• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUKTIAN COMPLICATED DIKAITKAN DENGAN KOMPETENSI RELATIF PENGADIALN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMBUKTIAN COMPLICATED DIKAITKAN DENGAN KOMPETENSI RELATIF PENGADIALN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

i

PEMBUKTIAN COMPLICATED DIKAITKAN DENGAN KOMPETENSI RELATIF PENGADIALN NIAGA

DALAM PERKARA KEPAILITAN

TESIS

OLEH

ISKANDAR 087005043/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(2)

PEMBUKTIAN COMPLICATED DIKAITKAN DENGAN KOMPETENSI RELATIF PENGADILAN NIAGA

DALAM PERKARAKEPAILITAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi

Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

ISKANDAR 087005043/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(3)

iii

Judul Tesis : PEMBUKTIAN COMPLICATED DIKAITAKAN DENGAN KOMPETENSI RELATIF PENGADILAN NIAGA DALAM PERKARA KEPAILITAN

Nama : ISKANDAR

Nim : 087005043

Program Studi : ILMU HUKUM

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution.,SH.,MH Ketua

)

(Prof. Dr. Sunarmi,SH,M. Hum) (Dr. Mahmul Siregar,SH,M. Hum Anggota Anggota

)

Ketua program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi,SH,HM) (Prof. Dr. Runtung,SH,M. Hum)

Tanggal Lulus : 20 Januari 2012

(4)

Telah Diuji

Tanggal : 20 januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Bismar Nasution,SH,MH ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Sunarmi,SH,M. Hum 2. Dr. Mahmul Siregar, SH,M. Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

4. Dr. Hasim Purba, SH, M. Hum

(5)

i

A B S T R A K

Penanganan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga, tidak terlepas dari bukti awal yang dimiliki oleh Pemohon Pailit, apakah alat-alat bukti yang dimiliki oleh Pemohon Pailit tersebut sudah merupakan bukti yang membuktikan berdasarkan fakta dan keadaan hukum yang bersifat sederhana, sesuai dengan apa yang dimaksud bunyi Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Peran pembuktian dalam suatu proses hukum di Pengadilan Niaga sangatlah penting, karena keputusan-keputusan yang dibuat oleh Hakim Niaga selalu dan terfokus kepada alat-alat bukti formal yang terungkap dipersidangan, Hal ini disebabkan hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan perkara-perkara niaga adalah hukum acara perdata sesuai dengan bunyi Pasal 299 UUK-PKPU. Kenyataannya dalam praktik di Pengadilan Niaga tidaklah seindah yang dilukiskan oleh hukum, karena peranan alat bukti adalah salah satu faktor penting yang dimiliki oleh Pemohon Pailit untuk mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit di Pengadilan Niaga. Hakim Niaga sangat sensitif dan tajam dalam memberikan penilaian pada setiap pertimbangan hukum keputusannya. Batasan tentang pembuktian yang sederhana tidak secara tegas disebutkan didalamUndang-undang Pailit, sehingga kewenangan Hakim Pengadilan Niaga sangat besar tanpa batasan yang jelas diberikan oleh Undang-undang.

Penelitian yang berjudul “Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan”, memiliki beberapa permasalahan hukum yang harus dikaji, meliputi : (a) bagaimanakah pembuktian yang bersifat sederhana (sumir) dan yang bersifat complicated dalam perkara kepailitan?; (b) mengapa Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan?; dan (c) bagaimanakah Hakim melakukan pembuktian dalam perkara kepailitan yang mengandung unsur complicated dikaitkan dengan kompetensi relatif Pengadilan Niaga? Penelitian ini dilakukan secara Juridis Normatif. Pendekatan ini digunakan untuk mengadakan pendekatan terhadap permasalahan dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum pembuktian yaitu tentang Pembuktian yang bersifat sederhana atau complicated .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pembuktian sederhana (sumir) sebagai syarat ketentuan utama di dalam pemeriksaan perkara kepailitan diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Secara sederhana artinya apabila telah terbukti secara sederhana bahwa debitor mempunyai lebih dari satu kreditor dan bahwa salah satu utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih tetapi debitor tidak/belum membayar lunas utang- utangnya. Pembuktian yang sederhana atau sumir yang dalam bahasa Belanda summier atau summierlijk merupakan proses peradilan yang diperpendek, tanpa keterangan tertulis dari kedua belah pihak tanpa pembuktian yang terperinci dan teliti.

Karena UUK-PKPU tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang bagaimana pembuktian sederhana dilakukan maka untuk mengurangi perbedaan pendapat diantara para hakim, MA dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang diadakan pada bulan September 2002 berusaha memberikan batasan pembuktian sederhana ini, yang

(6)

ii

Hakekatnya pembuktian itu dilakukan sendiri oleh pihak yang mengajukan permohonan pailit, dan Hakim hanya bertugas mendengar, menilai dan menyimpulkan saja semua pembuktian yang dilakukan oleh pemohon tersebut dan hakim tidak wajib mendengarkan keterangan (pembuktian) dari termohon, karena sifat pembuktian dalam perkara kepailitan adalah pembuktian sepihak, yang tidak mengenal jawab-menjawab, replik, duplik sebagaimana yang berlaku dalam perkara perdata biasa. Eksistensi Pengadilan Niaga telah menimbulkan pergeseran pada kompetensi relatif Pengadilan Negeri. Ketika muncul sengketa komersial yang berhubungan kepailitan, maka tidak serta merta hal itu menjadi kompetensi Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan menyelesaikannya, karena harus dibuktikan lebih dahulu, apakah sengketa/perkara itu pembuktiannya bersifat sederhana atau complicated. Bila setelah dilakukan pemeriksaan dengan cara mendengarkan keterangan-keterangan dari pemohon pailit dan eksepsi dari termohon pailit, maka hakim Pengadilan Niaga bisa menarik kesimpulan dan memutuskan apakah perkara itu dikabulkan atau sebaliknya ditolak. Bila dikabulkan, hal itu berarti bahwa perkara itu adalah perkara yang menjadi kompetensi Pengadilan Niaga. Sedangkan bila permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon ditolak, maka hal itu berarti bahwa perkara tersebut bukanlah perkara yang termasuk kompetensi Pengadilan Niaga, melainkan merupakan perkara perdata biasa yang wajib diselesaikan melalui proses pengajuan gugatan perdata dan merupakan kompetensi Pengadilan Negeri.

Kata-kata kunci : Pembuktian complicated Kompetensi relatif Pengadilan Niaga

(7)

iii

A B S T R A C T

The handling of bankruptcy cases in the Commercial Court, not apart from the initial evidence Bankrupt owned by the applicant, whether the evidence held by the bankruptcy petition is already a proven evidence based on the facts and legal circumstances that are simple, according to what the content of Article 8 paragraph (4) Labor Law-PKPU. The role of proof in a legal process in the Commercial Court is important, because decisions made by judges and Commerce has always focused on the means of formal proof that revealed in court, This is due to the procedural law which are used in the examination of commercial matters is the law of procedure civil accordance with Article 299 UUK-PKPU sound. In fact in practice in the Commercial Court is not as beautiful as that described by the law, because the role of evidence is one important factor that is owned by the applicant to file an application Bankrupt Statement at the Commercial Court. Judge Commerce is very sensitive and sharp in their assessments on any consideration of legal decisions. Limitations of the simple proof is not explicitly mentioned in regulation Bankrupt Act, so that the authority of the Commercial Court Judge very large without clear boundaries provided by the Act.

