• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesatuan Organis Teks Puisi “Daun-daun Kering”

Dalam dokumen SYAIR PEMANGGUL MAYAT KARYA INDRA TJAHYADI (Halaman 180-187)

STRUKTUR PUISI DALAM KUMPULAN PUISI

2.4 Kesatuan Organis Kumpulan Puisi Syair Pemanggul Mayat

2.4.3 Kesatuan Organis Teks Puisi “Daun-daun Kering”

Pada proses naturalisasi di atas, masih terdapat kerancuan dalam tiap kalimat. Unsur deiktik yang menyiratkan adanya situasi teks tidak diikat sempurna dalam satu situasi yang jelas. Beberapa unsur deiktik sekaligus merupakan figur retorik sedangkan sisanya dibiarkan dalam bentuk asli pada proses naturalisasi. Misalnya pada kalimat pertama dibaca aku bergerak dengan tangan dan kaki pada tubuhmu. Gerakan dengan tangan dan kaki merupakan rujukan yang sangat umum. Pada kalimat tersebut aku dan kau bisajadi siapa saja dan apa saja. Maka perlu dicermati kalimat-kalimat berikutnya.

Bila dicermati lebih jauh, beberapa citraan yang muncul seakan serupa atau memiliki nuansa yang sama. Misalnya kalimat kedua, keperihan gersang yang turun perlahan semakin menjadikan kehancuran, muncul nuansa duka yang serupa dengan kalimat keenam, wujud utuh dari kehingaran masa lalu menciptakan rasa perih akan kulitku. Meskipun pada kalimat keenam perih muncul untuk menandai rasa sakit pada taraf fisik namun, nuansa duka yang dicitrakan dua kalimat tersebut merujuk rasa yang serupa. Pada kalimat keenam tersebut juga terdapat nuansa kewujudan masa yang hingar, yang serupa dengan kalimat kesebelas, kematianku sahut-menyahut dengan sederet masa yang menggelegar.

Lebih lanjut, pada kalimat-kalimat yang lain dapat dicermati pula kemunculan nuansa kewujudan dan duka. Selain dua nuansa tersebut terdapat pula nuansa kuasa dan nuansa cahaya dalam intensitas kemunculan yang lebih kecil. Berdasarkan hal tersebut, diidentifikasi empat kelas nuansa dalam puisi “Daun-daun Kering” yaitu kelas nuansa cahaya (A), nuansa dukacita (B), nuansa kuasa (C), dan nuansa kewujudan riil-non-rill (D). Secara rinci pengulangan kelas nuansa tersebut dapat dicermati dalam tabel berikut:

Tabel 15 Pengulangan Kelas Nuansa Puisi “Daun-daun Kering” No.

Kalimat Bagian Kalimat Nuansa Kelas

1. Aku bergerak dengan tangan dan kakiku pada tubuhmu. D 2. Keperihan gersang yang turun perlahan semakin

menjadikan kehancuran. B

3. Lewat gerak kehidupan yang tidak lancar, arwahku berhenti

bersama diam. B

4. Rasakanlah kesunyianku hidup dengan gusar dalam

ketidakpastian tempikmu. B

5. Rambutku panjang, D

lebih mengerikan ketimbang makhluk yang hidup dalam

kegamangan. B

6. Wujud utuh dari kehingaran masa lalu D

menciptakan rasa perih di kulitku. B

7. Suasana membawa ketaksadaran, D

tapi liar ketakberhargaan menyiksa mayatku. B

8. Ruhku tampak mengerikan, D

merintih dengan rasa sakit yang begitu lama menyiksa di

pelipisku. B

9. Sesuatu telah kehilangan sari hidupnya, sementara waktu

membunuh belatungku B

10. Penampakanku usang, dengan penglihatan yang tidak jelas

dari perwujudan yang muda D

dan menghasilkan kekeringan B

11. Kematianku sahut-menyahut dengan sederet masa yang

menggelegar. D

12. Bayangan tidak nyata dari seluruh rasa sakit D menciptakan lubang yang gelap- lubang gelap yang A

13. Betapa aku sangat mencintaimu, D

meski daya gaib dari C

masa yang gelap A

yang berasal dari sesuatu yang menciptakan keperihan, B membentuk kegelapan yang lebih mencekam A 14. Aku bentuk sesuatu yang lebih buruk dari tidur mimpi

buruk D

15. Payudaramu menguasai, mengalahkan pengetahuanku C 16. Jiwaku adalah pengandaian yang tidak jelas D

dari sesuatu yang mengikat C

sisa kehidupan dari sesuatu yang lemah B

17. Kau melenguh D

18. Nyaliku menciut, C

mencari lehermu yang tidak ada D

19. “aku kini sosok mengerikan bagi kehidupan dengan jemari

memainkan pentilmu...” D

20. Cuaca begitu menyiksa B

21. Uraian yang tidak jelas akan seluruh ketegangan makin

menjadikan buruknya akhir- D

akhir yang menyedihkan dari tampakan bayang-bayangku B

Pada tabel tersebut tampak kelas nuansa B dan D memenuhi teks puisi. Jumlah kemunculan nuansa B adalah empat belas kali, sama dengan kelas nuansa D. Kelas nuansa A hanya muncul tiga kali sedangkan kelas nuansa C muncul empat kali. Keempat kelas nuansa tersebut mengisi jarak antara unsur deiktik ke situasi yang sebenarnya. Untuk itu keempat kelas harus disatukan sehingga didapatkan konstruksi aku dan kau lirik yang jelas.

