PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL
KASUS PROSES INTEGRASI
ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKAT
Sumber Ilustrasi http://www.bijaks.net/
PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL
KASUS PROSES INTEGRASI
ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKAT
DYANA C. JATNIKA SANTOSO TRI RAHARJO
NANDANG MULYANA
ISBN: ________________________
Judul Buku:
PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL
KASUS PROSES INTEGRASI ANAK DIDIK LPKA KE
MASYARAKAT
Penulis:
DYANA C. JATNIKA SANTOSO T. RAHARJO NANDANG MULYANA
Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang Tlp. (022) 843 88812
Website: lppm.unpad.ac.id Email: press@unpad.ac.id Bandung 45363
1 Jilid, B5 (JIS); 141 hlm, Cetakan pertama 2016 ISBN: ________________8
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’ alamiin, segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan dengan rasa syukur yang tak henti-hentinya atas segala nikmat, keberkahan, ridho, dan pertolongan Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan buku sebagai sebuah karya dan apresiasi terhadap penulis selaku mahasiswa Program Studi Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran dan pemuda Indonesia. Sholawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, serta sehabatnya.
Pada penulisan buku, penulis bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat (studi kasus pada anak didik residivis dengan 1/3 (sepertiga) sisa masa tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Penelitian ini didasarkan atas problematika kenakalan remaja yang saat ini bukan hanya meningkat jumlahnya, namun faktanya terdapat kasus yang dikenai terhadap anak didik residivis. Residivis anak adalah anak didik yang telah menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak namun melakukan tindak pidana atau perilaku menyimpang serupa kembali selepas menjalani masa pembebasan. Dalam hal ini, penting kiranya untuk meninjau kembali mengenai kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, dalam kaitannya dengan proses pembinaan yang telah ia jalani di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan masa perkembangannya sebagai seorang remaja. Kesiapan bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak ditinjau atas tiga hal utama, yaitu kesiapan fisik, kesiapan mental, dan kesiapan sosial.
Penyelesaian bukuyang penulis beri judul : Kesiapan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak Dalam Menghadapi Proses Integrasi ke Dalam Masyarakat (Studi Kasus Pada Anak Didik Residivis dengan 1/3 (sepertiga) Sisa Masa Tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung), tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik dari pihak civitas akademika Universitas Padjadjaran, pihak lembaga yang menjadi lokasi penelitian, maupun rekan-rekan penulis.
Untuk itu, pada kesempatan ini ingin sekali penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
2. Ibu Dr. Risna Resnawati, S.Sos., M.Si. selaku Penunjang Teknis Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD atas segala saran, nasihat, dukungan, dan bimbingannya selama masa perkuliahan.
3. Bapak Dr. Nandang Mulyana, Drs. M.Si, selaku dosen pembimbing atas segala saran, nasihat, dukungan, bimbingan, serta waktunya mulai dari proses awal bukusampai proses penyelesaian akhir bukuini.
4. Bapak Dr. Soni Akhmad Nulhaqim, S.Sos., M.Si dan Bapak Hadiyanto
Abdul Rachim, S.Sos., M.Ikom yang telah banyak memberikan kesempatan penulis untuk mendapat berbagai kesempatan menimba ilmu di luar perkuliahan yang sangat berguna bagi diri penulis sendiri. 5. Bapak Dr. Hery Wibowo, S.Psi., M.Si., yang telah memberikan banyak
dukungan dan kesempatan untuk memiliki pengalaman selama masa perkuliahan.
6. Ibu Meilany Budiarti, S.Sos., S.H., M.Si dan Ibu Dr. Nurliana Cipta Apsari, S.Sos., MSW yang telah banyak memberikan kesempatan penulis untuk mendapat ilmu lebih di luar perkuliahan yang sangat berguna bagi diri penulis sendiri dan selalu menjadi tempat bagi penulis dalam berdiskusi semasa perkuliahan. Terima kasih atas saran, nasihat, dukungan, dan bimbingannya selama ini.
7. Seluruh staff dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD yang banyak memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama perkuliahan. Terima kasih atas waktu dan ilmu bermanfaat yang telah diberikan.
8. Seluruh staff Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD, Ibu Utuy, Bapak Wawan, Bapak Agus, terima kasih atas segala bantuan dan kesabarannya selama ini.
9. Ibu Titin, Bapak Denih, serta seluruh staf pada Sub Bagian Akademik FISIP Universitas Padjadjaran. Terima kasih atas bantuannya selama ini.
10.Ibu Catur Budi Fatayatin, selaku Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk mengadakan penelitian serta atas semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan.
11.Bapak Roni, Ibu Theresiana, Ibu Gina, Ibu Nia, Ibu Nurul, Ibu Siti beserta seluruh petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Terima kasih atas segala bantuan, doa, dukungan, waktu, dan keikhlasannya dalam membantu penulis menyelesaikan bukuini.
Pada kesempatan ini pula, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
ucapkan setinggi-tingginya kepada beliau agar selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT.
2. Dimas Dwiki Jatnika, selaku adik penulis yang tiada hentinya memberikan dukungan dan doa kepada penulis.
3. Keluarga Besar Rusman Dyana dan Djono Kartadinata. Terima kasih atas bantuan doa dan dukungan selama ini.
4. Sahabat penulis, Viqa, Yulinda, Betha, Nadia, Venty, Dessy, Ajeng, Stefanie, Susan, Gilang, Wandi, Septiar, Panji, Uga, Fadhil, Ipit, Vatra, Intan, Mira, Adi terima kasih atas doa dan dukungan yang tiada henti selama menjalani masa perkuliahan sampai akhir masa perkuliahan. 5. Keluarga besar KS 2012, Iqbal, Ami, Fiki, Wandi, Mutiara, Reza,
Salma, Tira, Yessi, Adam, Apep, Sahlan, Emma, Tomi, Sam, Adit, dan semua teman –teman KS Angkatan 2012 lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
6. Keluarga besar Protokoler FISIP Unpad, Departemen Hima KS Unpad,
BEM FISIP Unpad 2012, Forkomkasi Jawa Barat, Mawapres Unpad 2015, Duta Bahasa Jawa Barat, Putra-Putri Padjadjaran, teman-teman KKNM Desa Majasih, teman-teman Student Exchange Malaysia, Jepang, dan Australia, dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu disini namun tanpa mengurangi rasa terima kasih penulis kepada kalian.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.
Penulis
ABSTRAK
Penelitian ini menggambarkan kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Hal ini akan terkait dengan proses pembinaan fisik, mental, dan sosial yang tengah dijalankan di LPKA serta masa perkembangan anak didik sebagai seorang remaja. Kesiapan bagi anak didik LPKA dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat diantaranya berupa kesiapan fisik, mental, dan sosial. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Teknik penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara mendalam, observasi non-partisipasi, dan studi
dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, kategorisasi data, dan penarikan kesimpulan. Informan dalam penelitian ini berjumlah 13 (tiga belas) orang yang terdiri dari pihak 5 (lima) orang pihak LPKA Kelas II Bandung, 3 (tiga) orang anak didik residivis dengan 1/3 sisa masa tahanan, dan 3 (tiga) orang anggota masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal informan anak didik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal kesiapan fisik, mental, dan sosial anak didik akan saling mempengaruhi. Dalam hal kesiapan fisik, anak didik secara klinis dinyatakan sehat tanpa ada kecacatan tubuh dan gangguan pancaindera sehingga dapat menjalankan aktivitas tanpa alat bantu pertolongan atau penanganan khusus. Dalam hal kesiapan mental, hal yang perlu ditangani diantaranya kecemasan pada anak didik, ketidakstabilan emosi, dan masalah akan kepercayaan diri. Dalam hal kesiapan sosial, anak didik pada umumnya sudah terlibat dalam upaya penyesuaian diri dan sosial melalui kegiatan pembinaan di LPKA, namun hal yang perlu diperhatikan diantaranya kuantitas kunjungan keluarga, keterlibatan anak didik untuk memiliki peran tertentu dalam pembinaan, dan diketahui bahwa anak didik residivis cenderung sulit untuk terlibat dalam partisipasi sosial selepas keluar dari LPKA. Adapun solusi penanganan yang penulis ajukan adalah dalam bentuk pengadaan lembaga pemenuhan kebutuhan sosialisasi bagi mantan narapidana anak: solusi alternatif bagi anak deviasi dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat.