The study, entitled "Proof of Relative Competence Complicated Associated with the Commercial Court in Bankruptcy Cases", has some legal issues that must be assessed, include: (a) how is the proof that is both simple (summary) and which is complicated in the case of bankruptcy?; (B) why the Bankruptcy Act requires a simple proof in the case of bankruptcy?, and (c) how judges conduct of proof in cases of bankruptcy that contain complicated elements associated with the relative competence of the Commercial Court? The research was conducted by juridical Normative. This approach is used to hold the approach to the problem by looking at in terms of legislation that applies the law of evidence Evidence that is about to be simple or complicated. The results showed that a simple proof (summary) as a condition of the main provisions in the bankruptcy case investigation provided for in Article 8 paragraph (4) Labor Law-PKPU. Put simply it means if it has been shown to be simply that the debtor has more than one creditor, and that one of its debt has fallen time and can be billed but the debtor did not / has not paid off his debts. Proof that simple or summary in Dutch summierlijk or judicial process is shortened, without the written statements from both sides without a detailed and rigorous proof. Because UUK-PKPU not provide a detailed explanation of how a simple proof is done then to reduce the differences of opinion among the judges, the Supreme Court in National Working Meeting (Conggress) held in September 2002 sought to give a simple proof of this restriction, which resulted in an agreement that the case investigation bankruptcy petition did not know of any exceptions, answers, replic, closing argument and conclusions, as well as in a lawsuit that is party. While the complicated proof is part of procedural law, known and applicable in a civil case settlement process (in addition to criminal cases). The term or complicated words, as opposed to simple words (summary) not found in the statute. This term is the author of the adoption of the opinion Setiawan in his book "Various Issues of Law and Civil

(8)

iv

(Applicant) against PPP (Pacipik Palmindo Industry) and 63 other debtor (respondent). If the authentication is simple in the case of petition for bankruptcy do not know of any exceptions, answers, replik, closing argument and conclusion, then in ordinary civil cases with complicated evidentiary principles recognize the existence of exceptions, answers, replik, closing argument and conclusions. The reason the principle of setting a simple proof in the UUK-PKPU especially in order to resolve matters of bankruptcy is to protect the interests of both creditors and debtors. Determination of the period (time frame) a brief in the bankruptcy settlement actually aims to close the defect or the opportunity for debtors to commit fraud, transfer of property (assets) or actions and other measures detrimental to the interests and rights of creditors. In addition, the settlement of debts protracted (long) within the framework of UUK-PKPU would interfere with plans and business continuity as well as the achievement of business targets of the business (both creditors and debtors) which in principle is always a race against time (target) and mostly very on loan capital from investors (investors) who certainly has a lot of risk as the risk of congestion debt payments (principal and interest), dividends or profit sharing. Surely the judges who examine cases of bankruptcy, both at the level judex facti, judex juris (an appeal) and reconsideration, highly dependent on the verification carried out unilaterally by the applicant of bankruptcy (besides the exception of the respondent bankrupt). In other words, how the judge in the conduct of proof in cases of bankruptcy, whether the case contains the complicated nature of the evidence or not is highly dependent on the testimony, witnesses or evidence carried out by the applicant bankrupt. With the passive role of the judge, essentially proving that done by the party who filed for bankruptcy, and the judge on duty only to listen, assess and conclude it all done by the applicant's evidence and the judge is not obliged to listen to the information (evidence) of the respondent, because the nature of proof in a bankruptcy case is one-sided evidence, that knows no-answer answer, replik, closing argument as applicable in ordinary civil case. The existence of the Commercial Court has caused a shift in the relative competence of the District Court. When commercial disputes arise related to bankruptcy, it is not necessarily it being the competence of the Commercial Court to examine and solve it, because it must be proved first, whether the dispute / lawsuit was the proof is simple or complicated. If after examination by listening to explanations from the applicant's bankruptcy and the demurrer of the respondent bankrupt, then the Commercial Court can draw conclusions and decide whether the case is granted or rejected otherwise. If granted, it means that the case is a case that became the competence of the Commercial Court. Meanwhile, when the bankruptcy petition filed by the applicant is rejected, then it means that the case was not the case that includes the competence of the

(9)

v

Commercial Court, but rather an ordinary civil case should be settled through the process of filing a civil suit and the competence of the District Court.

Key words : proof complicated.

Relative competence.

Commercial Court

(10)

vi

rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta panjatan doa dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan contoh dan tauladan, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan penelitian ini.

Pada penelitian ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan terima kasih sebesaar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc.(C.T.M.), Sp.A.(K.), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan merangkap sebagai Dosen Penguji I yang telah memberikan masukan dalam hal penelitian;

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Magister (S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan merangkap sebagai Dosen Pembimbing III yang telah memberikan arahan mengenai penulisan penelitian yang benar;

(11)

vii

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH., sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan masukan dan ide-ide dalam hal penulisan penelitian ini sampai dengan selesai;

6. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang bersabar dalam penyelesaian penelitian ini;

7. Bapak Dr.Hasim Purba, SH., M.Hum., sebagai Dosen Penguji II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Para Dosen dan Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama penulis menjalani studi di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua saya Ayahanda Almarhum OK. M.Zainuddin Bachroem dan Ibunda Almarhumah Wan Syahrul Bariah, yang telah membesarkan, mendidik, dan menyekolahkan saya sehingga penulis dapat sampai ke jenjang Strata 2 ini ;

10. Terima kasih penulis kepada Isteri Saya Aziarni SH., dan anak-anakku Kania Syafiza, M.Ibnu Hidayah dan M.Faqih Akbar, yang sangat memberikan motivasi kepada penulis dan doanya sehingga dapat menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku rekan mahasiswa, sudah membantu selama penyelesaian penelitian ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu.

(12)

viii

Wassalamualaikum Wr. Wb., Medan, Januari 2012

Penulis Iskandar

(13)

ix

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Iskandar

Tmpt /Tgl Lahir : Stabat, 23 Nopember 1961 Alamat : Jl.Jermal V Ujung no.100 Medan Pekerjaan : Advokat & Konsultan Hukum

Agama : Islam.

Nama Ayah : Alm. OK.M.Zainuddin Bachroem Nama Ibu : Alm. Wan Syahrul Bariah

Isteri : Aziarni. SH Anak : 1.Kania Syafiza

2.M.Ibnu Hidayah.

