• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PROFIL SOSIAL EKONOMI DAN DEMOGRAFI LANSIA

5.2 Tingkat Pendidikan

Informasi tentang tingkat pendidikan Lansia menjadi sangat penting karena tidak saja menjadi determinan penting dari cara berfikir rasional dan sistematis seseorang tapi juga terhadap kesejahteraan Lansia. Rasionalitas seseorang tentunya akan mempengaruhi tindakan yang dilakukan. Dikaitkan dengan partisipasi sebagai suatu bentuk tindakan, rasionalitas tentunya akan mempengaruhi kualitas partisipasi seseorang.

Tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tidak sekolah, tidak lulus Sekolah Dasar, dan tamatan Sekolah Dasar (SD) ke dalam kategori tingkat pendidikan rendah. Selanjutnya tidak lulus Sekolah Menengah baik tingkat pertama (SMP) maupun tingkat atas serta tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dikategorikan dalam tingkat pendidikan rendah. Sedangkan tamatan Akademi/D1/D3, dan tamatan Perguruan Tinggi dikategorikan dalam tingkat pendidikan tinggi. Berikut ini tabel yang menunjukkan tingkat pendidikan responden.

Tabel 11. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan, Desa Situ Udik tahun 2006

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

Tidak sekolah 13 32,5

Tidak lulus SD 17 42,5

Lulus SD 9 22,5

Lulus SMA 1 2,5

Total 40 100,0

Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa tingkat pendidikan responden Lansia rendah. Secara rata-rata tiga perempat responden Lansia tidak pernah sekolah maupun tidak lulus Sekolah Dasar (SD). Bahkan terdapat 10 orang diantara para responden Lansia tersebut mengaku buta huruf, delapan orang diantaranya adalah perempuan Lansia. Masyarakat Desa Situ Udik memiliki pandangan yang berbeda tentang pendidikan tinggi, hal ini seperti yang dikemukakan oleh salah satu responden berikut ini:

"Orang yang memiliki pendidikan di atas S1 disini dianggap sebagai orang yang tercabut dari akar budayanya"(Ibu Neng, 60 tahun)

Berdasarkan informasi yang diperoleh, terdapat beberapa faktor yang dianggap menjadi penyebab rendahnya pendidikan responden Lansia tersebut, yakni faktor ekonomi, fasilitas (sarana dan prasarana) pendidikan, faktor sosial budaya, serta lokasi

desa. Faktor ekonomi dianggap menjadi determinan utama rendahnya pendidikan responden Lansia. Hal ini karena para Lansia ini pernah melewati masa usia sekolah dimana sistem pendidikan yang masih kental warisan zaman kolonialisasi yang membatasi kesempatan memperoleh pendidikan masyarakat pribumi, serta pasca kemerdekaan yang sarat akan konflik dan perekonomian mengalami resesi. Beberapa responden menyatakan bahwa prioritas mereka adalah apa yang mereka makan esok hari, seperti yang dikemukakan oleh Ibu Njnh (65 tahun) berikut:

“Saya pengen sekali sekolah, tapi kan kalo orang kecil cuma boleh sampe kelas tiga SR. Terus, jangankan untuk sekolah, buat makan saja tidak ada. Baju aja dari gedebog pisang.”

Faktor fasilitas pendidikan yang tersedia juga menjadi faktor penyebab. Menurut keterangan yang diperoleh dari responden, dahulu di Desa Situ Udik hanya tersedia madrasah dan sekolah rakyat sebagai lembaga pendidikan yang dapat diakses. Hal ini karena letak sekolah lain yang jauh dari desa. Jarak sarana dan prasarana pendidikan yang jauh ini juga memiliki pertimbangan ekonomi, karena selain biaya pendidikan yang dinilai mahal harus ditambah dengan biaya untuk transportasi ke luar desa. Hal ini dikemukakan oleh M. Nas (61 tahun) yang merupakan satu-satunya responden Lansia yang lulus sekolah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yakni Pendidikan Guru Agama (PGA).

