BAB IV PERKEMBANGAN PEMIKIRAN KH. AHMAD DAHLAN PADA
4.1 Perkembangan Pemikiran Ahmad Dahlan yang Diteruskan oleh
Muhammadiyah era Ahmad Dahlan dapat dilihat melalui karya dan kegiatan sosial yang tentunya memiliki dampak positif terhadap orang sekitar, baik di Kauman maupun warga Jogja secara khusus. Berbagai ulasan dalam surat kabar
mulai bermunculan dan menyebutkan nama “Ahmad Dahlan” sebagai salah satu orang yang aktif di berbagai organisasi seperti Sarekat Islam yang pada tahun 1920-an mencakup nasional di Hindia Bel1920-anda. Dalam salah satu surat kabar y1920-ang terbit sekitar satu bulan setelah wafatnya KH. Ahmad Dahlan, tepatnya 03 April 1923 dijelaskan bahwa ia dikenal karena sikapnya yang tenang. Ahmad Dahlan juga dikenang sebagai orang yang sangat menentang revolusi melalui cara kekerasan.
Selain itu, dijelaskan bahwa menurut Ahmad Dahlan acara pemogokan adalah sama dengan revolusi. Ia sempat beberapa kali berbicara di pabrik gula, pada masa kejayaan Soerjapranoto, agar para pekerja dan penduduk mengurungkan niatnya untuk melakukan pemogokan. Soerjapranoto adalah seorang bangsawan Pakualaman yang membela hak-hak buruh dan terlibat dalam berbagai pemogokan buruh serta perlawanan terhadap pihak kolonial yang terjadi di wilayah Yogyakarta kala itu.54 Hal ini tentu dilakukan dengan mempertimbangkan masih sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, khususnya bagi kehidupan para buruh dan Ahmad Dahlan serta Soerjapranoto melakukannya demi kebaikan para pekerja tersebut.55
Kehidupan dan perjuangan Ahmad Dahlan tampaknya tidak berhenti sampai di sini. Lebih lanjut lagi, inspirasi justru datang darinya dan oleh penerusnya dikembangkan menjadi berbagai program kerja. Salah satu program yang dimaksud yaitu penyelenggaraan dana pendidikan bagi orang muda Muslim di lembaga tinggi
54 Bambang Sukawati, Raja Mogok R.M. Soerjopranoto: sebuah buku kenangan, Jakarta: Hastra Mitra, 1983, hlm. 18-19.
55 Algemeen Handelsblad van Dinsdag, 03 April 1923, Ochtendblad, Eerste Blad, hlm. 3.
Islam maupun di negara-negara Islam lainnya. Laporan mengenai hal ini tercantum dalam tajuk berjudul Het Dachlan Fonds pada surat kabar De Indische Courant pada 14 April 1923. Dijelaskan dalam tajuk tersebut bahwa Perhimpunan Muhammadiyah memutuskan untuk membentuk dana untuk studi yang dinamakan
“Dana Dahlan”. Alasan dinamakan “Dana Dahlan” ialah mengenang KH. Ahmad Dahlan yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk perluasan pendidikan agama serta propaganda untuk pendidikan secara umum. Tercatat pula dalam De Indische Courant tersebut, selama dua belas tahun terakhir, Muhammadiyah telah memiliki 12 divisi di Jawa dengan total 32 sekolah; 27 di antaranya adalah SD, 4 sekolah H.I. dan 1 sekolah pelatihan guru agama Islam.