3.M.Faqih Akbar Suku / Bangsa : Melayu / INDONESIA E-Mail : ok.iskan@gmail.com II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1. Pendidikan Dasar dan Menengah Umum a. SD : SD Negeri nomor 3 Stabat

lulus tahun 1973 b. SMP : SMP Negeri Stabat

lulus tahun 1976

c. SMA : SMA Negeri Tanjung Pura lulus tahun 1980

2. Pendidikan Tinggi

a. S1 : Fakultas Hukum USU lulus tahun 1987

b. S2 : Program Studi Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, (2008 – 2011) 3. Pendidikan Khusus Profesi Advokat

ADVOKAT (PERADI), lulus tahun 1990

Pas Photo 4 x 6 Warna

(14)

x

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Maanfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Kerangka Konsep ... 22

G. Metode Penelitian ... 24

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 25

2. Sumber Bahan Penelitian ... 26

3. Teknik Pengumpulan Data ... 28

4. Analisis Data ... 28

H. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II PEMBUKTIAN DALAM PERKARA KEPAILITAN A. Pembuktian ... 31

1. Pengertian ... 31

2. Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata ... 35

a. Sistem Beracara Secara Langsung Dan Tidak Langsung ... 37

b. Sistem Pemeriksaan PerkaraDalam Ruang Sidang ... 39

c. Sistem Peradilan Dua Tingkat ... 43

3. Pembuktian mencari Dan Mewujubkan Kebenaran Formil ... 46

a. Tugas Dan Peran Hakim Bersifat Fasip ... 48

b. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta ... 50

c. Aliran Baru Menentang Peran Hakim Bersifat Fasif- Total ... 52

B. Pembuktian Sederhana ... 53

C. Pembuktian Complicate ... 69

D. Pembuktian Dalam Perkara Kepailitan ... 73

BAB III ALASAN PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PERKARA KEPAILITAN A. Alasan Pembuktian Sederhana ... 86

B. Perkara Kepailitan Yang Memenuhi Unsur Pembuktian Sederhana .... 92

BAB IV PEMBUKTIAN YANG MENGANDUNG UNSUR BERSIFAT COMPLICATED DAN KAITANNYA DENGAN KOMPETENSI RELATIP PENGADILAN A. Perkara Kepailitan Yang Memenuhi Unsur Pembuktian Complicated ... 117

(15)

xi

B. Cara Kerja Hakim Dalam Melakukan Pembuktian Perkar kepailitan

Yang Bersifat Complikated ... 145 C. Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga ... 158 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 164 B. Saran ... 166 DAFTAR PUSTAKA ... 168

(16)

i

keadaan hukum yang bersifat sederhana, sesuai dengan apa yang dimaksud bunyi Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Peran pembuktian dalam suatu proses hukum di Pengadilan Niaga sangatlah penting, karena keputusan-keputusan yang dibuat oleh Hakim Niaga selalu dan terfokus kepada alat-alat bukti formal yang terungkap dipersidangan, Hal ini disebabkan hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan perkara-perkara niaga adalah hukum acara perdata sesuai dengan bunyi Pasal 299 UUK-PKPU. Kenyataannya dalam praktik di Pengadilan Niaga tidaklah seindah yang dilukiskan oleh hukum, karena peranan alat bukti adalah salah satu faktor penting yang dimiliki oleh Pemohon Pailit untuk mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit di Pengadilan Niaga. Hakim Niaga sangat sensitif dan tajam dalam memberikan penilaian pada setiap pertimbangan hukum keputusannya. Batasan tentang pembuktian yang sederhana tidak secara tegas disebutkan didalamUndang-undang Pailit, sehingga kewenangan Hakim Pengadilan Niaga sangat besar tanpa batasan yang jelas diberikan oleh Undang-undang.

Penelitian yang berjudul “Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan”, memiliki beberapa permasalahan hukum yang harus dikaji, meliputi : (a) bagaimanakah pembuktian yang bersifat sederhana (sumir) dan yang bersifat complicated dalam perkara kepailitan?; (b) mengapa Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan?; dan (c) bagaimanakah Hakim melakukan pembuktian dalam perkara kepailitan yang mengandung unsur complicated dikaitkan dengan kompetensi relatif Pengadilan Niaga? Penelitian ini dilakukan secara Juridis Normatif. Pendekatan ini digunakan untuk mengadakan pendekatan terhadap permasalahan dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum pembuktian yaitu tentang Pembuktian yang bersifat sederhana atau complicated .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pembuktian sederhana (sumir) sebagai syarat ketentuan utama di dalam pemeriksaan perkara kepailitan diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Secara sederhana artinya apabila telah terbukti secara sederhana bahwa debitor mempunyai lebih dari satu kreditor dan bahwa salah satu utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih tetapi debitor tidak/belum membayar lunas utang- utangnya. Pembuktian yang sederhana atau sumir yang dalam bahasa Belanda summier atau summierlijk merupakan proses peradilan yang diperpendek, tanpa keterangan tertulis dari kedua belah pihak tanpa pembuktian yang terperinci dan teliti.

Karena UUK-PKPU tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang bagaimana pembuktian sederhana dilakukan maka untuk mengurangi perbedaan pendapat diantara para hakim, MA dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang diadakan pada bulan September 2002 berusaha memberikan batasan pembuktian sederhana ini, yang

(17)

ii

menghasilkan kesepakatan bahwa pemeriksaan perkara permohonan kepailitan tidak mengenal adanya eksepsi, jawaban, replik, duplik dan kesimpulan, seperti halnya dalam gugatan yang bersifat partai. Sedangkan Pembuktian complicated merupakan bagian dari hukum acara yang dikenal dan berlaku dalam proses penyelesaian perkara perdata (disamping perkara pidana).

Hakekatnya pembuktian itu dilakukan sendiri oleh pihak yang mengajukan permohonan pailit, dan Hakim hanya bertugas mendengar, menilai dan menyimpulkan saja semua pembuktian yang dilakukan oleh pemohon tersebut dan hakim tidak wajib mendengarkan keterangan (pembuktian) dari termohon, karena sifat pembuktian dalam perkara kepailitan adalah pembuktian sepihak, yang tidak mengenal jawab-menjawab, replik, duplik sebagaimana yang berlaku dalam perkara perdata biasa. Eksistensi Pengadilan Niaga telah menimbulkan pergeseran pada kompetensi relatif Pengadilan Negeri. Ketika muncul sengketa komersial yang berhubungan kepailitan, maka tidak serta merta hal itu menjadi kompetensi Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan menyelesaikannya, karena harus dibuktikan lebih dahulu, apakah sengketa/perkara itu pembuktiannya bersifat sederhana atau complicated. Bila setelah dilakukan pemeriksaan dengan cara mendengarkan keterangan-keterangan dari pemohon pailit dan eksepsi dari termohon pailit, maka hakim Pengadilan Niaga bisa menarik kesimpulan dan memutuskan apakah perkara itu dikabulkan atau sebaliknya ditolak. Bila dikabulkan, hal itu berarti bahwa perkara itu adalah perkara yang menjadi kompetensi Pengadilan Niaga. Sedangkan bila permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon ditolak, maka hal itu berarti bahwa perkara tersebut bukanlah perkara yang termasuk kompetensi Pengadilan Niaga, melainkan merupakan perkara perdata biasa yang wajib diselesaikan melalui proses pengajuan gugatan perdata dan merupakan kompetensi Pengadilan Negeri.

Kata-kata kunci : Pembuktian complicated Kompetensi relatif Pengadilan Niaga

(18)

iii

circumstances that are simple, according to what the content of Article 8 paragraph (4) Labor Law-PKPU. The role of proof in a legal process in the Commercial Court is important, because decisions made by judges and Commerce has always focused on the means of formal proof that revealed in court, This is due to the procedural law which are used in the examination of commercial matters is the law of procedure civil accordance with Article 299 UUK-PKPU sound. In fact in practice in the Commercial Court is not as beautiful as that described by the law, because the role of evidence is one important factor that is owned by the applicant to file an application Bankrupt Statement at the Commercial Court. Judge Commerce is very sensitive and sharp in their assessments on any consideration of legal decisions. Limitations of the simple proof is not explicitly mentioned in regulation Bankrupt Act, so that the authority of the Commercial Court Judge very large without clear boundaries provided by the Act.

