• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesatuan Organis Teks Puisi “Siulan Hitam Raut Kematian”

Dalam dokumen SYAIR PEMANGGUL MAYAT KARYA INDRA TJAHYADI (Halaman 194-200)

STRUKTUR PUISI DALAM KUMPULAN PUISI

2.4 Kesatuan Organis Kumpulan Puisi Syair Pemanggul Mayat

2.4.5 Kesatuan Organis Teks Puisi “Siulan Hitam Raut Kematian”

Bila dicermati lebih jauh, kalimat hasil proses naturalisasi merujuk pada beberapa nuansa tertentu. Misalnya pada kalimat pertama dan kedua muncul pengulangan nuansa duka. Pada kalimat yang lain, kalimat ketiga dan keempat dapat dicermati pengulangan nuansa kewujudan aku lirik yang mendeskripsikan seluruh perasaan berkaitan dengan kesadaran dan keburukan diri. Lebih lanjut, nuansa-nuansa yang hadir dalam teks puisi “Siulan Hitam Raut Kematian” dapat disimpulkan merujuk pada empat nuansa. Pertama, kelas A yaitu nuansa cahaya. Kedua, kelas B yaitu nuansa dukacita. Ketiga, kelas C yaitu nuansa kuasa, dan keempat, kelas D yaitu nuansa kewujudan riil- non-rill.

Secara rinci pengulangan kelas nuansa dalam puisi “Siulan Hitam Raut Kematian” dapat dibaca pada tabel berikut:

Tabel 17 Pengulangan Kelas Nuansa Puisi “Siulan Hitam Raut Kematian” No.

Kalimat Bagian Kalimat Nuansa Kelas

1. Kendali ingatanku lemah, C

menuju ke titik awal waktu. D

2. Semalaman perasaan yang sedih mengendap, B jiwa yang mati dari suatu keleluasaan memenuhi, C

menciptakan keperihan tatapanku. B

3. Seperti kekejaman di tangan para pembuat kerusakan,

aku begitu menderita, B

seluruh perasaan yang berkaitan dengan kesadaran

membusuk dalam paruku. D

4. Aku tak berpelindung, segala keburukan membebani

pelirku. D

5. Seteguk kekosongan menyuarakan kesakitan

menciptakan keperihan pada urat nadiku. B 6. Kesempurnaan sesuatu yang menggemuruh menjelaskan

keperihan kejalanganku. B

7. Fantasi seksual terlaknat memberikan siksaan kisah

sempurna C

dari ketaksadaran diri yang tidak berharga. D

8. Aku berdiam dalam kesunyian. D

9. Kenangan masa lalu dan akhir kehidupan tersampaikan

dengan sepenuh hasrat lewat sajakku. D 10. Syahwatku terampas, menjelma sajak peringatan. B

11. sajak peringatan yang hancur B

di tengah kegelapan. A

12. Daya yang magis dan singup dari hawa panas C yang mengakibatkan penderitaan berbunyi dengan keras, B

menjelma tanda ungkapan perasaan. D

13. Tanda ungkapan perasaan yang muda yang diharamkan

Tuhan pada sosok yang diam. D

14. Dalam kesedihan yang begitu dalam dan lama, B kegamangan buatan yang tak terpahamkan D menyembunyikan kerinduan masa silam yang sempurna B

dan berkilauan di puncak mataku. A

15. Seketika aku berilusi bergetar, D

rasa ngeri menciptakan kemegahan kebahagiaan dari

kemesraan dan penderitaan. B

16. Aku adalah orang yang seharusnya bicara D

namun kebisuan menjadi takdirku. B

17. Kelak kutinggalkan Sorga D

18. Kegelapan begitu pekat, A

menghadirkan sepintas panggilan. D

19. Panggilan mengerikan gambaran kematianku. B

Dapat dicermati pada tabel tersebut setiap kelas tidak berulang dengan jumlah yang sama. Selain itu tampak tidak terdapat pola khusus yang terbentuk dalam kemunculan kelas A, B, C, maupun D. Berdasarkan tabel dapat dipahami bahwa kelas B muncul dengan kuantitas yang paling banyak. Kelas B terhitung muncul empat belas kali. Jumlah tersebut tampak paling mempengaruhi bagaimana aku lirik tercitrakan di dalam teks. Dukacita yang muncul sebagai citraan dominan menjelaskan mengapa aku lirik tampak hadir sebagai figur yang menderita. Figur-figur lain yang teridentifikasi sebagai subjek pada uraian awal, berubah dalam proses naturalisasi kemudian hadir sebagai citraan pendukung penderitaan aku lirik.

