• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan

Usia tua menempatkan seseorang pada posisi yang terhormat dalam masyarakat Desa Situ Udik yang menggolongkan orang yang dianggap lebih tua itu kepada kaum sesepuh yang patut untuk banyak didengarkan nasihat- nasihat dari mereka serta pengalaman hidup yang lebih banyak dibandingkan dengan kaum yang masih muda. Meski terhormat tidak semua Lansia memiliki pengaruh dalam kelembagaan politik desa. Kondisi sosial ekonomi Lansia yang menjadi determinan utama partisipasi mereka dalam kelembagaan yang menjalankan fungsi penyaluran aspirasi, pengambilan keputusan serta pendistribusian kekuasaan pada masyarakat desa.

Lansia di Desa Situ Udik dicirikan dengan mayoritas berusia yang tergolong dalam kategori lanjut usia (elderly—yakni antara 60-75 tahun), dimana perempuan Lansia lebih tua dari laki- laki Lansia. Ditinjau secara sosial Lansia ini berpendidikan rendah, bahkan banyak yang masih buta huruf. Meski mayoritas Lansia perempuan lebih banyak berstatus janda dan tidak memiliki jaminan pensiun atau fasilitas rumah jompo namun komunitas menyediakan sistem pendukung dalam perawatan Lansia ini baik secara sosial (ikatan sosial kekerabatan) maupun secara ekonomi. Perkumpulan yang ada di masyarakat seperti pengajian, ulu- ulu, dana perelek dan paguyuban menjadi institusi dimana mayoritas Lansia pada umumnya di Desa Situ Udik masih ikuserta.

Kehidupan politik Lansia di pedesaan ditunjukkan dari partisipasi dalam Pemilu 2004. Menangnya Partai Keadilan Sejahtera menunjukkan dinamika politik di pedesaaan yang tengah progresif sejalan dengan era reformasi. Demikian juga dengan

ketersentuhan terhadap berita politik yang tinggi sebagai cermin meningkatnya minat terhadap politik. Meski keprogresifan tersebut hanya di permukaan saja, karena baik pilihan terhadap partai politik maupun keikutsertaan dalam kampanye politik lebih merupakan mobilisasi politik dari pemimpin lokal terutama kyai sebagai panutan. Nilai Budaya Masyarakat Desa Situ Udik dan Partisipasi Semu

Gambaran dari nilai- nilai, norma serta budaya politik masyarakat Desa Situ Udik tercermin dari sikap terhadap politik, kepercayaan terhadap kinerja perangkat desa serta persepsi terhadap pemimpin. Masyarakat Desa Situ Udik cenderung berorientasi “ketokohan”, artinya peran-peran politik desa pada umumnya ditanggungjawabkan atau dipercayakan pada orang-orang yang ditokohkan dalam masyarakat. Nilai ini terikat pula dengan nilai religi yang menempatkan guru-guru agama sebagai tokoh yang dipatuhi dan ditempatkan pada posisi elite. Kyai sebagai tokoh sentral yang menjadi panutan karena kharisma yang dimilikinya. Kyai sebagai orientasi keseharian masyarakat termasuk dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik. Elite diposisikan sebagai seorang ‘bapak’ yang mengayomi dan melindungi masyarakat sebagai anaknya.

Hal ini juga mempengaruhi persepsi dan kriteria masyarakat tentang pemimpin yang berpengaruh dengan yang berusia tua atau berusia matang (middle age); memiliki pengalaman (pernah migrasi ke Jakarta) dan pengetahuan yang akan ilmu- ilmu agama (kyai, ustadz/ustadzah) serta terhadap norma, nilai serta tradisi; serta dermawan. Keberhasilan politik orang-orang elite desa disebabkan me reka memiliki kebijaksanaan sosial dalam hal ini kedermawanan yang seringkali menguntungkan golongan sosial ekonomi bawah (massa). Keberhasilan politik ini membuktikan bahwa massa bisa menerima pemimpin dari golongan elite, jika pemimpin tersebut ternyata peka terhadap

kebutuhan golongan sosial ekonomi bawah, sehingga membuat massa percaya akan legitimasi para elite.