Pemerintah pusat juga disebutkan tidak akan ragu pada rencana ini, karena yakin akan ada banyak orang yang ingin berkontribusi untuk pembentukan dana ini dan peduli pada pendidikan yang lebih tinggi berbasis Islam untuk negara dan rakyat.56
Mengenai pernyataan “kenanglah jasanya, bukan orangnya” sudah melekat pada diri Ahmad Dahlan di mata para pengikut dan pendukungnya. Tahun 1923 ini menjadi suatu tahun yang penuh kenangan dan menunjukkan kebesaran jasa tokoh Islam yang sekaligus pendiri Muhammadiyah tersebut. Segala hal mengenai Ahmad Dahlan yang tidak diceritakan semasa hidupnya justru akhirnya terungkap setelah ia wafat. Salah satu sumber di tahun yang sama, sekitar seminggu setelah kepergiannya, Ahmad Dahlan diceritakan sebagai seorang yang berpengaruh terhadap gerakan pada kaum pribumi masa itu. Ia juga dikenang karena ketekunan
56 “Ned. -Indie: Het Dachlan Fonds” dalam De Indische Courant, 14 April 1923.
serta keteguhan dalam menjaga organisasi yang didirikannya yaitu Muhammadiyah agar tidak jatuh dalam kecenderungan gerakan berbasis politik. Dari surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad ini pula, terungkap bahwa ia pernah mengutus sekretarisnya, H. Fachrudin untuk dikirim ke Jeddah dalam rangka bertanya mengenai perlakuan para jemaah di atas kapal yang disebut sebagai “kapal haji”
dan kemudian melaporkannya ke Ahmad Dahlan. Sistem haji yang dinilai kurang memadai dan secara khusus kurang menekankan etika keislaman dalam memeriksa kondisi para jemaah, baik laki-laki maupun perempuan. Beberapa keteledoran tersebut olehnya kemudian dihapuskan dan disesuaikan dengan norma dan syariat Islam. Sikap tenang kembali dituliskan dan disematkan pada mendiang KH. Ahmad Dahlan pada tulisan ini dan dari hal ini, bukti bahwa ia memang lebih banyak berkarya adalah suatu hal yang dapat dikagumi dari dirinya oleh generasi setelahnya dan untuk orang-orang di sekitarnya.57
Masjid atau langgar menjadi salah satu bagian penting dalam kegiatan ibadah umat Islam. Sejatinya pada masa Ahmad Dahlan sudah berdiri langgar-langgar sebagai fasilitas ibadah, tetapi langgar-langgar yang benar-benar menekankan syariat Islam nampaknya belum ada yang cukup memadai. Pada 1923, dilaporkan bahwa telah didirikan masjid khusus untuk kaum wanita. Masjid tersebut terdapat di dekat kampung Kauman dan diharapkan masjid itu akan berguna, tidak hanya bagi kaum Muslimin Muhammadiyah saja, melainkan dari luar juga bisa ikut
57 “Hadji Achmad Dachlan” dalam Bataviaasch Nieuwsblad, Eerste blad, No. 76 Vrijdag, 02 Maret 1923.
beribadah di situ.58 Hal mengenai kenyamanan serta kekhusyukan saat beribadah menjadi poin penting yang tak luput dari perhatian para pengurus Muhammadiyah.
Organisasi Boedi Oetomo seperti telah dijelaskan sebelumnya, yang menjadi salah satu pendukung pendirian organisasi Muhammadiyah karena Ahmad Dahlan pernah berkarya di sana dan menjalin hubungan baik dengan para pengurusnya, kembali bertukar pikiran dengan pengurus Muhammadiyah mengenai pendidikan bagi masyarakat Jawa.59 Pada tahun 1924, tercatat dinamika perbedaan pendapat yang terekam antara Boedi Oetomo dan Muhammadiyah. Pendapat mengenai orientasi organisasi mereka yang berbeda yaitu pada Boedi Oetomo ingin pendidikan nasional berdasarkan budaya asli (kuno) sedangkan Muhammadiyah lebih menginginkan pendidikan yang berorientasi pada masa depan (sesuai dengan tuntutan zaman). Meski terdapat silang pendapat di antara keduanya, “benang merah” dari mereka akhirnya muncul. Mereka, sesuai dengan sumber, bersepakat dan sependapat dalam satu keinginan, yaitu ingin menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar di sekolah dan bahasa Belanda sebagai salah satu mata pelajaran.