ABSTRAK
This research describe the readiness of children prisoners to face the integration process into society. This will associated with the process of physical, mental, and social development that has been run in children penitentiary and their own development periode as a teenager. The form of readiness of children prisoners to face the integration process into society are the physical, mental, dan social readiness. The research method of this scientific research is descriptive qualitative research. A technique that has been used is case study. Technical data collect used is deep interview, observation non-participation, and the documentation study. Technical data analysis used by the reduction of data, a categorization of data, and the conclusion. The number of informant that used in this research are 13 (threeten) interviewee, they are the staff of LPKA Kelas II Bandung, children prisoners with recidivism cases of 1 / 3 the period, and community members.
The results of this research found that the physical, mental, and social readiness affect each other. In terms of physical readiness, children prisoners clinically healthy without any disability and disorders of body function. Hence, they don’t need anything to help their body function to do ativities. In terms of mental readiness, issues that need to be solved are their anxious feeling, instability emotion, and their own problems would be confidence. In terms of social readiness, children prisoners has generally participate for their individual and social adaptation trough all of development activity that has been run in LPKA, but there are several problems that have to be solved, those are quantity of family visiting, engaging children prisoners in the development activity on LPKA, and to be known that residivist tend to difficult to engage in social participation after out of children penitentiary. Researcher considers that it is needed to make an interamediary for former child prisoners who are just out of prison and are moving to the process of society integr ation. This institution is established separately from the Children P enitentiary and is expected to accommodate former child prisoners after they release from Children Penitentiary, yet they are not able enough to empower themselves in public life and cover all their needs as their effort to face the integration process into society.
DAFTAR ISI
2 REMAJA DAN KENAKALAN REMAJA ... 11
3 KASUS KESIAPAN ANAK DIDIK LPKA DALAM PROSES INTEGRASI KE MASYARAKAT ... 17
A. Pembinaan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak ... 17
B. Kesiapan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak ... 22
1. Kesiapan Fisik ... 24
2. Kesiapan Mental ... 28
3. Kesiapan Sosial ... 32
4 PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL DALAM PENANGANAN ANAK DIDIK LPKA ... 45
5 MODEL PENELITIAN LAPANGAN DALAM KASUS UNTUK ANAK DIDIK LPKA A. Metode Penelitian ... 61
B. Teknik Penelitian ... 63
C. Informan dan Sumber Data ... 64
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 71
1) Teknik Pengumpulan Data ... 71
2) Instrumen Pengumpulan Data ... 73
E. Pengolahan dan Analisis Data ... 74
F. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 75
6 PROSES INTEGRASI ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKAT A. Gambaran Umum Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung ... 79
2) Keterlibatan dan Peran Anak dan Petugas dalam Pembinaan
Fisik di Lembaga Pembinaan Khusus Anak ... 87
3) Tanggapan Masyarakat akan Kesiapan Fisik Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak... 90
C. Kesiapan Mental ... 92
1) Kematangan Emosional Anak Didik ... 92
2) Aktivitas Spiritual Anak Didik ... 95
3) Kecemasan Anak Didik Dalam Menghadapi Proses Integrasi ke Dalam Masyarakat... 97
4) Kepercayaan Diri Anak DidikDalam Menghadapi Proses Integrasi ke Dalam Masyarakat ... 100
5) Keterlibatan dan Peran Anak Didik dan Petugas Dalam Pembinaan mental di Lembaga Pembinaan Khusus Anak ... 104
6) Tanggapan Masyarakat akan Kesiapan Mental Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak... 106
D. Kesiapan Sosial 1) Penyesuaian Sosial Anak Didik ... 107
2) Komunikasi Antara Anak Didik dengan Keluarga ... 111
3) Pemenuhan Kebutuhan Sosial Anak Didik ... 114
4) Keterlibatan dan Peran Anak Didik dan Petugas Dalam Pembinaan Sosial diLembaga Pembinaan Khusus Anak ... 117
5) Tanggapan Masyarakat akan Kesiapan Sosial Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak... 121
7. INTEGRASI ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKAT: SIAP ATAU TIDAK? A. Kesiapan Fisik ... 124
B Kesiapan Mental ... 131
C Kesiapan Sosial ... 143
8 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 161
A. Simpulan ... 161
B. Rekomendasi ... 164
9 MODEL PENINGKATAN KESIAPAN INTEGRASI ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKART DALAM PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL ... 168
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Rentang Usia Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak 6
Tabel 2.1 Fokus Penelitian 68
Tabel 3.1 Tabel Informan 76
Tabel3.2 Identitas Informan 86
DAFTAR DIAGRAM DAN GAMBAR
Diagram 1.1 Jumlah dan Kasus Anak Didik LPKA Kelas II Bandung 4
1
PENDAHULUAN
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah narapidana anak kedua
tertinggi di Indonesia yaitu sebanyak 194 anak (Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, 2015). Dalam hal ini, Komisi Nasional untuk Anak (2011)
melaporkan bahwa angka pelaporan anak berhadapan dengan hukum sebanyak
52% didominasi oleh kasus pencurian, kemudian diikuti dengan kasus lainnya
seperti narkoba, perlindungan terhadap anak, pelanggaran tertib berlalu lintas,
perampokan, dan pembunuhan. Namun, berdasarkan data dari Jurnal Harian
Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung per Maret 2015, faktanya
kasus narapidana anak pada kasus pencurian sebanyak 42,8% dilakukan oleh
pelaku residivis. Fenomena ini membuktikan bahwa kekhawatiran masyarakat
akan residivis narapidana anak (Marlina, 2009) adalah benar adanya.
Pada dasarnya, anak nakal adalah anak yang memiliki perilaku
menyimpang dari norma yang berlaku di masyarakat, bahkan perilaku tersebut
dapat melanggar hukum yang berlaku sehingga anak menyandang status
sebagai narapidana anak. Anak nakal dapat dianggap pula sebagai anak yang
cacat sosial (Kartono, 1981). Berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, pembinaan bagi narapidana anak dilakukan sesuai
dengan konsep pemasyarakatan dengan tujuan untuk memberikan bimbingan
kepada anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak agar memiliki kesiapan
yang baik untuk kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat sebagai seorang
warga negara yang bertanggungjawab. Namun, problematika yang dihadapi
anak residivis. Residivis adalah pelaku kejahatan yang pernah dihukum namun
melakukan tindak kejahatan serupa kembali (kambuhan). Dalam hal ini dapat
ditinjau bahwa anak didik residivis merupakan anak didik yang telah menjalani
masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak namun mengalami
ketidakberhasilan dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat
sehingga kembali lagi melakukan tindak pidana yang menyebabkan dirinya
kembali menyandang status sebagai anak didik Lembaga Pembinaan Khusus
Anak.
