• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekam Jejak Ekologi ( Ecological Footprint ) Gugus Pulau Sapeken untuk Ekowisata

DAFTAR LAMPIRAN

5 DAYA DUKUNG PEMANFAATAN WISATA DI GUGUS PULAU SAPEKEN

5.3.2 Rekam Jejak Ekologi ( Ecological Footprint ) Gugus Pulau Sapeken untuk Ekowisata

Rekam jejak ekologi merepresentasikan batas kritis pemanfaatan sumberdaya alam yang secara dibagi menjadi empat macam, yaitu : 1) rekam jejak ekologi untuk negara; 2) rekam jejak ekologi untuk rumah tangga; 3) rekam jejak ekologiuntuk kegiatan tertentu (seperti wisata dan budidaya); dan 4) rekam jejak ekologi untuk komunitas atau populasi. Untuk kegiatan wisata, touristic ecological footprint (TEF) merupakan suatu upaya terencana dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan kegiatan pembangunan yang menyesuaikan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka, melalui keterpaduan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Hal ini memiliki pemahaman bahwasanya tingkat pemanfaatan sumberdaya dibatasi pada tingkatan tertentu sehingga tetap bisa dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya.

Implementasi dari pembangunan berkelanjutan, salah satunya melalui kegiatan wisata yang berlanjutan (sustainable tourism). Pembangunan wisata yang berkelanjutan merupakan suatu kegiatan dalam memenuhi kebutuhan wisatawan dan penduduk sekaligus melindungi dan meningkatkan kesempatan pemanfaatan untuk masa depan (Goosling et al. 2002). Penilaian tersebut dapat diketahui melalui aplikasi TEF. TEF mengukur berapa banyak kapasitas regeneratif dari biosfer digunakan oleh aktivitas wisata, dengan menghitung jumlah lahan produktif secara biologis dan catchment area yang diperlukan untuk mendukung populasi tertentu pada tingkat saat ini melalui konsumsi dan efisiensi sumber daya.

Terdapat dua komponen utama yang digunakan untuk menilai daya dukung gugus Pulau Sapeken untuk kegiatan wisata, yaitu : 1) biokapasitas sebagai supply, meliputi biokapasitas energi dan biokapasitas sumberdaya; 2) rekam

115

jejak ekologisebagai demand, meliputi rekam jejak ekologi komunitas dan rekam jejakwisata. Berikut hasil penilaian terhadap daya dukung gugus Pulau Sapeken. a. Biokapasitas Gugus Pulau Sapeken

Biokapasitas adalah total daerah bioproductive dari suatu kawasan (planet, negara, atau sub-region), dalam satuan global hektar (gha). Biokapasitas menunjukkan besaran daya tampung yang dimiliki oleh suatu kawasan untuk digunakan bagi peruntukan sejumlah kegiatan sekaligus refleksi dari kondisi eksisting suatu kawasan. Gugus Pulau Sapenen sebagai sebagai kawasan kepulauan, memiliki dua jenis biokapasitas, yaitu 1) biokapasitas energi (matahari, angin, hujan, gelombang dan pasang surut); dan 2) biokapasitas sumberdaya.

- Biokapasitas energi

Penilaian biokapasitas energi berasal dari konsep ekologi populasi (Brown and Ulgiati 2001) sebagai kapasitas yang menghubungkan penggunaan sumberdaya dengan dukungan lingkungan (environmental support). Hal ini selanjutnya didefinisikan sebagai populasi maksimum dari spesies yang dapat diterima oleh ekosistem (Odum and Barett 2005), dengan variasi tergantung pada konteks dimana kawasan yang digunakan. Dalam konteks ini, biokapasitas energi didefinisikan sebagai jumlah orang yang dapat didukung oleh lingkungan di sebuah standar hidup yang diberikan dari gugus Pulau Sapeken yang dinilai dari ketersediaan energi yang dapat dimanfaatkan.

Biokapasitas energi gugus Pulau Sapeken, meliputi energi matahari, energi angin, energi hujan, energi gelombang dan energi pasang-surut (pasut). Berikut biokapasitas energi yang ada di gugus Pulau Sapeken (Tabel 60).

