Oleh :
GIBTHI IHDA SURYANI A14202029
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
POLITIK DESA (Kasus Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) (Di bawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI)
Proses penuaan penduduk menjadi suatu gejala ya ng mendunia. Proporsi penduduk Lansia dunia pada tahun 2004 telah mencapai sekitar 10 persen dari jumlah penduduk dunia. Fenomena ini pun terjadi di Indonesia, proporsi Lansia meningkat hampir tiga kali lipat dalam kurun waktu 50 tahun, dari 4,5 persen pada tahun 1971 diperkirakan meningkat menjadi 11,3 persen pada 2020. Lebih dari 50 persen Lansia adalah perempuan, dan sekitar tiga perlima (61,7 persen) bertempat tinggal di pedesaan. Peningkatan ini mempunyai konsekuensi terhadap berbagai aspek kehidupan, sosial, ekonomi, kesehatan dan politik; dan yang paling mengkhawatirkan adalah peningkatan jumlah Lansia terlantar dan rawan terlantar.
Resolusi dari United Nations (PBB) dirumuskan untuk hak dan kewajiban lanjut usia yang dirangkum dalam lima hak dan kelompok, yaitu kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat. Namun, hingga kini kesadaran tentang isu Lansia di Indonesia, terlebih lagi kaitannya dengan kehidupan politik, di kalangan pengemban kepentingan (stakeholders) masih minim. Hal ini ironis dengan nilai budaya masyarakat Indonesia yang masih menempatkan Lansia dalam posisi terhormat dalam pengambilan keputusan, terutama dalam masyarakat desa. Pertanyaan besar yang kemudian timbul adalah Lansia yang seperti apakah yang masih mene mpati posisi penting tersebut. Lalu peran-peran apa sajakah yang ditampilkan oleh para Lansia tersebut, dengan mengintegrasikan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berlaku pada masyarakat pedesaan
Tujuan penelitian ini antara lain: (1) mengidentifikasi karakteristik Lansia di pedesaan. (2) mengidentikasi partisipasi Lansia terhadap kelembagaan politik desa. (3) menganalisis peranan yang ditampilkan Lansia dalam partisipasinya di kelembagaan politik desa, serta menganalisis berbagai faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa.
Pendekatan kuantitatif digunakan dalam penelitian ini. Lokasi penelitian di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yang dilaksanakan pada bulan September-November 2006. Metode penentuan sampling untuk penelitian ini menggunakan metode cluster sampling. Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan uji statistik yang relevan.
Rapat formal desa, para dewan dan pamong desa serta musyawarah desa merupakan institusi dimana warga Situ Udik menyalurkan aspirasi politik serta sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan. Tingkat partisipasi responden dengan dalam rapat formal desa yang tinggi hanya sebesar 25 persen saja. Lebih dari 77 persen responden Lansia memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam dewan desa. Responden dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam musyawarah desa hanya sebesar 15 persen. Hal ini menunjukkan pengambilan keputusan dengan pemakrasa elit memiliki kecenderungan masih adanya manipulasi aspirasi masyarakat dengan kepentingan kelompok elit desa, dipertegas dengan pengujian keterhubungan dengan uji statistik.
Hasil uji statistik menunjukkan keterhubungan antara tingkat pendapatan dengan kepercayaan terhadap kinerja lembaga politik desa, tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman berorganisasi dengan sikap Lansia terhadap politik. Hasil uji ini menjadi melemah atau bahkan memiliki derajat hubungan yang dapat diabaikan dengan kontrol dari terpaan media massa dan partisipasi dalam Pemilu 2004.
Hasil uji Koefisien Kotingensi menunjukkan hanya terdapat signifikasi hubungan antara faktor sosial ekonomi dari responden Lansia laki- laki dengan sikap terhadap politik. Hasil uji Spearman pun menunjukkan keterhubungan hal terebut antara sikap terhadap politik dengan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik desa. Hal ini menunjukkan perbedaan perspektif antara perempuan dan laki- laki dalam memandang politik, mempengaruhi partisipasi dalam segala kegiatan kelembagaan politik desa.
Masyarakat Desa Situ Udik berorientasi pada “ketokohan” kyai dalam keseharian termasuk dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik. Keberhasilan politik orang-orang elite desa ini dalam mempertahankan dominasi disebabkan mereka memiliki kebijaksanaan sosial, dan kokohnya pola hubungan ‘kebapakan’ dan ‘saduluran’. Disertai prinsip safety first atau dahulukan selamat yang kemudian melatarbelakangi pengaturan teknis, sosial dan moral pola hubungan sosial masyarakat Desa Situ Udik.
PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA (Kasus : Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)
Oleh :
Gibthi Ihda Suryani A14202029
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh : Nama : Gibthi Ihda Suryani
NRP : A14202029
Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul : Partisipasi Lansia dalam Kelembagaan Politik Desa (Kasus Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menye tujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS NIP. 131 622 687
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Mei 2007
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan dengan nama Gibthi Ihda Suryani pada tanggal 12 Maret 1985, anak pertama dari pasangan Suroso dan Yulinar. Penulis memulai pendidikan formalnya di SDN Panaragan I Kodya Bogor dan lulus pada bulan Mei 1996. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikannya pada SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada bulan Juni 1999. Kemudian penulis melanjutkan di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus pada bulan Juni 2002. Penulis menempuh jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) untuk melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor, dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian.
KATA PENGANTAR
Mengawali Penulisan skripsi ini perkenankan penulis untuk berucap syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya, karena atas segala karuniaNya lah kita mendapatkan nikmat hidup, nikmat iman, dan nikmat Islam serta penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini tepat pada waktunya. Salawat serta salam kita panjatkan kepada junjungan dan suri teladan kita Nabi Muhammad SAW, Sang revolusioner sejati yang membawa kita pada pencerahan.
Penulisan skripsi ini merupakan suatu karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Topik dari penulisan skripsi ini adalah studi lansia dan kelembagaan desa. Topik ini dianggap menarik karena mengingat pertumbuhan penduduk dengan usia lanjut pada abad ini sangat cepat. Proses penuaan penduduk menjadi suatu gejala yang mendunia, yang tentunya menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus segera ditangani. Adapun judul dari penulisan skripsi ini adalah “Partisipasi Lansia dalam Kelembagaan Politik Desa”
Penulis menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya maka dari itu kritik dan saran sangatlah diharapkan. Semoga apa yang kita kerjakan mendapat ridho dari-Nya dan memberikan manfaat bagi dunia pendidikan dan pengembangan serta pemberdayaan masyarakat pertanian di negara ini.
Bogor, Mei 2007
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menghanturkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak, baik yang secara langsung maupun secara tidak langsung telah membantu dalam penyelesaian tugas ini, antara lain :
1. Ibu Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing, dan memberi arahan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku dosen selaku dosen penguji utama yang telah bersedia memberikan waktunya untuk menguji penulis pada skripsi ini. 3. Bapak (Bang) Martua Sihaloho, SP, Msi selaku dosen penguji perwakilan
Departemen yang telah bersedia memberikan waktunya untuk menguji penulis pada skripsi ini.
4. Mamiku, Papa, Adikku tersayang PITAK, Om Yud, Te’ Melly, Lulu, Ade Luna dan Bi Ukit yang telah mendoakan dan memberikan dukungan moral serta dana selama ini.
5. Keluarga Bapak Lamsuni, Ibu Neneng, King, Adik-adikku (Najma, Lula, Ahla, Azka, Zul, Tria, Fiky) Teh Cicih, Teh Neng, Teh Nining serta Agung, terima kasih atas bantuannya selama saya penelitian di Desa Situ Udik serta penerimaannya yang luar biasa baik. Saya sangat beruntung pernah mengenal mereka.
6. Perangkat Desa Situ Udik, Bapak Kepala Desa H. Miftahullukman, Bapak Sekdes Saiful Manan, Pak Mista dan Pak Ucok, terima kasih atas bantuannya selama saya penelitian.
