara sederhana.” (Pertimbangan Hukum PK)

Perkara IV : “tidak terbukti adanya kreditur lain” (Pertimbangan Hukum Kasasi) Perkara V : “belum cukup membuktikan bahwa Debitor mempunyai dua atau

lebih Kreditur” (Pertimbangan Hukum Kasasi)

Perkara VI : “Unsur debitor memiliki dua atau lebih Kreditur tidak terpenuhi”

(Pertimbangan Hukum Kasasi)

Perkara VII : “tidak dapat dibuktikan secara sederhana” (Pertimbangan Hukum Kasasi)

Walaupun demikian, menurut peneliti, putusan-putusan hakim dalam perkara kepailitan di atas sebagian besar belum memberikan pertimbangan hukum yang jelas mengenai alasan penolakan permohonan pailit, sehingga pertimbangan hukum tersebut diterima oleh pihak yang dikalahkan. Bahkan dalam putusan majelis hakim yang penulis teliti tersebut, pihak yang dikalahkan (pemohon pailit) selalu mengemukakan alasan-alasan ketidakpuasan atas putusan penolakan majelis hakim, yang pada intinya menyatakan bahwa dasar pertimbangan majelis hakim untuk menolak permohonan pailit tidak jelas.

Keadaan ini membuktikan bahwa majelis hakim yang memeriksa perkara kepailitan belum berani berperan aktif sebagaimana yang diinginkan oleh aliran Aktif-Argumentatif. Aliran ini lahir dalam rangka menentang peran Pasif-Total Hakim, yang menginginkan hakim dalam mencari dan menemukan kebenaran formil dalam perkara perdata (umumnya) bersifat aktif secara argumentatif. Peran aktif secara argumentatif sangat penting artinya karena hakim adalah makhluk berjiwa yang memiliki hati nurani dan kesadaran moral. Oleh karena itu, tidak layak dalam masyarakat yang beradab menjadikan hakim sebagai boneka yang diharuskan menerima dan menelan kebohongan dan kepalsuan bukti atau fakta yang diajukan para pihak yang berperkara sebagai kebenaran yang mesti dibenarkan, padahal dia tahu tidak benar. Oleh karena itu, tidak layak (unappropriate) dan tidak pantas (unreasonable) bagi hakim menerima sesuatu yang disodorkan para pihak sebagai kebenaran, apabila yang disodorkan itu tidak benar. Juga tidak layak hakim

157

membiarkan para pihak berlaku sewenang-wenang menyodorkan dan menyampaikan kebenaran yang berisi kebohongan dan kepalsuan.

Selain itu, secara umum tujuan dan fungsi peradilan adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan dan fungsi itu bukan hanya dipergunakan hakim dalam perkara pidana saja, melainkan juga meliputi penyelesaian perkara perdata.

Oleh karena itu, hakim perdata diberi fungsi dan kewenangan menegakkan hukum (law enforcement) di bidang perdata, dan tentu saja tujuan fungsi dan kewenangan itu dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice).

Bila diperhatikan dengan seksama, ternyata pihak yang sangat besar pengaruhnya dalam menentukan apakah permohonan pernyataan pailitnya diterima atau ditolak adalah pihak pemohon pailit, sedangkan sisanya adalah termohon pailit dan hakim Pengadilan Niaga.

Pengaruh besar pemohon pailit bisa dilihat keterangan-keterangan, bukti-bukti dan argumentasi-argumentasi yang disampaikannya. Semakin berbelit-belit cara penyampaian keterangan dilakukan oleh pemohon pailit atau kuasa hukumnya, maka akan semakin kecil pula peluang baginya untuk memenangkan perkara atau permohonan pailit yang diajukannya diterima. Jadi semuanya sangat tergantung pada tata cara penyampaian keterangan, atau pembuktian yang dilakukan oleh pemohon pailit. Walaupun sesungguhnya dimata pengamat hukum permohonan dan pembuktian bisa dibuktikan secara sederhana, tetapi bila pemohon pailit atau kuasa hukumnya tidak mampu mengemas fakta dan keterangan secara apik dan logis, maka akan kecil kemungkinan permohonan pailit yang dimohonkannya dikabulkan. Karena

sangat pasif, maka hakim sangat tergantung pada keterangan-keterangan dan pembuktian yang dilakukan oleh pemohon pailit atau kuasanya.

Bila termohon pailit juga memanfaatkan kesempatan itu untuk mengajukan eksepsi atas bukti-bukti dan keterangan yang diajukan pemohon pailit, sedangkan eksepsi itu disampaikan dengan dukungan fakta-fakta yang kuat dan mudah dicerna atau dipahami (logis), maka hal ini akan banyak mempengaruhi hakim dalam memutus perkara pailit yang bersangkutan. Namun demikian, walaupun secara teoretis hakim bersikap sangat pasif dalam pembuktian di pengadilan, hakim memiliki kebebasan untuk menarik kesimpulan dan memberikan keputusan, dimana hal itu tidak bisa diganggu gugat oleh para pihak yang berperkara, kecuali para pihak mengajukan upaya hokum kasasi atau peninjauan kembali.