Untuk dapat mewujudkan keinginan tersebut, mereka yang dianggap memiliki intelektualitas kemudian membentuk semacam klub belajar untuk mempertimbangkan rencana rencana pendirian lembaga pendidikan menengah.
58 “Een masdjid voor vrouwen” dalam Sumatra-bode, 09 Oktober 1923.
59 H. M. Sudja, op. cit., hlm. 91.
Namun, kapasitas orang Jawa untuk dapat memberikan pendidikan menengah masih sulit kala itu.60
Masalah pendidikan sudah sejak lama dipikirkan oleh para tokoh pergerakan, tetapi tidak semuanya dapat memberikan fasilitas kepada masyarakat pribumi, khususnya Jawa secara merata. Tidak semua kalangan bisa merasakannya dan kiranya Muhammadiyah generasi setelah Ahmad Dahlan kembali menyempurnakan program-program yang telah dicanangkan serta mengokohkan sekolah-sekolah Muhammadiyah agar menghasilkan lulusan yang berkualitas pula, secara khusus bagi terwujudnya atmosfer pendidikan bagi masyarakat pribumi masa itu. Hal itu pun terbukti dalam salah satu laporan dalam surat kabar De Indische Courant. Di dalamnya dilaporkan bahwa terdapat 4 orang lulusan sekolah Islam Muhammadiyah Yogyakarta yang berangkat ke Calcutta untuk melanjutkan studi ke universitas di Lahore.61 Murid-murid Muhammadiyah yang dikirim ke Lahore untuk menempuh studi lanjut kemudian dilaporkan kedatangannya dalam surat kabar De Preangerbode pada 31 Juli 1924. Terlampir juga fakta mengenai salah satu dari 4 murid sekolah Muhammadiyah yang dikirim ke Lahore merupakan anak dari Ahmad Dahlan.62 Hal ini dapat menjadi contoh bagi generasi sesudah Ahmad Dahlan untuk mengejar pendidikan setinggi-tingginya selagi ada yang
60 “Javaansch-nationaal Onderwijs” dalam Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch- Indie, Eerste blad, No. 206, Semarang, Donderdag, 04 Desember 1924.
61 “Voortzetting Onderwijs naar Britsch-Indie” dalam De Indische Courant, 14 Juni 1924.
62 “De Moehammadijah-kinderen in Lahore” dalam De Preangerbode, 31 Juli 1924.
memfasilitasi mimpi generasi muda, seperti anak dari Ahmad Dahlan dan 3 murid lainnya dari Muhammadiyah.
Selain melihat perkembangan dalam pendidikan di dalam sekolah Muhammadiyah, terungkap pula mengenai perkembangan hubungan Muhammadiyah dengan sekolah-sekolah yang ada di luar Hindia Belanda, seperti di Lahore. Seperti yang telah dipaparkan pada 14 April 1923 oleh De Indische Courant sebelumnya bahwa kerja sama dilakukan terhadap lembaga pendidikan tinggi Islam dan negara-negara Islam lainnya sebagai salah satu sarana terealisasikannya “Dana Dachlan” untuk menunjang pendidikan umat Islam di Hindia Belanda yang ingin melanjutkan tahapan pendidikan mereka. Secara lebih jelas, Muhammadiyah ingin menjalin hubungan baik dengan umat Islam di luar Hindia Belanda sekaligus membangun masyarakat lokal melalui pendidikan dan kegiatan sosial lainnya.