Kemunculan dengan jumlah yang sama pada kelas nuansa B dan D menunjukkan bahwa nuansa duka dan kewujudan antara riil- non-rill merupakan citraan dasar dalam teks tersebut. Dapat dicermati lebih lanjut dalam kelas B,

keperihan, rasa sakit, kehidupan yang tidak lancar, ketakberhargaan, kekeringan, sedih, merupakan suasana yang banyak muncul mengiringi situasi diri aku.

yang menderita. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diuraikan sebelumnya. Diksi-diksi kebendaan yang telah diubah menjadi bentuk yang lebih sederhana menunjukkan bagaimana citraan diksi tersebut terhadap sosok aku.

Pada kalimat pertama aku hadir dengan imaji sebagai seseorang atau sesuatu yang bergerak dengan tangan dan kaki pada tubuhmu (kelas nuansa D). Pada kalimat yang lain yang juga teridentifikasi sebagai kelas nuansa D, yaitu kalimat kelima, aku tampil sebagai sosok mengerikan dengan rambut panjang terbakar.

Hal yang serupa dapat dicermati pada kalimat kedelapan, ruhku tampak mengerikan, juga pada kalimat kesepuluh, keenam belas, kesembilan belas, dan kedua puluh satu. Pada kalimat ketiga belas aku mengungkapkan betapa aku sangat mencintaimu. Dalam kalimat tersebut muncul pernyataan yang lugas terkait hubungan aku dan kau. Selanjutnya pada kalimat keempat belas aku hadir dengan sesuatu yang lebih buruk yang berasal dari tidur mimpi buruk. Pada keseluruhan kemunculan tersebut, aku cenderung hadir sebagai sosok yang buruk. Keburukan tersebut tidak hanya tampak ciri fisik tetapi juga spiritual. Muncul sejumlah diksi yang secara tekstual akan mengarahkan pembacaan bahwa aku

yang hadir dalam teks telah mati. Diksi-diksi tersebut adalah arwahku, mayatku, ruhku, belatungku, dan kematianku. Pada kalimat lain, juga dapat dicermati bahwa

aku masih hidup secara fisik karena bagian-bagian tubuhnya hadir dengan penagalaman yang riil. Hal tersebut dicermati pada kalimat pertama, keenam, dan kedelepan belas.

Kehadiran yang ambigu akan sosok aku dapat dijelaskan dengan mencermati lebih jauh kalimat ketujuh, kedua belas, ketiga belas, dan kalimat

keempat belas. Pada kalimat tersebut muncul kelas nuansa D yang menunjukkan kewujudan ruang. Khususnya pada kalimat ketujuh, suasana membawa ketaksadaran, sementara liar ketakberhargaan menyiksa mayatku. Ruang yang didiami aku dalam situasi tersebut adalah ruang yang tak sadar atau ruang khayal

di mana rasa tidak berharga menjadi sesuatu yang menyiksa mayatku. Diksi

mayat dalam kalimat tersebut mengindikasikan tubuh tanpa jiwa (mati) yang tidak beridentitas. Artinya diri aku tengah berada dalam ruang yang terasing. Ruang tersebut adalah ruang psikis yang serupa dengan lubang gelap yang suram dan berasal dari kerinduan. Hal yang serupa muncul dalam kalimat ketiga belas, daya gaib dari masa yang gelap yang berasal dari sesuatu yang menciptakan keperihan, membentuk kegelapan yang lebih mencekam. Dapat dicermati bahwa ada suatu masa yang tampak sangat mempengaruhi situasi yang dirasakan aku. Masa yang dimaksud muncul dalam kalimat keenam wujud utuh dari kehingaran masa lalu menciptakan rasa perih di kulitku. Dari kalimat tersebut dapat diidentifikasi masa yang dimaksud adalah masa lalu. Pada kalimat ketiga belas

masa lalu hadir sebagai pencipta keperihan dan kegelapan. Kesimpulan tersebut dapat dikaitkan dengan kalimat kedua yang menyatakan keperihan sebagai sesuatu yang menjadikan kehancuran. Sekaligus juga dapat dikaitkan dengan kalimat kedua puluh satu. Kehancuran adalah juga akhir yang buruk dan menyedihkan dari tampakan bayang-bayangku. Dalam kisah masa lalu yang penuh duka cita tersebut hadir sosok kau. Tampak pada kalimat keempat

Perasaan gusar akan sesuatu yang tidak pasti yang juga tampak pada kalimat kelima.