Dewasa ini, fenomena anak didik residivis akan terkait dengan kesiapan
diri anak didik untuk menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat selepas
keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Kesiapan diri anak didik
Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke
dalam masyarakat akan dipengaruhi oleh proses pembinaan yang dijalankan di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam kaitannya dengan proses
perkembangan dirinya sebagai seorang remaja. Namun, kesiapan diri anak
didik juga terkait dengan bagaimana anak memiliki kesiapan untuk menjalin
kembali hubungan sosial yang baik dengan masyarakat selepas keluar dari
Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Dalam hal ini, salah satu penyebab
rendahnya kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak untuk
bersosialisasi kembali adalah pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
yang belum efektif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Artyawan (2013), penyelenggaraan program pendidikan keterampilan di
Lembaga Pemasyarakatan hanya memberikan kontribusi terhadap kesiapan
narapidana kembali ke masyarakat hanya sebesar 44,7%. Dengan kata lain,
kesiapan anak sebagai mantan narapidana untuk kembali ke masyarakat lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor lain yaitu sebesar 55,3%. Dalam hal ini,
pembinaan fisik, mental, dan sosial di Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang
masyarakat ditinjau masih tidak berhasil dengan munculnya kasus residivis
anak. Namun, hal ini tidak bisa ditinjau hanya dalam segi pembinaan saja,
melainkan juga meninjau dari berbagai faktor yang mempengaruhi diri anak
untuk memiliki kesiapan termasuk masa perkembangannya sebagai seorang
remaja.
Dalam penelaahan lebih lanjut, Gultom (2008) mengemukakan bahwa
perlakuan terhadap anak berhadapan dengan hukum perlu dibedakan dengan
orang dewasa yang didasarkan atas perbedaan fisik, mental, dan sosial. Hal ini
dapat ditinjau berdasarkan data yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa
mayoritas anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak adalah berusia
remaja. Oleh karena itu, penanganan dalam bentuk pembinaan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak perlu diperhatikan secara khusus bagi anak dalam
tahap perkembangannya secara fisik, mental, dan sosial, sebagai upaya untuk
mempersiapkan anak kembali ke kehidupan bermasyarakat sesuai dengan
konsep pemasyarakatan yang tengah dijalankan.
Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung merupakan salah
satu Lembaga Pemasyarakatan pusat bagi anak berhadapan dengan hukum di
Jawa Barat yang mulai beroperasi pada tahun 2013 dalam menangani 7 (tujuh)
kasus dengan jumlah anak didik sebanyak 192 orang dengan tindak pidana
didominasi oleh kasus pencsrian, pembunuhan, perlindungan anak, dan
narkoba (2015). Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa mayoritas anak didik
residivis terdapat pada anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dengan
kasus pencurian dan narkoba. Berikut data yang diperoleh dari Jurnal Harian
Diagram 1.1 Jumlah dan Kasus Anak Didik LPKA Kelas II Bandung
Sumber: Jurnal Harian Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung per Maret 2015
Mayoritas anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak berada pada
rentang usia remaja, yaitu 16-18 tahun. Berdasarkan Undang-Undang No. 11
Tahun 2012, anak didik yang menempati Lembaga Pembinaan Khusus Anak
sudah dibatasi dengan usia maksimal 17 tahun, sedangkan bila lebih dari 17
tahun, anak sudah dapat dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan
Dewasa. Pada masa perkembangan dirinya sebagai seorang remaja, anak didik
Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan mengalami perkembangan dalam
kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1991).
Perkembangan diri anak untuk melewati masa remaja akan dipengaruhi oleh
interaksi sosial dirinya dengan lingkungan fisik dan sosial di sekitarnya. Dalam
hal ini, anak akan menghadapi situasi lingkungan fisik dan sosial yang baru di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan kehidupan bermasyarakat dengan
situasi dan kondisi yang berbeda terhadap dirinya selepas keluar dari Lembaga
Pembinaan Khusus Anak. Bila anak tidak dapat menangani kesenjangan antara
kebutuhan dan kenyataan yang ada, maka kemungkinan akan berdampak
terhadap timbulnya perilaku negatif atau menyimpang.
Pencurian Pembunuhan Perampokan
Kejahatan Ketertiban Asusila
Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa pelaksanaan pembinaan yang
dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung tengah
menjalankan kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan fisik, mental, dan sosial
remaja sebagaimana dikemukakan oleh Gultom (2008). Hal ini didasarkan atas
kebutuhan perkembangan fisik, mental, dan sosial yang berbeda antara anak,
remaja, dan dewasa. Berikut data rentang usia anak didik Lembaga Pembinaan
Khusus Anak berdasarkan Laporan Jurnal Harian Lembaga Pembinaan Khusus
Anak Kelas II Bandung per Agustus 2015:
Tabel 1.1 Rentang Usia Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Umur Jumlah
14 Tahun 6
15 Tahun 24
16 Tahun 44
17 Tahun 76
18 Tahun 33
>18 Tahun 12
Sumber: Jurnal Harian Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung per Agustus 2015
Kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam
menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat akan terkait dengan
persiapan fisik, mental, dan sosial dirinya selama menjalani masa pembinaan di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Kesiapan akan menjadi salah satu faktor
pendukung bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak untuk kembali
beraktivitas sebagai seorang warga negara dalam kehidupan bermasyarakat.
Bila ditelaah lebih lanjut, maka kesiapan yang baik bagi anak didik akan
menjadi salah satu indikator terhadap pengurangan jumlah kasus residivis
(Gultom, 2008). Sebagaimana dikemukakan oleh Kvawarceus (1964) bahwa
seharusnya penanganan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak
dan pengakuan bahwa kasus kenakalan remaja merupakan bagian
tanggungjawab dari masyarakat akan usaha pencegahan dan pengawasan
terhadap terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, penting kiranya meninjau
kembali kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam
menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat selepas menjalani masa
pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
Dalam kaitannya dengan profesi pekerjaan sosial, Holil Soelaiman
(1992:12-13) yang dikutip dalam Wibhawa dkk (2010:11) mengemukakan
bahwa salah satu kecenderungan permasalahan sosial diantaranya adalah
meningkatnya jumlah penyandang permasalahan tuna sosial dan penyimpangan
perilaku. Anak berhadapan dengan hukum merupakan salah satu bagian dari
masyarakat yang mengalami disfungsi sosial oleh karena tidak dapat
menjalankan peran sosial sesuai dengan status sosial yang disandangnya
sebagaimana yang diharapkan oleh nilai-nilai dalam masyarakat. Hal ini
kemudian tengah difokuskan oleh Kementrian Sosial Republik Indonesia untuk
melibatkan pekerja sosial professional dalam menangani anak berhadapan
dengan hukum atas dasar menanggapi laporan data dari Direktorat Bimbingan
Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Kementerian Hukum dan HAM yang
mengemukakan bahwa saat ini di Indonesia terdapat 10.000 anak berhadapan
dengan hukum (2015). Dalam hal ini, fenomena anak didik residivis
merupakan salah satu bagian dari ketidakberhasilan anak didik dalam
menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat selepas keluar dari Lembaga
Pembinaan Khusus Anak yang bukan hanya disebabkan oleh anak didik secara
individu melainkan juga melibatkan hubungan sosial dirinya dengan
lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan pemaparan masalah di atas mengenai pentingnya kesiapan
maupun sosial dalam kaitannya dengan proses perkembangan dirinya sebagai
seorang remaja ketika menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak, khususnya untuk menghadapi proses integrasi ke dalam
masyarakat, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mendalam
mengenai kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam
menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, khususnya bagi anak didik
di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung sebagai salah satu
Lembaga Pembinaan Khusus Anak Pusat bagi anak berhadapan dengan hukum
di Jawa Barat. Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung dapat
dijadikan objek penelitian dalam hal ini, sebab selain menerapkan prinsip
pembinaan yang didasarkan atas perkembangan fisik, mental, dan sosial anak
didik, Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung juga merupakan
salah satu lembaga pembinaan pusat bagi seluruh anak didik berhadapan
dengan hukum di Jawa Barat yang telah menjalankan beberapa jenis program
kegiatan pembinaan sesuai dengan konsep pemasyarakatan, sehingga dapat
dilakukan penelitian mendalam mengenai kesiapan anak didik dalam
menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Selain itu, penelitian ini
difokuskan kepada anak didik residivis yang tengah menjalankan 1/3 sisa masa
tahanan dengan tujuan agar mendapatkan informasi secara langsung dari anak
mengenai kesiapan dirinya selama menjalani masa pembinaan hingga tengah
menjalani masa pembinaan untuk dipersiapkan kembali ke dalam
bermasyarakat dan didasarkan atas pengalaman dirinya sebagai anak didik
residivis guna mengetahui hal-hal yang kiranya berhubungan dengan kesiapan
dirinya menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat.
Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan anak didik Lembaga
Pembinaan Khusus Anak dan hubungannya dengan proses integrasi ke dalam
masyarakat. Diantaranya Gusef (2011), melakukan penelitian mengenai
ini adalah untuk mengetahui mengenai adaptasi mantan narapidana di dalam
kehidupan masyarakat dan pandangan masyarakat terhadap keberadaan mantan
narapidana di lingkungannya. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan
subjek penelitian yaitu mantan narapidana yang terpidana diatas lima tahun.
Hasil penelitian mengemukakan bahwa cara beradaptasi setiap mantan
narapidana dalam masyarakat berbeda-beda, tergantung pada tindakan kriminal
yang pernah dilakukan dan lingkungan sosial dimana mereka tinggal, ada yang
berupaya membaur dalam setiap acara sosial di masyarakat, adapula yang
justru menghindar keluar dari lingkungan sosialnya. Stigmatisasi dari
masyarakat adalah salah satu hal yang menghambat resosialisasi diri mereka
kembali di masyarakat. Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh
Artyawan (2013), dalam penelitiannya terkait dengan pengaruh program
pendidikan keterampilan terhadap kesiapan narapidana kembali ke masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan
program pendidikan keterampilan bagi narapidana dan mengetahui kesiapan
narapidana kembali ke masyarakat. Penelitian dilakukan dengan metode
kuantitatif dengan jumlah sampel sebanyak 49 orang. Adapun metode
pengumpulan data yang digunakan melalui kuesioner, dokumentasi, dan
observasi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa program pendidikan
keterampilan berjalan baik dengan presentase 40,82%. Sedangkan kesiapan
narapidana mendapatkan kategori tinggi dengan presentase 38,78%.
Berdasarkan pemaparan tentang penelitian yang telah dilakukan di atas,
dapat diketahui bahwa penelitian tentang adaptasi mantan narapidana dan
pengaruh program pendidikan keterampilan terhadap kesiapan narapidana
kembali ke masyarakat sudah diketahui. Namun, kesiapan anak didik Lembaga
Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam
masyarakat belum diketahui melalui penelitian. Maka, melalui kajian ini,
permasalahan terkait dengan Kesiapan Anak Didik Lembaga Pembinaan
Khusus Anak Dalam Menghadapi Proses Integrasi ke Dalam Masyarakat
(Studi Kasus Pada Anak Didik Residivis Dengan 1/3 (sepertiga) Sisa Masa
Tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung).
Berdasarkan uraian pokok permasalahan tersebut, serta untuk
mengetahui lebih dalam, mempelajari, dan menggambarkan kesiapan diri anak
didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi
ke dalam masyarakat dalam kaitannya dengan proses pembinaan yang
dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan perkembangan diri anak
didik sebagai seorang remaja.kemudian coba diturunkan menjadi sejumlah isu
berikut, yaitu :
1) Bagaimana kesiapan fisik anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak
dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat?
2) Bagaimana kesiapan mental anak didik Lembaga Pembinaan Khusus
Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat?
3) Bagaimana kesiapan sosial anak didik Lembaga Pembinaan Khusus
Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat?
Sedangkan tujuan yang akan diperoleh dari kajian ini adalah Untuk
mengetahui dan menggambarkan kesiapan fisik, kesiapan mental dan kesiapan
sosial anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses
integrasi ke dalam masyarakat.
Kegunaan dari penulisan buku dapat berdampak secara teoritis maupun
secara praktis. Secara praktis kegunaan penulisan buku ini untuk
pengembangan konsep-konsep yang berhubungan dengan profesi Pekerjaan
Sosial, khususnya Pekerja Sosial Koreksional terkait dengan masalah anak
didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Selain itu diharapkan dapat
fenomena sosial mengenai anak berhadapan dengan hukum, khususnya dalam
kasus residivis. Lebih jauh lagi menjadi bahan informasi dan atau bahan
pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang menyangkut Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menangani
kesiapan anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat.
Kemudian secara praktis semoga penulisan buku ini akan memberikan
gambaran mengenai kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak
menuju proses integrasi ke dalam masyarakat, guna peninjauan kembali
efektivitas pelaksanaan pembinaan terhadap anak didik Lembaga Pembinaan
Khusus Anak dengan 1/3 sisa masa tahanan. Kemudian dapat memberikan
gambaran mengenai kondisi diri anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak
dengan 1/3 sisa masa tahanan, guna peninjauan kembali mengenai metode
assesment yang digunakan sebagai salah satu dasar dalam pelaksanaan
pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Secara
khusus akan memberikan gambaran mengenai kondisi kesiapan anak didik
Lembaga Pembinaan Khusus Anak, baik secara fisik, mental, dan sosial,
menjelang masa pembebasan dalam kaitannya dengan kasus residivis, sehingga
diharapkan dapat menjadi pedoman dalam peninjauan kembali tingkat kesiapan
anak sebelum menjalani masa pembinaan asimilasi, baik bagi pihak Lembaga
Pembinaan Khusus Anak, pemerintah dalam hal penyusunan kebijakan,
2
REMAJA DAN KENAKALAN REMAJA
Masa remaja adalah suatu tahap perkembangan dimana terjadi masa
peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Hurlock (1991) mengemukakan
bahwa masa remaja (adolescene) memiliki makna yang lebih luas mencakup
kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Hal ini didukung oleh Piaget
(dalam Hurlock, 1989) yang mengemukakan bahwa secara psikologis masa
remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa,
usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih
tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam
masalah hak. Dalam hal ini, dapat ditinjau bahwa remaja memiliki kebutuhan
akan pemenuhan hak sesuai dengan perkembangannya yang meliputi aspek
fisik, mental, maupun sosial dirinya. Lebih lanjut, Hill (1983) mengemukakan
bahwa terdapat tiga hal yang membedakan remaja dari kelompok usia lainnya,
diantaranya diawali dengan kemunculan pubertas, berkembangnya kemampuan
berpikir, dan pergeseran menuju peran baru dalam masyarakat dimana
perubahan dalam perkembangan seorang remaja merupakan merupakan hasil
dari proses biologis (fisik), kognitif, dan sosial yang saling terkait dan
mempengaruhi.
Bila meninjau dari segi rentang usia, Sarwono (2006) menyatakan
bahwa batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah seseorang pada
pada usia 11 tahun, seseorang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda seksual
sekunder, memiliki kriteria sosial sehingga dianggap bukan lagi anak-anak oleh
adat dan agama, dan mulai adanya tanda-tanda penyempurnaan perkembangan
diri. Sedangkan, Monks (1999) mengemukakan bahwa remaja adalah individu
yang memiliki rentang usia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami
peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Monks (1999) membagi
remaja ke dalam beberapa bagian, diantaranya remaja awal (12-15 tahun),
remaja pertengahan (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun). Dalam hal
ini, diketahui bahwa setiap pembagian dari masa remaja memiliki karakteristik
perkembangan tersendiri yang juga akan menentukan pemenuhan hak yang
diperlukan oleh seorang remaja. Berikut merupakan karakteristik setiap bagian
masa remaja yang akan menentukan proses perkembangannya menuju
kedewasaan (Monks, 1999):
1) Remaja awal (12-15 tahun)
Pada tahap ini, remaja masih merasa heran terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan yang menyebabkan
perubahan tersebut. Pengembangan akan pikiran baru, ketertarikan pada
lawan jenis dengan cepat dan mudah terangsang ecara erotis. Kepekaan
berlebihan ini menyebabkan pengendalian terhadap ego berkurang dan
remaja dalam kondisi sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.