Bagian Sekolah dalam organisasi Muhammadiyah sangat jelas terlihat perkembangannya, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Perkembangan tidak lepas dari dukungan orang dan masyarakat kala itu yang kemudian muncul dan terealisasikannya berbagai program untuk menunjang kesejahteraan serta keagamaan masyarakat Jawa sekitar 1920-an. Bagian Sekolah memang bukan menjadi satu-satunya yang menunjukkan sinarnya kepada masyarakat, tetapi bagian lain juga semakin lama menjadi andalan hampir di segala kalangan, yaitu Bagian Penolong Kesengsaraan Umum (PKO). Bagian PKO ini secara garis besar mengurus bagian kesehatan masyarakat, secara khusus masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi, seperti yang tercantum dalam De Indische Courant 15
Februari1924 mengenai bantuan yang telah dilakukan oleh klinik dan poliklinik PKO selama kurang lebih satu tahun berkarya dari 1923 hingga 1924.
Mengutip dari yang tertulis dalam surat kabar bertajuk “PKO” pada 1924 bahwa Muhammadiyah melalui PKO dapat menyampaikan tujuannya untuk kesejahteraan bersama. Hasil laporan keuangan dan laporan tahunan memperlihatkan data yang cukup detail. Data yang dilampirkan dalam surat kabar De Indische Courant pada 15 Februari 1924, yaitu klinik dan poliklinik rawat jalan PKO telah memberikan bantuan kepada 204 orang dalam setahun terakhir (15 Februari 1923-15 Februari 1924) dan sementara masih terdapat 153 orang dalam perawatan. Meski baru memasuki tahun pertama beroperasi, PKO mulai dilirik berbagai kalangan, karena pada masa itu masih sedikit atau bahkan dikatakan hampir tidak ada klinik kesehatan yang dirintis oleh kaum pribumi yang dapat
“menyaningi” fasilitas dan pamor klinik swasta dari pihak Belanda. Selain klinik, PKO juga mendirikan rumah miskin serta panti asuhan yang pada waktu itu di rumah miskin telah menampung 60 pria dan 28 wanita. Bagi anak berusia 5 hingga 10 tahun yang dititipkan di panti asuhan terdapat 21 anak. Menariknya, meski dikenakan biaya 10 sen setiap kali perawatan dan untuk rawat inap per hari menjadi f 2, bagi masyarakat yang tidak mampu untuk membayar juga diperbolehkan.63
Krisis keuangan dan kesejahteraan menjadi sangat penting, selain masalah pendidikan bagi semua kalangan. Kebijakan untuk orang yang tidak mampu membayar kemudian “digratiskan” menjadi kebijakan yang sangat berbanding
63 “Ned. -Indie: De P.K.O.” dalam De Indische Courant, Oost-Java Editie, Derde blad, Vrijdag, 15 Februari 1924.
terbalik dengan kondisi di rumah sakit atau klinik lain ketika menerima pasien.
Kembali dijelaskan dalam surat kabar De Indische Courant bahwa masyarakat sempat memiliki keraguan dan ketidakpercayaan dengan klinik dan poliklinik rawat jalan oleh PKO. Meski tidak dijelaskan penyebab ketidakpercayaan masyarakat terhadap klinik PKO, pada akhirnya seiring berjalannya waktu masyarakat mulai percaya dan bahkan setiap hari tercatat sekitar 70 hingga 80 orang mengunjungi poliklinik rawat jalan PKO untuk memberikan dukungan kepada sekitar 174 orang asing yang membutuhkan dan orang yang lewat, tanpa membedakan pangkat, status atau agama.
De Indische Courant menampilkan wajah PKO dengan begitu baik dan bahkan dengan laporan data orang yang berkungjung maupun yang dirawat dalam klinik-klinik di PKO. Kembali menyita perhatian bahwa bantuan yang diberikan kepada orang-orang di PKO tidak memperdulikan status, agama atau pangkat.
Dapat dikatakan demikian karena dicatat salah satu bantuan yang dimaksud berasal dari orang Kristen dari Ambon. Tahun pertama yang cukup baik tampaknya dari PKO dan terlihat perkembangannya sesuai dengan tujuan awal pendiriannya:
pemberian bantuan kepada yang lemah, sakit, dan membutuhkan.