Tabel 60 Biokapasitas energi di gugus Pulau Sapeken

No Pulau Biocapacity Energi (gha/kapita/tahun)

Matahari Hujan Angin Gelombang Pasang - surut

1 Pagerungan Besar 10.40 509.00 3.01 x1010 211.00 126.00 2 Pagerungan Kecil 7.66 374.00 2.21 x1010 144.00 113.00 3 Paliat 303.00 14800.00 8.73 x1011 2700.00 0.00 4 Sapangkur Besar 0.16 7.60 4.49 x108 1880.00 90.20 5 Sapeken 0.04 1.84 1.09 x108 102.00 18.90 6 Saor 0.23 11.20 6.60 x108 2760.00 103.00 7 Sepanjang 189.00 9250.00 5.46 x1011 15500.00 288.00

Gugus Pulau Sapeken sebagai kumpulan pulau-pulau kecil, merupakan suatu kawasan yang memiliki sejumlah keterbatasan berupa ukuran wilayah yang kecil, rentan terhadap bencana, terbatas sumberdaya dan memiliki

116

keterbatasan terhadap air. Dibandingkan dengan daratan, aspek yang menonjol dari keberadaan pulau kecil adalah wilayah yang dikelilingi laut. Wilayah yang dikelilingi laut memungkinkan pulau kecil selain memiliki sumberdaya kelautan yang besar, juga memiliki energi potensial yang cukup besar berasal dari kondisi lingkungan tersebut. Kondisi tersebut terlihat pada proporsi biokapasitas energi di tiap pulau kecil pada gugus Pulau Sapeken sebagai energi potensial (Gambar 20). Diantara lima jenis energi potensial yang ada di wilayah gugus Pulau Sapeken, angin memiliki energi potensial terbesar yang ada di tiap pulau kecil, berkisar antara 1.09 x108 sampai 5.46 x 1011 gha/kapita (Tabel 54) atau setara dengan 5.48 x1026 Joule. Energi angin terbesar ada di Pulau Paliat dan Pulau Sepanjang.

Pulau kecil identik dengan minimnya sarana air besih dan energi listrik. seperti halnya pulau kecil yang ada di gugus Pulau Sapaken. Ketersediaan energi potensial yang bersumber dari angin merupakan sumber energi yang dapat dijadikan sebagai solusi bagi salah satu keterbatasan yang ada di gugus Pulau Sapeken, berupa sarana listrik. Dibandingkan dengan angin yang ada di wilayah pesisir, energi potensial angin yang ada di wilayah kepulauan,dapat memenuhi kebutuhan 1 keluarga (Hantoro dan Rahmandiansyah 2007). Daya aktual tertinggi (peak) yang dapat dicapai di wilayah kepulauan mencapai 972,7 watt,dan daerah pesisir mencapai 355 watt. Daya terendah untuk daerah kepulauan bernilai 21 watt dan di daerah pesisir bernilai 0 watt.

Berdasarkan hal tersebut diatas, potensi angin yang ada di gugus Pulau Sapeken dapat digunakan sebagaialternatif energi yang bersifat terbarukan. Dilihat dari sisi ekonomis dan kebutuhan energi listrik, pemanfaatan energi angin sebagai sumber energi alternatif akan mengurangi ketergantungan pulau kecil terhadap fuel energy dalam memenuhi kebutuhan listrik. Pemanfaatan angin sebagai sumber energi alternatif juga memiliki pengaruh dari sisi ekologis. Penggunaan bahan bakar (fossil fuel energy) untuk pembangkit listrik memberikan dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Pengurangan penggunaan bahan bakar yang dikonversi sebagai energy listrik akan meningkatkan biaya kerusakan (damage cost) terkait emisi yang dihasilkan berupa peningkatan PM10, NOx, SO2, dan CO2 (Rabl and Spadaro 2000). Lebih

lanjut, peningkatan emisi dari penggunaan bahan bakar untuk menghasilkan energi listrik akan memperberat kerja lingkungan dalam mengabsorpsi emisi yang ditimbulkan.

117

- Biokapasitas sumberdaya

Biokapasitas suatu kawasan juga ditentukan oleh besaran sumberdaya yang dapat menyediakan sejumlah barang dan jasa bagi kesejahteraan manusia. Dalam konsep rekam jejak ekologi, biokapasitas mengukur potensi produksi dan ketersediaan biologis daerah produktif untuk penggunaan ekonomi manusia (Ewing et al. 2010). Biokapasitas adalah mitra untuk indikator footprint. Kapasitas produksi lahan pertanian, lahan penggembalaan, lahan hutan dan perikanan digunakan untuk menentukan seberapa besar apa yang orang dapat memanfaatkan dari ekosistem. Namun, biokapasitas tidak dapat ditafsirkan sebagai indikator integritas ekosistem dan kesehatan, jasa ekosistem atau keanekaragaman hayati (Lenzen et al. 2007).