2) Remaja Pertengahan (15-18 tahun)
Kebutuhan akan keberadaan teman-teman merupakan salah satu hal
yang menjadi karakteristik remaja pada tahap ini. Begitupula dengan
munculnya sifat narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara
menyukai teman-teman yang memiliki sifat yang sama dengan dirinya.
Pada tahap ini, remaja akan dilanda rasa kebingungan untuk
untuk bersifat terbuka atau tertutup terhadap lingkungan sekitar,
optimis atau pesimis, dan lain sebagainya.
3) Remaja Akhir (18-21 tahun)
Pada tahap ini, remaja semakin mendekati tahap kedewasaan yang
menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik berupa peningkatan
minat terhadap hal yang bersifat intelek, terbentuknya identitas seksual
yang tidak akan berubah, egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian
pada diri sendiri), adanya dinding pemisah antara diri sendiri dengan
masyarakat.
Mayoritas anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak berada pada
usia remaja dengan rentang usia 16-18 tahun. Pada masa remaja, seseorang
akan mengalami perkembangan baik secara fisik, mental, maupun psikososial.
Dalam hal penerimaan informasi, remaja memiliki pola penerimaan yang
berbeda secara emosional. Dalam rentang usia tersebut, Santrock (2007)
mengemukakan bahwa remaja berada dalam fase storm dan stress, sehingga
penting untuk diperhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan
perkembangan anak baik fisik, psikologis, maupun sosial. Pada kondisi fase
storm dan stress, remaja mengalami masa perkembangan yang penuh dengan
masalah. Lebih lanjut, Erikson (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa
masa remaja adalah masa dimana seseorang sedang dalam tahap pencarian
identitas diri. Dalam hal ini, seorang remaja akan melewati masa remajanya
dengan lingkungan sosial meliputi keluarga, teman sebaya, ataupun masyarakat
umum yang lebih luas baik secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh terhadap setiap kegiatan aktivitas kehidupannya sehari-hari. Lebih
lanjut, Bronfenbenner (1979) mengemukakan bahwa pengaruh psikologis dari
perubahan biologis, kognitif, dan sosial yang terjadi pada seorang remaja
Brown & Larson (Santrock, 2007) mengemukakan pula bahwa masa
remaja peran peer group atau kawan sebaya lebih besar dibandingkan peran
keluarga atau orangtua. Erikson (dalam Santrock, 2007) mengemukakan pula
bahwa peran peer group memegang peranan penting dalam pengembangan
identitas remaja. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa remaja akan cenderung
lebih mudah dipengaruhi oleh teman-teman sebaya, baik dalam hal proses
perkembangan dirinya menuju pencarian identitas diri, maupun seiring dengan
pemenuhan hak dan kebutuhannya dalam perkembangan fisik, mental, dan
sosial dirinya. Bila meninjau dari segi tugas perkembangan diri seorang remaja,
maka Steinberg (1993) menyatakan bahwa memasuki usia remaja, individu
akan mengalami perubahan sosial yang mempengaruhi perkembangan
psikososial remaja tersebut. Dalam hal ini, beberapa hal yang akan berkembang
selama masa perkembangan remaja diantaranya adalah self concept, dimana dia
akan merasa menjadi lebih dewasa dan berpikir serius tentang kehidupannya.
Begitupula dengan kemampuan autonomy atau membuat keputusannya sendiri
atas segala konsekuensi yang telah diperkirakan baik dalam jangka pendek
maupun panjang. Namun, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Erikson
(dalam Santrock, 1998), individu mengalami kebingungan atas perkembangan
menuju pencarian identitas dirinya yang akan berpengaruh terhadap
kemampuan resiliansi remaja. Hal ini didasarkan atas pendapat Wagnild and
Young (1993) bahwa salah satu karakteristik dari resiliensi adalah self-reliance
yaitu pengenalan terhadap kemampuan dan kapasitas diri. Kurangnya
pemahaman remaja akan kualitas baik dan buruk dirinya akan menghambat
resiliensi pada remaja. Resiliensi pada remaja dibutuhkan ketika remaja
dihadapkan pada berbagai tantangan dan ancaman yang ada ketika dirinya akan
kembali menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat.
Anak didik yang sedang menjalani masa pembinaan di Lembaga
melanggar hukum terkait dengan kasus kenakalan remaja. Menurut Gultom
(2008), kenakalan remaja dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku,
perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan
agama, dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam hal ini, kenakalan remaja akan terkait dengan bentuk perilaku
menyimpang dan lingkungan sosial yang membentuknya.
Melalui penelaahan lebih lanjut, kenakalan remaja merupakan salah
satu akibat dari adanya ketimpangan dalam lingkungan sosial yang
membentuknya. Loeber (2013) menyampaikan bahwa salah satu proses yang
membentuk remaja untuk melakukan perbuatan menyimpang diantaranya
faktor pendorong dan resiko sosial yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah,
dan teman sebaya. Lebih lanjut, Loeber (2013) menyampaikan bahwa
diperlukan suatu upaya assesment lebih lanjut mengenai kebutuhan dan resiko
remaja serta rencana intervensi untuk memperbaiki remaja dengan perilaku
menyimpang. Dalam hal ini, pemikiran Loeber (2013) selaras dengan Seiter,
Kadela (2003) bahwa ada ‘dunia baru’ yang akan dimasuki oleh mantan
narapidana. Walaupun pembinaan yang diberikan di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak bertujuan untuk memberikan kesiapan fisik, mental, dan sosial
kepada anak didik, namun hal ini terpisah dari ‘dunia’ yang akan dihadapinya
secara nyata setelah keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Dukungan
keluarga, sumber daya dalam kehidupan bermasyarakat dan ketersediaan
dukungan moral dari masyarakat menjadi hal yang berbeda dan mempengaruhi
proses reintegrasi mantan narapidana anak di tengah kehidupan bermasyarakat.
Keluarga memiliki peranan yang penting dalam hal mendidik anak.
Keluarga merupakan lingkungan primer bagi anak yang akan menentukan
bagaimana anak berkembang dan tumbuh dalam masyarakat. Sebagaimana
pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan tindakan
kenakalan dalam masyarakat dan sering menjurus ke tindakan kejahatan atau
kriminal. Keadaan remaja dalam proses perkembangan ke arah kematangan
dan kemandirian membuat remaja memerlukan bimbingan mengenai
pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya oleh karena juga
belum memiliki pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.
Penuturan lebih lanjut dikemukakan oleh Meliala, Sumaryono (1985)
yang mengemukakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
kenakalan remaja diantaranya adalah faktor lingkungan, faktor ekonomi/sosial,
dan faktor psikologis. Bukan hanya disebabkan oleh faktor lingkungan, namun
kenakalan remaja juga disebabkan oleh ketidakberdayaan remaja untuk
beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dengan cara yang tepat. Hal ini
dikemukakan kemudian oleh Kartono (1995) bahwa kriminalitas itu terjadi
ketika adanya kegagalan dalam sistem pengontrol diri seseorang untuk
menangani aksi-aksi instinktif; juga ketidakmampuan seseorang untuk
mengendalikan emosi dalam dirinya dalam bentuk perbuatan yang bermanfaat.
Oleh karena itu, dapat ditinjau bahwa perilaku menyimpang terjadi bukan
hanya karena ketidakmampuan remaja untuk beradaptasi dengan lingkungan
sosialnya dalam hal pemenuhan hak dan kebutuhan, namun juga dapat ditinjau
dari ketidaktersediaan lingkungan fisik dan sosial yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan dan hak dari remaja tersebut.
