• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesatuan Organis Teks Puisi “Syair Penyair Pemanggul Mayat”

Dalam dokumen SYAIR PEMANGGUL MAYAT KARYA INDRA TJAHYADI (Halaman 187-194)

STRUKTUR PUISI DALAM KUMPULAN PUISI

2.4 Kesatuan Organis Kumpulan Puisi Syair Pemanggul Mayat

2.4.4 Kesatuan Organis Teks Puisi “Syair Penyair Pemanggul Mayat”

Linearitas alur masih menjadi problematika teks puisi “Syair Penyair Pemanggul Mayat”. Sebelumnya diuraikan hal tersebut muncul dikarenakan tidak terdapat kata penghubung yang jelas antarkalimat. Pada tahap ini, tampak bahwa situasi teks menjadi kabur bukan hanya disebabkan oleh tiadanya kata penghubung namun juga oleh imaji yang dicitrakan dalam masing-masing kalimat.

Proses naturalisasi menunjukkan beberapa figur retorik memiliki kecenderungan nuansa citraan yang sama. Dapat dicermati kesamaan muncul lebih dari dua kali misalnya, pada kalimat kedua muncul kesunyian yang begitu tua, lalu pada kalimat ketujuh muncul pula kesepian yang mendalam. Nuansa yang sama juga tampak pada kalimat kedelapan dengan suasana begitu sedih. Tiga kemunculan tersebut dapat dikelompokkan dalam kelas nuansa duka cita.

Nuansa lain yang tampak hadir adalah nuansa kewujudan aku dan kau, dannuansa cahaya yang cenderung hadir dalam wujud kegelapan.

Pada puisi “Syair Penyair Pemanggul Mayat” tidak ditemukan kemunculan kelas nuansa kuasa yang hadir dalam puisi-puisi sampel sebelumnya. Maka dapat dipahami bahwa pengulangan nuansa hanya tiga kelas yaitu kelas nuansa cahaya (A), kelas nuasa dukacita (B), dan kelas nuansa kewujudan riil – nonriil (D). Secara rinci pengulangan kemunculan nuansa tersebut dapat dibaca pada tabel berikut:

Tabel 16 Pengulangan Kelas Nuansa Puisi “Syair Penyair Pemanggul Mayat” No.

Kalimat Bagian Kalimat Nuansa Kelas

1 Kubenamkan hidungku di sela rambutmu D

2 Kesunyianku begitu tua, membangun jalan penghubung,

menyampaikan kegelisahan sepenuh hati B

3 Seketika aku bermimpi tentang kebebasan D

tapi kesedihan hadir tiba-tiba, mengisyaratkan derita B

4 Aku hormati kehidupan perawanmu D

5 Kerinduanku tinggal dalam kemustahilan B

6 Sesuatu yang seharusnya menerangi membuat suasana

menjadi gelap A

7 Malam jadi makin larut, menghadirkan kesepian mendalam B

dalam kegelapan yang suram A

8 Seperti kebahagiaan yang rusuh, suasana begitu sedih, B arwahku dalam keadaan sangat diam, memudarkan tubuh tak

berharga yang mengiasi bagian yang tampak D

9 Ada akhir kehidupan D

10 Bagian-bagian kesedihan memekat B

di sepanjang impian D

11 Aku mencintaimu D

tapi seperti kegelapan yang sepi A

penampakanku kian singup D

12 Waktu berjalan dengan penderitaan tanpa kelegaan B 13 Aku sama sendirinya dengan tulisan ungkapan perasaan D 14 Tulisan ungkapan perasaan penyair yang dibebani kematian-

Kelas nuansa D menempati intensitas yang paling padat kemunculannya yaitu sembilan kali. Kelas nuansa B muncul delapan kali dan kelas A muncul tiga kali. Jumlah kemunculan kelas nuansa D dan B tampak sangat mempengaruhi imaji dalam teks. Sebagai hasil proses naturalisasi, kalimat-kalimat yang telah terkelompokkan dalam kelas nuansa masih menyisakan konstruksi yang tidak sempurna akan situasi teks. Hal tersebut disebabkan keseluruhan unsur deiktik yang ada pada puisi “Syair Penyair Pemanggul Mayat” belum disatukan dengan baik.