Berdasarkan hal tersebut untuk biokapasitas sumberdaya gugus Pulau Sapeken yang dihitung meliputi biokapasitas pangan (padi, jagung, ketela pohon, kacang tanah, kacang hijau), biokapasitas hutan dan biokapasitas perikanan. Tiap pulau kecil yang ada pada gugus Pulau Sapeken memiliki biokapasitas sumberdaya yang berbeda (Gambar 19). Kondisi tersebut menunjukkan ditiap pulau kecil pada wilayah gugus Pulau Sapeken, memiliki kemampuan berbeda dalam penyediaan sumberdaya tertentu. Hasil perhitungan selanjutnya terhadap biokapasitas sumberdaya ada di gugus Pulau Sapeken (Tabel 61).

118

Tabel 61 Biokapasitas sumberdaya di gugus Pulau Sapeken

No Pulau Biokapasitas Sumberdaya (gha/kapita/tahun)

Pangan Hutan Ikan

1 Pagerungan Besar 0.0015 629.00 11.40 2 Pagerungan Kecil 0.0011 - 13.80 3 Paliat 0.0043 23 500.00 4.82 4 Sapangkur Besar 0.0025 11 600.00 5.31 5 Sapeken 0.0023 - 8.72 6 Saor 0.0053 - 8.18 7 Sepanjang 0.0062 45 100.00 5.48

Dampak aktifitas manusia terhadap lingkungan dalam pengertian luas tergantung dari kualitas dan kuantitas dari sumberdaya alam yang dikonsumsi oleh manusia. Semakin baik kualitas dan kuantitas dari sumberdaya semakin baik pula pemenuhan kebutuhan hidup yang diperlukan manusia. Biocapacity sumberdaya pada Tabel 55 menunjukkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia.

Berdasarkan biokapasitas sumberdaya yang telah dikuantifikasi, menunjukkan biokapasitas sumberdaya terbesar secara berurutan berupa sumberdaya hutan, sumberdaya perikanan dan sumberdaya pangan. Sumberdaya hutan di gugus Pulau Sapeken terbesar terdapat pada Pulau Sepanjang. Ekosistem mangrove di Pulau Sepanjang memiliki luas ± 3 374.26 ha termasuk dalam kawasan yang berstatus hutan produksi dan dikelola oleh Perum Perhutani. Luasan tersebut jika diasumsikan tiap hektar menghasilkan 220 m3 (Chan 1994) akan menghasilkan kayu sebesar 80 4716 m3 akan menghasilkan

biokapasitas sebesar 45 100 gha (Tabel 61).

Nilai biokapasitas mangrove tersebut (45.100 gha) memiliki korelasi terhadap kemampuan mangrove dalam menyediakan bahan baku kayu. sumberdaya dalam menyediakan kebutuhan manusia. Lebih lanjut, selain sebagai penyedia bahan baku, mangrove berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2) dari udara. Penyerapan karbon dioksida berhubungan erat

dengan biomassa pohon. Pohon melalui proses fotosintesis menyerap CO2 dan

mengubahnya menjadi karbon organik (karbohidrat) dan menyimpannya dalam biomassa mangrove (Pambudi 2011). Stok karbon dalam mangrove diestimasi dari biomassanya dengan mengikuti aturan 46% biomassa (Rahayu dan Hairiah 2007). Hal tersebut menjelaskan semakin banyak mangrove yang ada pada suatu kawasan akan meningkatkan kemampuan kawasan dalam menyerap karbon dioksida (CO2) dan emisi yang ditimbulkan dari penggunaan fossil fuel.

119

- Total biokapasitas gugus Pulau Sapeken

Biokapasitas gugus Pulau Sapeken merupakan total dari keselurahan biokapasitas yang ada, yaitu biokapasitas energi dan biokapasitas sumberdaya. Total biokapasitas gugus Pulau Sapeken ditampilkan pada Tabel 62.