Kebutuhan akan pendidikan pada 1920-an mulai mendapat perhatian dari berbagai pihak, terlebih dengan pendirian “Sekolah Tamansiswa” oleh Ki Hajar Dewantara di tahun 1922. Sekolah-sekolah untuk kaum pribumi dengan pengajar pribumi tentunya menjadi semakin diminati berbagai kalangan. Meski dapat dikatakan sekolah pribumi yang ada masih “seumur jagung”, mereka juga memberikan berbagai perkembangan yang tidak kecil. Laporan De Nieuwe
Vorstenlanden pada 12 Februari 1925 mengenai cabang lembaga pendidikan Tamansiswa sudah merambah ke berbagai tempat di pulau Jawa, seperti di Jawa Timur (Malang, Kepanjen, Tumpang dan Porong). Selain perkembangan Tamansiswa, mengenai sekolah Muhammadiyah juga dipaparkan pada laporan tertanggal 28 Januari terdapat 2 pemuda Jawa yang dikirim ke Lahore oleh Muhammadiyah telah kembali ke Hindia Belanda.64 Dari fakta tersebut, terkuak fakta bahwa siswa yang dikirim ke Lahore oleh Muhammadiyah menempuh pendidikan di sana sekitar 6-7 bulan lamanya. Jika ditarik ke masa sekarang, konsep kerja sama semacam ini mirip dengan student exchange selama kurang lebih satu semester dan inilah yang menarik, karena masih diterapkan hingga sekarang di berbagai perguruan tinggi bahkan sekolah-sekolah swasta.
Dari tulisan mengenai Muhammadiyah dan Islam yang ditulis sekitar tahun 1925 terlihat bahwa Muhammadiyah, khususnya bagian Taman Pustaka, telah mengeluarkan kitab-kitab agama Islam dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Jawa, bahasa Melayu, dan bahasa Belanda. Terdapat pula dalam teks tersebut himbauan agar penyiaran agama Islam semakin luas yang menuju kepada Persatuan Islam di dunia. Selain itu, disebutkan pula kemunculan perserikatan kaum muda Islam (Jong Islamieten Bond) yang dinilai baik bagi pembinaan keagamaan pada kaum muda Islam. Kegelisahan juga terjadi karena kemunculannya yang dinilai terlambat dibandingkan perserikatan Kristen dan Katholik yang telah muncul terlebih dahulu di Jawa dan Hindia. Meski belum terdapat di setiap cabang, JIB (Jong Islamieten
64 “SEDIO-TOMO” dalam De Nieuwe Vorstenlanden, 12 Februari 1925.
Bond) dapat menjadi perhatian bagi kaum Muslim se-Hindia Belanda dan mendukung program seperti ini.65
Gambar 8. “Moehammadijah-scholen” dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant, 14 Desember 1925
Sumber: www.delpher.nl
Menjelang akhir 1925, sekolah-sekolah Muhammadiyah tidak hanya meningkat secara kuantitas, tetapi juga secara kualitas dan materi pelajaran yang diajarkan di sekolah tersebut. Menilik laporan Nieuwe Rotterdamsche Courant, sekolah Muhammadiyah telah menarik minat penduduk, karena pendidikan keagamaan diajarkan di sana dan juga pelajaran bahasa seperti bahasa Belanda dan bahkan bahasa Inggris juga diajarkan. Upaya semacam ini juga nyatanya menarik perhatian dari pemerintah Hindia Belanda. Dilaporkan bahwa perkembangan
65 “Pandangan Gerak Islam dan Gerak Muhammadiyah” tertulis pada Maret 1925 dalam Abdul Munir Mulkhan dan Sukrianta Ar, Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah Dari Masa Ke Masa, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985, hlm. 15-16.
sekolah Islam modern ini perlu untuk diawasi serta mempertimbangakan keberhasilan sekolah-sekolah ini dapat menimbulkan pengenalan suatu kekhasan tertentu dalam kaitannya dengan sekolah rakyat di kota.66 Tentunya dari pihak pemerintah Belanda dapat memandang baik maupun buruk akan sekolah-sekolah swasta pribumi ini, tetapi selagi mereka mencurahkan perhatian terhadap perkembangan ini, berbagai usaha selain bidang pendidikan secara perlahan mencapai cita-cita dan tujuannya.
