• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUKTIAN DALAM PERKARA KEPAILITAN

A. Pembuktian 1. Pengertian

3. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil

Sistem pembuktian yang dianut Hukum Acara Perdata tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Pembuktian dalam proses pemeriksaan pidana berlaku ketentuan sebagai berikut :65

- Harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam arti memenuhi syarat formil dan materil;

- Di atas pembuktian yang mencapai batas minimum tersebut, harus didukung lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).

Sistem pembuktian inilah yang dianut Pasal 183 KUHAP. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan, selain alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran tersebut harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut

64 R. Subekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Bandung : Alumni, 1978), hal. 124.

65 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 498.

47

beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki (materiele waarheid, ultimate truth).66

Tidak demikian halnya dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim, cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Dari diri dan sanubari hakim tidak dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.

Dalam kerangka sistem pembuktian yang demikian, sekiranya tergugat mengakui dalil penggugat, meskipun hal itu bohong dan palsu, hakim harus menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu, tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang diperkarakan. Meskipun hakim berpendapat kebenaran dalil gugat yang diakui tergugat itu setengah benar dan setengah palsu, secara teoritis dan yuridis, hakim tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang diajukan para pihak dipersidangan. Sikap yang demikian ditegaskan dalam Putusan MA No.3136 K/Pdt/198367

66 Ibid.

yang mengatakan bahwa “tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materil, namun apabila kebenaran materil tidak

67 Tanggal 6-3-1985, jo. PT Semarang No. 100/1981, 30-11-1982, jo. PN Semarang No.

713/1978, 3-9-1982.

ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.68

Upaya mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai pegangan bagi hakim maupun para pihak yang berperkara, yaitu :69

a. Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif

Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas mencari dan menemukan kebenaran formil dan kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung.

Sehubungan dengan sifat pasif tersebut, sekiranya hakim yakin bahwa apa yang digugat dan diminta penggugat adalah benar, tetapi penggugat tidak mampu mengajukan bukti tentang kebenaran yang diyakininya, maka hakim harus menyingkirkan keyakinan itu, dengan menolak kebenaran dalil gugatan, karena tidak didukung dengan bukti dalam persidangan.

Makna pasif yang harus ditegakkan sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan dalam persidangan, hakim berwenang untuk menilai apakah yang diajukan memenuhi prinsip pembuktian. Demikian penegasan Putusan MA No. 288K/Sip/1973.70

68Yahya harahap, Op.Cit., hal. 499

Berdasarkan yurisprudensi tentang sistem hukum pembuktian dalam acara perdata,

69 Ibid.

70 Tanggal 16-12-1975, Rangkuman Yurisprudensi MA Indonesia, II, Hukum Perdata dan Acara Perdata, Proyek Yurisprudensi MA, 1977, hal. 214.

49

khususnya tentang pengakuan, hakim berwenang menilai suatu pengakuan sebagai alat bukti yang tidak mutlak apabila pengakuan itu tidak benar. Sehubungan dengan itu, apabila pengakuan diajukan dalam persidangan tidak benar, judex facti berwenang menilainya. Dalam perkara ini PT berpendapat bahwa pengakuan Tergugat I yang memihak kepada Penggugat, tanpa disertai alasan yang kuat, maka pengakuan tersebut tidak dapat dipercaya.

Bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka pasif bukan hanya sekadar menerima dan memeriksa apa-apa yang diajukan para pihak, tetapi tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran fakta yang diajukan ke persidangan, dengan ketentuan sebagai berikut :71

a. Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan. Semua itu menjadi hak dan kewajiban para pihak. Cukup atau tidak alat bukti yang diajukan, terserah sepenuhnya kepada kehendak para pihak. Hakim tidak dibenarkan membantu pihak manapun untuk melakukan sesuatu, kecuali sepanjang hal yang ditentukan dalam undang-undang. Misalnya berdasarkan Pasal 139 HIR, salah satu pihak dapat meminta bantuan kepada hakim untuk memanggil dan menghadirkan seorang saksi melalui juru sita, apabila saksi yang bersangkutan relevan, sedangkan dia tidak dapat menghadirkan sendiri saksi tersebut secara sukarela.

71 Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 500.

b. Menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di persidangan, untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim.

c. Pemeriksaan dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan penggugat dalam gugatan.

Sehubungan dengan itu, hakim tidak boleh melanggar asas ultra vires atau ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR. Hakim dilarang memberi lebih banyak dari yang diminta (dituntut).

b. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta

Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan mesti berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya ditegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta dengan ketentuan sebagai berikut :72

1) Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas pada fakta yang diajukan dalam persidangan

Selama proses berlangsung, terutama pada saat persidangan memasuki tahap pembuktian, maka para pihak diberi hak dan kesempatan menyampaikan bahan atau alat bukti, kemudian bahan atau alat bukti itu diserahkan kepada hakim.