7. Warga Desa Situ Udik, khususnya para bapak-bapak dan ibu- ibu Lansia di Kampung Al Barokah, Ganda Rasa, Cimanggu, Cikadondong dan Malang Nengah atas bantuannya.
kolokiumku Yohan Budiman dan rekan-rekan sejawat KPM 39 lainnya, semoga tali silaturahmi yang telah terjalin selama ini tidak akan terputus.
9. Teman-temanku di KPM 40: Rizky Ali Akbar, Lina, Utari, Dipa. Adik-adikku di KPM 41: Bayu, Nessa, dan kawan-kawan serta adik-adikku di KPM 42 terutama kelompok Al-Barokah.
10.Anggi Muhammad Adriawan atas bimbingan SPSS dan les singkat statistiknya. 11.Mas Anton dan Mbak Hana yang telah banyak memberi masukan untuk
penulisan Skripsi ini serta buku-bukunya yang telah dipinjamkan.
12.Teman-temanku di LTYC dan Acem atas kebersamaan kita selama ini; Antonius Jemi atas bantuannya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
UCAPAN TERIMA KASIH ... ii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Kegunaan Penelitian ... 9
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 10
2.1 Tinjauan Pustaka ... 10
2.1.1 Lanjut Usia: Pengertian dan Batasan ... 10
2.1.2 Lanjut Usia: Perkembangan Teori Gerontologi... 12
2.1.3 Konsep Successful Aging ... 15
2.1.4 Kelembagaan Politik Desa... 18
2.1.5 Peranan, Perilaku dan Partisipasi Politik ... 23
2.1.6 Budaya Masyarakat Sunda: Konsep dan Etos Komunal ... 29
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi ... 92
2.2 Kerangka Analisis ... 33
2.3 Hipotesis ... 37
2.4 Definisi Operasional ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42
3.1 Metode Penelitian ... 42
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43
3.3 Metode Penentuan Sampling ... 43
3.4 Metode Pengumpulan Data... 45
BAB IV KONTEKS LOKASI ... 48
4.1 Infrastruktur ... 48
4.1.1 Kondisi dan Letak Geografis ... 48
4.1.2 Struktur Pemerintahan, Sarana dan Prasarana ... 49
4.1.3 Karakteristik Masyarakat ... 54
4.2. Suprastruktur ... 56
4.2.1 Pengajian: Kelembagaan Sosial, Keagamaan, dan Politik Masyarakat Desa Situ Udik ... 56
4.2.2 Lansia dan Kelembagaan Ekonomi Desa ... 60
BAB V PROFIL SOSIAL EKONOMI DAN DEMOGRAFI LANSIA DESA SITU UDIK ... 62
5.1 Struktur Umur dan Jenis Kelamin ... 62
5.2 Tingkat Pendidikan ... 65
5.3Tingkat Pendapatan ... 69
5.4Status Pernikahan... 73
5.5Tempat Tinggal dan Perawatan ... 75
5.5.1 Tempat Tinggal... 75
5.5.2 Perawatan... 77
5.6 Pengalaman Berorganisasi ... 78
5.6.1 Keikutsertaan dalam Organisasi dan Perkumpulan Masyarakat... 78
5.6.2 Peran dalam Organisasi dan Perkumpulan Masyarakat... 80
BAB VI PROFIL SOSIAL POLITIK LANSIA DESA SITU UDIK ... 85
6.1 Lansia dan Politik ... 85
6.1.1 Tingkat Partisipasi Lansia dalam Pemilu 2004 ... 85
6.1.2 Tingkat Keterdedahan terhadap Media Massa ... 91
6.2 Nilai Sosial dan Budaya Politik Lansia 6.2.1 Sikap terhadap Politik ... 94
6.2.2 Kepercayaan terhadap Kinerja Lembaga Politik Desa ... 98
BAB VII PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK
DESA... 102
7.1 Partisipasi Lansia dalam Rapat Formal Desa ... 102
7.2 Partisipasi Lansia dalam Dewan Desa ... 108
7.3 Partisipasi Lansia dalam Musyawarah Desa... 112
BAB VIII PARTISIPASI LANSIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ... 117
8.1 Faktor Sosial Ekonomi dan Nilai Budaya Masyarakat Desa ... 117
8.1.1 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dengan Nilai Budaya Masyarakat Desa... 118
8.1.2 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Faktor Politik dan Nilai Budaya Masyarakat Desa ... 121
8.1.3 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Jenis Kelamin dan Nilai Budaya Masyarakat Desa ... 123
8.2 Hubungan Nilai Budaya Masyarakat Desa dengan Partisip asi dalam Kelembagaan Politik Desa ... 126
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ... 129
9.1 Kesimpulan ... 129
9.2 Saran ... 135
DAFTAR PUSTAKA... 137
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
Tabel 1. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut jenis kelamin di Indonesia tahun 2004
2
Tabel 2. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut tipe daerah di Indonesia tahun 2004
2
Tabel 3. Angka harapan hidup menurut jenis kelamin berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 1971, 1980, 1990 dan 2000
3
Tabel 4. Jumlah aparat dalam perangkat desa tahun 2005/2006 49
Tabel 5. Jumlah aparat dan kader dalam lembaga- lembaga Desa Situ Udik tahun 2005
50
Tabel 6. Fasilitas pendidikan dan perbandingan tenaga pengajardengan murid Desa Situ Udik tahun 2005/2006
53
Tabel 7. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan mata pencaharian tahun 2005
54
Tabel 8. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan tingkat pendidikan terakhir tahun 2005
55
Tabel 9. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan kelompok umur tahun 2005
55
Tabel 10. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur Desa Situ Udik tahun 2006
65
Tabel 11. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan, Desa Situ Udik tahun 2006
66
Tabel 12. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kelamin Desa Situ Udik tahun 2006
68
Tabel 13. Sumber pendapatan responden setiap bulan, Desa Situ Udik tahun 2006
70
Tabel 14. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan besar pendapatan, Desa Situ Udik tahun 2006
72
dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
Tabel 16. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tempat tinggal, Desa Situ Udik tahun 2006
75
Tabel 17. Jumlah dan persentase responden berdasarkan caregiving dan status pernikahan, Desa Situ Udik tahun 2006
77
Tabel 18. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis organisasi yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006
79
Tabel 19. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis perkumpulan yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006
80
Tabel 20. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi/jabatan dalam organisasi/perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006
81
Tabel 21. Jumlah dan persentase responden berdasarkan lama keikutsertaan dalam organisasi atau perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006
82
Tabel 22. Jumlah responden berdasarkan tingkat pengalaman berorganisasi dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
83
Tabel 23. Jumlah dan persentase responden berdasarkan partai politik yang dipilih pada Pemilu 2004, Desa Situ Udik
87
Tabel 24. Jumlah dan persentase responden berdasarkan perana n yang ditampilkan dalam kampanye Pemilu 2004, Desa Situ Udik
88
Tabel 25. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam partai politik, Desa Situ Udik tahun 2006
89
Tabel 26. Jumlah dan persentase responden berdasarkan keikutsertaan dalam penghitungan suara Pemilu legislatif 2004, Desa Situ Udik
90
Tabel 27. Tingkat partisipasi responden dalam Pemilu 2004, Desa Situ Udik
90
Tabel 28. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan dan akses terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006
91
Tabel 29. Jumlah responden berdasarkan keterdedahan terhadap berita politik, Desa Situ Udik tahun 2006
Tabel 30. Tingkat Keterdedahan responden terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006
93
Tabel 31. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan pernyataan politiknya, Desa Situ Udik tahun 2006
95
Tabel 32. Tabulasi silang antara frekuensi sebut pernyataan sikap tentang politik dengan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
96
Tabel 33. Jumlah responden berdasarkan minat keikutsertaan dalam kelembagaan politik dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
97
Tabel 34. Sikap responden terhadap politik Desa Situ Udik berdasarkan jenis kelamin, tahun 2006
98
Tabel 35. Jumlah dan persentase responden bedasarkan penilaian terhadap kinerja perangkat desa, Desa Situ Udik tahun 2006
99
Tabel 36. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
104
Tabel 37. Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk-bentuk rapat formal yang pernah diikuti
105
Tabel 38. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
106
Tabel 39. Tingkat partisipasi responden dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
107
Tabel 40. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi yang ditempati dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006
109
Tabel 41. Jumlah dan persentase responden yang menjadi dewan desa berdasarkan proses penempatan posisi dalam Kelembagaan Politik Desa Situ Ud ik
110
Tabel 42. Tingkat partisipasi Lansia dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006
111
Tabel 43. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
113
Tabel 44. Jumlah dan persentase responden berdasarkan aspek (jenis) musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
Tabel 45. Tingkat partisipasi responden dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
115
Tabel 46 Hubungan faktor sosial ekonomi dengan faktor nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik tahun 2006
118
Tabel 47 Hubungan antara faktor sosial ekonomi, faktor politik dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006
121
Tabel 48 Keputusan uji statistik kotingensi hubungan antara faktor sosial ekonomi, jenis kelamin dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006
124
Tabel 49 Hubungan antara nilai budaya masyarakat desa dengan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik Desa Situ Udik, tahun 2006
DAFTAR GAMBAR
1.1 Latar Belakang
Abad 21 merupakan abad lanjut usia (era of population aging) karena
pertumbuhan penduduk dengan usia lanjut (Lansia) pada abad ini sangat cepat. Proses penuaan penduduk menjadi suatu gejala yang mendunia. Proporsi penduduk Lansia
dunia pada tahun 2004 telah mencapai sekitar 10 persen dari jumlah penduduk dunia1. Suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari akibat dari proses transisi demografi yaitu perubahan tingkat kelahiran, dari tingkat kelahiran tinggi ke tingkat yang lebih rendah
serta perubahan tingkat kematian, dari angka kematian tinggi me njadi angka kematian yang rendah (Rusli, 1983). Demikian juga yang terjadi di Indonesia, bahkan
diproyeksikan pada beberapa dekade mendatang jumlah penduduk Lansia di Indonesia akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah balita.