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa anak berhadapan dengan hukum
merupakan salah satu bentuk ketidakberdayaan anak dalam menangani
permasalahan baik dalam pribadi dirinya maupun hubungan dengan
lingkungannya. Sebagaimana dikemukakan kembali oleh Gultom (2008),
bahwa remaja dengan perilaku menyimpang merupakan bagian masyarakat
penanganannya perlu perhatian khusus. Kekurangan kematangan fisik, mental,
dan sosialnya, anak membutuhkan perhatian dan bimbingan khusus, termasuk
dalam hal perlindungan hukum. Remaja berhak untuk memperoleh
perlindungan dan dijamin pemenuhan kebutuhan dan haknya dalam upaya
perkembangan dan pertumbuhan dirinya baik secara fisik, mental, maupun
3
KESIAPAN ANAK DIDIK LPKA DALAM
PROSES INTEGRASI KE MASYARAKAT
A. Pembinaan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
merupakan salah satu upaya untuk mempersiapkan anak didik sebagai seorang
warga negara yang akan siap kembali ke kehidupan bermasyarakat sebagai
seorang remaja yang baik dan bertanggungjawab. Pembinaan bagi anak didik
pada dasarnya dijalankan atas konsep pemasyarakatan. Pembinaan juga
difokuskan pada tiga hal utama, yaitu pembinaan fisik, mental, dan sosial.
Menurut Gultom (2008), terdapat empat komponen penting dalam prinsip
pembinaan narapidana anak, diantaranya:
1) Diri Sendiri
Pembinaan yang ada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak harus
dilaksanakan atas dasar kemauan dari anak didik Lembaga Pembinaan Khusus
Anak untuk melakukan suatu perubahan terhadap dirinya ke arah yang lebih
positif. Beberapa hal yang perlu dimiliki oleh seseorang jika ingin melakukan
perubahan diantaranya: kemauan, kepercayaan diri, berani mengambil
Hal tersebut adalah penting mengingat anak didik Lembaga Pembinaan
Khusus Anak sedang menjalani masa pembinaan dengan konsep
pemasyarakatan, sehingga upaya untuk mengenal diri sendiri sebagai langkah
awal perubahan dapat terlaksana atas dasar pengambilan keputusan dirinya
sendiri. Sehingga, setiap pelaksanaan pembinaan dapat dimaknai sebagai
sebuah proses perubahan dan pembelajaran bagi dirinya, bukan hanya sekedar
tuntutan peran dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
2) Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan primer bagi anak didik Lembaga
Pembinaan Khusus Anak sebagai seorang remaja. Hubungan yang harmonis
dengan keluarga diteliti dapat mengurangi jumlah kenakalan remaja (Gultom,
2008). Sehingga, dalam hal ini keluarga memiliki peran penting bagi proses
perubahan diri bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
Hubungan yang harmonis dapat terjaga dengan adanya kunjungan
keluarga. Kualitas dan kuantitas kunjungan keluarga bagi pembinaan sosial
anak didik harus diperhatikan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam
rangka meningkatkan kesiapan anak didik untuk kembali ke kehidupan
bermasyarakat atas dasar asuhan dari keluarga sebagai lingkungan primer.
Kunjungan keluarga juga merupakan salah satu upaya mencegah anak didik
beresiko menjadi residivis atau kembalinya anak ke Lembaga Pembinaan
Khusus Anak karena melakukan tindak kejahatan serupa kembali oleh karena
adanya penolakan dari lingkungan sosial dirinya, salah satunya keluarga.
Dalam hal ini, penentuan kunjungan keluarga dapat didasarkan atas
hasil assesment yang dilakukan oleh wali pemasyarakatan dalam sebuah
catatan kartu pembinaan untuk setiap periode pembinaan yang telah dijalani
dengan rasa kepercayaan diri untuk kembali ke dalam keluarga setelah keluar
dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
3) Masyarakat
Tujuan dari pembinaan yang didasarkan atas konsep pemasyarakatan
adalah untuk memberikan bimbingan kepada anak didik Lembaga Pembinaan
Khusus Anak agar menyadari kesalahan, memperbaiki sikap, tidak mengulangi
tindak kejahatan lagi sehingga diharapkan dapat diterima kembali dalam
kehidupan bermasyarakat. Proses pembinaan yang dijalankan juga sebaiknya
melibatkan partisipasi masyarakat umum sehingga dalam prosesnya
masyarakat dapat mengetahui perkembangan anak didik selama menjalani
pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Hal ini dikemukakan oleh
Alexander, Parsons (1973) atas alasan bahwa mantan narapidana akan
menghadapi kemungkinan kurang berhasilnya untuk masuk kembali dalam
kehidupan bermasyarakat oleh karena aksesibilitas yang rendah dalam bidang
pendidikan, pelatihan, dan dukungan moral dari keberadaan keluarga dan
kerabat.
Atas dasar penelaahan lebih lanjut, keadaan mantan narapidana saat ini
belum mendapatkan penerimaan dan dukungan sosial penuh dari masyarakat
terhadap keberadaan dirinya. Anderson (1990) mengemukakan bahwa kondisi
mantan narapidana dalam kehidupan bermasyarakat akan terhambat oleh
karena disorganisasi dalam keluarga dan masyarakat serta ketidaktersediaan
sumber daya yang mendukung terhadap pemenuhan kebutuhan dan hak bagi
dirinya. Dalam hal ini, anak didik yang memiliki kesiapan yang baik
diharapkan dapat mengetahui norma dan etika dalam kehidupan bermasyarakat
serta memiliki perencanaan hidup sehingga ketika keluar dari Lembaga
Pembinaan Khusus Anak, anak didik dapat termotivasi kembali untuk
4) Petugas
Petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak memiliki peran yang
penting dalam upaya membina anak didik sesuai dengan tujuan dari setiap
tahap pembinaan. Petugas diharapkan dapat mengetahui perkembangan setiap
anak didik untuk setiap bagian tahap pembinaan berdasarkan hasil peninjauan
dari catatan di kartu pembinaan oleh wali pemasyarakatan anak.
Hasil dari pencatataan pada kartu pembinaan dapat menjadi dasar dari
perencanaan pembinaan pada tahap selanjutnya sesuai dengan kebutuhan dan
permasalahan anak yang ada. Seiter, Kadela (2003) mengemukakan bahwa
salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah program reintegrasi yang
memungkinkan bagi mantan narapidana anak untuk kembali ke kehidupan
bermasyarakat atas dasar pengalaman dirinya dari hasil pembinaan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak. Pembinaan yang ada di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak difokuskan menjadi tiga fungsi pembinaan sebagai bentuk pembinaan
mental, fisik, dan sosial (Gultom, 2008). Dalam hal ini, petugas Lembaga
Pembinaan Khusus Anak diharapkan dapat mengetahui perkembangan fisik,
mental, dan sosial anak selama menjalani masa pembinaan sehingga dapat
diketahui upaya penanganan yang tepat sesuai dengan tujuan dari program
asimilasi untuk mempersiapkan anak kembali ke dalam kehidupan
bermasyarakat. Bila ditelaah lebih lanjut, pembinaan dijalankan sebagai salah
satu upaya dalam pengembangan kepribadian remaja untuk menghadapi proses
integrasi ke dalam masyarakat (Nurihsan & Agustin, 2011). Dalam hal ini,
dapat ditinjau bahwa metode pembinaan yang dijalankan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak merupakan salah satu upaya yang perlu ditinjau
pelaksanaannya terkait kesiapan anak didik dalam menghadapi proses integrasi
ke dalam masyarakat sebagai seorang remaja sesuai dengan proses
B. Kesiapan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Gultom (2008) mengemukakan bahwa anak yang melakukan kenakalan
berdasarkan perkembangan fisik, mental, dan sosial mempunyai kedudukan
yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga perlu penanganan
secara khusus. Perhatian terbesar dalam tindakan perlindungan anak adalah
perkembangan anak, agar anak dapat berkembang dan tumbuh dengan baik
dalam berbagai sisi kehidupannya (fisik, mental, dan sosial), yang kemudian
sangat diharapkan dapat menghasilkan kualitas manusia yang ideal. Atas
penelaahan lebih lanjut, Gultom (2008) mengemukakan bahwa pembinaan
yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak pada dasarnya bertujuan
untuk memberikan kesiapan secara fisik, mental, dan sosial terhadap anak.
