• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian yang berjudul “Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan” diharapkan

11

dapat memberikan manfaat baik kegunaan dalam pegembangan ilmu atau manfaat dibidang teoritis dan manfaat dibidang prakris, antara lain sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan masukan bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.

b. Memperkaya literatur di perpustakaan.

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi Debitor, Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawasan pasar Modal, dan Menteri Keuangan Republik Indonesia, apabila hendak mengajukan permohon Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga.

b. Sebagai bahan masukan bagi Praktisi atau Advokat-Advokat selaku kuasa Pemohon Pailit dalam hal mengajukan permohonan Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelusuran studi kepustakaan pada repository.usu.sc,id., bahwa penelitian dengan judul : “Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam

Perkara Kepailitan” dengan rumusan permasalahan sebagaimana disebutkan dalam perumusan masalah pada point sebelumnya belum didapati judul dan permasalahan yang sama. Namun mungkin ada kemiripan judulnya dengan yang lain, maka hasil yang didapat antara lain :

1. Victorianus, dengan judul “Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit”, Tahun 2007.

2. Belinda, dengan judul “Peranan Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan”, Tahun 2008.

Penulisan tesis ini memiliki rumusan masalah dan tujuan penelitian yang berbeda, begitu juga dengan kajiannya yaitu: tentang Pembuktian dan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Pailit, terbatas pada peraturan dan perundang-undangan serta keputusan-keputusan Pengadilan Niaga yang telah diputus yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pertanggungjawaban tersebut dapat berupa isi dan kasus-kasus yang dipaparkan dalam tesis ini.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Kerangka teori menguraikan dasar-dasar teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang memberikan dukungan dalam kegiatan penelitian19

Teori hukum yang digunakan dalam menjawab penelitian ini adalah teori Kepastian Hukum, kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan

. Dalam rangka menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, maka digunakan beberapa teori dan konsep dalam kajian Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan sebagai dasar analisis.

19 Tim Penulis, Tips dan Cara Menyusun Skripsi Tesis Disertasi, (Bandung : Shira Media, 2009), hal.73.

13

ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkret dan tidak boleh ada penyimpangan (fiat justitia et pereat mundus/hukum harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh). Kepastian Hukum memberikan perlindungan kepada yustisiabel dari tindakan sewenang-wenang pihak lain, dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban dalam masyarakat20

a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatis, tujuan hukum dititikbertakan pada segi kepastian hukumnya.

Sebenarnya persoalan dari tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 (tiga) sudut pandang yaitu :

b. Dari sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum dititik-beratkan pada segi keadilan.

c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum ditik-beratkan pada segi kemanfaatan21.

Gustav Radbruch mengemukakan 3 (tiga) nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, sebagai asas prioritas dari ketiga asas tersebut, dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemafaatan, dan terakhir kepastian hokum.22

Dalam peraktik peradilan, sangat sulit bagi seorang Hakim untuk mengakomodir ketiga asas tersebut di dalam satu putusan. Dalam menghadapi keadaan ini, Hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutus suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan (asas prioritas yang kasuistis). Jika diibaratkan dalam sebuah garis, Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara berada (bergerak) di antara 2

20Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam persfektif Hukum Progresif, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal.131.

21 Ibid, hal 132.

22 Ibid. hal.132.

(dua) titik pembatasan dalam garis tersebut, yaitu apakah berdiri pada titik keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya. Pada saat Hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum, maka secara otomastis, Hakim akan menjauh dari titik keadilan.

Sebaliknya, kalau Hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara otomatis pula Hakim akan menjauhi titik kepastian hukum.23

Kepastian Hukum (rule of law) secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian kepastian hukum menjadi sistem norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konstelasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Menurut David M.Trubek, rule of law merupakan hal penting bagi pertumbuhan ekonomi dan membawa dampak yang luas bagi reformasi sistem ekonomi di seluruh dunia yang berdasarkan pada teori apa yang dibutuhkan untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum dalam perubahan ekonomi.24

Selanjutnya sebagai pendukung toeri kepastian hukum dalam menjawab permasalahan yang dicari dalam penelitian ini dikemukan beberapa teori yaitu:

a. Teori Pembuktian Yang Relevan.