The study, entitled "Proof of Relative Competence Complicated Associated with the Commercial Court in Bankruptcy Cases", has some legal issues that must be assessed, include: (a) how is the proof that is both simple (summary) and which is complicated in the case of bankruptcy?; (B) why the Bankruptcy Act requires a simple proof in the case of bankruptcy?, and (c) how judges conduct of proof in cases of bankruptcy that contain complicated elements associated with the relative competence of the Commercial Court? The research was conducted by juridical Normative. This approach is used to hold the approach to the problem by looking at in terms of legislation that applies the law of evidence Evidence that is about to be simple or complicated. The results showed that a simple proof (summary) as a condition of the main provisions in the bankruptcy case investigation provided for in Article 8 paragraph (4) Labor Law-PKPU. Put simply it means if it has been shown to be simply that the debtor has more than one creditor, and that one of its debt has fallen time and can be billed but the debtor did not / has not paid off his debts. Proof that simple or summary in Dutch summierlijk or judicial process is shortened, without the written statements from both sides without a detailed and rigorous proof. Because UUK-PKPU not provide a detailed explanation of how a simple proof is done then to reduce the differences of opinion among the judges, the Supreme Court in National Working Meeting (Conggress) held in September 2002 sought to give a simple proof of this restriction, which resulted in an agreement that the case investigation bankruptcy petition did not know of any exceptions, answers, replic, closing argument and conclusions, as well as in a lawsuit that is party. While the complicated proof is part of procedural law, known and applicable in a civil case settlement process (in addition to criminal cases). The term or complicated words, as opposed to simple words (summary) not found in the statute. This term is the author of the adoption of the opinion Setiawan in his book "Various Issues of Law and Civil

(19)

iv

Procedure", which states that the word "simple" is meant a process proceedings that are not "complicated" (not complicated). The term complicated reasoning is also found in the inverted (argumentum a contrario) conducted by the Commercial Court in Decision No. Medan. 02 / Bankruptcy / 2009 / PN. Commerce / Medan, dated November 12, 2009, in a bankruptcy case between PT. Blessing Oil Sumatra (Applicant) against PPP (Pacipik Palmindo Industry) and 63 other debtor (respondent). If the authentication is simple in the case of petition for bankruptcy do not know of any exceptions, answers, replik, closing argument and conclusion, then in ordinary civil cases with complicated evidentiary principles recognize the existence of exceptions, answers, replik, closing argument and conclusions. The reason the principle of setting a simple proof in the UUK-PKPU especially in order to resolve matters of bankruptcy is to protect the interests of both creditors and debtors. Determination of the period (time frame) a brief in the bankruptcy settlement actually aims to close the defect or the opportunity for debtors to commit fraud, transfer of property (assets) or actions and other measures detrimental to the interests and rights of creditors. In addition, the settlement of debts protracted (long) within the framework of UUK-PKPU would interfere with plans and business continuity as well as the achievement of business targets of the business (both creditors and debtors) which in principle is always a race against time (target) and mostly very on loan capital from investors (investors) who certainly has a lot of risk as the risk of congestion debt payments (principal and interest), dividends or profit sharing. Surely the judges who examine cases of bankruptcy, both at the level judex facti, judex juris (an appeal) and reconsideration, highly dependent on the verification carried out unilaterally by the applicant of bankruptcy (besides the exception of the respondent bankrupt). In other words, how the judge in the conduct of proof in cases of bankruptcy, whether the case contains the complicated nature of the evidence or not is highly dependent on the testimony, witnesses or evidence carried out by the applicant bankrupt. With the passive role of the judge, essentially proving that done by the party who filed for bankruptcy, and the judge on duty only to listen, assess and conclude it all done by the applicant's evidence and the judge is not obliged to listen to the information (evidence) of the respondent, because the nature of proof in a bankruptcy case is one-sided evidence, that knows no-answer answer, replik, closing argument as applicable in ordinary civil case. The existence of the Commercial Court has caused a shift in the relative competence of the District Court. When commercial disputes arise related to bankruptcy, it is not necessarily it being the competence of the Commercial Court to examine and solve it, because it must be proved first, whether the dispute / lawsuit was the proof is simple or complicated. If after examination by listening to explanations from the applicant's bankruptcy and the demurrer of the respondent bankrupt, then the Commercial Court can draw conclusions and decide whether the case is granted or rejected otherwise. If granted, it means that the case is a case that became the competence of the Commercial Court. Meanwhile, when the bankruptcy petition filed by the applicant is rejected, then it means that the case was not the case that includes the competence of the

(20)

v Commercial Court

(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi ekonomi di Indonesia pada saat ini sangat berpengaruh bagi pelaku usaha untuk menjalankan aktivitas bisnisnya, karena para pelaku usaha belum siap menghadapi proses penyertaan kedalam ruang lingkup aktivitas bisnis tersebut, apalagi krisis ekonomi yang melanda dunia pada saat ini seperti juga pernah terjadi di Indonesia sejak tahun 1997, yang menimbulkan kerusakan pada aktivitas bisnis, dan mengakibatkan potensi kegagalan pembayaran utang, kegagalan pelaksanaan proyek, pembatalan kesepakatan berinventasi, kegagalan pemenuhan produksi dan distribusi yang semuanya mengarah pada kewenangan bagi pihak-pihak yang dirugikan untuk meminta ganti rugi. Dalam kedaan seperti ini, para pelaku usaha berkeinginan untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya tersebut dapat diselesaikan secara serta merta, dengan waktu yang singkat dan dengan mengeluarkan biaya yang serendah mungkin.

Satu-satunya pintu yang dapat ditempuh atas penyelesaian tersebut adalah melalui jalur upaya hukum, yaitu dengan mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga.

Berbicara tentang Pailit, maka tidak terlepas dari peranan Advokat, karena pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga harus dilakukan oleh Advokat. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat

(22)

UUK-PKPU) menyebutkan “Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207 dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang Advokat.”1

Dalam Pasal 6 ayat (1) UUK-PKPU secara tegas menyebutkan “Permohonan Pernyataan Pailit diajukan ke Ketua Pengadilan”.

2 Pengadilan yang dimaksudkan oleh pasal tersebut adalah Pengadilan Niaga yang sebagaimana disebutkan didalam Pasal 1 ayat (7) UUK-PKPU yang berbunyi “Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.”3

Dalam penanganan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga, tidak terlepas dari bukti awal yang dimiliki oleh Pemohon Pailit, apakah alat-alat bukti yang dimiliki oleh Pemohon Pailit tersebut sudah merupakan bukti yang membuktikan berdasarkan fakta dan keadaan hukum yang bersifat sederhana, sesuai dengan apa yang dimaksud bunyi Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU yang berbunyi “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”. Didalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU menyebutkan bahwa fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat dibayar”.4

1 Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan & Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor.131.

2 Ibid, Pasal 6 ayat (1).

3 Ibid, Pasal 1 ayat (7) .

4 Penjelasan Undang-undang No.37 Tahun 2004, Pasal 8 ayat (4).

(23)

3

Pembuktian secara sederhana adalah yang lazim disebut pembuktian secara sumir. Secara sumir ialah bila dalam mengambil keputusan itu tidak diperlukan alat- alat pembuktian seperti diatur dalam Buku keempat KUHPerdata, cukup bila peristiwa itu terbukti dengan pembuktian yang sederhana5. Masalah pembuktian adalah masalah hukum yang utama di pengadilan khususnya pada Pengadilan Niaga.

