• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Kesiapan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak

2. Kesiapan Mental

Kesiapan mental anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan terkait dengan pembinaan mental yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan perkembangan diri anak didik sebagai seorang remaja. Menurut Gultom (2008), pembinaan mental dilakukan dengan tujuan untuk

menangani perasaan bersalah, merasa diatur, dan kurang biasa mengontrol emosi, merasa rendah diri yang diharapkan secara bertahap mempunyai keseimbangan emosi selepas keluar dari Lembaga Pemasyarakatan bagi remaja. Hal tersebut dikemukakan dapat ditangani melalui pembinaan mental yang bertujuan agar anak didik dapat menangani rasa frustasi melalui kegiatan keagaaman sesuai dengan agama dan kepercayaannya, menanamkan rasa percaya diri, menghilangkan rasa cemas dan gelisah.

Bila meninjau dari masa perkembangan anak didik sebagai seorang remaja, maka pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan terkait dengan masa perkembangan mental dirinya sebagai seorang remaja. Dalam segi kematangan emosional sebagai salah satu bagian dari kesiapan mental bagi anak didik untuk menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, Hurlock (2004:213) mengemukakan beberapa aspek kematangan emosi menurut bagi remaja, diantaranya:

1) Remaja tidak meledakkan emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima.

2) Remaja menilai situasi kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak- anak.

3) Remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain.

Menurut Mayer (Goleman, 2000: 65-66), remaja cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, di antaranya:

Peka terhadap suasana hati ketika mengalaminya, memiliki kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional. Kejernihan pikiran mereka tentang emosi melandasi ciri-ciri kepribadian lain: mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya baik, dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan.

2) Tenggelam dalam permasalahan

Mereka adalah orang-orang yang seringkali merasa dikuasai oleh emosi dan tidak berdaya untuk melepaskan diri seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil kekuasaan. Mereka kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang jelek, mereka tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional dan seringkali merasa kalah dan secara emosional lepas kendali.

3) Pasrah

Peka akan apa yang mereka rasakan, cenderung menerima begitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk mengubahnya. Ada dua cabang jenis pasrah, yaitu mereka yang terbiasa dalam suasana hati yang menyenangkan, dan dengan demikian motivasi untuk mengubahnya rendah dan mereka yang kendati peka akan perasaannya, rawan terhadap suasana hati yang jelek tetapi menerimanya dengan sikap tidak hirau, tidak melakukan apapun untuk mengubahnya meskipun tertekan.

Dalam hal ini, Nurihsan, Agustin (2011) mengemukakan bahwa faktor lain yang menyebabkan meningginya emosi remaja, karena adanya tekanan sosial, menghadapi kondisi dan lingkungan baru, dan kurang mempersiapkan

diri untuk menghadapi keadaan dan lingkungan baru tersebut. Anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan remaja yang diarahkan melalui pembinaan yang dijalankan untuk mengenali lingkungan barunya dalam upaya perubahan dan perbaikan diri menuju ke arah yang lebih baik dalam sebuah proses pembinaan bersama lingkungan sosial barunya.

Bila meninjau atas dasar pemahaman Maslow (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992), sikap penerimaan diri bagi anak didik adalah sikap positif terhadap diri sendiri, sehingga ia dapat menerima keadaan dirinya dengan segala kelebihan dan kekurangan diri. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, maka anak didik diharapkan dapat menangani rasa frustasi dengan adanya rasa penerimaan diri oleh karena sudah bisa merasa mengatur diri atas perasaan bersalah, malu, rendah diri, dan kecemasan akan penilaian dari orang lain terhadap dirinya. Dalam hal ini, rendah diri sebagai salah satu hal yang menggambarkan belum adanya penerimaan diri anak didik akan dirinya sendiri juga merupakan hal yang berhubungan dengan kepercayaan diri anak didik ketika akan kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat. Kepercayaan diri anak didik ketika akan menghadapi masyarakat, baik dalam bentuk tanggapan yang positif ataupun negatif merupakan hal yang menggambarkan kepercayaan diri anak didik. Sebagaimana dikemukakan oleh Lauster (1978) bahwa ketergantungan terhadap penilaian orang lain merupakan salah satu ciri dari orang yang kurang percaya diri.

Bila meninjau dalam hal kemampuan anak didik untuk menangani rasa cemas, Shinkfield (2010) mengemukakan bahwa seorang narapidana akan merasa berkurang tingkat kecemasannya jika selama masa pembinaan mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan hal yang membuat dirinya cemas dan akan berpengaruh terhadap kesiapan dirinya untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat. Kecemasan akan menjadi salah satu dampak dari

adanya komunikasi interpersonal dalam diri anak didik yang terganggu. Perasaan akan rendah diri dan memiliki pandangan negatif terhadap dirinya sendiri menandakan rendahnya kesiapan dari anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat menjelang masa pembebasan nanti. Bila kesiapan mental bagi anak didik kurang dalam hal penanganan kecemasan, maka hal ini akan menjadi salah satu hal yang menghambat kemampuan sosial anak didik untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupan bermasyarakat. Atas penelaahan lebih lanjut, Hawari (2001) mengemukakan beberapa ciri gejala seseorang yang mengalami kecemasan diantaranya:

1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung

2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut; 3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang;

4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan;

5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat

6. Keluhan-keluhan somatic, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala, dan lain sebagainya.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui bahwa kesiapan mental bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan terkait dengan kematangan emosional, penanganan diri melalui aktivitas spiritual dan pemenuhan kebutuhan sosial, kepercayaan diri, dan kecemasan dirinya dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Hal ini perlu untuk ditinjau ketika anak didik akan menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat dengan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat yang berbeda selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

Dokumen terkait