Sebagai kelas terpadat, kelas nuansa D diisi oleh aku dan kau, mimpi, tubuh tak berharga, dan akhir kehidupan. Pengulangan kewujudan aku dan kau dalam kelas D memberikan gambaran tentang identitas aku dan kau. Pada kalimat pertama, dapat dicermati aku membenamkan hidung di sela rambutmu. Kemudian muncul pada kalimat ketiga seketika aku bermimpi tentang kebebasan dan pada kalimat keempat aku menghormati nafas perawanmu. Pada kalimat kesebelas aku

menyatakan mencintaimu. Dapat dicermati tiap kemunculan hubungan aku dan

kau selalu disertai dengan hal-hal yang cenderung buruk. Misalnya pada kalimat ketiga ketika aku bermimpi yang muncul adalah kesedihan tiba-tiba turun. Hal yang sama tampak pada kalimat kesebelas, hubungan negasi muncul dengan tapi seperti kegelapan yang sepi, penampakanku kian singup. Imaji yang demikian juga tampak pada kalimat lain. Misalnya kalimat kedelapan yang menunjukkan keadaan aku dalam wujud arwahku. Mimpi yang muncul dalam kelas D juga merupakan mimpi yang berhubungan dengan hal-hal yang bernuansa duka (kelas B).

Selain itu, mimpi muncul dalam kaitannya dengan kelas B pada kalimat kesepuluh. Hal yang serupa juga dalam kaitannya dengan akhir kehidupan.

Kalimat kesembilan dengan kalimat kedua belas sekilas tampak menghadirkan hal yang kontradiktif. Pada kalimat kesembilan terbaca ada akhir kehidupan namun kalimat kedua belas menunjukkan bahwa waktu berjalan dengan penderitaan tanpa kelegaan. Secara sederhana kalimat kedua belas menunjukkan waktu yang

tanpa akhir. Kontradiksi yang hadir dalam hubungan aku dan kau menyiratkan adanya suatu permasalahan sehingga memunculkan hal-hal yang bernuansa duka. Bila dicermati, dukacita (kelas B) selalu tampak dialami oleh aku lirik saja. Hal tersebut tampak pada hampir semua kemunculan kelas nuansa B. Dengan demikian, masing-masing kelas harus dibaca dengan saling mengaitkan satu sama lain.

Pada kelas D didapatkan pemahaman bahwa aku dan kau terkait hubungan yang dapat diidentifikasi sebagai hubungan percintaan. Identifikasi tersebut adalah identifikasi yang paling sederhana melihat apa yang tampak secara tekstual. Dalam hubungan tersebut terdapat konflik yang menyebabkan munculnya hal-hal yang bernuansa dukacita. Dapat dicermati dalam teks tersebut

aku menyebut diri sebagai sosok yang merasakan kesunyian yang purba, berpenampakan singup, dan sendiri selayaknya tulisan ungkapan hati penyair yang dibebani kematian. Sedangkan kau muncul dengan diksi rambutmu dan

perawanmu. Pada kalimat keempat aku menyatakan menghormati kehidupan perawanmu. Dalam kalimat tersebut tampak konstruksi simbolik pada diksi

dipasangkan kembali dalam kalimat dapat dipahami bahwa yang dimaksud pada kalimat keempat adalah aku hormati kehidupan sucimu. Kalimat keempat tersebut memberikan sebuah pemahaman bahwa di dalam teks muncul sebuah perbandingan antara aku yang buruk dan kau yang suci. Dengan demikian dapat pula dipahami kalimat-kalimat yang lain.

Bila dicermati kalimat kedua, kelima, kedelapan, ketiga belas, dan keempat belas merupakan kalimat-kalimat yang menunjukkan keburukan aku. Deskripsi buruk aku tersebut adalah kesunyian yang tua dan penuh kegelisahan, kerinduan yang mustahil, arwah yang sangat diam, tubuh yang tak berharga, sendiri bagai ungkapan perasaan penyair yang dibebani kematian. Suasana yang terbentuk pada deskripsi-deskripsi tersebut dipengaruhi oleh penderitaan yang dialami aku

dalam hatinya. Hal tersebut diuraikan dalam kalimat keempat belas. Syair yang dimaksud merupakan ungkapan perasaan yang tertahan di kalbuku. Aku

memahami sesuatu yang seharusnya menerangi justru membuat suasana menjadi gelap. Hal tersebut senada dengan kemunculan kesedihan yang tiba-tiba.

Kesedihan tersebut adalah perasaan cinta aku kepada kau yang justru menunjukkan kegelapan yang serupa dengan penampakanku yang singup (kalimat kesebelas). Hal tersebutlah yang membuat aku memahami kerinduannya sebagai suatu hal yang mustahil, kerinduanku berumah bulan. Hal yang sama yang membuat malam menghadirkan kesepian mendalam dalam kegelapan yang suram

(kalimat ketujuh). Aku mejelaskan kesemuanya sebagai ungkapan perasaan penyair yang dibebani kematian. Pada kalimat kesembilan muncul pula akhir kehidupan. Bila mencermati beberapa diksi yang mewakilkan kemunculan aku,

dipahami bahwa aku tengah berada dalam alam kematian. Alam kematian tersebut bukan alam kematian dalam arti lepasnya ruh dan jiwa dari jasad tetapi alam kematian sebagaimana tampak pada kesuraman situasi dalam teks. Alam kematian tersebut adalah kesedihan yang tertahan di kalbuku atau perasaan kesepian. Suatu ruang di mana waktu berjalan dengan penderitaan tanpa kelegaan. Maut

merupakan bagian-bagian kesedihan yang memekat sepanjang impian. Impian

yang pada mulanya adalah sebentuk kebebasan atau keleluasaan namun berujung dengan derita. Kondisi aku yang demikian menyiratkan perlu pembacaan ulang terhadap sosok kau yang muncul sebagai figur riil.