Peran pembuktian dalam suatu proses hukum di Pengadilan Niaga sangatlah penting, karena keputusan-keputusan yang dibuat oleh Hakim Niaga selalu dan terfokus kepada alat-alat bukti formal yang terungkap dipersidangan, Hal ini disebabkan hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan perkara-perkara niaga adalah hukum acara perdata sesuai dengan bunyi Pasal 299 UUK-PKPU, yang menyebutkan

“Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata”.6

Sistem pembuktian yang dianut hukum Acara Perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran7

5 Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, (Jakarta : PT Sofmedia, 2010), hal.70.

. Dalam bidang hukum perdata, yang dicari oleh hakim hanyalah suatu kebenaran formal, jadi bukan kebenaran yang sesungguhnya (materil), bahkan suatu kebenaran yang bersifat

6 Pasal 299 Undang-undang No. 37 Tahun 2004.

7 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika Offset), 2005, hal. 498.

(24)

“kemungkinan” (probable) saja sudah mencukupi, maka suatu kebenaran yang sesungguhnya sulit diwujudkan dalam peraktik.8

Kenyataannya dalam peraktik di Pengadilan Niaga tidaklah seindah yang dilukiskan oleh hukum, karena peranan alat bukti adalah salah satu faktor penting yang dimiliki oleh Pemohon Pailit untuk mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit di Pengadilan Niaga. Hakim Niaga sangat sensitif dan tajam dalam memberikan penilaian pada setiap pertimbangan hukum keputusannya. Batasan tentang pembuktian yang sederhana tidak secara tegas disebutkan didalamUndang-undang Pailit, sehingga kewenangan Hakim Pengadilan Niaga sangat besar tanpa batasan yang jelas diberikan oleh Undang-Undang.

Berkaitan dengan pembuktian, didalam UUK-PKPU tidak ada mengaturnya.

Sesuai dengan Pasal 299 dipergunakanlah HIR dan RBG, kecuali apabila telah ada undang-undang yang khusus mengatur hal tersebut.9 Namun, apabila diperhatikan Pasal 42 dan Pasal 44 UUK-PKPU, diatur mengenai Asas Beban Pembuktian Terbalik (Omkering Van Bewijstlast), artinya bahwa yang mendalilkan wajib membuktikan dalilnya tersebut apabila dalilnya disangkal.10

Menurut Pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 164 HIR yang disebut sebagai bukti, yaitu : “bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah.”11

8 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti), 2006, hal.3.

9 Sunarmi, op.cit, hal.80.

10 Ibid, hal.81.

11 Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 164 H.I.R.

(25)

5

Kenyataannya dalam peraktik, dalam perkara pailit di Pengadilan Niaga, Hakim hanya mempertimbangkan bukti formalnya saja yaitu bukti surat, terhadap bukti yang lainnya jarang sekali Hakim mempertimbangkan dalam pertimbangan hukumnya dalam hal membuat keputusan.

Berbicara mengenai asas pembuktian sederhana (sumir), erat kaitannya dengan kewenangan relatif Pengadilan Niaga, khususnya berkenaan dengan perkara- perkara kepailitan. Namun demikian, kewenangan Relatif Pengadilan Niaga tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, tapi diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998, tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Perpu ini selanjutnya ditetapkan menjadi undang-undang dengan lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, kemudian disempurnakan di dalam UUK-PKPU yakni Undang-undang No. 37 tahun 2004. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus atau diferensiasi yang berada dalam lingkup Peradilan Umum (Pengadilan Negeri). Berbeda dari putusan Peradilan Umum, putusan Pengadilan Niaga ini tidak dapat diajukan banding, Jika ada pihak yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Niaga maka ia dapat langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.12

Pengadilan Niaga di khususkan untuk memeriksa dan memutuskan permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan utang-piutang. Pada awalnya proses pendirian Pengadilan Niaga tersebut dilakukan secara cepat seiring dengan langkah reformasi undang-undang. Undang-undang Kepailitan dalam upaya membangun keprcayaan para investor dipaksakan keberlakuannya melalui Perpu No.4 Tahun 1998 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998, dimana setelah 6 tahun kemudian disempurnakan kembali menjadi Undang- undang No. 37 tahun 2004.

Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU tentang Kepailitan dan PKPU, Pengadilan Niaga hanya berwenang untuk memutuskan seorang debitur pailit

12 Achmad Fauzan, Perundang-Undangan Lengkap tentang Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan mahkamah Konstitusi, (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 9.

(26)

dalam hal dibuktikan bahwa debitur tersebut memiliki paling sedikit dua kriditur dimana minimum satu dari utang tersebut dapat dibuktikan secara sederhana, telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Undang-undang Kepailitan dan Pengadilan Niaga ini memberi suatu alternatif yang luas bagi pelaku usaha yang benar-benar tidak lagi dapat mememnuhi kewajibannya untuk menempuh jalan kepailitan (Voluntary petition for bankrupt), atau memohonkan PKPU untuk memperjuangkan kesempatan merestruktur perusahaannya yang sedang tidak berdaya akan tetapi masih mempunyai pengharapan yang besar untuk kembali sehat bila diberikan kesempatan tersebut, agar dapat dengan lebih baik melaksanakan penyelesaian-penyelesaian kewajibannya kedepan jika langkah penyehatan melalui restrukturisasi tersebut berhasil didapatkan dan dijalankan13.

Situasi gagal bayar dan juga kegagalan dalam pelaksanaan prestasi yang semakin banyak terjadi dikalangan pelaku usaha dan bahkan telah pula membangkrutkan perusahaaan-perusahaan membuat kehadiran Pengadilan Niaga di Indonesia menjadi salah satu pertaruhan untuk membangun kenyamanan kepada para investor dan para pelaku usaha lainnya, bahwa Pengadilan Niaga Indonesia secara teori memang dipersiapkan untuk menjadi pengadilan yang dapat menyelesaikan sengketa-sengketa utang piutang secara cepat, efesien, transparan dan berkeadilan.

Analisa keberadaan dan prestasi Pengadilan Niaga Indonesia merupakan suatu faktor yang sangat penting sebagai penilaian berbisnis di Indonesia, khususnya dalam penilaian tentang; getting credit, protecting investors, dan enforcing contracts.14

Walaupun pada awalnya Pengadilan Niaga tersebut secara khusus difungksikan untuk memeriksa dan memutuskan perkara kepailitan dn PKPU, akan tetapi dalam

13 Ricardo Simanjuntak, Krisis Ekonomi Global,Potensi Commercial Disputes Yang Bagaimana Mungkin Timbul Diantara Pelaku Usaha Sebagai Efek Dari Krisis Tersebut Dan Bagaimana Hukum Komersial Serta Institusi Penyelesaian Sengketa Indonesia Menyikapinya, Seminar Sehari DPC IKADIN Medan, 14 Nopember 2008, hal.19.

14 Ibid. hal. 20.

(27)

7

jangka panjang berdasarkan pasal 280 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1998 yang terwujud menjadi pasal 300 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 diperluas kewenangannya untuk mengadili seluruh perkara-perkara yang berhubugan dengan aktivitas komersial.

