• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PROFIL SOSIAL POLITIK LANSIA DESA SITU UDIK

7.3 Partisipasi Lansia dalam Musyawarah Desa

Pola-pola demokrasi tradisional yang dilambangkan oleh musyawarah dalam pencapaian atau pengambilan keputusan dan gotong royong dalam pelaksanaan keputusan tersebut merupakan dasar dari sistem sosial ekonomi serta politik di pedesaan (Prijono, 1983). Musyawarah inilah yang menjadi dasar pembangunan desa. Musyawarah dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai pertemuan secara informal di tingkat RT/RT atau kampung.

Hal ini karena di Desa Situ Udik, musyawarah di tingkat RT, RW maupun kampung inilah yang kemudian menjadi dasar pengambilan keputusan politik di tingkat desa. Namun, tidak selalu pengambilan keputusan politik di tingkat desa menjadi dasar pengambilan keputusan di tingkat kampung. Secara umum, hal ini dapat dilihat dari keikutsertaan responden dalam musyawarah di tingkat RT/RW maupun kampung memberikan gambaran hampir seluruh responden yakni 80 persen pernah mengikuti musyawarah di tingkat RT/RW atau kampung. Hanya terdapat delapan orang atau 20 persen saja yang menyatakan tidak pernah mengikuti musyawarah yang pernah diselenggarakan di tingkat RT/RW atau kampung. Besarnya persentase ini karena musyawarah biasanya diselenggarakan setelah pengajian. Pengajian merupakan kelembagaan yang paling sering diakses oleh Lansia. Sehingga keikutsertaan responden dalam musyawarah pun tinggi. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi dari keikusertaan dalam musyawarah di tingkat RT/RW atau kampung dalan Tabel 43

Tabel 43. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006

Frekuensi Keikutsertaan Jumlah Persentase

Tidak pernah 8 20

1-2 kali 2 5,0

Lebih dari dua kali 30 75,0

Total 40 100,0

Tabel 43 menunjukkan bahwa tiga per empat responden memiliki frekuensi kehadiran dalam musyawarah di tingkat RT/RW atau kampung lebih dari dua kali. Keikutsertaan ini dapat juga menunjukkan frekuensi responden dalam menghadiri pengajian. Hanya dua orang saja yang frekuensi kehadirannya dalam musyawarah sebanyak 1-2 kali. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara, kedua orang tersebut rendah frekuensi kehadirannya dikarenakan kondisi fisiknya yang melemah. Namun, yang perlu dicermati lebih lanjut adalah aspek dari musyawarah yang dilakukan, karena ini akan menunjukkan sejauhmana akses serta kontrol Lansia dalam musyawarah tersebut.

Aspek-aspek dari musyawarah diantaranya berkenaan dengan kegiatan keagamaan, perencanaan kegiatan dan gotong royong pembangunan infrastruktur kampung, penyelesaian konflik, pemilihan ketua RT/RW atau kampungserta pengaturan pemanfaatan sumberdaya/fasilitas umum. Tabel 44 menunjukkan aspek dari musyawarah yang diselenggarakan.

Tabel 44 memberikan informasi bahwa responden Lansia lebih akses dalam musyawarah- musyawarah yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Hal ini ditunjukkan 33 responden menyatakan ikutserta dalam musyawarah yang membahas tentang kegiatan keagamaan, maupun persoalan-persoalan yang berkenaan dengan keagamaan, misal tentang hukum penggunaan alat kontrasepsi serta siapa yang berhak

mendapatkan BLT BBM jika didasarkan pada aturan siapa yang berhak menerima zakat, musyawarah penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan.

Tabel 44. Jumlah dan persentase responden berdasarkan aspek (jenis) musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006

Bentuk-bentuk musyawarah Jumlah Persentase

Kegiatan keagamaan 33 34,4

Perencanaan kegaiatan kemasyarakatan/pembangunan 28 29,2

Penyelesaian masalah/konflik 10 10,4

Pemilihan/penunjukkan calon/ketua RT/RW 12 12,5 Pengaturan pemanfaatan SDA atau fasilitas umum serta norma-

norma

13 13,5

Lansia perempuan memiliki akses yang tinggi dalam musyawarah yang berkenaan dengan kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Akses yang terbatas bahkan tertutup bagi perempuan Lansia untuk musyawarah yang berkenaan dengan pendistribusian kekuasaan dalam pemilihan pemimpin atau pengalokasian sumberdaya alam dan fasilitas publik. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara, Bapak Lam (61 tahun), mengatakan bahwa untuk musyawarah yang berkenaan dengan penyelesaian konflik atau pemilihan ketua RT/RW atau kampung, perempuan sudah ‘diwakili’ oleh kehadiran suami- suami mereka.