Masalah alat-alat bukti yang relevan adalah merupakan persoalan yang sangat utama harus dipertimbangkan dan diputuskan oleh Hakim dalam proses pembutian

23 Ibid, hal. 133.

24 Ibid.

15

suatu fakta di pengadilan. Relevansi alat-alat bukti merupakan salah satu pertimbangan Hakim disamping berbagai alasan lain untuk menolak diajukannnya suatu alat bukti dalam suatu perkara. Dengan demikian timbul permasalahan dalam peraktik, apakah yang dimaksud dengan alat bukti yang relevan itu ? Sebagaimana Munir Fuady mengatakan :

Yang dimaksud dengan alat bukti yang relevan adalah suatu alat bukti di mana penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar kemungkinan akan dapat membuat fakta yang dibuktikan tersebut menjadi lebih jelas daripada jika alat bukti tersebut tidak digunakan. Dengan demikian, relevansi alat bukti bukan hanya diukur dari ada atau tidaknya hubungannya dengan fakta yang akan dibuktikan, melainkan dengan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas.25

Agar suatu alat bukti dapat diterima di pengadilan, alat bukti tersebut haruslah relevan dengan apa yang akan dibuktikan, jika alat bukti tersebut tidak relevan, pengadilan harus tegas untuk menolak bukti-bukti tersebut, karena menerima bukti yang tidak relevan akan membawa resiko tertentu bagi proses pencarian keadilan yaitu :

1. Membuang-buang waktu sehingga dapat memperlambat proses peradilan.

2. Dapat menjadi misleading yang menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu.

3. Penilaian terhadap masalah tersebut menjadi tidak proporsional, dengan membesar-besarkan yang sebenarnya kecil, atau mengecil-ngecilkan yang sebenarnya benar. dan

4. Membuat proses peradilan menjadi tidak rasional.

25 Munir Fuady, op.cit, hal. 27

Sehubungan dengan hal itu, perlu dibedakan antara masalah relevan alat bukti dan materialitas dari alat bukti tersebut. Dalam hal ini, relevansi alat bukti diukur dari apakah alat bukti tersebut relevan dengan fakta yang akan dibuktikan. Dalam peraktik antara relevansi alat bukti dan materialitas alat bukti sering disatukan dalam satu istilah “relevansi” alat bukti.26

Meskipun persyaratan bahwa suatu alat bukti harus relevan berlaku dalam hukum Indonesia, bahkan berlaku juga dalam hukum di negara manapun di dunia ini, kapan suatu alat bukti dikatakan relevan dan kapan alat bukti tersebut dianggap tidak relevan tidak ada ketentuan yang tegas, baik dalam hukum acara perdata Indonesia maupun dalam hukum acara pidana.

Hal ini tergantung kepada Hakim Pengadilan untuk menimbang-nimbang mana yang relevan dan mana yang tidak relevan tersebut, dengan memperhatikan dalil-dalil umum dan prinsip-prinsip yang berkembang dalam hukum pembuktian dengan memakai logika hukum dan keyakinan Hakim ketika mengadili suatu perkara. Para Pihak yang berpekara boleh ikut menilai, tetapi putusan tetap ditangan Hakim yang mengadili perkara tersebut.27

Dalam persoalan-persoalan tertentu, undang-undang telah dengan tegas menentukan siapa pemikul beban pembuktian, tetapi bukan dalam arti beban pembuktian mutlak (strict liability), karena itu unsur “kesalahan” masih dipersyaratkan contohnya, dalam hal keadaan memaksa, harus dibuktikan oleh Debitur, yang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1244 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut :

26 Ibid, hal. 27.

27 Ibid, hal. 28.

17

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum menganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”28

Logikanya, debiturlah yang berkepentingan agar suatu keadaan dinyatakan sebagai keadaan memaksa, seperti untuk menghindari pemberian suatu ganti rugi.29

b. Teori Penjatuhan Putusan

Dalam hal perbuatan melawan hukum, pihak yang menuntut ganti rugi tersebut yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku yang melakukan perbuatan mealwan hukum tersebut.