Dalam perkembangannya, Pengadilan Niaga telah pula diberi perluasan kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan perkara-perkara yangberhubugan dengan HAKI seperti perkara penyalahgunaan Merek dan Paten.15

Hal inilah yang memang harus diwujudkan agar Indonesia mempunyai pengadilan yang secara khusus difungsikan untuk memeriksa dan memutus perkara- perkara komersial yang terjadi dalam masyarakat, kehadiran Pengadilan Niaga dengan kewenangan yang luas meliputi kewenangan untuk memeriksa seluruh perkara-perkara komersial ini akan membangkitkan upaya yang terkonsentrasi untuk memastikan penanganan yang baik, cepat, transparan dan berkeadilan terhadap seluruh perkara komersial yang terjadi di Indonesia, karena pembuktian kinerja Pengadilan Niaga yang baik, akan dengan sangat cepat mengangkat kepercayaan dunia terhadap kepastian dan keamanan serta perlakuan adil dalam berinvestasi ataupun melakukan aktivitas perdagangan di dan ataupun dengan Indonesia.

Namun kenyataannya dalam peraktik keputusan-keputusan yang dibuat oleh Hakim Pengadilan Niaga dalam perkara pailit, sebagian besar pertimbangan- pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon Pailit tidak lagi bersifat sederhana sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 8

15 Ibid.

(28)

ayat (4) UUK-PKPU melainkan bersifat complicated sehingga lebih tepat apabila permohonan kepailitan dari Pemohon Pailit diajukan melalui gugatan perdata biasa16. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebutlah, sehingga keputusan Hakim Pengadilan Niaga dengan tegas menolak Permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh para Pemohon Pailit. Complicated artinya rumit, sulit, ruwet, menyulitkan, atau menyukarkan17

Dalam Peraktik, jawaban/tanggapan Termohon atau Para Termohon Pailit dipersidangan Pengadilan Niaga, dapat mempengaruhi pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga dengan menilai bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon Pailit.

Walaupun didalam UU No. 37 Tahun 2004 tidak diatur secara tegas pengaturan tentang hak Termohon Pailit mengajukan jawaban/tanggapan atas Permohonan Pemohon Pailit, akan tetapi oleh karena hukum acara dalam perkara pailit adalah hukum acara perdata, maka Termohon Pailit atau Para Termohon Pailit secara tidak langsung dibenarkan menjawab atau menanggapi permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh Pemohon Pailit berdasarkan Pasal 144 RBG/120 HIR ayat (2) yang berbunyi :

, maka yang dimaksud dengan bukti yang Complicated adalah bukti yang tidak sederhana dan menyulitkan. Sedangkan pengertian dan pembatasan tentang alat bukti yang sederhana dan bukti yang complicated tidak ada diatur secara tegas didalam undang-undang.

16Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan No.02/Pailit/2009/PN,Niaga/

Medan, tanggal 13 Nopember 2009, hal. 123.

17John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT.Gramedia, 2000), hal.133.

(29)

9

“Ketika memanggil tergugat harus diserahkan juga kepadanya sehelai salinan surat gugatan, dengan memberitahukan kepadanya, bahwa ia kalau mau dapat menjawab gugatan itu dengan tertulis.”18

Apabila putusan Hakim Niaga mengabulkan Permohon Pernyataan Pailit dari Pemohon Pailit, maka putusan tersebut dapat dilaksanakan terlebih dahulu (serta merta), berdasarkan Pasal 8 ayat (7) UUK-PKPU, yang berbunyi “Putusan atas permohonan Pernyataan Pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum”. Oleh karena itu penilaian alat bukti menurut undang-undang dan penilaian bukti menurut kewenangan dan keyakinan Hakim Pengadilan Niaga sangat sulit untuk diukur kebenaran dan kepastian hukumnya, oleh karena itulah penulis merasa tertarik untuk membahas tentang hal tersebut sehingga dituangkan kedalam bentuk sebuah tesis dengan judul :

“Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan.”

B. Permasalahan

Berdasarkan hal hal yang telah diuraikan pada Latar Belakang diatas, maka terdapat beberapa permasalahan hukum dalam peneltian ini yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

18 K.Wantjik Saleh,SH, Hukum Acara Perdata Rbg/HIR, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981), hal.19.

(30)

1. Bagaimanakah pembuktian yang bersifat sederhana (sumir) dan yang bersifat complicated dalam perkara kepailitan ?

2. Mengapa Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan ?

3. Bagaimanakah Hakim melakukan pembuktian dalam perkara kepailitan yang mengandung unsur complicated dikaitkan dengan kompetensi relatif Pengadilan Niaga ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang Pembuktian Complicated dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam perkara Kepailitan, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pembuktian yang bersifat sederhana (sumir) dan yang bersifat complicated dalam perkara kepailitan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan-alasan Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis cara kerja Hakim melakukan pembuktian dalam perkara-perkara kepailitan yang diputuskannya yang mengandung unsur complicated dikaitkan dengan kompetensi relatif Pengadilan Niaga.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang berjudul “Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan” diharapkan

(31)

11

dapat memberikan manfaat baik kegunaan dalam pegembangan ilmu atau manfaat dibidang teoritis dan manfaat dibidang prakris, antara lain sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan masukan bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.

b. Memperkaya literatur di perpustakaan.

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi Debitor, Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawasan pasar Modal, dan Menteri Keuangan Republik Indonesia, apabila hendak mengajukan permohon Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga.

b. Sebagai bahan masukan bagi Praktisi atau Advokat-Advokat selaku kuasa Pemohon Pailit dalam hal mengajukan permohonan Pernyataan Pailit ke Pengadilan Niaga.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelusuran studi kepustakaan pada repository.usu.sc,id., bahwa penelitian dengan judul : “Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam

Perkara Kepailitan” dengan rumusan permasalahan sebagaimana disebutkan dalam perumusan masalah pada point sebelumnya belum didapati judul dan permasalahan yang sama. Namun mungkin ada kemiripan judulnya dengan yang lain, maka hasil yang didapat antara lain :

(32)

1. Victorianus, dengan judul “Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit”, Tahun 2007.

2. Belinda, dengan judul “Peranan Pengadilan Niaga Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan”, Tahun 2008.

Penulisan tesis ini memiliki rumusan masalah dan tujuan penelitian yang berbeda, begitu juga dengan kajiannya yaitu: tentang Pembuktian dan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Pailit, terbatas pada peraturan dan perundang-undangan serta keputusan-keputusan Pengadilan Niaga yang telah diputus yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pertanggungjawaban tersebut dapat berupa isi dan kasus-kasus yang dipaparkan dalam tesis ini.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Kerangka teori menguraikan dasar-dasar teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang memberikan dukungan dalam kegiatan penelitian19

Teori hukum yang digunakan dalam menjawab penelitian ini adalah teori Kepastian Hukum, kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan

. Dalam rangka menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, maka digunakan beberapa teori dan konsep dalam kajian Pembuktian Complicated Dikaitkan dengan Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan sebagai dasar analisis.

19 Tim Penulis, Tips dan Cara Menyusun Skripsi Tesis Disertasi, (Bandung : Shira Media, 2009), hal.73.

(33)

13

ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkret dan tidak boleh ada penyimpangan (fiat justitia et pereat mundus/hukum harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh). Kepastian Hukum memberikan perlindungan kepada yustisiabel dari tindakan sewenang-wenang pihak lain, dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban dalam masyarakat20

a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatis, tujuan hukum dititikbertakan pada segi kepastian hukumnya.

Sebenarnya persoalan dari tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 (tiga) sudut pandang yaitu :

b. Dari sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum dititik-beratkan pada segi keadilan.

c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum ditik-beratkan pada segi kemanfaatan21.