Saat ini Indonesia menempati posisi kesepuluh dengan jumlah populasi Lansia
terbanyak didunia, dan menjadi negara terbanyak penduduknya di ASEAN dengan jumlah absolut Lansia tertinggi. Antara tahun 2010 dan 2020, angka pertumbuhan
populasi Lansia akan menjadi 3,7 persen, berbanding dengan tingkat pertumbuhan populasi 0,8 persen (Dung Do-Le dan Raharjo, 2002).
Jika dilihat berdasarkan komposisi penduduk menurut umur, struktur penduduk
Indonesia semakin mengarah ke penduduk tua. Suatu negara memasuki era penduduk struktur tua (aging population) jika proporsi penduduk lanjut usianya telah berada pada
patokan penduduk berstruktur tua yakni tujuh persen dari total populasi. Penduduk dengan usia 60 tahun keatas mengalami peningkatan, dilihat dari proporsi dari total
1 Lilis Heri Mis Cicih, Karakteristik Penduduk Lanjut Usia Indonesia Masa Kini dalam Warta Demografi,
penduduk Indonesia, dari sekitar 4,5 persen (5,3 juta jiwa) pada tahun 1971 menjadi 7,2
persen (15.054.877 jiwa) di tahun 2000 dan diperkirakan mencapai 11,3 persen pada tahun 20202.
Fenomena yang terjadi dari peningkatan penduduk Lansia di Indonesia, seperti
halnya di negara- negara berkembang lain, jika ditinjau dari perbandingan jenis kelamin baik di desa maupun di kota, jumlah penduduk Lansia perempuan lebih banyak
dibandingkan penduduk Lansia laki- laki. Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut jenis
kelamin di Indonesia tahun 2004
Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Perempuan 8.687.222 52,58
Laki-laki 7.835.089 47,42
Perempuan+Laki-laki 16.522.311 100,00
Sumber: Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004. Badan Pusat Statistik. 2004.
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah penduduk dengan usia lanjut (60 tahun keatas) kini telah mencapai 16,5 juta jiwa. Tabel tersebut juga memberikan gambaran bahwa sebagian besar jumlah penduduk Lansia di Indonesia sampai tahun 2004 (52,6%)
adalah perempuan. Sejalan dengan proses pembangunan yang disertai dengan
perkembangan sektor industri dan perdagangan khususnya di daerah perkotaan telah menarik ’orang muda’ dari desa untuk mencari pekerjaan. Akibatnya dari migrasi tersebut adalah bertambahnya jumlah penduduk Lansia di pedesaan (Lihat Tabel 2). Tabel 2. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut tipe
daerah di Indonesia tahun 2004
Tipe Daerah Jumlah Persentase (%)
Perkotaan 6.328.909 38,31
Pedesaan 10.193.402 61,69
Perkotaan+Pedesaan 16.522.311 100,00
Sumber: Survey Sosial Ekonomi Tahun 2004. BPS.
2 Lansia Lebih Banyak dari Balita. http://HarianTerbit.com/2june2004/rubrik/nasional.htm. Diakses
Berdasarkan Tabel 2, maka nampak bahwa hampir dua pertiga dari jumlah
populasi penduduk Lansia di Indonesia bertempat tinggal di Pedesaan. Indonesia di masa reformasi tahun 1998 dan desentralisasi, secara administatif, terbagi menjadi 32
provinsi. Terdapat lima provinsi yang memiliki struktur populasi yang menua; termasuk
diantaranya DI Yogyakarta yang memiliki proporsi Lansia tertinggi (13,7 persen). Beberapa provinsi lain yang telah mengalami proses penuaan penduduk dibandingkan
dengan apa yang terjadi secara nasional yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Jawa Barat. Bahkan beberapa propinsi mempunyai persentase
Lansia yang lebih besar dibandingkan dengan negara lain3.
Perbaikan taraf kehidupan dan kesehatan dari suatu masyarakat berdampak pada bertambah panjang masa hidup seseorang. Indonesia diperkirakan akan terjadi “Silver
Tsunami” yang sangat meningkat jumlah penduduk usia lanjut. Perkembangan jumlah lanjut usia termasuk sangat cepat disebabkan karena penurunan tingkat fertilitas
penduduk. Harapan hidup penduduk Indonesia mengalami peningkatan jumlah dan
proporsi sejak tahun 1980, dapat dilihat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Angka harapan hidup menurut jenis kelamin berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 1971, 1980, 1990 dan 2000
Sensus Penduduk Tahun Laki-laki Perempuan Laki-laki+Perempuan
1971 44,20 47,17 45,73
1980 50,64 53,69 52,21
1990 58,06 61,54 59,80
2000 63,45 67,30 65,43
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan, http//:www.portal.menegpp.go.id.htm
Berdasarkan Tabel 3 di atas, terlihat bahwa harapan hidup perempuan Indonesia di tahun 2000 mampu bertahan hidup hingga mendekati 70 tahun serta memiliki
harapan hidup yang lebih lama dibandingkan laki- laki. Beberapa tahun mendatang usia
3 Jutaan Lansia Butuh Pelayanan Sosial, http//:www.suarakarya-online.com/wacana_wanita/2004.htm,
rata-rata penduduk dapat mencapai 100 tahun. Hal inilah yang kemudian akan
menambah peliknya permasalahan peningkatan jumlah penduduk berusia lanjut di Indonesia. Sejalan dengan proses penuaan, kondisi fisik maupun non-fisik Lansia yang
mengalami penurunan maka dibutuhkan peningkatan pelayanan sosial bagi penduduk
Lansia.
Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Wirakartakusumah et al. (1995)
tentang determinan Lansia bekerja dan bertempat tinggal di Indonesia maupun Wahyuni (2003) yang mengkaji tentang kesejahteraan Lansia di pedesaan Jawa Barat,
serta Indawati (2003) yang melakukan identifikasi beberapa faktor yang berkaitan
dengan banyaknya Lansia di Kabupaten Lamongan, menunjukkan bahwa perempuan Lansia dan yang tinggal di pedesaan merupakan Lansia yang yang sangat membutuhkan
bantuan dari pemerintah dan masyarakat. Hal ini karena perempuan Lansia cenderung lebih tua, tidak bekerja, hidup sendiri, berstatus tidak kawin (janda), tingkat
pendidikannya rendah, miskin, tinggal di pedesaan dan mayoritas hidup sendiri.
Masyarakat Indonesia pada umumnya menempatkan lanjut usia (Lansia) pada posisi yang dihormati. Hal ini bukan saja karena sesuai dengan nilai-nilai budaya yang
hidup dan berkembang di masyarakat, tetapi juga karena Lansia tergolong ke dalam kelompok rentan. Penghormatan itu antara lain, berupa pemberian fasilitas dan
pelayanan khusus dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak- hak mereka. Pada
mulanya program pemerintah dalam penanganan terhadap penduduk Lansia lebih menekankan pemberian santunan kepada mereka yang terlantar, sesuai dengan
Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Kemudian untuk dapat mempunyai sasaran yang lebih luas dengan memberikan dorongan untuk
masyarakat agar dapat mendukung terwujudnya Lansia yang berguna, berkualitas dan
mandiri, maka diatur Pasal 8 UU No.39/1999.
Meskipun perhatian mulai diberikan kepada Lansia, namun hingga saat ini
masih terdapat sekitar 3,7 juta lanjut usia (Lansia) di Indonesia yang memerlukan
pelayanan sosial. Sebagian besar di antara mereka dalam keadaan terlantar dan memerlukan upaya perlindungan khusus. Pada tahun 1998, jumlah Lansia yang terlantar
sebanyak 3.485.066 orang dan rawan terlantar 4.975.942 orang. Sedangkan pada tahun 2002, jumlah Lansia telantar 3.754.569 orang dan rawan terlantar menjadi 5.102.800
orang (www.suarakaryaonline.htm/wanita.htm). Namun, bentuk perhatian dan
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah selama inipun masih terbatas dikarenakan mereka miskin bukan karena mereka Lansia. Pemusatan perhatian masih terbatas pada
masalah sosial ekonomi, belum menyentuh pada hak Lansia dalam kehidupan berpolitiknya.
Padahal isu kesetaraan perempuan Lansia baru mulai mengemuka dan diakui
dunia sejak Konferensi Dunia I tentang Perempuan tahun 1975. Kemudian ditindaklanjuti dengan mulai berperspektif gender pada Konferensi Dunia III tentang
perempuan tahun 1985 yang mengidentifikasi ”perempuan Lansia” sebagai salah satu dari 14 isu yang memerlukan perhatian khusus. Hal ini dimaksudkan agar perempuan
Lansia tidak hanya diperlakukan sebagai objek yang rawan dan memerlukan berbagai
bantuan, pelayanan dan perawatan, tetapi juga sebagai subjek yang mempunyai berbagai kemampuan dan memberikan sumbangan bagi pembangunan4. Kemudian dilakukan
evaluasi pelaksanaan hasil- hasil Konferensi Dunia tentang Lansia (1982) yang menghasilkan United Nation Principles for Older Persons, yang dicetuskan pada 1991
dengan Resolusi No 46/91 menghimbau negara- negara anggota PBB tentang hak dan
kewajiban lanjut usia yang dirangkum dalam lima hak dan kelompok, yaitu kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat5.
Konsepsi tersebut berkembang hingga kemudian dalam pertemuan Sidang
Lanjut Usia kedua di Madrid tahun 2002 menghasilkan kesepakatan Rencana Aksi Internasional Lanjut Usia (Madrid International Plan of Action of Ageing). Tindak
lanjut dari rencana aksi yakni dilaksanakannya seminar di Shanghai September 2002 yang menghasilkan strategi implementasi bagi para lanjut usia (Shanghai
Implementation Strategy)6. Hasil Strategi tersebut memberikan gambaran orang lanjut
usia bukanlah suatu beban, melainkan suatu keberhasilan tidak saja menyangkut kesejahteraan sosial, akan tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan dalam
pembangunan, termasuk bidang politik.
Walaupun konsep successful aging tersebut diformulasikan dari pengalaman dan
penelitian negara maju. Tetapi dalam praktek pembinaan usia lanjut, harus
mengakomodasi faktor-faktor kultural, subkultural, nilai agama dan nilai sosial setempat. Hingga kini kesadaran tentang isu Lansia di Indonesia, terlebih lagi kaitannya
dengan kehidupan politik, dikalangan pengemban kepentingan (stakeholders) belum ada. Minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang urgensi dan kompleksnya isu
Lansia ini menjadi salah satu penyebabnya
Hal ini menunjukkan pentingnya penelitian maupun studi-studi tentang Lansia khususnya partisipasi Lansia dalam politik. Kelembagaan politik desa menjadi fokus
penelitian ini dengan mengintegrasikan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berlaku pada masyarakat pedesaan.
1.2 Perumusan Masalah
Proses menua (aging) adalah proses alami ya ng disertai adanya penurunan
kondisi fisik, biologis, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Menua adalah juga proses kehilangan, mulai dari kehilangan peran sosial (misalnya karena pensiun), kehilangan pendapatan, hingga kehilangan teman dan keluarga karena kematian. Keadaan itu cenderung berpotensi tidak saja menimbulkan bagi masalah bagi
kondisi fisik Lansia namun juga kondisi mentalnya.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita lebih terobsesi dengan aspek negatif
daripada positif dalam hal pertambahan usia. Tapi bukti yang terdapat dalam berbagai bukti ilmiah jelas-jelas menunjukkan hal- hal yang berbeda dari stereotipe yang ada.
Bahkan membaiknya teknologi kesehatan dan gaya hidup sehat yang dianut sebagian
masyarakat menunjukkan peningkatan angka harapan hidup manusia. Maka sama seperti yang diungkapkan oleh penulis Theodore Rozak, "Masa depan di tangan
orang-orang dewasa". Meskipun sebagian dari penduduk Lansia dianggap menjadi beban bagi penduduk produktif karena kondisi fisik, mental, sosial yang menurun sehingga tidak
memungkinkan mereka berperan dalam pembangunan. Namun di sisi lain Lansia
memiliki pengalaman, kearifan, keahlian, semangat kejuangan dan kekayaan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh generasi yang lebih muda. Khus usnya pada
masyarakat pedesaan yang erat kaitannya dengan nilai- nilai ketradisionalan. Ketradisionalan masyarakat desa diidentifikasi melalui pandangan bahwa segala
kegiatan dianggap baik bila sesuai dengan norma-norma yang telah diwariskan nenek
moyang secara turun temurun (Prijono dan Prijono, 1983).
Pola pikir ini pulalah yang mendasari nilai-nilai masyarakat desa dalam
masyarakat. Seorang lurah misalnya, dipilih bukan hanya latar belakang pendidikannya
tapi juga karena usia dan kebijaksanaannya. Hal ini disebabkan seorang lurah bukan hanya semata-mata kepala desa saja, tapi juga sebagai “bapak” bagi semua penduduk
desa. Demikian pula dengan para pamong desa, biasanya terdiri dari orang-orang tua
desa, yang umumnya menjadi anggota masyarakat terpenting karena pengetahuannya akan adat istiadat. Pertanyaan besar yang kemudian timbul adalah Lansia yang seperti
apakah yang masih menempati posisi penting tersebut. Lalu peran-peran apa sajakah yang ditampilkan oleh para Lansia tersebut. Jika kelembagaan politik desa identik
dengan istilah maskulinitas dan atribut ‘kebapakan’ seorang pemimpin desa, maka
apakah perempuan Lansia juga memiliki tempat didalamnya.