Tabel 62 Total biokapasitas di gugus Pulau Sapeken (gha/kapita/tahun)

No Pulau Total Biokapasitas (Energi + Sumberdaya)

1 Pagerungan Besar 3.01 x 10 10 2 Pagerungan Kecil 2.21 x 10 10 3 Paliat 8.73 x 10 11 4 Sapangkur Besar 4.49 x 10 08 5 Sapeken 1.09 x 10 08 6 Saor 6.60 x 10 08 7 Sepanjang 5.46 x 10 11

Biokapasitas pulau kecil yang ada pada gugus Pulau Sapeken memiliki keterkaitan dengan luas area yang dimilki di tiap pulau kecil. Tabel 55 menunjukkan, total biokapasitas terbesar terdapat pada Pulau Paliat dan Pulau Sepanjang. Dibandingkan dengan pulau kecil lainnya, kedua pulau tersebut memiliki luas wilayah yang lebih besar (Tabel 3).

Biokapasitas merupakan bagian penting dari analisa ecological footprint dalam menilai ekologi lahan produktif yang ada pada suatu kawasan. Oleh karena itu biokapasitas merupakan endowment dari ekologis wilayah produktif yang tersedia secara lokal dan itu menunjukkan kapasitas potensial ekosistem lokal untuk menyediakan sumberdaya alam dan jasa. Berdasarkan hal tersebut Pulau Paliat dan Pulau Sepanjang memiliki kapasitas potensial

120

ekosistem lokal yang lebih besar dalam menyediakan sumberdaya alam dan jasa yang dibutuhkan.

b. Rekam jejak ekologi (ecological footprint) gugus Pulau Sapeken

Rekam jejak ekologi (EF) adalah agregat area dari tanah dan air pada berbagai kategori ekologi, dalam menghasilkan semua sumber daya yang dikonsumsi, sekaligus limbah yang dihasilkan (Wackernagel and Monfreda 2004). Berdasarkan definisi tersebut pada dasarnya, setiap perhitungan EF mencoba untuk menilai berapa banyak daerah yang produktif secara biologis diperlukan untuk menghasilkan aliran sumberdaya yang dikonsumsi oleh penduduk suatu wilayah, untuk menyerap limbah atau emisi (terutama CO2), dan sekaligus infrastruktur yang dibangun pada suatu wilayah. Terkait

dengan pengembangan kegiatan ekowisata di gugus Pulau Sapeken, perhitungan ecological footprint dibagi menjadi dua kelompok, meliputi rekam jejak ekologi komunitas (community ecological footprint) dan rekam jejak ekologi wisata (touristic ecological footprint).

- Rekam jejak ekologi untuk komunitas (community ecological footprint)

Rekam jejak ekologi (EF) komunitas merupakan perhitungan rekam jejak ekologi terhadap semua sumberdaya yang dikonsumsi sekaligus limbah yang limbah yang dihasilkan pada suatu komunitas tertentu pada suatu kawasan. Perhitungan EF wilayah di gugus Pulau Sapeken berbasiskan pada dua bagian, yaitu : 1) jumlah sumberdaya utama yang dikonsumsi dan limbah yang dihasilkan melalui aktifitas manusia yang dapat ditentukan dan dilacak; 2) sumberdaya dan limbah yang dihasilkan selanjutnya dirubah menjadi ekologi area lahan produktif untuk konsumsi sumberdaya dan penyerapan limbah yang dihasilkan. Oleh karena itu, rekam jejak ekologi dari komunitas di gugus Pulau Sapeken adalah total daerah produktif secara biologis yang dapat memenuhi konsumsi sumberdaya dan limbah yang dihasilkan. Ekologi area lahan produktif yang dihitung dalam rekam jejak ekologi komunitas pada gugus Pulau Sapeken meliputi area pangan (cropland), mangrove, perikanan (fishing ground), pemukiman (built-up land), air, listrik (energy land) dan sampah (waste). Berdasarkan area lahan produktif tersebut, tiap pulau kecil pada gugus Pulau Sapeken memiliki proporsi konsumsi sumberdaya yang berbeda (Gambar 14). Hasil perhitungan rekam jejak ekologi komunitas di gugus Pulau Sapeken adalah sebagai berikut :

121

Tabel 63 Rekam jejak ekologikomunitas di gugus Pulau Sapeken

No Pulau Rekam jejak ekologi komunitas (gha/kapita/tahun)