Dalam hubungan sebab akibat, masa lalu dengan masa kini dapat dipahami sebagai sesuatu yang buruk yang menciptakan sesuatu yang lebih buruk. Atau dalam kalimat keempat belas aku bentuk sesuatu yang lebih buruk dari tidur mimpi buruk. Keburukan masa lalu mempengaruhi kondisi psikis aku sehingga dalam wujud fisik dan spiritualnya aku hadir sebagai sosok yang menderita. Penderitaan yang aku rasakan karena sangat mencintai kau. Wujud kau dalam situasi tersebut hadir dalam wujud tubuh yang menyiratkan hasrat keintiman. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya aku tengah berada dalam situasi

khayal maka kehadiran tubuh kau dalam hal ini juga merupakan kehadiran ilusif. Hal tersebut menjelaskan mengapa meskipun pada kalimat ketujuh belas tampak

kau hadir sebagai figur yang utuh dan melakukan tindakan riil, hal tersebut tidak menghasilkan implikasi yang logis. Pada kalimat ketujuh belas kau melenguh

dapat dikaitkan dengan kalimat pertama aku menggerakkan tangan dan kaki pada tubuhmu. Situasi yang didapatkan berdasar dua kalimat tersebut adalah persetubuhan antara aku dan kau. Persetubuhan yang terjadi justru membuat aku

merasakan penderitaan. Satu-satunya kalimat yang tampak secara tekstual menunjukkan penyebabnya adalah kalimat kelima belas, payudaramu menguasai mengalahkan pengetahuanku. Persetubuhan tersebut justru menghina pengetahuanku, menciutkan nyaliku, dan menghadirkan cuaca yang begitu menyiksa seperti demam thypus. Hubungan antara aku dan kau telah melahirkan penderitaan bagi aku. Dengan mendasarkan pada situasi ketaksadaran, maka yang

dapat disimpulkan dalam keseluruhan tekstual tersebut adalah persetubuhan yang tidak nyata. Kau tidak benar-benar hadir dalam ruang-waktu riil aku. Hal tersebut menjelaskan mengapa pada kalimat kedelapan belas muncul diksi mencari-cari

bukan mencari. Pencarian tersebut dilakukan oleh nyaliku sedangkan kau dalam kalimat tersebut muncul dalam bentuk tubuh fisik yaitu lehermu. Maka dapat dipahami tampak semacam kekalahan, kelemahan, atau ketidakmampuan diri aku

dalam menggapai kau. Sekaligus juga keinginan yang begitu kuat. Hal tersebut tampak sebagai suatu pola yang absurd. Semakin aku merindukan kau maka semakin aku menyadari ketidakmungkinannya. Hal tersebut tampak ketika kau

hadir dalam diksi-diksi ketubuhan.

Bila dicermati, setiap kali kau hadir dalam bentuk –mu, bagian tubuh yang muncul merupakan bagian-bagian yang bercitra seksual. Dalam hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa aku membentuk kau dari hasrat yang muncul bersamaan dengan rindu. Bagian tubuh yang hadir merupakan bagian tubuh yang benar-benar intim sehingga menunjukkan betapa dalam perasaan rindu dan hasrat aku akan

kau. Hal tersebut yang kemudian muncul dalam berbagai bentuk pengungkapan perasaan dan pikiran aku atas penderitaannya karena kerinduan yang suram pada

kau. Hal tersebut lebih jauh lagi tampak dalam tuturan langsung aku dalam kalimat kesembilan belas, “aku kini sosok mengerikan bagi kehidupan dengan jemari memainkan pentilmu...”. Aku mendefinisikan diri sebagai maut. Bila dicermati, maut hadir berkali-kali dalam teks “Daun-daun Kering” dalam berbagai bentuk, diam-terbunuh, terbakar hangus, dan sebutir peluru membeku. Judul puisi juga muncul dengan citraan kematian, daun kering jatuh. Imaji-imaji mencekam

akan kematian muncul berulang sebagai gambaran ketersiksaan aku yang berada dalam dunia khayal. Konsep maut begitu erat dikaitkan dengan gerak kehidupan dan waktu sebagaimana tampak pada kematianku bersidegung dengan tahun. Hal yang juga tampak pada kalimat kesembilan di mana kematian dan waktu berhubungan dalam satu kalimat, ada daun kering jatuh, sementara detak jam menghabisi belatungku. Aku mengungkapkan penderitaannya dalam ketaksadaran yang menghadirkan kalimat-kalimat dengan imaji terpecah. Dalam ketidaksadaran dan penderitaan tersebut aku memaknai waktu sebagai kematian atau penderitaan yang panjang.

Dalam dokumen SYAIR PEMANGGUL MAYAT KARYA INDRA TJAHYADI (Halaman 180-187)

Garis besar

Dokumen terkait