Berdasarkan hasil pemaparan di atas serta pemaparan sebelumnya pada latar
belakang, ingin diteliti lebih lanjut beberapa aspek yang terkait dengan masalah tersebut, yaitu :
1. Bagaimana karakteristik Lansia di pedesaan?
2. Bagaimanakah partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi partisipasi Lansia dalam
kelembagaan politik desa?
1.3Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta membuat suatu analisis terhadap
partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa. Hal ini dilakukan guna mengakomodasi faktor- faktor kultural, subkultural, nilai agama dan nilai sosial di
dan teori aktivitas sebagai landasan teoritisnya. Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai
berikut ini:
1. mengidentifikasi karakteristik Lansia di pedesaan
2. mengidentikasi partisipasi Lansia terhadap kelembagaan politik desa
3. menganalisis peranan yang ditampilkan Lansia dalam partisipasinya di kelembagaan politik desa
4. menganalisis berbagai faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa.
1.4Kegunaan Penelitian
Melalui penelitian ini, terdapat beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan
pada berbagai pihak, yaitu :
1. Dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji permasalahan terkait
dengan isu- isu Lansia secara lebih mendalam.
2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan Lansia khususnya perempuan.
3. Menambah khasanah pengetahuan tentang kajian kependudukan khususnya studi tentang Lansia dengan melakukan perbandingan antara laki- laki lansia dan
perempuan lansia ditinjau dari berbagai aspek baik sosial, ekonomi,
2.1. Pendekatan Teoritis
2.1.1 Lanjut Usia: Pengertian dan Batasan
Lanjut usia adalah setiap warga negara Indonesia pria atau wanita yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik potensial maupun tidak potensial. Batasan lanjut
usia menurut WHO South East Asia Regional Office (Organisasi Kesehatan Dunia untuk Regional Asia Selatan dan Timur) adalah usia usia lebih dari 60 tahun. Dilihat dari ciri-ciri fisiknya, manusia lanjut usia memang mempunyai karakteristik yang spesifik.
Secara alamiah, maka manusia yang mulai menjadi tua akan mengalami berbagai perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya (Rully, 2003).
Terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN, 1998). Secara biologis
penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya
terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada
sebagai sumberdaya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan
Penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat,
penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan
keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di
Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda.
Mendefinisikan lanjut usia dapat ditinjau dari pendekatan kronologis. Menurut Supardjo (1982) dalam Suhartini (2004) usia kronologis merupakan usia seseorang
ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Berbagai aspek pengelompokan lanjut usia
yang paling mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah untuk diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada
berbagai sumber data kependudukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu :
1. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun,
2. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, 3. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan
4. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Saparinah (1983) dalam Suhartini (2004) berpendapat bahwa pada usia 55
sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai tahap prapensiun pada
tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh/kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Hal ini akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam hidupnya.
Demikian juga batasan lanjut usia yang tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, bahwa yang berhak
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dengan tegas
dinyatakan bahwa yang disebut sebagai lanjut usia adalah laki- laki ataupun perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih. Merujuk pada hal tersebut maka dalam penelitian ini
batasan lanjut usia adalah individu berusia 60 tahun ke atas.
2.1.2 Lanjut Usia : Perkembangan Teori Gerontologi
Terdapat sejumlah teori yang digunakan dalam menjelaskan fenomena penuaan (aging) dalam ilmu sosiologi. Penuaan dapat dianalisa menurut ilmu sosiologi sebagai
tiga proses yang mempengaruhi orang-orang ketika mereka menjadi tua: biologis, psikologis, dan sosial; Tiga proses tersebut mengusulkan tiga metafor waktu
perkembang yang berbeda, walaupun saling terkait satu sama lainnya
1. Penuaan biologis secara khas berarti berkurangnya penglihatan, kehilangan pendengaran, kerutan, suatu kemunduran kekuatan otot dan disertai penimbunan
lemak, dan penurunan efisiensi kardiovaskuler.
2. Tua menurut psikologis diasumsikan bahwa memori, pelajaran,
kecerdasan/inteligensi, keterampilan, dan motivasi untuk belajar cenderung
untuk merosot karena umur.
3. Penuaan sosial terdiri dari norma-norma, nilai- nilai, dan peran yang secara
kultural dihubungkan dengan umur secara kronologis tertentu .
Sosial gerontologi adalah bidang studi multidisipliner dan merupakan instrumen
teoritis utama kaum ortodoks yang berkenaan dengan lanjut usia terutama di Amerika
Serikat, Inggris dan akademisi Australia (Phillipson 1998; Biggs dalam Powell 2001). Berikut ini penjelasan singkat mengenai teori-teori tersebut yang merupakan ikhtisar
diskontinuitas dalam proses penuaan dan hilangnya status; teori-teori yang
memfokuskan pada penuaan individu dan interaksinya dengan masyarakat serta lingkunganya; dan teori-teori kritis yang memperhatikan faktor-faktor struktural yang
mempengaruhi kaum Lansia.
Teori Fungsionalis, terdiri dari beberapa teori yang membangun diantaranya: 1. Teori peran, komponen utama teori ini adalah hilangnya peran dan penyesuaian
diri atau ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan peran-peran baru dalam usia tua. Perubahan peran yang terjadi setelah pensiun, ketika peran kerja yang
bebas digantikan oleh bentuk-bentuk hubungan sosial yang tergantung. Salah
satu premisnya, wanita lebih mudah menyesuaikan diri dengan peran-peran usia tua, karena mereka mengalami transisi yang lebih lancar kedalam peran-peran
ketergantungan pada umumnya. Teori ini cenderung melestarikan nilai- nilai kultural yang dominan, dan melukiskan suatu gambaran wanita dalam
masyarakat yang strereotipe.
2. Teori aktivitas, mengemukakan bahwa terdapat suatu hubungan positif antara aktifitas sosial dan kepuasan hidup. Lebih jauh teori ini menjelaskan bahwa
orang yang masa mudanya sangat aktif dan terus juga memelihara keaktifannya setelah dia menua. Ahli jiwa mengatakan bahwa “sense of integrity” dibangun
semasa muda dan akan tetap terpelihara sampai tua. Ericson, membuat suatu
ringkasan tentang fase- fase perkembangan manusia sejak bayi sampai tua, yang mana tiap fase menerangkan tentang adanya krisis-krisis untuk memilih antara
ke arah mana seseorang akan berkembang. Fase terakhir disebut bahwa ada pilihan antara: “sense of integrity” dan “sense of despair” karena adanya rasa
differentitation) melawan preokupasi peranannya dalam bekerja (work role
preoccupation). Hal ini dipengaruhi oleh pikiran-pikiran tentang pensiun. Juga ditambahkan bahwa pada masa ini ada krisis, seseorang itu dapat membangun
suatu hubungan-hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan
mengembangkan aktivitas-aktivitas yang kreatif untuk melawan pikiran-pikiran yang terpusat kepada kemunduran-kemunduran fisiknya (Powell, 2001). Namun,
teori ini menganggap bahwa individu mempunyai suatu elemen kontrol terhadap dunia sosial mereka, dan mengabaikan persoalan kemiskinan, gender, dan
diskriminasi ras.
3. Teori keterlepasan, mengemukakan bahwa pengurangan interaksi sosial diharapkan oleh individu- individu Lansia, terjadi saling menarik diri antara
Lansia dan non-Lansia di dalam sistem sosial.
4. Teori lingkungan sosial, memfokuskan pada pengaruh lingkungan sosial dan
fisik kaum Lansia terhadap aktivitas-aktivitas sosial, pola-pola interaksi Lansia
dengan tetangga dan keluarga, dan kepuasan hidup mereka yang terlihat dari persepsi dan makna yang diterapkan dalam kehidupan sehari- hari Lansia. Hal ini
dikembangkan dalam suatu tipologi dengan memperhatikan lingkungan berusia sama dan lingkungan beragam usia.
