• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka peneliti menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat (Studi kasus pada anak didik residivis dengan 1/3 sisa masa tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung) sebagai berikut :

1) Anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung pada umumnya berada dalam usia remaja dengan usia antara 16-18 tahun tanpa ada kebutuhan khusus/kecacatan dalam hal fisik secara klinis. Gangguan kesehatan yang dialami oleh anak didik residivis selama menjalani masa pembinaan diantaranya flu, demam, sakit kepala, telinga berdenging, dan berdebar-debar. Dalam hal ini, kesiapan fisik bagi anak didik perlu diperhatikan guna memberikan kepercayaan kepada keluarga dan masyarakat sehingga diharapkan adanya dukungan moral bagi anak didik untuk menjalani kembali aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat tanpa ada kekhawatiran akan kesehatan anak didik selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Begitupula dengan diadakannya pemeriksaan

ulang dan penyakit menular bagi anak didik ketika akan menjalani masa pembebasan dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

2) Kesiapan mental anak didik akan terkait dengan kematangan emosional anak dalam didik, aktivitas spiritual anak didik, kecemasan anak didik, kepercayaan diri anak didik, dan keterlibatan dan peran anak didik dan petugas dalam pembinaan mental di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Dalam hal kematangan emosional, anak didik residivis memiliki gaya pengendalian emosi yang berubah-ubah atau tidak stabil, baik selama menjalani masa pembinaan maupun ketika berada dalam kehidupan bermasyarakat. Gaya pengendalian emosi yang dimiliki oleh anak didik yaitu pasrah dan tenggelam dalam permasalahan. Anak didik residivis masih memiliki pemikiran negatif dan tergantung kepada pemikiran petugas dan masyarakat terhadap dirinya. Hal ini mempengaruhi kepercayaan diri anak didik untuk kembali beraktivitas dalam kehidupan bermasyarakat. Kecemasan yang dialami oleh anak didik berupa pemikiran negatif, mudah tersinggung, dan gejala neurotik lainnya seperti telinga yang sering berdenging, berdebar-debar, dan sakit kepala. Dalam penanganan kecemasan, anak didik belum terbuka kepada petugas untuk menceritakan kegiatan keseharian atau perencanaan selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak terkait dengan hal-hal yang membuat dirinya cemas. Anak didik residivis terbilang jarang dikunjungi keluarga. Penanganan dalam kepercayaan diri dan kecemasan anak didik untuk kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat yaitu dengan pindah tempat tinggal ke lingkungan masyarakat yang baru dimana tidak mengetahui status dirinya sebagai mantan narapidana anak. Hal ini bukan saja terencana dan terlaksana atas kehendak pribadi, melainkan juga bentuk keputusan keluarga. Mayoritas anak didik residivis mengakui bahwa dirinya menggunakan akta palsu untuk mengurangi masa remisi sebagai

anak-anak yang menjadi salah satu faktor dari kemungkinan anak didik beresiko menjadi residivis.

3) Kesiapan sosial bagi anak didik pada umumnya akan terkait dengan penyesuaian sosial anak didik, komunikasi antara anak didik dengan keluarga, kesiapan terkait dengan pemenuhan kebutuhan sosial anak didik, keterlibatan dan peran anak didik dan petugas dalam pembinaan sosial di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan harapan masyarakat akan kesiapan sosial anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Bila meninjau dari penyesuaian sosial anak didik selama menjalani masa binaan atau pengalaman dirinya selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak, anak didik cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh teman- teman sebayanya. Hal yang menjadikan anak didik beresiko menjadi residivis adalah pergaulan dengan teman sebayanya yang memberikan pengaruh negatif kembali selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khuus Anak. Dalam hal ini, anak didik residivis sukar untuk terlibat dalam partisipasi sosial selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Anak didik residivis jarang berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya selama tinggal di rumah. Dalam hal perkembangan intelektual, sosial, dan moral bagi anak didik dalam upaya penyesuaian sosia dirinya, Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung mengupayakan program pembinaan yang dijalankan dalam bentuk pendidikan formal dan informal di sekolah yang diwajibkan bagi seluruh anak didik. Namun, pendidikan yang dijalankan di lembaga pembinaan khusus anak belum berfungsi secara optimal. Kebutuhan sosial anak didik untuk mendapatkan kesempatan dalam pengembangan penyesuaian diri dan sosial dipenuhi melalui kegiatan tamping pada tahap asimilasi dan kegiatan bersama dengan anak didik dari Lembaga Pemasyarakatan lain. Namun, sebagian besar anak didik residivis belum mendapatkan kesempatan untuk menjadi

tamping. Beberapa hal yang menyebabkan anak didik residivis jarang berinteraksi dengan keluarga diantaranya anak merasa enggan dan malu untuk menghubungi keluarga dan jarak antara rumah dengan LPKA yang jauh dengan pengakuan bahwa tingkat perekonomian keluarganya rendah. Dalam hal ini, masalah yang tengah dihadapi oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak adalah terbatasnya ruang gerak anak didik untuk bersosialisasi kembali ke dalam lingkungan sosial luar selama menjalani masa tahanan karena ada batasan dalam lingkungan fisik. Oleh karena itu penting kiranya bagi anak didik untuk mengenali dan mengakses sumber daya yang dapat mendukung dirinya dalam memenuhi kebutuhan dan haknya sebagai remaja disamping kemampuan diri atas dasar bekal pendidikan formal dan pelatihan keterampilan yang telah diberikan selama menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Hal yang perlu dilakukan adalah melakukan intervensi terhadap lingkungan sosial anak didik sehingga diharapkan ada perbaikan sistem dimana anak didik akan kembali, baik dalam lingkup kecil untuk intervensi keluarga sampai kepada masyarakat umum. Dalam hal ini, reaksi masyarakat akan keberadaan anak didik sebagai mantan narapidana berbeda. Bila dalam lingkup daerah dengan kondisi yang ramai dengan mobilitas anggota masyarakat yang tinggi dalam hal pekerjaan, maka karakteristik anggota masyarakat akan cenderung acuh. Sedangkan, bila berada dalam area perumahan, maka anggota masyarakat cenderung memiliki tanggapan dalam bentuk reaksi yang bersifat negatif.

Dokumen terkait