DAFTAR LAMPIRAN
4 KESESUAIAN KAWASAN UNTUK PENGEMBANGAN WISATA DI GUGUS PULAU SAPEKEN
4.3.2 Kesesuaian Pemanfataan untuk Ekowisata Snorkeling
Ekowisata untuk jenis wisata snorkeling memilki persamaan dengan jenis wisata selam, terkait obyek wisata, yaitu ekosistem terumbu karang. Parameter yang membedakan jenis wisata snorkeling dan selam dalam analisa kesesuaian adalah kedalaman terumbu karang ditemukan. Pada jenis wisata snorkeling mensyaratkan terumbu karang ditemukan pada kedalaman 1 – 3 meter (Hutabarat 2009). Hal inilah yang menjadikan jenis wisata snorkeling dikenal juga sebagai skin diving. Selain kedalaman terumbu karang, parameter lainnya yang diperlukan dalam analisa kesesuaian ekowisata untuk jenis wisata snorkeling meliputi prosentase life form, kecerahan perairan, jenis ikan karang, kecepatan arus dan lebar hamparan datar karang. Berikut hasil analisa kesesuaian ekowisata untuk jenis wisata snorkeling di gugus Pulau Sapeken.
Tabel 44 Hasil analisa kesesuaian ekowisata untuk jenis wisata snorkeling di gugus Pulau Sapeken
No Pulau Nilai Kesesuaian Wisata
Indeks Kesesuaian (%) Kelas Kesesuaian
1 Pagerungan Besar 50.00 SB Sesuai bersyarat
2 Pagerungan Kecil 40.00 SB Sesuai bersyarat
3 Paliat 33.00 TS Tidak sesuai
4 Sapangkur Besar 47.00 SB Sesuai bersyarat
5 Sapeken 33.00 TS Tidak sesuai
6 Saor 42.00 SB Sesuai bersyarat
7 Sepanjang 45.00 SB Sesuai bersyarat
Keterangan
Sesuai : 49.20 - 63.00
Bersyarat : 35.10 - 49.10
82
83
Untuk luas kesesuaian ekowisata jenis wisata snorkeling di gugus Pulau Sapeken ditampilkan pada Tabel 45.
Tabel 45 Luas kesesuaian ekowisata untuk jenis wisata snorkeling di gugus Pulau Sapeken
No Pulau Luas Kesesuaian (ha)
Sesuai (S) Sesuai Bersyarat (SB) Tidak sesuai (TS)
1 Pagerungan Besar 361.56 2.48 319.56 2 Pagerungan Kecil - 84.85 109.86 3 Paliat - - 348.63 4 Sapangkur Besar - 269.39 37.90 5 Sapeken - - 255.59 6 Saor - 74.71 159.85 7 Sepanjang - 103.58 286.86 Total 361.56 535.01 1518.25
Hasil kesesuaian kegiatan ekowisata untuk jenis wisata snorkeling di gugus Pulau Sapeken (Tabel 45) menunjukkan kesesuaian untuk kelas tidak sesuai (TS) seluas 1518.25 ha kelas sesuai bersyarat (SB) seluas 535.01 ha, dengan faktor pembatas berupa tutupan komunitas karang dan jenis life form, serta kelas sesuai (S) seluas 361.56 ha. Umumnya tutupan komunitas karang dan jenis life form yang ada di gugus Pulau Sapeken berada pada kisaran 25% – 65% dan bentuk pertumbuhan mayoritas adalah Acropora tabulate, Acropora branching, Coral branching dan Coral massive (KEI 2008). Kondisi tutupan dan jenis life form tersebut hanya memiliki skor 2 dalam analisa kesesuaian ekowisata untuk jenis wisata snorkeling. Untuk Pulau Sapeken dan Pulau Paliat dengan kelas kesesuaian tidak sesuai memiliki faktor pembatas selain berupa tutupan komunitas karang dan jenis life form, juga memiliki faktor pembatas berupa kedalaman karang dan lebar hamparan datar karang.
Ekosistem terumbu karang memegang peranan penting untuk kelangsungan hidup manusia dan membutuhkan pertimbangan khusus dalam pemanfaatannya. Terumbu karang terdapat meliputi hampir 1% dari wilayah laut (Hughes et al. 2003), mendukung hampir sepertiga dari spesies ikan laut dunia (Newton et al. 2007), menyediakan sekitar 10% dari total ikan dikonsumsi oleh manusia (Pauly et al. 2002). Lebih lanjut, keberadaan terumbu karang pada suatu kawasan menjadi fokus utama bagi pengembangan wisata (Ahmed et al. 2007). Salah satu kegiatan wisata yang mengandalkan keberadaan keberadaan terumbu karang beserta biota lainnya adalah kegiatan wisata snorkeling.