5. Teori pertukaran, fokusnya adalah pada individu- individu, karena mereka
berinteraksi dan berupaya mempertahankan suatu keseimbangan ketika mereka mempertukarkan imbalan- imbalan, hukuman dan persahabatan. Norma
Lansia, pertukaran ini seringkali dinegosiasikan dalam arti kesukarelawanan
atau bentuk-bentuk pekerjaan yang tidak dibayar.
Teori-teori kritis dibangun dengan mempertimbangkan faktor-faktor struktural dalam
menjelaskan fenomena penuaan populasi ini:
1. stratifikasi umur, teori ini menganalisis lapisan- lapisan sosial berdasarkan kelas, yang membagi individu- individu dan kelompok-kelompok dalam beberapa
golongan sosial, yang memiliki akses yang berbeda pada imbalan, sumber-sumber dan kekuasaan.
2. Ekonomi politik penuaan, bahwa perbedaan ancaman dan diskriminasi terhadap
kaum Lansia, mencerminkan distribusi kekuasaan, pendapat, dan pemilikan dalam keseluruhan struktur sosial. Kebutuhan kaum Lansia menjadi prioritas
yang rendah dalam suatu sistem berdasarkan kapitalisme dan pencarian keuntungan. Kemiskinan kaum tua sekarang, merupakan fungsi dari
ketidakmampuan sistem kapitalis untuk mengontrol institusi- institusi politik,
ekonomi, dan sosial.
2.1.3 Konsep Successful Aging
Perkembangan teori-teori tersebut kemudian melahirkan bagan atau kerangka
konseptual untuk menguraikan hasil/akibat yang ideal dari proses penuaan. Salah satu dari terminologi yang paling umum digunakan untuk menguraikan suatu masa tua yang
sukses adalah "succesful aging", yang pertama kali dikemukakan oleh R. J. Havighurst
pada tahun 1961. Konsep dari sukses di usia lanjut merupakan pusat dari ilmu usia lanjut (gerontologi), dan artikel oleh Havighurst muncul sebagai konsep dalam isu
Definisi konsep sukses ini sendiri menimbulkan kerancuan tidak ada definisi
yang dengan baik diterima atau model tentang successful aging yang telah teruji selama ini. Havighurst (1961) mendefinisikannya sebagai "adding life to the years" dan
"memperoleh kepuasan hidup". Palmore (1995) dalam ensiklopedi tentang proses
penuaan, mengemukakan bahwa suatu definisi yang komprehensif tentang successful aging yang berkombinasi dengan survival (umur panjang), kesehatan (ketiadaan cacat),
dan kepuasan hidup (kebahagiaan). Rowe dan Kahn (1987) mendefinisikannya dalam kaitan dengan berbagai variabel fisiologis dan psikologis (Bearon, 1996).
Terdapat tiga teori gerontologi sosial yang dijadikan dasar dari munculnya
konsep successful aging ini, diantaranya teori aging yang pertama, Cumming dan Henry dengan "teori keterlepasan" (1961), yang mengemukakan pada proses/rangkaian
penuaan yang normal, seseorang secara berangsur-angsur menarik atau melepaskan dari peranan sosial sebagai tanggapan alami untuk mengurangi kemampuan dan mengurangi
minat, dan untuk kurangnya dorongan untuk partisipasi bermasyarakat. Di dalam model
ini, orang yang sukses di masa tuanya dengan sepenuh hati mengundurkan diri dari pekerjaan atau kehidupan berkeluarga dan dengan puas berada di kursi goyang, atau
mengucilkan diri, aktivitas pasif yang bersiap-siap menghadapi kematian (Bearon, 1996).
Teori utama aging yang kedua, dikenal sebagai "teori aktivitas", yang
mengemukakan bahwa orang berumur lebih sukses ketika mereka mengambil bagian dalam suatu aktivitas satu harian penuh, artinya, tetap sibuk (Lemon, Bengtson dan
Peterson, 1972 dalam Bearon, 1996). Kini, teori-teori tersebut tidak lagi digunakan oleh gerontologis yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang terlalu membatasi dalam
Lansia, mencakup orang-orang yang memilih kehidupan sedikit terstruktur tersusun atau
tidak memperhatikan kesehatan atau berarti untuk mengejar suatu jadwal aktivitas penuh. Meskipun demikian, aktivitas secara luas diakui oleh para Lansia sendiri sebagai
kunci mereka menuju sukses diusia tuanya, sehingga gerontologis sudah menggelari
filosofi ini "etnis yang sibuk" (Powell, 2001).
Teori ketiga tentang penuaan yang telah dipandang dengan memiliki banyak
kelebihan di tahun terakhir disebut "teori kesinambungan”. Teori ini mengusulkan bahwa orang berumur paling sukses sukses adalah mereka yang memindahkan
kebiasaan, pilihan, gaya hidup dan hubungan dari paruh baya hingga akhir hidup
(Bearon, 1996).
Kriteria sukses dalam pembinaan kelompok usia lanjut, cukup kompleks seperti
indikator subyektif dan obyektif. Indikator subyektif di antaranya meliputi kepuasan batin (makna hidup). Sedang indikator obyektif berupa usia yang panjang, kesehatan
mental dan produktif sosial. Itu akan bisa tercapai jika seseorang bisa melakukan
kontrol personal.
Konsep succesful aging sebagai perspektif yang berorientasi pada proses
merupakan mekanisme dengan modal selektif, optimalisasi dan kompensasi. Hal ini, yang dimaksud selektif adalah membatasi aktivitas sehari- hari secara proaktif sesuai
dengan motivasi dan kemampuan yang dimiliki. Model kedua adalah kompensasi,
model ini tidak hanya mengandung adaptasi terhadap aktivitas yang selama ini dilakukan tetapi juga menciptakan aktivitas baru sesuai dengan kondisi Lansia. Agar
kesempatan pada Lansia untuk melakukan praktek dan latihan dengan menciptakan
kondisi lingkungan yang kondusif.
Di Indonesia umumnya memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka
cukup aman karena anak atau saudara-saudara yang lainnya masih merupakan jaminan
yang baik bagi orang tuanya. Anak berkewajiban menyantuni orang tua yang sudah tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Nilai ini masih berlaku, memang anak wajib
memberikan kasih sayangnya kepada orang tua sebagaimana mereka dapatkan ketika mereka masih kecil. Para usia lanjut mempunyai peranan yang menonjol sebagai
seorang yang “dituakan”, bijak dan berpengalaman, pembuat keputusan, dan kaya
pengetahuan. Mereka sering berperan sebagai model bagi generasi muda, walaupun pada kenyataannya banyak diantara mereka tidak mempunyai pendidikan formal
Pengalaman hidup lanjut usia merupakan pewaris nilai- nilai sosal budaya sehingga dapat menjadi panutan bagi kesinambungan kehidupan bermasyarakat dan berbudaya.
Walaupun sangat sulit untuk mengukur berapa besar produktivitas budaya yang dimiliki
orang lanjut usia, tetapi produktivitas tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh para generasi penerus mereka (Yasa, 1999 dalam Suhartini, 2004).
2.1.4 Kelembagaan Politik Desa
Penggunaan kata kelembagaan disini mengacu pada istilah kelembagaan sosial yang berasal dari istilah social institution. Namun, Koentjaraningrat dalam Soekanto
(1990) menggunakan istilah pranata sosial yang didefinisikan sebagai suatu sistem tata
kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat, dalam menggambarkan dan
menggunakan konsep pranata sosial untuk menperjelas perspektif sosiologi dalam
kelembagaan irigasi, hanya saja hal ini juga dikaitkannya dengan konsep organisasi sosial. Konsep pranata ini menurutnya banyak dipakai dalam sosiologi, yang menunjuk
pada perilaku ideal dan harapan peranan sebagai suatu konsep umum berbagai aturan
yang menyokong pola perilaku sosial: norma, cara-cara rakyat, adat kebiasaan dan hukum.