Dalam hal ini dapat ditinjau bahwa kesiapan diri anak didik dalam menghadapi
proses integrasi ke dalam masyarakat akan terkait dengan perkembangan
dirinya sebagai seorang remaja dalam keadaan fisik, mental, dan sosial yang
berbeda dengan orang dewasa.
Dalyono (2005) mengemukakan bahwa kesiapan adalah kemampuan
yang cukup baik fisik dan mental untuk melakukan suatu kegiatan. Kesiapan
fisik dapat diartikan sebagai suatu kondisi dengan tenaga yang cukup dan
kesehatan yang baik, sedangkan kesiapan mental dapat diartikan sebagai suatu
kondisi dimana seseorang memiliki minat dan motivasi yang cukup untuk
melakukan sesuatu.
Namun, bukan hanya kesiapan mental, Oemar Hamalik (2008)
mengemukakan bahwa kesiapan juga merupakan tingkatan atau keadaan yang
harus dicapai dalam proses perkembangan perorangan pada tingkatan
pertumbuhan mental, fisik, sosial dan emosional. Hal ini selaras dengan apa
pemasyarakatan dimaksudkan untuk memberikan pembinaan mental, fisik, dan
sosial terhadap narapidana.
Berdasarkan kepada definisi di atas, maka peneliti meninjau bahwa
kesiapan bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dapat diartikan
sebagai suatu keadaan atau kemampuan, baik secara fisik, mental, maupun
sosial untuk melakukan suatu kegiatan atau kerja dalam kehidupan
bermasyarakat. Kesiapan seorang anak didik Lembaga Pembinaan Khusus
Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat juga akan
dipengaruhi oleh pengalaman dirinya selama menjalani proses pembinaan
selama masa tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam masa
perkembangannya sebagai seorang remaja. Salah satu tahap pembinaan yang
berfungsi dalam mempersiapkan anak didik untuk menghadapi proses integrasi
ke dalam masyarakat adalah Tahap Asimilasi atau Pembinaan Akhir bagi anak
didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dengan 1/3 sisa masa tahanan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kvawarceus (1964) bahwa seharusnya
penanganan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak difokuskan pada
kesiapan reintegrasi dirinya dalam kehidupan bermasyarakat dan pengakuan
bahwa kasus kenakalan remaja merupakan bagian tanggungjawab dari
masyarakat akan usaha pencegahan dan pengawasan terhadap terjadinya
kejahatan. Oleh karena itu, penting kiranya meninjau kembali kesiapan anak
didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi
ke dalam masyarakat selepas menjalani masa pembinaan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak.
Bila meninjau dari segi aspek-aspek kesiapan, maka Slamento (2010)
mengemukakan bahwa terdapat tiga aspek yang dapat mempengaruhi kesiapan,
diantaranya:
2) Kebutuhan atau motif tujuan
3) Keterampilan, pengetahuan, dan pengertian lain yang telah dipelajari
Slameto juga mengemukakan mengenai prinsip-prinsip dari kesiapan,
diantaranya:
1) Semua aspek perkembangan berinteraksi (saling pengaruh
mempengaruhi)
2) Kematangan jasmani dan rohani adalah perlu untuk memperoleh
manfaat dari pengalaman
3) Pengalaman-pengalaman mempunyai pengaruh yang positif terhadap
kesiapan
4) Kesiapan dasar untuk kegiatan tertentu terbentuk dalam periode tertentu
selama masa pembentukan dalam masa perkembangan (2010:15)
1. Kesiapan Fisik
Sceidt (2000, dalam Santrock 2007) mengemukakan bahwa survey
internasional dari WHO (World Health Organization) mencatatkan sembilan
dari sepuluh remaja mengakui bahwa dirinya sehat, namun banyak remaja yang
mengeluhkan masalah kesehatan, seperti sakit kepala, sakit perut, sakit
punggung, gugup, dan merasa lelah, kesepian, atau “sedih”. Hal ini dapat
ditinjau bahwa pengakuan sehat secara fisik tidak menandakan bahwa seorang
remaja tidak mengalami gangguan bagian fungsi tubuh yang mempengaruhi
kondisi kesehatannya walaupun tidak mengalami suatu penyakit. Dalam hal
ini, kesiapan fisik bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dapat
yang direvisi secara berkala oleh wali pemasyarakatan untuk setiap anak didik
Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
Kesiapan fisik bagi anak dapat diartikan sebagai suatu keadaan siap
melakukan aktivitas dengan kesehatan fisik dalam keadaan baik, artinya bebas
dari sakit seluruh badan dan bagian-bagiannya (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Depdikbud-Balai Pustaka, Jakarta 1996). Dalam hal ini, Gultom
(2008) mengemukakan bahwa kesiapan fisik bagi anak didik Lembaga
Pembinaan Khusus Anak dapat diartikan sebagai suatu keadaan fisik yang baik
selama menjalani masa binaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dalam
keadaan sehat jasmani, tidak mengalami suatu penyakit, dan semua organ
tubuh berfungsi secara normal.
Hurlock (1991) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan tahap
perkembangan dimana terdapat pertumbuhan dan perkembangan fisiologis.
Selama menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak,
peran fungsi fisiologi, khususnya pancaindera pada tubuh anak didik akan
mempengaruhi kualitas hasil pembinaan. Pancaindera yang berfungsi dengan
baik akan memberikan kualitas proses pembelajaran yang baik pula pada anak
didik selama mengikuti masa pembinaan di lembaga pembinaan khusus anak.
Hal ini dikarenakan pancaindera merupakan bagian penting dalam proses
penyerapan informasi yang diberikan selama menjalani proses pembinaan.
Kesiapan fisik bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak
dapat berpengaruh terhadap kesiapan dirinya untuk menjalani tugas-tugas
perkembangan dirinya sebagai seorang remaja. Hal ini didukung dengan apa
yang dikemukakan oleh Ali, Asrori (2012) bahwa:
“Pertumbuhan fisik pada gilirannya akan membawa sampai pada suatu
tugas-tugas perkembangan pada periode berikutnya. Hal ini akan
berpengaruh terhadap adanya perubahan perilaku…”
Kesiapan fisik bagi anak didik dapat diupayakan melalui berbagai
usaha atau stimulasi secara sistematis melalui proses pembinaan yang
dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Hal ini akan berdampak
terhadap kesiapan mental dan sosial anak didik karena didukung dengan
kondisi fisik dan kesehatan yang baik selama menjalani masa pembinaan. Atas
dasar penelaahan lebih lanjut, Ali, Asrori (2012) mengemukakan bahwa
terdapat beberapa hal yang dapat berpengaruh terhadap persiapan
perkembangan fisik bagi remaja, diantaranya:
a) Menjaga Kesehatan Badan
Kebiasaan hidup sehat, bersih, dan olahraga secara teratur akan dapat
membantu menjaga kesehatan pertumbuhan tubuh. Namun, apabila
ternyata masih terkena penyakit, haruslah segera diupayakan agar lekas
sembuh. Sebab kesehatan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
fisik.
b) Memberi Makanan yang Baik
Para remaja mengalami pertumbuhan fisik yang cepat. Oleh karena itu,
memerlukan zat pembangun yang terdapat dalam makanan sehingga
menyebabkan para remaja pada umumnya nafsu makan. Jika makanan
yang dimakan cukup mengandung gizi, kebutuhan zat pembangun bisa
terpenuhi sehingga pertumbuhan menjadi lancar.