Prinsip ini memiliki keterkaitan dengan etika komunitas petani yang menjadi inti kehidupan masyarakat Desa Situ Udik. Prinsip safety first atau dahulukan selamat kemudian mejadi latar belakang pegaturan teknis, sosial, dan moral pola hubungan ‘kebapakan’. Pola ini memiliki hubungan yang lebih ‘halus’ dibandingkan hubungan patron client yang memberikan tekanan pada aspek material saja. Sikap yang netral, hati-hati, skeptis serta cenderung menghindarkan diri dari konflik dengan pihak yang elite membentuk pola perilaku yang dianggap wajar. Soetarto (1999) menyatakan ini sebagai suatu bentuk pengendalian sosial, yang berwujud pada pembatasan minat, antusias serta ambisi.

Pembatasan ini mempengaruhi kelembagaan politik desa sebagai institusi atau sebagai wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding, mempunyai fungsi pencapaian keputusan dan pendistribusian kekuasaan. Kharisma kyai yang memudar saat dunia sosial kehilangan tokoh yang kekuasaan dan pengaruh yang besar. Dominasi kemudian berlanjut dengan penguasa yang melanjutkan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin kharismatis. Keabsahan didasarkan pada tradisi, serta ‘administrasi’ tradisional, yang para ‘pejabat’- nya merupakan kerabat dekat, disusul dengan kerabat luas baru kemudian ruang diberikan kepada orang lain jika masih ada sisa peluang.

Keputusan-keputusan disini berkaitan dengan kepentingan orang banyak, sebagian besar diinisiasi atau diprakarsai oleh tokoh tersebut. Masyarakat kampung biasanya ”patuh” terhadap keputusan-keputusan tersebut. Pola hubungan kekuasaan dan

nilai ‘kebapakan’ menjadi etika yang menampilkan tindakan dengan bentuk kesetiaan secara sukarela hormat kepada ‘dununganna’.

Musyawarah di tingkat kampung dalam kegiatan pengajian merupakan kelembagaan penyaluran aspirasi yang mampu diakses oleh para Lansia dengan budaya ‘titip’ aspirasi yang masih kental diterapkan. Terutama bagi perempuan Lansia yang jarang dilibatkan dalam diskusi-diskusi maupun musyawarah politik desa. Hal ini menunjukkan meski memiliki akses namun ‘mutu’ partisipasi yang minimal karena kontrol yang hampir tertutup dalam fungsi pengambilan keputusan, menampilkan kesemuan dari keterlibatan dalam kelembagaan politik desa. Dimana Lansia tidak dapat berperan secara efektif dan penuh. Namun, ketika hal ini menyentuh kebutuhan mereka untuk bertahan hidup, mendorong mereka untuk melakukan bentuk partisipasi yang lebih aktif untuk mempengaruhi kebijakan politik desa.

Pengaruh Terpaan Media Massa dan Pemilu 2004

Hasil uji statistik menunjukkan keterhubungan antara status sosial ekonomi dengan sikap dan kepercayaan yang menjadi cermin nilai budaya masyarakat. Hal ini ini menunjukkan bahwa identifikasi terhadap status atau posisi seseorang secara sosial maupun ekonomi akan menentukan keseluruhan hidup seseorang. Hal ini karena pada dasarnya seseorang akan meniru nilai, norma maupun perilaku sosial sesuai dengan posisinya dalam masyarakat. Lansia dengan status sosial ekonomi yang tinggi menganggap keterlibatan dalam politik merupakan suatu tugas fungsional untuk tampil sebagai pemimpin dan penguasa dari atas posisinya tersebut. Mereka dianggap lebih memiliki kecakapan untuk mengemukakan pendapat dan menyampaikan apa yang menjadi aspirasi orang lain. Lansia elite ini kemudian memiliki akses untuk menjalin hubungan pada politik atas desa yang lebih progresif seperti tergabung dalam partai

politik yang berada di tingkat kecamatan dan menjadi kader di desa atau kampungnya. Tidak demikian dengan Lansia dengan status sosial ekonomi bawah, yang masih harus berjuang untuk memperjuangkan subsistensi hidupnya, sehingga mereka menganggap politik bukan urusan penting bagi hidup mereka.