“Perempuan mah kalo untuk urusan milih RT/RW diwakili saja lewat suaminya, nanti juga kalo dirumah dikasih tau hasil rapatnya jadi buat apa harus ikutan dateng juga”, (Bapak Lam, 61 tahun).

Informasi tersebut juga menunjukkan bahwa keikutsertaan responden Lansia dalam musyawarah di RT/RW atau kampung diselenggarakan oleh para tokoh masyarakatnya. Tokoh yang merupakan pemimpin di tingkat kampung ini secara moral mereka diharuskan memelihara kerukunan dengan orang lain dan norma bagi pemimpin adalah menjaga pengikutnya. Oleh karena itu cara-cara pencapaian tujuan di masyarakat

masih bergantung pada pemimpinnya. Hal ini ditunjukkan bahwa musyawarah diprakarsai oleh para tokohnya.

Masyarakat Desa Situ Udik membedakan jenis pertemuan-pertemuan dalam kelembagaan politik desa khususnya terkait dengan fungsi pengambilan keputusan. Rapat dipandang sebagai sesuatu yang formal sedangkan musyawarah merupakan ajang informal dalam proses pengambilan politik. Hal ini dikemukakan oleh Bapak Uj (60 tahun) sebagai berikut:

“ Rapat itu asal katanya dari kata rapet, jadi cuma sedikit orang aja yang bisa ikutan. Biasanya untuk yang lebih resmi-resmian. Jadi, sebenernya keputusan udah dibuat duluan tapi biar lebih kuat putusannya diadain rapat. Kalo musyawarah itu semua warga duduk bareng untuk bicara, tuker pendapat untuk mecahin masalah bersama juga.”

Tingkat partisipasi dalam musyawarah dapat diidentifikasi berdasarkan skoring dari keikutsertaan, frekuensi keikutsertaan, serta peran sebagai pemrakarsa. Hasil skoring ini kemudian membagi responden menjadi responden dengan tingkat partisipasi yang rendah, sedang dan tinggi. Berdasarkan data pada Tabel 43 dan 44 yang telah dikemukakan sebelumnya, maka berikut ini adalah tingkat partisipasi responden Lansia dalam musyawarah.

Tabel 45. Tingkat partisipasi responden dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006

Tingkat partisipasi Jumlah Persentase

Rendah 7 17,5

Sedang 27 67,5

Tinggi 6 15,0

Total 40 100,0

Tabel 45 menunjukkan bahwa 67,5 persen responden Lansia memiliki tingkat partisipasi yang sedang, artinya responden pada tingkat partisipasi ini pernah mengikuti musyawarah desa, dengan frekuensi lebih dari dua kali tetapi tidak pernah menjadi pemrakarsa diadakan musyawarah. Sisanya, 17,5 persen responden memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam musyawarah desa, artinya tidak pernah sama sekali

mengikuti rapat formal desa. Sedangkan responden dengan tingkat partisipasi yang tinggi hanya sebesar 15 persen saja. Responden pada tingkat ini mengikuti musyawarah desa dengan frekuensi lebih dari dua kali, terlibat dalam hampir keseluruhan tahapan proses pengambilan keputusan serta pernah menampilkan peranan menjadi pemrakarsa diadakan musyawarah.

Pengambilan keputusan dengan pemakrasa elit memiliki kecenderungan masih adanya manipulasi aspirasi masyarakat dengan kepentingan kelompok elit desa. Sehingga nasib rakyat menjadi tergantung pada jasa baik mereka. Selain itu hubungan kekuasaan dalam musyawarah sebagai suatu ajang penyaluran aspirasi politik masyarakat adalah hubungan yang paternalisasi. Meskipun Lansia khususnya Lansia laki- laki dari golongan masyarakat kebanyakan akses terhadap musyawarah yang diselenggarakan dalam suatu ajang penggajian bapak-bapak ini mereka tidak memiliki kontrol. Kalaupun memiliki kontrol, masih sangat terbatas.

Elit desa yang umumnya golongan kaya dianggap menempati posisi yang ’luhur’ atau tinggi sehingga penghormatan harus selalu diberikan dan sulit untuk bisa melangkahi atau mengabaikan hal tersebut. Keikutsertaan dalam organisasi sosial sering didasari kedekatan seseorang yang telah terjalin erat sebelumnya di luar organisasi formal maupun lembaga formal yang ada di desa, misal kekerabatan atau ketetanggaan.

Dokumen terkait