Pangan Hutan Ikan

1 Pagerungan Besar 2.9 x 102 5.6 x 10-5 5.5 x 10-5 2 Pagerungan Kecil 3.9 x 102 4.6 x 10-5 3 Paliat 1.4 x 101 8.5 x 102 1.3 x 10-7 4 Sapangkur Besar 3.4 x 101 2.9 x 103 1.2 x 10-4 5 Sapeken 3.4 x 101 7.0 x 10-8 6 Saor 1.5 x 101 3.1 x 10-8 7 Sepanjang 2.6 x 101 4.3 x 102 1.2 x 10-7

Tabel 63 Rekam jejak ekologikomunitas di gugus Pulau Sapeken (lanjutan)

No Pulau Rekam jejak ekologi komunitas (gha/kapita/tahun)

Pemukiman Listrik Air Sampah

1 Pagerungan Besar 6.1 x 10-9 4.0 x 103 1.2 x 10-2 6.1 x 10-5 2 Pagerungan Kecil 8.4 x 10-9 3.9 x 103 1.2 x 10-2 5.9 x 10-5 3 Paliat 2.1 x 10-10 1.6 x 103 5.0 x 10-3 2.5 x 10-5 4 Sapangkur Besar 1.0 x 10-7 1.5 x 103 4.7 x 10-3 2.3 x 10-5 5 Sapeken 1.2 x 10-3 5.1 x 103 1.6 x 10-2 7.8 x 10-5 6 Saor 1.2 x 10-4 1.5 x 103 4.4 x 10-2 2.2 x 10-5 7 Sepanjang 3.3 x 10-10 5.6 x 103 1.7 x 10-2 8.6 x 10-5

Rekam jejak ekologi di gugus Pulau Sapeken menunjukkan listrik dan pangan sebagai konsumsi terbesar (Tabel 63). Kebutuhan listrik di gugus Pulau Sapeken sampai saat ini masih belum bisa dipenuhi secara merata. Pemenuhan listrik masyarakat pada gugus Pulau Sapeken terbagi menjadi dua bagian, yaitu PLN dan non PLN. Untuk listrik yang berasal dari PLN saat ini hanya terdapat di Pulau Sapeken. Keterbatasan penyediaan listrik ini menjadikan tiap rumah tangga yang mampu di pulau kecil lainnya mengandalkan generator untuk mendapatkan listrik.

Pengusahaan energi alternatif untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan listrik diperlukan, untuk mengurangi ketergantungan terhadap fossil fuel. Selain langka dan harga yang mahal, pengunaan fossil fuel berpotensi meningkatkan emisi carbon dioksida (CO2) di pulau kecil. Energi yang realistis

untuk diusahakan sebagai energi alternatif di gugus Pulau Sapeken adalah matahari dan angin. Penggunaan solar cell energy dan wind park merupakan salah satu bentuk pemanfaatan energi matahari dan angin menjadi listrik sebagai solusi pemenuhan listrik di gugus Pulau Sapeken.

122

- Rekam jejak ekologi untuk wisata (touristic ecological footprint)

Pengembangan kegiatan wisata di gugus Pulau Sapeken sebagai kawasan pulau – pulau kecil membutuhkan perencanaan yang terpadu. Hal ini diperlukan mengingat jenis wisata yang dilakukan merupakan wisata lebih ramah lingkungan dan menguntungkan secara sosial dan ekonomi. Hal ini berkaitan dengan karakteristik yang melekat pada pulau kecil seperti ukuran yang kecil, keterpencilan, kerentanan, dispersi geografis untuk bencana alam, kerapuhan ekosistem, kendala pada transportasi dan komunikasi, isolasi dari pasar, pasar domestik kecil, kurangnya sumberdaya alam dan pasokan air bersih yang terbatas. Untuk itu kegiatan wisata yang dilakukan pada pulau kecil harus difokuskan pada pengelolaan sumber daya dimana semua persyaratan ekonomi, sosial dan estetika terpenuhi, sekaligus menghormati integritas budaya, proses penting ekologi, dan keanekaragaman hayati (Oyola et al. 2012).

Terkait dengan hal tersebut, pelaksanaan wisata di gugus Pulau Sapeken selanjutnya harus diketahui seberapa besar pemanfaatan sumberdaya yang diperlukan. Melalui rekam jejak ekologi untuk wisata, akan diketahui seberapa besar luasan lahan produktif yang dibutuhkan dan dikonsumsi sekaligus limbah yang dihasilkan dari kegiatan wisata pada suatu tempat dan waktu tertentu (Huiqin and Linchun 2011). Adapun hasil perhitungan rekam jejak ekologi untuk wisata di gugus Pulau Sapeken di tampilkan pada Tabel 64.