Dalam salah satu sumber surat kabar Belanda De Sumatra Post tahun 1926, Sarekat Islam mulai menghadapi masalah dalam pengembangan budaya karena adanya kapitalisme dan imperialisme. Kedua organisasi Islam murni tersebut tentu dipilih karena beberapa anggotanya juga menjadi pengurus Sarekat Islam dan ini akan menjadi suatu langkah baik bagi SI dan organisasi Islam murni seperti Muhammadiyah. Agama, berdasarkan sumber De Indische Courant, perlu dipisahkan dari segala urusan administrasi. Dari hasil kongres SI yang lalu, telah disepakati pula akan pendirian departemen pendidikan untuk mengatur dan menyusun kurikulum pendidikan nasional berbasis Islam.67
Meski organisasi Islam yang berkembang memilih berbagai macam pandangan dan pemikiran, seperti cara pandang politik, organisasi Islam yang memang murni mengabdikan diri pada karya pelayanan berbasis agama, seperti Muhammadiyah masih dibutuhkan. Kerja sama antar orgnaisasi dengan pandangan
66 “Moehammadijah-scholen” dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant, 14 Desember 1925.
67 “De Sarekat Islam” dalam De Sumatra Post, 09 Januari 1926.
berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama kemudian dilaksanakan. Persatuan umat Islam akan terjadi jika semua kalangan bekerja sama dalam menyusun sistem pendidikan yang baik untuk semua orang dan tentunya men-syiar-kan Islam ke berbagai daerah, seperti yang telah dilakukan KH. Ahmad Dahlan semasa hidupnya. Perbedaan pendapat dapat menjadi jalan persatuan umat Islam di tahun-tahun selanjutnya.
Dakwah di dalam Muhammadiyah menjadi suatu gerakan syiar yang khas dan selalu memberikan perkembangan, seperti munculnya cabang-cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta sehingga Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai organisasi nasional yang setara dengan organisasi pergerakan dana organisasi keagamaan seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam tentunya. Ceramah dan diskusi masih menjadi rangkaian acara yang terus dilakukan dan tercatat di salah satu surat kabar yaitu Nieuwe Rotterdamsche Courant pada 16 Maret 1926.
Secara singkat, diberitakan kongres Muhammadiyah yang telah berlangsung pada 25 Februari hingga 5 Maret 1926 dengan seluruh rangkaian acaranya seperti rapat anggota, rapat umum dengan berbagai pembicara, kemudian terdapat juga tamasya ke berbagai lembaga paguyuban, beragam permainan olah raga, beberapa pertemuan tertutup dan terakhir ceramah dan diskusi pada 28 Februari dengan tema
“Sikap Islam terhadap berbagai agama lain” dan “Inti persatuan berbagai agama yang ada”. Acara ceramah dan diskusi tersebut diadakan oleh Sekretaris
Muhammadiyah, Muhammad Husni dan juga terdapat acara bertajuk “The Coming of The World Teacher” oleh Mirza Wali Ahmad Baig dari Lahore (Hindustan).68
Dari kegiatan tersebut terlihat Perhimpunan Muhammadiyah telah berkembang dengan pesat dan berorientasi pada pengembangan pendidikan serta agama Islam secara lebih terarah dan mendalam. Melihat perspektif dari Islam di luar Hindia Belanda juga menjadi pilihan yang dapat mendukung khazanah keislaman secara lokal maupun nasional. Mulai dari Lahore, Muhammadiyah nampaknya tidak memiliki keraguan untuk melangkah maju dalam memajukan masyarakat Islam melalui pendidikan dan kegiatan sosial lainnya yang terus ditawarkan dan diamalkan oleh Muhammadiyah.