Dapat dicermati nuansa duka yang hadir diisi oleh perasaan yang sedih, keperihan, sesuatu yang terampas dan hancur, penderitaan, kesedihan yang begitu lama, kerinduan, rasa ngeri, dan sesuatu yang mengerikan. Kemunculan citraan kelas B tersebut tampak berkaitan dengan kemunculan kelas lainnya. Khususnya mencermati kemunculan kelas D yang hampir sama banyaknya. Pada kelas D tampak beberapa pernyataan menunjukkan situasi kewujudan yang riil namun yang lain menunjukkan sebaliknya.

Bila pada kelas B didapatkan situasi aku yang menderita atau berduka, pada kelas D muncul deskripsi-deskripsi tentang keadaan fisik dan psikis aku dengan lebih bervariasi. Pada kalimat pertama muncul awal waktu yang kemudian

selanjutnya. Bila mungkin awal waktu yang dimaksud adalah semalaman seperti pada kalimat kedua maka dapat dipahami bahwa latar waktu situasi teks adalah

malam hari dan diksi menjulur yang dimaksud bukan menuju ke melainkan

memanjang yang selanjutnya dapat dipahami menghadirkan citraan menetap dalam keadaan. Namun bila semalaman dimaksudkan untuk menceritakan kejadian semalam, maka ada hal lain yang dirujuk oleh awal waktu. Untuk itu diperlukan pembacaan menyeluruh pada kalimat lainnya.

Kelas D muncul kembali pada kalimat ketiga dengan deskripsi tentang seluruh perasaan. Seluruh perasaan dalam kalimat tersebut dihubungkan dengan

kesadaran. Hal tersebut tampak ganjil mengingat dalam konvensi umum,

perasaan dan kesadaran mempunyai hubungan yang paradoks. Pada kalimat keempat kelas D diisi dengan tampakan fisik aku akan pelirku. Dinyatakan bahwa

aku tak berpelindung dan keburukan membebani pelirku. Pada kalimat tersebut tampak kata pelindung merujuk pada banyak hal, bisa saja berarti pakaian, pertolongan, kebaikan, atau yang lainnya. Yang jelas, ketidakberadaan hal tersebut membuat aku mengalami keburukan yang membebani pelir. Pada kalimat ketujuh, dinyatakan tentang ketaksadaran diri yang tidak berharga. Berlanjut pada kalimat kedelapan, aku berdiam dalam kesunyian. Pada kalimat kesembilan muncul lagi hal yang berkaitan dengan pikiran yaitu kenangan masa lalu. Pada kalimat kedua belas dan ketiga belas muncul tanda ungkapan perasaan yang tampak berkaitan dengan kemunculan sajakku pada kalimat kesembilan. Pada kalimat keempat belas didapatkan kegamangan yang mencitraakan keberadaan diri yang goyah, tidak tetap, tidak yakin, takut. Hal tersebut tampak berkaitan

dengan kemunculan kelas D berikutnya, kalimat kelima belas, dinyatakan aku berilusi bergetar. Berilusi dalam kalimat tersebut sekali lagi muncul sebagai hal yang berkaitan dengan pikiran. Pada kalimat keenam belas, aku menyatakan diri sebagai orang yang seharusnya bicara. Citraan tersebut berasal dari diksi rasul

yang tampak berkaitan dengan diksi Sorga pada kalimat ketujuh belas dan Tuhan

pada kalimat ketiga belas. Kelas D muncul terakhir pada kalimat kedelapan belas yang menghadirkan sepintas panggilan. Panggilan yang dimaksud dijelaskan dalam kalimat kesembilan belas dan muncul sebagai nuansa duka.

Bila dicemati kemunculan kelas D tidak dapat dipisahkan pula dengan kemunculan kelas lainnya, kelas A dan C, maupun kelas B yang sudah dibahas sedikit sebelumnya. Pada kalimat pertama, kelas D muncul diawali oleh kelas C,

kendali ingatanku lemah. Telah disebutkan sebelumnya bahwa citraan yang mengisi kelas D juga banyak berkaitan dengan pikiran. Merujuk pada kemunculan kelas C, kendali ingatan yang lemah berkaitan dengan kehadiran fantasi seksual terlaknat pada kalimat ketujuh. Pada kalimat kedua belas, dapat dicermati bahwa

daya yang magis menyebabkan penderitaan berbunyi keras. Daya yang magis pada kalimat tersebut tampak senada dengan kalimat pertama dan kalimat ketujuh. Pada kelas C tersebut didapatkan bahwa kemunculan penderitaan disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan ingatan dan kesadaran. Dengan demikian, dapat dipahami citraan-citraan yang muncul pada kelas D dan B pula.