Gambar 22 Proporsi rekam jejak ekologi untuk komunitas di gugus Pulau Sapeken

123

Tabel 64 Rekam jejak ekologi untuk wisata di gugus Pulau Sapeken (gha/kapita)

No Pulau TEF makanan TEF akomodasi

TEF transportasi TEF aktifitas Jakarta Bali 1 Pagerungan Besar 1.35 x 10-4 4.29 x 10-4 4.20 x 10-2 1.71 x 10-3 1.24 x 10-1 2 Pagerungan Kecil 1.87 x 10-4 4.29 x 10-4 4.20 x 10-2 1.68 x 10-3 1.13 x 10-1 3 Paliat 1.62 x 10-5 4.29 x 10-4 4.57 x 10-2 5.45 x 10-3 1.24 x 10-1 4 Sapangkur Besar 5.34 x 10-5 4.29 x 10-4 4.19 x 10-2 1.60 x 10-3 1.24 x 10-1 5 Sapeken 1.23 x 10-5 4.29 x 10-4 4.18 x 10-2 1.52 x 10-3 1.13 x 10-1 6 Saor 1.93 x 10-5 4.29 x 10-4 5.18 x 10-2 1.15 x 10-2 1.13 x 10-1 7 Sepanjang 8.49 x 10-6 4.29 x 10-4 4.19 x 10-2 1.64 x 10-3 1.24 x 10-1

Tabel 64 Rekam jejak ekologi untuk wisata di gugus Pulau Sapeken (gha/kapita) (lanjutan)

No Pulau TEF sampah TEF air TEF purchase TEF hiburan

1 Pagerungan Besar 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 2 Pagerungan Kecil 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 3 Paliat 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 4 Sapangkur Besar 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 5 Sapeken 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 6 Saor 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 7 Sepanjang 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2

Rekam jejak ekologi untuk wisata pada wilayah gugus Pulau Sapeken dihitung berdasarkan kebutuhan terhadap makanan, akomodasi, transportasi, aktifitas, air, purchases, hiburan dan sampah yang dihasilkan. Proporsi kemampuan tiap pulau kecil pada gugus Pulau Sapeken berbeda dalam menyediakan kebutuhan kegiatan wisata (Gambar 23).

Berdasarkan komponen kebutuhan yang dihitung dalam Rekam jejak ekologi untuk wisata di tiap pulau kecil pada gugus Pulau Sapeken (Tabel 58) menunjukkan bahwasanya kebutuhan terkait aktifitas dan sarana hiburan sebagai kebutuhan yang paling besar dibandingkan dengan komponen kebutuhan wisata lainnya.

Tujuan utama dari kegiatan wisata adalah melihat pemandangan dan perjalanan. Perhitungan komponen sightseeing atau visiting meliputi energi yang dibutuhkan sekaligus penggunaan lahan untuk konstruksi pendukung kegiatan wisata (wisata selam, snorkeling, pancing, mangrove dan pantai). Selanjutnya, berdasarkan energi yang dibutuhkan kegiatan wisata selam dan snorkeling sebagai adventure tourism yang membutuhkan ketrampilan khusus, memiliki kebutuhan energi terbesar dibandingkan jenis wisata lainnya. Kebutuhan energi tiap kegiatan wisata didasarkan atas kebutuhan energi (direct energy) dan infrastruktur yang dibutuhkan (indirect energy) untuk melakukan aktifitas wisata.

124

Pengembangan wisata berbasis alam bertumpu utamanya pada kualitas sumberdaya yang dijadikan daya tarik, juga dipengaruhi oleh penyediaan sarana hiburan. Sumberdaya merupakan dasar bagi pengembangan atraksi wisata. sumberdaya. Jika sumberdaya tidak ada, maka atraksi wisata tidak akan berlangsung. Kualitas wisata diukur dari atraksi wisata yang ditawarkan. Lebih lanjut Pigram (1983) menjelaskan bahwasanya aktifitas dan atraksi wisata merupakan inti dari produk wisata. Perjalanan wisata biasanya tidak hanya digunakan untuk melakukan aktifitas wisata tertentu namun juga untuk bertujuan menikmati atraksi yang khas.