Istilah ‘Social Institution’ oleh Soemardjan (1964) diterjemahkan dengan istilah lembaga kemasyarakatan. Hal ini dengan maksud istilah lembaga, kecuali menunjuk
pada suatu bentuk, juga mengandung pengertian yang abstrak tentang adanya
norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang merupakan ciri dari lembaga itu.
Kelembagaan yang dipaparkan Schmid (1977) dalam Tonny (2004), adalah
seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang
dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lain. Hak- hak tersebut mengatur
hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya pemanfaatan sumberdaya tertentu. Ahli ekonomi memakai konsep yang sama dalam mendefinisikan
lembaga sebagai suatu peraturan perilaku. Pola perilaku sosial pada setiap kelompok penduduk dan interaksi dapat disebut sebagai organisasi sosial. Organisasi sosial ini
terdiri dari pola kelompok-kelompok yang kurang resmi, bertujuan, ataupun mapan
seperti rapat antara badan yang berwenang dengan kelompok musyawarah masyarakat. Konsep kelembagaan sosial ini bukanlah istilah ‘lembaga’ (yang berasal dari
kata institute) yang biasa digunakan dalam percakapan sehari- hari (Tonny, 2003). Umumnya, kelembagaan sering diartikan sebagai organisasi, dalam banyak hal dapat
(2003) menjelaskan bahwa istilah lembaga biasanya merujuk pada suatu ‘badan’, seperti
organisasi ilmiah, organisasi ekonomi, dan berbagai organisasi yang memiliki beragam tujuan. Sehingga disimpulkan bahwa kelembagaan sosial merupakan suatu kompleks
atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai- nilai yang
penting. Esensinya, menurut Polak (1966), kelembagaan itu memiliki tujuan yang mengatur antarhubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang
paling penting (Tonny, 2003).
Setiap masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu yang
apabila dikelompokan akan terhimpun menjadi suatu kelembagaan sosial. Berdasarkan
hal tersebut, sebagai suatu batasan, dapat dikatakan kelembagaan adalah himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok didalam
masyarakat. Wujud kongkrit dari kelembagaan sosial tersebut adalah asosiasi (Soekanto, 1990), hal ini diperkuat oleh Mc Iver dan Page dalam Soemardjan (1964)
yang membandingkan istilah kelembagaan dengan istilah association--asosiasi.
Sedangkan kelembagaan merupakan tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem sosial lainnya (Bertrand, 1974 dalam Tonny, 2003).
Kelembagaan sosial yang merupakan seperangkat aturan dan perilaku yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, dapat dikategorikan berdasarkan jenis-jenis
kebutuhan tersebut. Koenjtaraningrat dalam Soekanto (1990) mengkategorikannya
menjadi kelembagaan kekerabatan atau domestik, ekonomi, pendidikan, ilmiah, keagamaan, somatik, estetika dan rekreasi serta kelembagaan politik.
Kelembagaan politik merupakan kelembagaan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran yakni
adalah bermacam- macam kegiatan dalam suatu sistem yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan tersebut. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh anggota masyarakat, dan bukan tujuan pribadi seseorang.
Politik ini juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk dalam hal ini partai
politik dan kegiatan perorangan (Budiarjo, 1972).
Rush dan Althoff (2003) mengemukakan bahwa perhatian sentral dari politik
adalah penyelesaian dari konflik-konflik manusia; atau proses dengan mana masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan tertentu;
atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai- nilai tertentu; atau
berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh di dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa esensi dari politik tergantung pada opini maupun pendapat masing- masing.
Lebih lanjut Rush dan Althoff (2003) menerangkan bahwa pada banyak segi, kekuasaan merupakan titik sentral dari suatu studi politik. Hal ini kemudian menjuruskan kita pada
esensi dari politik, yakni sarana-sarana dengan mana manusia memecahkan
permasalahannya bersama-sama dengan manusia lain. Pada aspek ini kajian politik mencakup juga studi mengenai permasalahan manusia, mengenai perlengkapan yang
dikembangkan manusia untuk memecahkan masalah tersebut, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi manusia untuk mengarasi permaslahan yang ada. Permasalahan
tersebut menyangkut pemerintahan dalam pengertian ”aktivitas menjaga ketentraman” .
Konsepsi politik merupakan istilah yang diberikan oleh pengamat terhadap tipe-tipe kegiatan tertentu, Adrain dalam Fadhilah (2005) kemudian mengkategorikannya
kedalam beberapa pola, yaitu: pertama, politik sebagai pengajaran kepentingan umum. Kedua, politik sebagai pengoperasian negara. Ketiga, politik sebagai perumusan dan
Berdasarkan beberapa konsepsi tersebut diatas, sebagai suatu kegiatan, politik
itu beraneka ragam dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain dan dari suatu individu ke individu yang lain. Sehingga, politik tidak hanya menunjuk pada suatu
kebijakan tertentu melainkan pada aspek yang berkaitan dengan perumusan dan
penerapan kebijakan-kebijakan yang mengikat bagi suatu masyarakat.
Kelembagaan politik pada dasarnya merupakan sistem suatu hubungan penguasa
yang dikuasai (rakyat) dalam bentuk pemerintahan, pengunaan kekuasaan tersebut, orang mengenal negara, kepartaian, demokrasi, kehakiman, dan sebagainya. Lembaga
politik kemasyarakatan merupakan lembaga yang bersangkut paut dengan
pengelompokkan anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasa disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam sistem kemasyarakatan (Sastroatmodjo,
1995). Coward dalam Cernea (1988) menyebutkan terdapat tiga elemen yang membentuk suatu kelembagaan dan organisasi sosial, diantaranya:
1. Aturan-aturan kunci, seperti sanksi-sanksi dan sarana-sarana lain dalam upaya
pengendalian sosial
2. Peranan-peranan yang penting; Suatu sistem sosial terdiri dari anggota-anggota
dengan status-status dan peranan-peranan yang kemudian membentuk suatu struktur sosial. Terdapat tokoh-tokoh tertentu yang mempunyai peranan dan
status yang menonjol, mereka inilah disebut pemimpin. Kepemimpinan menjadi
menjadi salah satu penyusun dari elemen ini 3. kelompok-kelompok sosial yang penting
Berdasarkan adat istiadat Jawa, desa memiliki tiga institusi atau kelembagaan sebagai tempat atau wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding,
maupun informal), badan musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan
para pamong desa (Prijono dan Prijono, 1983).
2.1.5 Peranan, Perilaku dan Partisipasi Politik
Suatu sistem sosial tersusun atas dua unsur yakni kedudukan (status) dan
peranan (role). Kedua unsur tersebut merupakan unsur pokok dalam sistem sosial.
Sistem sosial oleh Soekanto (1990) diartikan sebagai suatu pola-pola perilaku yang mengatur hubungan antara individu, masyarakat, dan individu dengan masyarakatnya,
dimana kedudukan dan peran memiliki arti yang penting. Kedudukan merupakan tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial tertentu, tetapi jika
dipisahkan dari individu yang memilikinya maka status-status tersebut merupakan
kumpulan hak dan kewajiban. Seseorang dalam masyarakat biasanya memiliki beberapa kedudukan sekaligus dan selalu terdapat suatu kedudukan yang
menonjol/utama yang kemudian mendasari penggolongan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial. Apabila seseorang menjalankan suatu hak dan kewajiban sesuai dengan
kedudukannya maka dapat dikatakan ia telah menjalankan suatu peranan.