Kegiatan ekowisata untuk jenis wisata snorkeling sangat tergantung pada keberadaan ekosistem terumbu karang pada kedalaman yang lebih dangkal dibandingkan persyaratan bagi jenis wisata selam. Kedalaman dan lebar
84
hamparan datar terumbu karang dalam ekowisata untuk jenis wisata snorkeling, diperlukan untuk memberikan kesempatan maksimal bagi wisatawan untuk menikmati keindahan terumbu karang. Kedalaman yang direkomendasikan sesuai bagi jenis wisata snorkeling berkisar antara 1 – 3 meter (Supriharyono 2007). Pada kedalaman tersebut, wisatawan dapat secara jelas mengamati keindahan terumbu karang. Lebih lanjut, dengan hamparan datar terumbu karang yang lebih luas menjadikan wisatawan lebih memiliki banyak kesempatan untuk melakukan petualangan sambil menikmati keindahan terumbu karang. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ekowisata untuk jenis wisata snorkeling ini memungkinkan bagi wisatawan yang tidak begitu mahir menyelam tetap dapat menikmati keindahan terumbu karang dengan peralatan selam sederhana seperti snorkel mask, semi dry snorkel tube dan fins bisa juga dilengkapi dengan flotation vest.
Gugus Pulau Sapeken pada kedalaman antara 1 – 5 meter memiliki hamparan terumbu karang yang cukup luas dengan terumbu karang yang banyak dijumpai dari jenis Acropora sp, Porites sp, Galaxea sp dan Platygyra sp serta jenis-jenis ikan hias Epinephelus sp, Chaetodontoplus sp, Hereochus Chaetodon, Zanclus (KEI 2008). Keberadaan terumbu karang ini didukung oleh kondisi perairan yang memiliki kecerahan sampai 4.95 meter. Lebih lanjut keberadaan terumbu karang pada kawasan gugus Pulau Sapeken berdasarkan hasil analisa SES (socio ecological system) menunjukkan jasa ekosistem berupa estetika, biodiversitas, budaya, ekonomi, keberlanjutan hidup, pembelajaran, rekreasi dan spiritual masih dapat dipenuhi dalam natural capital asset, salah satunya adalah tipe tutupan berupa terumbu karang (Tabel 11 – 17).
Kemudahan dalam melakukan jenis wisata snorkeling menjadikan ekosistem terumbu karang memiliki kemungkinan untuk terganggu lebih besar, akibat terinjak, suspensi sedimen dan patahnya coral branching oleh wisatawan yang belum mahir menyelam (Chabanet et al. 2005). Lebih lanjut, tingkat kerusakan fisik terumbu karang sesuai dengan jumlah wisatawan (Rodgers and Cox 2003). Kerusakan snorkeller sebagian besar terbatas pada daerah dangkal dimana terumbu karang berpotensi untuk diinjak atau terkena tendangan fins snorkeller (Plathong et al. 2000). Dibandingkan dengan wisata selam, wisata snorkeling lebih sedikit menimbulkan potensi kerusakan pada terumbu karang Dijelaskan pula bahwa tingkat kerentanan terumbu karang terhadap aktifitas wisata tergantung pada bentuk pertumbuhan, komposisi spesies dan komunitas
85
karang (Riegl et al. 1996). Bentuk pertumbuhan terumbu karang yang paling rentan terhadap aktifitas wisata snorkeling adalah bentuk bercabang (misalnya genus Acropora) (Riegl and Cook 1995). Terkait dengan hal tersebut daya dukung wisatawan memainkan peran penting dalam mengelola kerusakan fisik terumbu karang yang diakibatkan wisata snorkeling (Jameson et al. 1999).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut Roman et al. (2007) menyarankan pembuatan snorkelling trail dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Keberadaan snorkelling trail akan membuat wisatawan berada pada jalur dengan jarak aman tertentu yang telah dibuat sehingga mengurangi kemungkinan terumbu karang diinjak atau patah. Kedalaman snorkelling trail, diusahakan pada kedalaman 2 meter untuk meminimalkan kontak fins dengan dasar perairan.
Upaya pengelolaan lainnya untuk mengatasi kerusakan terumbu karang akibat kegiatan ekowisata untuk jenis wisata snorkeling adalah dengan membuat terumbu karang buatan (artificial reef) sebagai alternatif spot. Pembuatan artificial reef dimaksudkan untuk mengalihkan tekanan dan dampak kegiatan wisata snorkeling.
86
Gambar 14 Peta kesesuaian ekowisata jenis wisata snorkeling di gugus Pulau Sapeken
87