Bahan atau alat bukti yang dinilai membuktikan kebenaran yang didalilkan pihak manapun, hanya fakta langsung dengan perkara yang disengketakan. Kalau bahan atau alat bukti yang disampaikan dipersidangan tidak mampu

72 Ibid.

51

membenarkan fakta yang berkaitan dengan perkara yang disengketakan, maka tidak bernilai sebagai alat bukti.

2) Fakta yang terungkap di luar pengadilan

Hakim tidak dibenarkan menilai dan memperhitungkan fakta-fakta yang tidak diajukan para pihak yang berperkara. Misalnya, fakta yang ditemukan hakim dari sumber surat kabar atau majalah adalah fakta yang diperoleh hakim dari sumber luar, bukan dalam persidangan, tidak boleh dijadikan fakta untuk membuktikan kebenaran yang didalilkan salah satu pihak. Walaupun sedemikian rupa banyak fakta yang diperoleh dari berbagai sumber, selama hal itu bukan fakta yang diajukan dan diperoleh dalam persidangan, tidak boleh dinilai dalam mengambil keputusan. Demikian penegasan Putusan MA No.2775 K/Pdt/1983 (tanggal 9-2-1985) yang menyatakan judex facti telah salah menerapkan hukum pembuktian, karena memberi putusan berdasarkan alat bukti yang tidak diajukan dalam berkas perkara.

3) Hanya fakta berdasarkan kenyataan yang bernilai pembuktian

Selain fakta itu harus diajukan dan ditemukan dalam proses persidangan, fakta yang bernilai sebagai pembuktian hanya terbatas pada fakta yang konkret dan relevan (prima facie), yakni jelas dan nyata membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan perkara yang disengketakan. Artinya, alat bukti yang diajukan benar-benar mengandung fakta konkret dan relevan yang membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang langsung berkaitan erat dengan perkara yang sedang diperiksa.

Sedangkan fakta yang abstrak dalam hukum pembuktian, dikategorikan sebagai hal yang khayal atau semu, dan oleh karena itu tidak bernilai sebagai alat bukti untuk membuktikan sesuatu kebenaran.

c. Aliran Baru Penentang Peran Hakim Bersifat Pasif-Total

Uraian di atas memperlihatkan kedudukan hakim dalam mencari dan menemukan kebenaran formil dalam perkara perdata bersifat pasif. Namun pada masa belakangan ini muncul aliran baru yang menentang ajaran pasif tersebut. Namun pada masa belakangan ini muncul aliran baru yang menentang ajaran pasif tersebut. Aliran ini tidak setuju peran dan kedudukan hakim bersifat pasif secara total, tetapi harus diberi peran aktif-argumentatif. Peran aktif secara argumentatif tersebut didasarkan pada beberapa alasan berikut ini :73

1) Hakim bukan aantreanenimes

Hakim tidak boleh dijadikan sebagai makhluk tak berjiwa yang seolah-olah tidak memiliki hati nurani dan kesadaran moral. Padahal dia adalah makhluk manusia yang memiliki hati nurani dan moral. Oleh karena itu, tidak layak dalam masyarakat yang beradab menjadikan hakim sebagai boneka yang diharuskan menerima dan menelan kebohongan dan kepalsuan bukti atau fakta yang diajukan para pihak yang berperkara sebagai kebenaran yang mesti dibenarkan, padahal dia tahu tidak benar. Oleh karena itu, tidak layak (unappropriate) dan tidak pantas (unreasonable) bagi hakim menerima sesuatu yang disodorkan para pihak sebagai kebenaran, apabila yang disodorkan itu tidak benar. Juga tidak

73 Ibid., hal. 502-504.

53

layak hakim membiarkan para pihak berlaku sewenang-wenang menyodorkan dan menyampaikan kebenaran yang berisi kebohongan dan kepalsuan.

2) Tujuan dan fungsi peradilan menegakkan kebenaran dan keadilan

Secara umum tujuan dan fungsi peradilan adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan dan fungsi itu bukan hanya dipergunakan hakim dalam perkara pidana saja, melainkan juga meliputi penyelesaian perkara perdata. Oleh karena itu, hakim perdata diberi fungsi dan kewenangan menegakkan hukum (law enforcement) di bidang perdata, dan tentu saja tujuan fungsi dan kewenangan itu dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice).

Untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, fungsi dan peran hakim harus aktif mencari dan menilai kebenaran yang diajukan para pihak, dengan cara menyaring dan menyingkirkan fakta atau bukti yang berisi kebohongan dan kepalsuan, serta harus menolak alat bukti yang mengandung fakta abstrak sebagai dasar penilaian dalam mengambil keputusan.