Kesiapan fisik bagi anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke
seorang remaja untuk melakukan penyesuaian diri. Schneiders (1984)
mengemukakan bahwa kesehatan fisik merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri seorang remaja. Penyesuaian diri seseorang
akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat
daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan
penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan menjadi
kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses penyesuaian diri. Sebaliknya,
kondisi fisik yang tidak sehat dapat menyebabkan perasaan rendah diri, kurang
percaya diri, atau bahkan menyalahkan diri sendiri.
Beberapa hal terkait dengan kesiapan anak didik dalam menghadapi
proses integrasi ke dalam masyatakat juga didukung dengan ketersediaan
sarana prasarana atau kesehatan yang menunjang aktivitas pembinaan fisik
bagi anak didik. Lebih lanjut, Ali, Asrori (2012) mengemukakan bahwa
terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, diantaranya:
a) Sarana dan prasarana
Faktor sarana dan prasarana ini jangan sampai menimbulkan gangguan
kesehatan pada anak. Misalnya, ruangan yang terlalu gelap atau sempit
akan menimbulkan gangguan kesehatan.
b) Waktu istirahat
Terus menerus bekerja atau beraktivitas tanpa ada waktu istirahat dapat
menimbulkan kelelahan yang mendatangkan kerugian bagi kesehatan.
Dalam hal ini, kemampuan anak didik untuk menjalankan kegiatan
pembinaan akan berkaitan dengan biorama atau kemampuan anak
berkonsentrasi yang dipengaruhi oleh irama stamina biologis pada anak
c) Diadakannya jam-jam olahraga
Olahraga sangat penting bagi pertumbuhan fisik, oleh karena itu bila
ada pengaturan jam-jam untuk olahraga maka pertumbuhan fisik anak
juga akan memperoleh stimulasi secara teratur pula. Pertumbuhan fisik
bagi remaja yang sangat pesat seringkali menimbulkan gangguan
regulasi, tingkah laku, dan bahkan keterasingan dengan diri sendiri.
Untuk itu perlu adanya kegiatan-kegiatan olahraga untuk menyalurkan
energi lebih yang dimilikinya sehingga tidak tersalurkan kepada
perilaku-perilaku negatif.
Berdasarkan penelaahan sebelumnya, maka dapat ditinjau bahwa
kesiapan fisik bagi anak didik bukan hanya dipengaruhi oleh faktor internal
dari dalam diri anak didik seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik
yang dialaminya, melainkan juga dipengaruhi oleh proses persiapan sebagai
fator eksternal yang dapat memberikan kesiapan lebih terhadap anak didik
secara fisik untuk menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Dalam
hal ini, dapat diketahui bahwa kegiatan pembinaan fisik yang dijalankan di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan salah satu bagian faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi kesiapan fisik bagi anak didik.
2. Kesiapan Mental
Kesiapan mental anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan
terkait dengan pembinaan mental yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan
Khusus Anak dan perkembangan diri anak didik sebagai seorang remaja.
menangani perasaan bersalah, merasa diatur, dan kurang biasa mengontrol
emosi, merasa rendah diri yang diharapkan secara bertahap mempunyai
keseimbangan emosi selepas keluar dari Lembaga Pemasyarakatan bagi
remaja. Hal tersebut dikemukakan dapat ditangani melalui pembinaan mental
yang bertujuan agar anak didik dapat menangani rasa frustasi melalui kegiatan
keagaaman sesuai dengan agama dan kepercayaannya, menanamkan rasa
percaya diri, menghilangkan rasa cemas dan gelisah.
Bila meninjau dari masa perkembangan anak didik sebagai seorang
remaja, maka pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak akan terkait dengan masa perkembangan mental dirinya sebagai seorang
remaja. Dalam segi kematangan emosional sebagai salah satu bagian dari
kesiapan mental bagi anak didik untuk menghadapi proses integrasi ke dalam
masyarakat, Hurlock (2004:213) mengemukakan beberapa aspek kematangan
emosi menurut bagi remaja, diantaranya:
1) Remaja tidak meledakkan emosinya di hadapan orang lain melainkan
menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan
emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima.
2) Remaja menilai situasi kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara
emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti
anak-anak.
3) Remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang
stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana
hati yang lain.
Menurut Mayer (Goleman, 2000: 65-66), remaja cenderung menganut
gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, di antaranya:
Peka terhadap suasana hati ketika mengalaminya, memiliki kepintaran
tersendiri dalam kehidupan emosional. Kejernihan pikiran mereka
tentang emosi melandasi ciri-ciri kepribadian lain: mandiri dan yakin
akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya baik, dan
cenderung berpendapat positif akan kehidupan.
2) Tenggelam dalam permasalahan
Mereka adalah orang-orang yang seringkali merasa dikuasai oleh emosi
dan tidak berdaya untuk melepaskan diri seolah-olah suasana hati
mereka telah mengambil kekuasaan. Mereka kurang berupaya
melepaskan diri dari suasana hati yang jelek, mereka tidak mempunyai
kendali atas kehidupan emosional dan seringkali merasa kalah dan
secara emosional lepas kendali.
3) Pasrah
Peka akan apa yang mereka rasakan, cenderung menerima begitu saja
suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk mengubahnya. Ada
dua cabang jenis pasrah, yaitu mereka yang terbiasa dalam suasana hati
yang menyenangkan, dan dengan demikian motivasi untuk
mengubahnya rendah dan mereka yang kendati peka akan perasaannya,
rawan terhadap suasana hati yang jelek tetapi menerimanya dengan
sikap tidak hirau, tidak melakukan apapun untuk mengubahnya
meskipun tertekan.
Dalam hal ini, Nurihsan, Agustin (2011) mengemukakan bahwa faktor
lain yang menyebabkan meningginya emosi remaja, karena adanya tekanan
diri untuk menghadapi keadaan dan lingkungan baru tersebut. Anak didik
Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan remaja yang diarahkan melalui
pembinaan yang dijalankan untuk mengenali lingkungan barunya dalam upaya
perubahan dan perbaikan diri menuju ke arah yang lebih baik dalam sebuah
proses pembinaan bersama lingkungan sosial barunya.
Bila meninjau atas dasar pemahaman Maslow (dalam Hjelle dan
Ziegler, 1992), sikap penerimaan diri bagi anak didik adalah sikap positif
terhadap diri sendiri, sehingga ia dapat menerima keadaan dirinya dengan
segala kelebihan dan kekurangan diri. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, maka anak didik diharapkan dapat menangani rasa frustasi dengan
adanya rasa penerimaan diri oleh karena sudah bisa merasa mengatur diri atas
perasaan bersalah, malu, rendah diri, dan kecemasan akan penilaian dari orang
lain terhadap dirinya. Dalam hal ini, rendah diri sebagai salah satu hal yang
menggambarkan belum adanya penerimaan diri anak didik akan dirinya sendiri
juga merupakan hal yang berhubungan dengan kepercayaan diri anak didik
ketika akan kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat. Kepercayaan diri
anak didik ketika akan menghadapi masyarakat, baik dalam bentuk tanggapan
yang positif ataupun negatif merupakan hal yang menggambarkan kepercayaan
diri anak didik. Sebagaimana dikemukakan oleh Lauster (1978) bahwa
ketergantungan terhadap penilaian orang lain merupakan salah satu ciri dari
orang yang kurang percaya diri.
Bila meninjau dalam hal kemampuan anak didik untuk menangani rasa
cemas, Shinkfield (2010) mengemukakan bahwa seorang narapidana akan
merasa berkurang tingkat kecemasannya jika selama masa pembinaan
mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan hal yang membuat dirinya
cemas dan akan berpengaruh terhadap kesiapan dirinya untuk kembali ke