Nilai ini mulai meluntur lewat sikap yang lebih terbuka pada politik yang mempengaruhi kepercayaan mereka terhadap dijalankannya dominasi dalam kelembagaan politik desa. Hasil uji statistik korelasi secara parsial menunjukkan bahwa gelombang reformasi politik lewat partisipasi dalam Pemilu 2004 dan ketersentuhan terhadap berita politik di media massa memberikan dampak yang signifikan terhadap dinamika politik lokal namun dapat dikatakan tidak begitu memberikan dampak yang mendasar. Dimungkinkan hal ini disebabkan oleh ikatan-ikatan tradisional atau primordialisme yang masih kuat mengakar di masyarakat. Di sisi lain faktor pendidikan dan pengalaman berorganisasi yang rendah menjadi salah satu hal yang mempengaruhi kurangnya proses adopsi terhadap perubahan-perubahan dari luar termasuk dinamika politik di tingkat supra lokal.

Wujud dari hal ini terlihat dari partisipasi dalam kelembagaan politik desa, meski berpartisipasi Lansia kebanyakan ini hanya mampu mengembangkan hubungan sosial politiknya dalam kelembagaan informal desa dengan memberikan dan mempersiapkan generasi yang lebih muda—middle age untuk menjalankan dominasi formal desa. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengurangi penarikan dunia politik formal reformasi yang lebih progresif dengan menggeser orang-orang yang tua yang dinilai konservatif.

Perspektif Politik Perempuan Lansia di Pedesaan

Pembedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial menunjukkan relasi gender yang berlaku di masyarakat. Relasi ini merupakan bagian dari nilai- nilai budaya masyarakat desa yang memiliki pengaruh dalam hubungan antara status sosial ekonomi dengan partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa. Hasil uji statistik koefisiesn kontigensi menunjukkan bagaimana nilai-nilai gender mempengaruhi sikap seseorang terhadap politik. Laki- laki yang diposisikan secara sosial maupun ekonomi lebih tinggi dibandingkan perempuan mempengaruhi juga partisipasi dalam kelembagaan politik desa.

Hal ini menunjukkan apa yang oleh Murniarti (2004) bahwa perkembangan pengertian politik didasari cara pandang yang biner patriarki, yang akhirnya menciptakan pengertian politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan yang sudah mapan dalam masyarakat. Pengaburan pengertian politik (klasik) seperti yang dikemukakan oleh Rush dan Althoff (2003) bahwa perhatian sentral dari politik adalah penyelesaian dari konflik-konflik manusia; atau proses dengan mana masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan tertentul; atau secara otoritatif mengalokasi sumber-sumber dan nilai- nilai tertentu; telah berubah menjadi pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh yang hanya bisa dan mampu diakses dan dikontrol laki- laki yang dianggap lebih mampu bertahan.

Pengertian politik yang demikian makin menyingkirkan perempuan terlebih lagi perempuan Lansia dalam kehidupan politik. Perempuan Lansia dalam masyarakat, masih menentukan posisi sosialnya berdasarkan posisi/status dari suami maupun anak laki- lakinya. Meski tergolong sepuh namun hambatan untuk melakukan mobilitas dalam kegiatan politik dengan modal penghormatan karena usianya. Salah satu sebab

perempuan untuk bisa terjun dalam kegiatan yang politik yang dinilai penuh resiko sementara ada tuntutan dari tradisi sebagai seorang ibu, istri atau bahkan ketika perempuan tua menjadi seorang nenek yang mengurus cucunya.

Perbedaan perspektif antara perempuan dan laki- laki dalam memandang politik, mempengaruhi partisipasi dalam segala kegiatan kelembagaan politik desa. Anggapan bahwa politik hanya mengurusi sektor publik semata, sementara sektor domestik tidak memiliki korelasi sama sekali. Pembagian peran gender yang hanya memberikan perempuan Lansia bisa ‘bergerak’ bebas di bidang sosial, serta pendidikan namun tidak keterlibatan dalam politik. Fungsi pengambilan keputusan pun menjadi bias kepentingan, karena permasalahannya yang ‘banyak bicara’ adalah laki- laki. Perempuan Lansia cenderung tidak dihiraukan atau bahkan pengalaman yang dimiliki ‘dipukul rata’ dengan generasi muda yang dinilai lebih awam. Hasil keputusan pun jika diterapkan akan gagal mengakomodir kepentingan perempuan Lansia.

Dokumen terkait