Untuk dapat menunjang hal tersebut gugus Pulau Sapeken perlu dilengkapi dengan fasilitas dan infrastruktur yang menunjang kegiatan wisata yang akan dikembangkan. Gugus Pulau Sapeken belum memiliki fasilitas dan infrastruktur yang memadai dalam menunjang kegiatan wisata kecuali infrastrukur transportasi berupa pelabuhan. Infrastruktur umum (kesehatan, telekomunikasi dan lainnya) yang memadai hanya terdapat di Pulau Sapeken. Kurangnya atau tidak adanya fasilitas dan infrastruktur bagi kegiatan wisata inilah yang menyebabkan rekam jejak ekologi untuk komponen aktifitas dan komponen hiburan sebagai kebutuhan terbesar, selain faktor aktifitas energi dari kegiatan wisata yang akan dikembangkan. Penilaian terhadap penggunaan energi dalam pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken selanjutnya dapat digunakan dalam menilai dampak yang mungkin timbul terhadap lingkungan sekaligus dasar bagi pengembangan wisata yang berkelanjutan.

125

c. Agregat rekam jejak ekologi (ecological footprint) Gugus Pulau Sapeken Agregat rekam jejak ekologi (EF) seperti yang dijelaskan oleh Castelani and Sala (2012) merupakan hasil komparasi agregat biokapasitas (biokapasitas energi dan biokapasitas sumberdaya) dengan agregat rekam jejak ekologi (rekam jejak ekologi komunitas dan rekam jejak ekologi wisata). Hasil dari agregat rekam jejak ekologi akan selain merepresentasikan dampak dari aktifitas wisata pada suatu kawasan juga merepresentasikan jumlah pengguna (populasi dan komunitas) yang dapat didukung oleh barang dan jasa yang diberikan bagi kegiatan wisata yang akan dikembangkan gugus Pulau Sapeken. Adapun agregat EF gugus Pulau Sapeken untuk pemanfaatan ekowisata disajikan pada Tabel 65.

Tabel 65 Agregat biokapasitas dan rekam jejak ekologi di gugus Pulau Sapeken

Pulau

Biokapasitas (gha/capita/tahun)

Energi Sumberdaya Total

Pagerungan Besar 3.01 x1010 6.40 x1002 3.01 x1010 Pagerungan Kecil 2.21 x1010 1.38 x1001 2.21 x1010 Paliat 8.73 x1011 2.35 x1004 8.73 x1011 Sapangkur Besar 4.49 x1008 1.16 x1004 4.49 x1008 Sapeken 1.09 x1008 0.87 x1001 1.09 x1008 Saor 2.91 x1008 1.85 x1001 6.60 x1008 Sepanjang 5.46 x1011 4.51 x1004 5.46 x1011

Tabel 65 Agregat biokapasitas dan rekam jejak ekologi di gugus Pulau Sapeken (lanjutan)

Pulau

Rekam jejak ekologi (gha/capita/tahun)

Komunitas Wisata Total

Pagerungan Besar 1.56 x1006 7.35 x1001 1.56 x1006 Pagerungan Kecil 1.57 x1006 6.96 x1001 1.57 x1006 Paliat 9.10 x1005 7.62 x1001 9.11 x1005 Sapangkur Besar 1.62 x1006 7.34 x1001 1.62 x1006 Sapeken 1.89 x1006 6.95 x1001 1.89 x1006 Saor 5.35 x1005 7.67 x1001 5.36 x1005 Sepanjang 2.22 x1006 7.34 x1001 2.22 x1006

Hasil analisa agregat biokapasitas dan rekam jejak ekologi di gugus Pulau Sapeken (Tabel 65) jika dibandingkan menunjukkan bahwa nilai biokapasitas di gugus Pulau Sapeken lebih besar dari nilai rekam jejak ekologi (BC > EF). Kondisi ini mengindikasikan dengan adanya pengembangan kegiatan wisata (wisata selam, snorkeling, pancing, mangrove dan pantai), lingkungan gugus Pulau Sapeken masih dapat menyediakan ruang dan sumberdaya bagi wisata secara berkelanjutan. Lebih lanjut WWF (2000) mensyaratkan adanya ruang yang diperuntukkan bagi keberlangsungan perlindungan biodiversitas sebesar

126

12 % dari biokapasitas yang ada pada suatu kawasan. Sedangkan pengguna (populasi dan komunitas) yang dapat didukung oleh barang dan jasa yang diberikan bagi kegiatan wisata yang akan dikembangkan gugus Pulau Sapeken diperoleh dengan membagi total biokapasitas dengan total jejak rekam ekologi (Tabel 66).