Suatu peranan berasal dari pola-pola yang ada dalam sistem sosial, dan diatur oleh norma-norma yang berlaku dan terbentuk dari pola tersebut. Sehingga peran
menentukan apa yang diperbuat seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Soekanto (1990)
menyimpulkan peranan mencakup tiga hal, yakni:
1. norma-norma yang dikaitkan dengan status sosial sehingga merupakan rangkaian aturan yang mengarahkan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Timbulnya peran adalah apabila ada harapan, baik dari pemegang peran
maupun lingkungan yang memberi peran kepadanya. Pareek dalam Rohmad (1998) mengemukakan peran merupakan sekumpulan fungsi yang dilakukan oleh seseorang
sebagai tanggapan terhadap harapan-harapan dari para anggota penting sistem sosial
yang bersangkutan dan harapan-harapan dari para anggota penting sistem sosial yang bersangkutan dan harapan-harapannya sendiri dari jabatan (posisi) yang ia duduki
dalam sistem sosial itu. Berdasarkan pengertian tersebut, peran dapat dibedakan menjadi tiga yakni (Berlo dan Berry dalam Rohmad, 1998):
1. Presicription role atau peran tertentukan, yaitu harapan-harapan yang
dinyatakan secara formal dan eksplisit tentang perilaku yang harus dilakukan menurut posisi tertentu.
2. Expectation role atau peran harapan, yaitu gambaran atau kesan (images) yang ada dalam diri orang tentang perilaku yang dilakukan oleh orang dalam peran
tertentu,
3. Performances role atau sering disebut description role atau peran aktual, yaitu suatu laporan perilaku yang secara nyata dilakukan oleh orang dalam peran
tertentu.
Jika dikaitkan dengan suatu kegiatan pembangunan masyarakat, maka peran
harus dikaji berdasarkan pada prinsip, misi dan tugas atau pekerjaan peran tersebut.
Rohmad (1998) menjelaskan peran-peran dalam suatu pembangunan masyarakat dapat dibedakan menjadi tiga peran, yakni: (1) peran interpersonal; (2) peran informasional;
Berdasarkan penjelasan tersebut maka peran merupakan perilaku yang
diharapkan sesuai dengan fungsi dan kedudukannya. Perilaku politik ini merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum yang menyangkut persoalan politik, maka
perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik (Sastroadmodjo, 1995). Interaksi sosial dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik ini
adalah esensi dari perilaku politik tersebut.
Perilaku ini berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk
mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu
otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat kearah pencapaian tujuan tersebut. perilaku ini merupakan hasil pengaruh dari beberapa faktor, baik internal maupun
eksternal, yang menyangkut lingkungan alam maupun lingkungan sosial budayanya. Terkait dengan perilaku ini, maka sikap politik merupakan suatu kesiapan untuk
bereaksi terhadap objek tertentu yang bersifat politik sebagai suatu bentuk penghayatan
terhadap objek tersebut (Sastroadmodjo, 1995). Munculnya sikap politik tertentu akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang sekiranya akan muncul atau
sekurang-kurangnya kecenderungan untuk berperilaku. Salah satu bentuk perilaku individu yang dapat diamati (overt behavior) dalam kehidupan berpolitik adalah partisipasi politik.
Partis ipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini
mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau
kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan
dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan
keputusan. Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang
sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan7.
Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi-politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks
governance, yakni relasi antara negara (pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur (mengelola) alokasi
barang-barang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Sedangkan didalam masyarakat terdapat
hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan hidup, dan lain- lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan
barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being8.
Makna terdalam partisipasi adalah suara (voice), akses dan kontrol masyarakat
terhadap pemerintahan dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya
sehari-hari, dengan uraian sebagai berikut9:
Pertama, voice adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan
aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah.
Kedua, Akses berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena
governance, yakni mempengaruhi dan me nentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik. Ada dua hal penting dalam akses: keterlibatan secara
terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan
7
Definisi Partisipasi Politik dalam Ensiklopedia Digital,
http//:www.wikipedia.org/partisipasi_politik/wiki.htm, diakses tanggal 19 Mei 2006
8 Suara, Akses dan Kontrol Masyarakat.
LESUNG Edisi 3 Tahap II, April 2003. http://www.fppm.org/Lesung/Edisi%203%20tahun%202003/perspektif.htm.
tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangk ut siapa yang terlibat, sedangkan
involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti ketersediaan ruang dan kemampuan bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik,
terutama kaum miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan dan lain- lain.
Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik pada warga,
terutama kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan
gagasan pemecahan masalah dan pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah
wajib merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpijak pada kemitraan dan kepercayaan.
Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal
(self-control) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja mencakup kapasitas
masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan
penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka.
Pola kontrol (penguasaan) yang ada dalam masyarakat juga dapat dikaji dari
analisis pola pengambilan keputusan dalam keluarga maupun masyarakat. Analisis pola
pengambilan keputusan dalam keluarga dilakukan untuk melihat : (a) siapa bertanggung jawab, untuk apa; (b) siapa memperoleh manfaat, apa; (c) siapa bisa dijadikan mitra
Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dan
bentuknya. Sebagai suatu bentuk kegiatan maka partisipasi dibedakan menjadi partisipasi aktif dan pasif. Orientasi partisipasi aktif terletak pada masukan dan keluran
politik, sementara partisipasi pasif hanya terletak pada keluaran politik saja
(Sastroatmodjo, 1995). Partisipasi aktif mencakup kegiatan mengajukan usul, menyalurkan aspirasi politik, mengajukan kritik dan saran, membayar pajak, ikut serta
dalam pemilihan umum. Sedangkan partisipasi pasif berupa kegiatan mentaati, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan yang dibuat oleh pemimpin.
Terdapat sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik
yang ada dinilai telah menyimpang dari apa yang telah dicita-citakan. Hal ini diaktualisasikan oleh mereka dalam suatu sikap apatis. Kategori orang yang apatis ini
diterjemahkan oleh Milbarth dan Goel (Sastroadmodjo, 1995) sebagai suatu sikap dimana seseorang yang menarik diri dari proses politik. Terdapat beberapa alasan yang
menyebabkan seseorang bersikap apatis, pertama, mereka beranggapan bahwa denga n
mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai politik tertentu. Alasan kedua,
karena individu menganggap aktivitas politik merupakan kegiatan sia-sia belaka serta ia tidak mungkin mengubah keadaan dan melakukan kontrol politik. Argumen ketiga
adalah atas pemikiran bahwa politik hanyalah memberi kepuasan sedikit dan tidak
langsung, sedang hasil yang diterimanya sangat sedikit. Dengan kata lain, partisipasi politik baginya bukanlah hal yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Rush
dan Althoff, 2003)
Fachrozy (2002) menggunakan beberapa indikator untuk mengukur tingkat
1. Keikutsertaan dalam kampanye pemilihan umum
2. Keikutsertaan dalam kegiatan pemungutan suara untuk memilih perwakilan rakyat
3. Keikutsertaan secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah
4. Ikut serta dan keanggotaan dalam organisasi atau kelompok berkepentingan
5. Frekuensi mengikuti diskusi informal mengenai masalah yang terjadi di desa 6. Frekuensi berkomunikasi dengan pihak berwenang dalam menyelesaikan
permasalahan
Rush dan Althoff (2003) berusaha menempatkan bentuk-bentuk partisipasi politik dalam suatu hirearki partisipasi politik, yang dapat dilihat pada gambar berikut
ini. Dijelaskan juga bahwa partisipasi pada satu tingkatan hierarki tidak merupakan prasyarat bagi partisipasi pada suatu tingkatan yang lebih tinggi.
Menduduki jabatan politik atau administratif
Mencari jabatan politik atau administratif
Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi political)
Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi political)
Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya
Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam
politik
Voting (pemberian suara)
Apathi total
2.1.6 Budaya Masyarakat Sunda: Konsep dan Etos Komunal
kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Di
samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri yang membedakannya dari
kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda,
sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo "silih asih, silih asah, dan silih asuh" (saling
mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi). Di samping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan
(handap asor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau
kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam
kesusahan (nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dan sebagainya. Prinsip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, ta’awun (kerjasama) dan sikap untuk
senantiasa bertindak adil. Etos dan moralitas inilah yang menjadikan masyarakat teratur,
dinamis dan harmonis10.
Etos menurut Koentjaraningrat (1994) dalam memaknai hakekat hidup terdapat perbedaan antara masyarakat di desa dengan di kota. Masyarakat desa mempunyai
kecenderung