Gustav Radbruch mengemukakan 3 (tiga) nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, sebagai asas prioritas dari ketiga asas tersebut, dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemafaatan, dan terakhir kepastian hokum.22

Dalam peraktik peradilan, sangat sulit bagi seorang Hakim untuk mengakomodir ketiga asas tersebut di dalam satu putusan. Dalam menghadapi keadaan ini, Hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutus suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan (asas prioritas yang kasuistis). Jika diibaratkan dalam sebuah garis, Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara berada (bergerak) di antara 2

20Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam persfektif Hukum Progresif, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal.131.

21 Ibid, hal 132.

22 Ibid. hal.132.

(34)

(dua) titik pembatasan dalam garis tersebut, yaitu apakah berdiri pada titik keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya. Pada saat Hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum, maka secara otomastis, Hakim akan menjauh dari titik keadilan.

Sebaliknya, kalau Hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara otomatis pula Hakim akan menjauhi titik kepastian hukum.23

Kepastian Hukum (rule of law) secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian kepastian hukum menjadi sistem norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konstelasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Menurut David M.Trubek, rule of law merupakan hal penting bagi pertumbuhan ekonomi dan membawa dampak yang luas bagi reformasi sistem ekonomi di seluruh dunia yang berdasarkan pada teori apa yang dibutuhkan untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum dalam perubahan ekonomi.24

Selanjutnya sebagai pendukung toeri kepastian hukum dalam menjawab permasalahan yang dicari dalam penelitian ini dikemukan beberapa teori yaitu:

a. Teori Pembuktian Yang Relevan.

Masalah alat-alat bukti yang relevan adalah merupakan persoalan yang sangat utama harus dipertimbangkan dan diputuskan oleh Hakim dalam proses pembutian

23 Ibid, hal. 133.

24 Ibid.

(35)

15

suatu fakta di pengadilan. Relevansi alat-alat bukti merupakan salah satu pertimbangan Hakim disamping berbagai alasan lain untuk menolak diajukannnya suatu alat bukti dalam suatu perkara. Dengan demikian timbul permasalahan dalam peraktik, apakah yang dimaksud dengan alat bukti yang relevan itu ? Sebagaimana Munir Fuady mengatakan :

Yang dimaksud dengan alat bukti yang relevan adalah suatu alat bukti di mana penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar kemungkinan akan dapat membuat fakta yang dibuktikan tersebut menjadi lebih jelas daripada jika alat bukti tersebut tidak digunakan. Dengan demikian, relevansi alat bukti bukan hanya diukur dari ada atau tidaknya hubungannya dengan fakta yang akan dibuktikan, melainkan dengan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas.25

Agar suatu alat bukti dapat diterima di pengadilan, alat bukti tersebut haruslah relevan dengan apa yang akan dibuktikan, jika alat bukti tersebut tidak relevan, pengadilan harus tegas untuk menolak bukti-bukti tersebut, karena menerima bukti yang tidak relevan akan membawa resiko tertentu bagi proses pencarian keadilan yaitu :

1. Membuang-buang waktu sehingga dapat memperlambat proses peradilan.

2. Dapat menjadi misleading yang menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu.

3. Penilaian terhadap masalah tersebut menjadi tidak proporsional, dengan membesar-besarkan yang sebenarnya kecil, atau mengecil-ngecilkan yang sebenarnya benar. dan

4. Membuat proses peradilan menjadi tidak rasional.

25 Munir Fuady, op.cit, hal. 27

(36)

Sehubungan dengan hal itu, perlu dibedakan antara masalah relevan alat bukti dan materialitas dari alat bukti tersebut. Dalam hal ini, relevansi alat bukti diukur dari apakah alat bukti tersebut relevan dengan fakta yang akan dibuktikan. Dalam peraktik antara relevansi alat bukti dan materialitas alat bukti sering disatukan dalam satu istilah “relevansi” alat bukti.26

Meskipun persyaratan bahwa suatu alat bukti harus relevan berlaku dalam hukum Indonesia, bahkan berlaku juga dalam hukum di negara manapun di dunia ini, kapan suatu alat bukti dikatakan relevan dan kapan alat bukti tersebut dianggap tidak relevan tidak ada ketentuan yang tegas, baik dalam hukum acara perdata Indonesia maupun dalam hukum acara pidana.

Hal ini tergantung kepada Hakim Pengadilan untuk menimbang-nimbang mana yang relevan dan mana yang tidak relevan tersebut, dengan memperhatikan dalil-dalil umum dan prinsip-prinsip yang berkembang dalam hukum pembuktian dengan memakai logika hukum dan keyakinan Hakim ketika mengadili suatu perkara. Para Pihak yang berpekara boleh ikut menilai, tetapi putusan tetap ditangan Hakim yang mengadili perkara tersebut.27

Dalam persoalan-persoalan tertentu, undang-undang telah dengan tegas menentukan siapa pemikul beban pembuktian, tetapi bukan dalam arti beban pembuktian mutlak (strict liability), karena itu unsur “kesalahan” masih dipersyaratkan contohnya, dalam hal keadaan memaksa, harus dibuktikan oleh Debitur, yang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1244 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut :

26 Ibid, hal. 27.

27 Ibid, hal. 28.

(37)

17

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum menganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”28

Logikanya, debiturlah yang berkepentingan agar suatu keadaan dinyatakan sebagai keadaan memaksa, seperti untuk menghindari pemberian suatu ganti rugi.29

b. Teori Penjatuhan Putusan

Dalam hal perbuatan melawan hukum, pihak yang menuntut ganti rugi tersebut yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku yang melakukan perbuatan mealwan hukum tersebut.

Pemahaman dan pengertian atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukan oleh Jonh Locke dan Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur atau netral (impartiality).

Apabila kebebasan tidak dimiliki oleh kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan tidak akan bersikap netral, terutama apabila terjadi sengketa antara penguasa dan rakyat.30

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan kekuatan kaeda-kaedah hukum positif dalam konkretisasi oleh Hakim melalui putusan- putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang

28 Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

29 Munir Fuady, op cit, hal. 49.

30Pontang Moerad,B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, (Bandung : Alumni, 2005), hal.21. Sebagaimana dikutip Ahmad Rifai, op cit, hal. 102.

(38)

diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah :

Hakim, yang mempunyai kewenangan dalam memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.31

Fungsi utama dari seorang Hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, putusan Hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani. Adapun dalam memeriksa perkara perdata, hakim bersifat pasif, dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengekata yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa, pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berpekara dan bukan oleh hakim. Akan tetapi, Hakim harus aktif membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran dari peristiwa hukum yang menjadi sengketa di antara para pihak.

Sistem pembuktian positif (positive weterlijke) digunakan Hakim dalam penyelesaian perkara perdata, dimana apabila ada pihak yang mengaku atau menyatakan mempunyai sesuatu hak, maka ia harus membuktikan kebenaran dari pengakuan dan pernyataanya, dengan didasarkan pada bukti-bukti formil, yaitu alat-alat bukti sebagaimana terdapat dalam hukum acara yang berlaku.32

31 Ibid. hal.102.

32 Ibid, hal.103.

(39)

19

Memeriksa dan memutus suatu perkara bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, dalam era keterbukaan pada saat ini, dunia peradilan mulai digugat untuk membuka diri, sehingga putusan Hakim tidak lagi semata-mata hanya menjadi bahan perbincangan secara hukum dan ilmu hukum atau menjadi bahan kajian ilmu hukum saja, tetapi akan lebih baik jauh menjadi konsumsi publik untuk dibicarakan dan diperdebatkan, terlebih jika ada putusan Hakim yang dirasakan kurang memuaskan masyarakat sebagai pencari keadilan.33

Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu :34

1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.

2) Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan Hakim, dan

3) Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi Hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

Kebebasan Hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi Hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus bertanya kepada diri sendiri, sudah benar dan jujurkah dirinya dalam mengambil suatu keputusan yang dibuatnya, atau sudah tepatkah putusan yang diambilnya, apakah keputusanya akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah keputusan akan

33 Ibid, hal.104.

34 Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 249 Bulan Agustus 2006, Ikahi Jakarta, 2006, hal.5, Sebagai dikutip Ahmad Rifai, Ibid, hal. 104.

(40)

dibuatnya atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang akan dijatuhkan oleh seorang Hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi masyarakat yang sedang mencari keadilan.35

Pembuktian menurut UUK-PKPU, adalah pembuktian yang bersifat sederhana, sehubungan dengan pembuktian sederhana atas permohonan pailit oleh kreditor yang sebagaimana dikemukan oleh undang-undang tersebut tidaklah mungkin, karena apabila tidak terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana berkaitan dengan permohonan pernyataan pailit, maka permohonan pailit itu harus ditolak oleh Hakim Pengadilan Niaga. Berkaitan dengan persoalan tersebut apakah untuk perkara pembayaran utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, yang fakta dan keadaannya tidak dapat dibuktikan secara sederhana, tidak dapat diajukan sebagai perkara kepailitan kepada Pengadilan Niaga.

36

Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam pemeriksaan kasasi, putusan No.32K/N/1999 dalam perkara kepailitan antara PT. Bank Internasional Indonesia Tbk, melawan (1) Abu Hermanto, (2) Wahyu Budiono, dan (3) PT.Surya Andalas Corporation, berpendapat bahwa apabila pembuktian tidak sederhana, maka pokok sengketa masih harus dibuktikan di Pengadilan Negeri. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Kasasi mengemukakan bahwa Permohonan Pailit tidak memenuhi syarat Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998, karena dalam pembuktian ternyata tidak sederhana. Dalam kasus tersebut, ternyata persoalan yang

35 Ibid, hal.105.

36 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2009, hal. 44

(41)

21

disengketakan berkaitan dengan hukum Inggris (sesuai dengan perjanjian antara pemohon dan termohon kasasi) sehingga tentang pokok sengketa harus dibuktikan di Pengadilan Negeri (Perdata).37

Mengacu kepada putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, dapat menimbulkan kekeliruan dalam ber-agumentasikan hukum, karena Pasal 6 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998 Joncto Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa apabila Permohonan Pernyataan Pailit tidak dapat dibuktikan secara sederhana, perkara tersebut tidak dapat diperiksa dan diputus oleh Hakim Pengadilan Niaga. Bila pasal tersebut ditafsirkan seperti itu, maka perkara utang-piutang yang sangat ruwet (contohnya perkara-perkara perbankan) menjadi tidak mungkin lagi kreditor untuk mengajukan Permohonan Pailit terhadap Debitur.

Akibatnya, menjadi tidak ada artinya ketentuan pasal 1131 KUHPerdata yang merupakan sumber hukum kepailitan, sehingga penafsiran tersebut dapat mengakibatkan kreditor menjadi terpasung haknya untuk dapat mengajukan Permohonan Pailit.

Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU hanya bertujuan mewajibkan Hakim untuk tidak menolak permohonan pernyataan pailit apabila dalam perkara itu dapat dibuktikan secara sederhana. Namun, bukan berarti jika ternyata dalam perkara yang diajukan Pailit itu tidak dapat dibuktikan Pemohon secara sederhana atas fakta dan keadaannya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga atau Majelis Hakim Kasasi wajib

37 Ibid, hal. 45.

(42)

monolak untuk memeriksa perkara itu sebagai perkara kepailitan, karena perkara yang demikian itu merupakan kewenangan Pengadilan Niaga.

2. Kerangka Konsep

Dalam memahami penelitian secara lebih lanjut, penulis memaparkan batasan konsepsional atau definisi operasional dan istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga untuk memberikan pedoman pada proses penelitian.

Dalam penelitian ini ada dua variable yang terkait yaitu : Pertama, pembuktian yang Complicated dan pembuktian yang bersifat Sederhana dalam perkara Permohonan Pernyataan Pailit. Kedua, Kompetensi Relatif Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara Kepailitan. Dari uraian kerangka teori diatas, penulis akan menjelaskan beberapa konsep dasar yang akan digunakan dalam tesis ini antara lain :

1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang.

2. Pemohon Pailit adalah pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga.

3. Termohon Pailit adalah pihak yang tertarik ke dalam perkara pailit atas pernyataan Permohonan Pailit yang diajukan oleh Pemohon Pailit ke Pengadilan Niaga.

(43)

23

4. Pembuktian adalah suatu proses, baik dalam hukum acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya. Dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosudur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan.38

5. Hukum Pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian.

6. Bukti adalah alat pembenaran suatu peristiwa atau keadaan.

7. Pembuktian Sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih Kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat dibayar.

8. Pembuktian Yang Complicated adalah pembuktian yang tidak bersifat sederhana maksudnya alat-alat bukti yang menyulitkan, rumit, menyukarkan, merumitkan keadaan dan fakta yang sederhana.

9. Kompetensi Relatif adalah Kewenangan Hakim Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara di Pengadilan Negeri terhadap perkara tertentu.

10. Pembuktian yang relevan adalah pembuktian yang bersangkut paut antara bukti dengan suatu peristiwa hukum.

11. Teori Hukum adalah ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian pokok dan sistem dari hokum.39

38 Munir Fuady, op.cit. hal. 1.

39 Bahan Kuliah, Teori Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum, USU.

Gambar

Tabel 1. Jangka Waktu Penyelesaian Perkara Niaga  Jangka Waktu

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui efektivitas berbagai bahan pengisi kemasan dalam mempertahankan suhu rendah agar kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis

Sertifikasi guru dalam jabatan guru adalah suatu upaya peningkatan mutu guru dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru, sehingga diharapkan dapat meningkatkan

Rasio lancar tahun 2002 sebesar 522% mengalami peningkatan yang cukup besar jika dibandingkan tahun 2001 sebesar 147% sebagai tahun dasar. Hal ini terjadi karena hutang lancar

Dewasa ini, internet menjadi salah satu kebutuhan yang mutlak dan mempunyai peran yang penting bagi masyarakat Indonesia secara luas.Entah itu pelajar,

3 Bagaimana arahan pelestarian ruang publik Yaroana Masigi Pelestarian Makna kultural pada ruang publik Yaroana Masigi 1.Observasi langsung 2.Wawancara tokoh

Gaya minimalis merupakan gaya yang tidak terdapat banyak ornamen atau desain khusus pada bentuk bangunan Di Indonesia arsitektur minimalis berkembang pesat melalui kelompok

48 Laki-Laki UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR ILMU EKONOMI = STUDI PEMBANGUNAN 49 Perempuan UNIVERSITAS HASANUDDIN MANAJEMEN 50 Laki-Laki UNIVERSITAS HASANUDDIN AKUNTANSI. 51

Sarana perekonomian seperti koperasi unit desa, pasar tempat memasarkan produk hasil pertanian tidak terdapat di desa tersebut, sehingga untuk memperoleh pinjaman modal