Pemahaman dan pengertian atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukan oleh Jonh Locke dan Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur atau netral (impartiality).

Apabila kebebasan tidak dimiliki oleh kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan tidak akan bersikap netral, terutama apabila terjadi sengketa antara penguasa dan rakyat.30

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan kekuatan kaeda-kaedah hukum positif dalam konkretisasi oleh Hakim melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang

28 Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

29 Munir Fuady, op cit, hal. 49.

30Pontang Moerad,B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, (Bandung : Alumni, 2005), hal.21. Sebagaimana dikutip Ahmad Rifai, op cit, hal. 102.

diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah :

Hakim, yang mempunyai kewenangan dalam memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.31

Fungsi utama dari seorang Hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, putusan Hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani. Adapun dalam memeriksa perkara perdata, hakim bersifat pasif, dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengekata yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa, pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berpekara dan bukan oleh hakim. Akan tetapi, Hakim harus aktif membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran dari peristiwa hukum yang menjadi sengketa di antara para pihak.

Sistem pembuktian positif (positive weterlijke) digunakan Hakim dalam penyelesaian perkara perdata, dimana apabila ada pihak yang mengaku atau menyatakan mempunyai sesuatu hak, maka ia harus membuktikan kebenaran dari pengakuan dan pernyataanya, dengan didasarkan pada bukti-bukti formil, yaitu alat-alat bukti sebagaimana terdapat dalam hukum acara yang berlaku.32

31 Ibid. hal.102.

32 Ibid, hal.103.

19

Memeriksa dan memutus suatu perkara bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, dalam era keterbukaan pada saat ini, dunia peradilan mulai digugat untuk membuka diri, sehingga putusan Hakim tidak lagi semata-mata hanya menjadi bahan perbincangan secara hukum dan ilmu hukum atau menjadi bahan kajian ilmu hukum saja, tetapi akan lebih baik jauh menjadi konsumsi publik untuk dibicarakan dan diperdebatkan, terlebih jika ada putusan Hakim yang dirasakan kurang memuaskan masyarakat sebagai pencari keadilan.33

Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu :34

1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.

2) Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan Hakim, dan

3) Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi Hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

Kebebasan Hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi Hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus bertanya kepada diri sendiri, sudah benar dan jujurkah dirinya dalam mengambil suatu keputusan yang dibuatnya, atau sudah tepatkah putusan yang diambilnya, apakah keputusanya akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah keputusan akan

33 Ibid, hal.104.

34 Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 249 Bulan Agustus 2006, Ikahi Jakarta, 2006, hal.5, Sebagai dikutip Ahmad Rifai, Ibid, hal. 104.

dibuatnya atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang akan dijatuhkan oleh seorang Hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi masyarakat yang sedang mencari keadilan.35

Pembuktian menurut UUK-PKPU, adalah pembuktian yang bersifat sederhana, sehubungan dengan pembuktian sederhana atas permohonan pailit oleh kreditor yang sebagaimana dikemukan oleh undang-undang tersebut tidaklah mungkin, karena apabila tidak terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana berkaitan dengan permohonan pernyataan pailit, maka permohonan pailit itu harus ditolak oleh Hakim Pengadilan Niaga. Berkaitan dengan persoalan tersebut apakah untuk perkara pembayaran utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, yang fakta dan keadaannya tidak dapat dibuktikan secara sederhana, tidak dapat diajukan sebagai perkara kepailitan kepada Pengadilan Niaga.

36

Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam pemeriksaan kasasi, putusan No.32K/N/1999 dalam perkara kepailitan antara PT. Bank Internasional Indonesia Tbk, melawan (1) Abu Hermanto, (2) Wahyu Budiono, dan (3) PT.Surya Andalas Corporation, berpendapat bahwa apabila pembuktian tidak sederhana, maka pokok sengketa masih harus dibuktikan di Pengadilan Negeri. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Kasasi mengemukakan bahwa Permohonan Pailit tidak memenuhi syarat Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998, karena dalam pembuktian ternyata tidak sederhana. Dalam kasus tersebut, ternyata persoalan yang