Secara sederhana pada tahap ini dipahami bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ingatan telah berada dalam keadaan terkuasai. Hal tersebut menyebabkan munculnya penderitaan. Tampak pada kelas D, hal-hal yang berkaitan dengan

pikiran muncul dalam bentuk perasaan yang berkaitan dengan kesadaran, ketaksadaran diri yang tidak berharga, kenangan masa lalu, dan berilusi bergetar. Dari kelas D dipahami bahwa aku berada dalam ketaksadaran, lebih lanjut yaitu ketaksadaran diri yang tidak berharga. Hal tersebut menjelaskan mengapa pada kalimat pertama muncul kendali ingatan yang lemah. Ingatan yang dimaksud tampak merujuk pada kenangan masa lalu. Dalam keadaan tersebut aku

muncul tanpa pelindung dan berilusi. Pelindung dapat dipahami sebagai sesuatu yang menyelamatkan dirinya dari keadaan menderita tersebut. Ilusi dapat dipahami berkaitan dengan kalimat ketujuh yaitu fantasi seksual terlaknat.

Beberapa pernyataan juga berkaitan dengan hal-hal seksual yaitu keburukan membebani pelirku, syahwatku terampas, dan keperihan kejalanganku. Berbagai bentuk kemunculan tersebut sama-sama merujuk pada keadaan diri aku yang memiliki kondisi seksual yang menderita. Pada kalimat keenam tampak bahwa penderitaan seksual aku merupakan sesuatu yang sempurna dan menggemuruh. Dapat dipahami bahwa hal tersebut serupa dengan yang menyebabkan ingatan terkuasai. Penderitaan seksual aku berarti pula fantasi seksual. Fantasi tersebut menguasai kesadaran diri aku. Dalam ketidaksadaran tersebut, aku mengalami penderitaan yang lebih dalam. Tidak hanya menguasai kesadaran tetapi juga ingatan. Dalam keadaan berfantasi tersebut munculah ingatan masa lalu. Tampak pada kalimat kesembilan, kenangan masa lalu dan akhir kehidupan tersampaikan dengan sepenuh hasrat lewat sajakku. Kemunculan ingatan masa lalu tampak sebagai hal yang sentimentil sehingga hadir ketika aku berfantasi. Pada kalimat keempat belas juga muncul kerinduan masa silam yang sempurna dan berkilauan

di puncak mataku. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan kalimat kedua, keperihan tatapanku. Maka dapat dipahami kenangan masa lalu yang dimaksud adalah sesuatu yang dirindukan. Bila dikaitkan dengan kalimat kedua, kenangan tersebut mempengaruhi citraan penglihatan aku. Kenangan tersebut adalah jiwa yang mati dari keleluasaan. Maka dapat dipahami bahwa kenangan aku merupakan kenangan yang begitu menyedihkan. Aku mengungkapkannya dalam kalimat ketiga dengan mengumpakan diri sebagai kekejaman di tangan para membuat kerusakan. Dapat dipahami mungkin kenangan masa lalu tersebut adalah tindakan kriminal atau tindakan lain yang bernada kejam.

Pada kalimat kelima belas, juga tampak fantasi tersebut diisi oleh rasa ngeri

atas kebahagiaan yang muncul dari hubungan paradoks antara kemesraan dan

penderitaan. Kalimat tersebut dapat dipahami sebagai kegamangan ketika aku

merasakan penderitaan dan membayangkan kebahagiaan sebagai sesutau yang tinggi untuk digapai dan kini aku berdiam dalam keadaan yang menyedihkan. Sebagaimana pada kalimat kedelapan, aku berdiam dalam kesunyian. Pada kalimat kelima, kesunyian muncul dalam bentuk kekosongan yang menciptakan

keerihan ada urat nadiku. Kalimat tersebut menunjukkan kehidupan yang menyakitkan. Urat nadi mencitrakan garis antara kehidupan dan kematian. Hal tersebut berkaitan dengan kemunculan Sorga pada kalimat ketujuh belas. Bila

Sorga dipahami sebagai puncak kebahagiaan, maka dipahami bahwa aku pada situasi tersebut memilih untuk tinggal dalam kehancuran dunia. Hal tersebut dapat berarti bahwa kini aku tengah berada dalam Sorga dan suatu hari aku akan meninggalkannya.

Dalam dokumen SYAIR PEMANGGUL MAYAT KARYA INDRA TJAHYADI (Halaman 194-200)

Garis besar

Dokumen terkait