Tabel 66 Komparasi nilai total biokapasitas dan nilai total rekam jejak ekologi

Pulau Total Biokapasitas (-12%) Total rekam jejak ekologi Total BC / Total

EF (capita/th)

(Total BC) gha/capita/th (Total EF) gha/capita/th

Pagerungan Besar 2.65 x 1010 1.56 x 1006 1.69 x 1004 Pagerungan Kecil 1.94 x 1010 1.57 x 1006 1.24 x 1004 Paliat 7.68 x 1011 9.11 x 1005 2.44 x 1005 Sapangkur Besar 3.95 x 1008 1.62 x 1006 2.44 x 1002 Sapeken 9.55 x 1007 1.89 x 1006 5.05 x 1001 Saor 2.56 x 1008 5.36 x 1005 1.08 x 1003 Sepanjang 4.81 x 1011 2.22 x 1006 2.17 x 1005

Nilai perbandingan total total biokapasitas dengan total ecological footprint pada Tabel 66, merupakan asumsi kemampuan dari tiap pulau kecil yang ada di gugus Pulau Sapeken untuk menampung dan memenuhi kebutuhan wisatawan dalam melakukan aktifitas wisata. Jumlah wisatawan terbesar berdasarkan penilaian terdapat di Pulau Paliat (244 000 orang/tahun) dan Sepanjang (217 000 orang/tahun) dan terkecil ada di Pulau Sapeken (50,5 orang/tahun). Nilai daya dukung tersebut diasumsikan sebagai batasan jumlah total wisatawan untuk semua jenis wisata yang akan dikembangkan pada kurun waktu tertentu sekaligus dipenuhi segenap kebutuhan dalam melakukan kegiatan wisata.

Jumlah pengunjung atau wisatawan yang dapat ditampung sebagai representasi daya dukung pulau kecil bagi kegiatan wisata sangat dipengaruhi oleh kondisi eksisting yang ada, berupa luas wilayah, jumlah penduduk dan kondisi sumberdaya. Dibandingkan dengan pulau kecil lainnya pada gugus Pulau Sapeken, Pulau Paliat dan Pulau Sepanjang memiliki kondisi eksisting yang baik,ditunjukkan dengan status ketersediaan (budgets) jasa ekosistem meliputi estetika, biodiversity, budaya, ekonomi, keberlanjutan hidup, pembelajaran, rekreasi dan spiritual (Tabel 12 dan 18) masih diatas pemanfaatan yang ada. Kondisi tersebut merupakan indikator bahwasanya natural capital asset yang dimiliki Pulau Paliat dan Pulau Sepanjang masih memungkinkan untuk dimanfaatkan.

Dikaitkan dengan perencanaan kegiatan wisata, MacLeod and Cooper, (2005) menjelaskan daya dukung didasarkan atas tiga aspek yaitu : 1) daya dukung fisik, mengacu pada batasan ruang, yaitu jumlah kegiatan pada suatu

127

daerah dapat berlangsung melalui ketersediaan infrastruktur sebelum terjadi perubahan kualitas; 2) daya dukung sosial, mengacu pada kepadatan populasi manusia suatu daerah yang dapat berlanjut sebelum terjadi penurunan karena penuruan kenyamanan secara aktual; 3) kapasitas dukung ekonomi mengacu pada sejauh mana suatu daerah dapat menjadi berubah sebelum barang ekonomi dan jasa terpengaruh. Terkait dengan daya dukung fisik, gugus Pulau Sapeken belum dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan wisata yang menunjang bagi pengembangan kegiatan wisata seperti information centre, tour and travel operations, fasilitas keamanan umum dan transportasi akses dari dan menuju kawasan wisata yang memadai. Untuk daya dukung sosial dan ekonomi, gugus Pulau Sapeken masih memungkinkan untuk dikembangkan kegiatan wisata, berdasarkan kemampuan dalam menyediakan ruang dan sumberdaya bagi masyarakat lokal dan wisata secara berkelanjutan (Tabel 63 dan 64).