35 Ibid, hal.105.

36 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2009, hal. 44

21

disengketakan berkaitan dengan hukum Inggris (sesuai dengan perjanjian antara pemohon dan termohon kasasi) sehingga tentang pokok sengketa harus dibuktikan di Pengadilan Negeri (Perdata).37

Mengacu kepada putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, dapat menimbulkan kekeliruan dalam ber-agumentasikan hukum, karena Pasal 6 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998 Joncto Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa apabila Permohonan Pernyataan Pailit tidak dapat dibuktikan secara sederhana, perkara tersebut tidak dapat diperiksa dan diputus oleh Hakim Pengadilan Niaga. Bila pasal tersebut ditafsirkan seperti itu, maka perkara utang-piutang yang sangat ruwet (contohnya perkara-perkara perbankan) menjadi tidak mungkin lagi kreditor untuk mengajukan Permohonan Pailit terhadap Debitur.

Akibatnya, menjadi tidak ada artinya ketentuan pasal 1131 KUHPerdata yang merupakan sumber hukum kepailitan, sehingga penafsiran tersebut dapat mengakibatkan kreditor menjadi terpasung haknya untuk dapat mengajukan Permohonan Pailit.

Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU hanya bertujuan mewajibkan Hakim untuk tidak menolak permohonan pernyataan pailit apabila dalam perkara itu dapat dibuktikan secara sederhana. Namun, bukan berarti jika ternyata dalam perkara yang diajukan Pailit itu tidak dapat dibuktikan Pemohon secara sederhana atas fakta dan keadaannya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga atau Majelis Hakim Kasasi wajib

37 Ibid, hal. 45.

monolak untuk memeriksa perkara itu sebagai perkara kepailitan, karena perkara yang demikian itu merupakan kewenangan Pengadilan Niaga.

2. Kerangka Konsep

Dalam memahami penelitian secara lebih lanjut, penulis memaparkan batasan konsepsional atau definisi operasional dan istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga untuk memberikan pedoman pada proses penelitian.

Dalam penelitian ini ada dua variable yang terkait yaitu : Pertama, pembuktian yang Complicated dan pembuktian yang bersifat Sederhana dalam perkara Permohonan Pernyataan Pailit. Kedua, Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara Kepailitan. Dari uraian kerangka teori diatas, penulis akan menjelaskan beberapa konsep dasar yang akan digunakan dalam tesis ini antara lain :

1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang.

2. Pemohon Pailit adalah pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga.

3. Termohon Pailit adalah pihak yang tertarik ke dalam perkara pailit atas pernyataan Permohonan Pailit yang diajukan oleh Pemohon Pailit ke Pengadilan Niaga.

23

4. Pembuktian adalah suatu proses, baik dalam hukum acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya. Dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosudur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan.38

5. Hukum Pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian.

6. Bukti adalah alat pembenaran suatu peristiwa atau keadaan.

7. Pembuktian Sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih Kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat dibayar.

8. Pembuktian Yang Complicated adalah pembuktian yang tidak bersifat sederhana maksudnya alat-alat bukti yang menyulitkan, rumit, menyukarkan, merumitkan keadaan dan fakta yang sederhana.

9. Kompetensi Relatif adalah Kewenangan Hakim Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara di Pengadilan Negeri terhadap perkara tertentu.

10. Pembuktian yang relevan adalah pembuktian yang bersangkut paut antara bukti dengan suatu peristiwa hukum.

11. Teori Hukum adalah ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian pokok dan sistem dari hokum.39

38 Munir Fuady, op.cit. hal. 1.

39 Bahan Kuliah, Teori Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum, USU.

12. Kepastian Hukum adalah landasan hukum yang kukuh, dimana setiap pihak secara langsung maupun tidak langsung wajib untuk menghormati dan menegakkan substansi hukum yang berlaku.40

13. Pengadilan Niaga adalah Pengadilan dalam lingkup peradilan umum yang mengeluarkan putusan pailit dan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.

14. Putusan Serta Merta adalah putusan Pengadilan yang dapat dijalankan terlebih dahulu, walaupun ada banding, verzet, maupun kasasi.