Kemunculan diksi impian dalam teks tersebut menunjukkan ruang situasi di mana konflik tersebut terjadi. Kau muncul di awal dalam diksi rambutmu. Diksi tersebut mencitrakan kehadiran yang utuh akan sosok kau. Dengan munculnya

rambutmu maka secara tidak tampak di sana hadir pula kepala, mata, tangan, dan lainnya. Tidak mungkin rambut hadir secara terpisah. Namun pada puisi “Syair Penyair Pemanggul Mayat” diksi yang menunjukkan kau hadir secara fisik hanya

rambutmu saja sedangkan pada kemunculan yang lain, misalnya nafas perawanmu, tampak mencitrakan konstruksi simbolik yang pada akhirnya dibaca sebagai kesucianmu. Pada kemunculan yang terakhir, kau muncul dalam pernyataan aku bahwa aku mencintaimu. Pernyataan tersebut tidak dapat membuktikan kehadiran kau secara fisik karena -mu sebagai objek di sana dapat pula berarti sekadar hadir sebagai rekaan aku. Terlebih lagi dalam kalimat ketiga belas aku menyatakan bahwa ia sendiri. Pada kalimat-kalimat yang lain juga muncul gambaran-gambaran kesepian dan kesunyian. Sebelumnya diuraikan

bahwa kesepian dan kesunyian tersebut muncul karena kesedihan aku yang menyadari dirinya sebagai sosok yang singup sedangkan kau hadir dalam kehidupan yang suci. Maka permasalahan yang belum terurai ada pada diksi

rambutku dan konstruksi imaji kalimat pertama yang tampak sangat riil.

Pada kalimat kedua dapat dicermati muncul diksi jembatan yang kemudian dibaca sebagai jalan penghubung. Pada teks juga muncul diksi mimpi yang dapat dibaca mencitrakan nuansa yang sama dengan jalan penghubung. Mimpi secara sederhana merupakan batas antara dunia riil dan dunia non-rill. Dunia nonriil secara umum dapat dipahami sebagai dunia spiritual, dunia khayal, atau dunia ketidaksadaran. Maka mimpi juga dapat dipahami sebagai jalan penghubung antara batas dunia sadar dan dunia tidak sadar. Jembatan yang muncul dalam teks adalah jembatan yang menyampaikan kegelisahan (kalimat kedua). Hal tersebut tampak senada dengan kemunculan mimpi yang secara tiba-tiba menghadirkan

kesedihan yang berujung derita (kalimat ketiga).

Dengan demikian, lebih lanjut dipahami bahwa situasi perasaan aku

menciptakan jalan penghubung yaitu mimpi. Situasi perasaan tersebut bermula dari keunyianku. Aku yang menahan perasaan dalam kalbu secara tiba-tiba bermimpi atau dapat dipahami dengan berkhayal. Dalam khayal tersebut kesedihan yang ia rasakan bertambah kuat sehingga mempengaruhi kesadaran dan pemahamannya akan ruang-waktu sebenarnya.

Rambutmu yang muncul dalam kalimat pertama bukanlah kehadiran kau

secara fisik tetapi bagian dari khayalan aku. Secara kualitas dan kuantitas, kehadiran kau dalam ruang-waktu tersebut tidak sebanding dengan perasaan sepi

dan sunyi yang muncul. Gejolak perasaan dan khayalan tersebut menampakkan konflik yang menghubungkan aku dan kau yaitu perbandingan wujud aku dan kau. Aku selalu hadir dalam wujud yang buruk sedangkan kau terimani dalam kehidupan yang suci. Keadaan tersebut dapat berarti bahwa aku secara riil berwujud lebih buruk daripada kau (secara fisik, sosial, kelas ekonomi, dan sebagainya), atau hal tersebut muncul karena sebab yang lain. Keburukan wujud

aku dapat pula dipahami sebagai ketidakberdayaan aku dalam menggapai kau

sebagaimana terdapat pada kalimat kelima, kerinduanku berumah bulan. Ketidakberdayaan aku membuat aku mengilhami diri sebagai sosok yang hina dan

kau adalah kemustahilan yang terus menerus diimpikan.

Dalam dokumen SYAIR PEMANGGUL MAYAT KARYA INDRA TJAHYADI (Halaman 187-194)

Garis besar

Dokumen terkait