“Dulu, jika ingin meneruskan sekolah, orang harus keluar desa dulu. Butuh waktu, tenaga, dan biaya yang banyak karena di Bogor cuma ada satu PGA”.

Bapak M. Nas (61 tahun) lebih jauh menjelaskan bahwa dahulu akses masyarakat untuk keluar desa sangatlah sulit, karena belum adanya fasilitas jalan. Fasilitas jalan yang ada adalah jalan setapak atau bahkan pematang sawah, sehingga untuk mencapai pasar atau sarana umum yang ada di tingkat kecamatan membutuhkan waktu hingga setengah hari perjalanan. Ibu Neng (61 tahun) juga menjelaskan jika

hendak keluar dari desa, perempuan haruslah ditemani oleh bapak, suami atau saudara lelakinya. Hal ini karena banyak hambatan selama diperjalanan.

Faktor penyebab lainnya adalah faktor sosial budaya, dimana terdapat anggapan bahwa dengan bersekolah menjadikan seseorang justru menjadi miskin. Hal ini karena uang yang seharusnya untuk makan sehari- hari harus dialokasikan ke biaya pendidikan. Selain itu, mengakarnya budaya patriarki pada masyarakat membuat perempuan Lansia khususnya berpendidikan sangat rendah, ditunjukkan dalam Tabel 12.

Tabel 12. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kelamin Desa Situ Udik tahun 2006

Jenjang Pendidikan Jenis Kelamin Total

Laki-laki Perempuan Tidak sekolah 2 5,0% 11 27,5% 13 32,5% tidak lulus SD 7 17,5% 10 25,0% 17 42,5% lulus SD 7 17,5% 2 5,0% 9 22,5% lulus SMA 1 2,5% 0 0% 1 2,5% Total 17 42,5% 23 57,5% 40 100,0%

Gambaran rendahnya pendidikan perempuan yang diperoleh dari tabel tersebut akibat faktor sosial budaya diperkuat oleh adanya anggapan dalam masyarakat bahwa anak perempuan pasti akan pergi ke dapur juga, stigma masyarakat bahwa sekolah menjadikan perempuan sebagai perawan tua dan tidak ada yang mau menjadikan istri jika pendidikannya terlalu tinggi. Di lain pihak, laki- laki Lansia berpendidikan rendah disebabkan juga oleh faktor sosial budaya dimana terdapat keharusan membantu kebutuhan finansial orang tua. Sekolah tidak penting bagi laki- laki karena yang paling terpenting adalah menghasilkan uang dengan segera untuk menunjang kebutuhan hidup sehari- hari keluarga.

Pendidikan non formal di pesantren menjadi pilihan masyarakat Desa Situ Udik, karena keterbatasan mereka dalam mengakses pendidikan formal. Sehingga meski banyak dari para Lansia buta huruf latin, namun para Lansia ini justru melek huruf arab gundul dan Al-Quran serta mampu menulis huruf arab gundul ini dengan baik. Hingga kini huruf arab gundul ini masih digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan tertulis. Namun, huruf arab gundul ini punya sedikit perbedaan, sebab ini digunakan untuk bahasa sehari-hari mereka yakni bahasa sunda. Hal ini ditunjukkan saat pengajian ibu- ibu di Kampung Al- Barokah, dimana panitia pengajian memberikan materi pengajian yang ditulis dengan menggunakan huruf arab gundul. Menurut mereka ini mempermudah dalam penyampaiannya, khususnya bagi ibu- ibu berusia lanjut.

Program Keaksaraan Fungsional pernah digalakkan di Desa Situ Udik. Namun program ini tidak berkelanjutan. Hal ini karena ketiadaan sarana serta prasarana, sebab kegiatan program ini dinilai tumpang tindih dengan kegiatan PKK. Sehingga yang dominan justru kegiatan PKK bukan program KF.

Dokumen terkait