• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Masyarakat Jawa di

BAB III PEMIKIRAN AHMAD DAHLAN MENGENAI MASYARAKAT

3.1 Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Masyarakat Jawa di

1912-1919

Muhammadiyah, yang menjadi implementasi cita-cita serta pemikiran Ahmad Dahlan, lahir karena berbagai faktor. Selain dari faktor pendirinya, KH.

Ahmad Dahlan, dukungan juga berasal dari berbagai pihak, khususnya dari rekan-rekannya di dalam organisasi lain seperti Boedi Oetomo. Hubungan dengan berbagai golongan, mulai dari para pelajar, pensiunan pegawai, guru-guru kweekschool dan para pengurus organisasi yang diikuti Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyah menjadi salah satu landasan untuk mewadahi kegiatannya kelak.27

Meski tercatat dalam berbagai literatur bahwa Muhammadiyah lahir pada tahun 1912, hal tersebut memang tidaklah salah jika dilihat dari sudut pandang Ahmad Dahlan dan rekan-rekannya. Akan tetapi, untuk menjadi sebuah organisasi, berbagai aturan dan perizinan harus diikuti dan kemudian Ahmad Dahlan mulai mengurus organisasi Muhammadiyah agar sah secara hukum. Akhirnya, surat resmi dari pihak kolonial Belanda resmi diterbitkan pada 22 Agustus 1914.28

Hal yang perlu digarisbawahi ialah Belanda hanya memberikan izin bagi Muhammadiyah yang hanya akan berlaku di wilayah Yogyakarta saja.29 Dalam arsip berjudul Extract uit het Register den Besluit van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indie yang diterbitkan pada 22 Agustus 1914 tidak disebutkan secara rinci persyaratannya dan hanya mengesahkan Muhammadiyah untuk wilayah Yogyakarta. Belanda melihat potensi kekuatan Muhammadiyah di masa yang akan datang dapat merugikan dan bahkan dapat memberontak, karena

27 Ibid., hlm. 3.

28 Extract uit het Register den Besluit van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indie, 22 Agustus 1914, Buitenzorg.

29 Ibid.

Muhammadiyah telah menjalin hubungan dengan kekuatan Islam di luar Jawa, yaitu daerah Minang yang terkenal dengan tokoh-tokoh Islam dan pers yang berkembang pesat di sana. Alasan kedua ialah Muhammadiyah menjadi asosiasi pribumi-Islam pertama kala itu dan menentang penjajahan melalui kegiatan sosial yang menyasar masyarakat pribumi Jawa yang juga mayoritas Muslim kala itu.

Jawa pada awal abad ke-20 menjadi pusat administrasi dan pemerintahan kolonial Belanda. Dengan adanya Muhammadiyah melalui Ahmad Dahlan serta kawan-kawannya akan memunculkan semakin banyak perlawanan di berbagai wilayah.

Meskipun tidak melalui perlawanan dengan senjata, tetapi dengan meningkatkan kualitas pendidikan bagi pribumi sudah dapat membuat posisi kolonial menjadi terancam. Berbagai cabang Muhammadiyah yang berkembang dalam dua tahun awal pendirian sebelum surat keputusan diterbitkan kemudian disiasati oleh Ahmad Dahlan dengan berganti nama agar tidak dicurigai pemerintah kolonial. Hal itu berlaku bagi mereka yang ada di luar Yogyakarta, seperti Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujungpandang, dan Ahmadiyah di Garut.

Pemikiran Ahmad Dahlan tercermin dalam perannya di berbagai kegiatannya baik di dalam maupun di luar Muhammadiyah, seperti pada kongres di Sarekat Islam. Mengenai kegiatannya di luar Muhammadiyah lebih banyak tercatat dalam arsip berbahasa Belanda seperti yang tercantum dokumen Kongres Sarekat Islam pada 17-24 Juni 1916. Ahmad Dahlan menjabat sebagai komisaris atau penasehat Sarekat Islam cabang Yogyakarta yang juga berpendapat untuk mengajak

para anggota organisasi untuk bersatu.30 Pemikiran dan kegiatannya di dalam Muhammadiyah justru tampak dalam pemikiran tokoh-tokoh penerusnya, seperti Haji Sudja’ dan KRH. Hadjid. Keduanya adalah murid KH. Ahmad Dahlan sekaligus kader Muhammadiyah pada era KH. Ahmad Dahlan. Haji Sudja’ dan KRH. Hadjid meneruskan pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam tulisannya seperti Haji Sudja’ yang menuliskan karya berjudul “Cerita Kiai Haji Ahmad Dahlan” dan KRH. Hadjid yang juga menelurkan karya berjudul “Pelajaran KHA. Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an”. Keduanya telah diterbitkan ulang oleh Penerbit Suara Muhammadiyah.

Beberapa penerus yang notabene jauh dari era Ahmad Dahlan juga belajar mengenai sosok pendiri Muhammadiyah, seperti KH. AR. Fachruddin. AR.

Fachruddin ialah ketua PP Muhammadiyah pada 1968 sampai 1990. Ia pernah menulis demikian,

“Menurut adjaran Almarhum KHA. Dahlan sendiri, tjara menghargai djasa pemimpin bukan dengan djalan memuliakan kuburnja, tetapi dengan mendukung, memelihara dan memperkembangkan peladjaran-peladjaran tersebut, apabila tidak bertentangan dengan hukum Allah.”31

Ajaran semacam ini menjadi suatu ajaran moral sebagai manusia, karena Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah tidak ingin menunjukkan eksistensi, citra, maupun derajat sebagai manusia, tetapi ajaran kasih, seperti yang diajarkan dalam agama Kristen, berupa amalan baik terhadap orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan. Muhammadiyah pada era Ahmad Dahlan memfokuskan pada

30 Arsip Sarekat Islam-congres 17-24 Juni 1916 di Bandung, hlm. 26.

31 A. R. Fachruddin, op. cit., hal. 28.

pemberdayaan kaum miskin dan terpinggirkan (mustadl’afin), khususnya melalui pendidikan.32 Dahlan melakukan hal yang diperlukan dan dibutuhkan saat itu, yang notabene masih jarang ditemui hal yang serupa yaitu menggalakkan pendidikan kepada umat Islam. Bataviaasch Nieuwsblad pada 20 Juni 1916 memberitakan mengenai pidato beberapa tokoh Sarekat Islam yang salah satunya adalah Ahmad Dahlan. Dalam koran tersebut, Dahlan berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak melarang umat dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang dalam konteks waktu itu adalah ilmu pengetahuan dari Barat dengan sistem pembelajarannya.33

Ziarah kubur (dalam bahasa Jawa nyekar) sudah menjadi tradisi dan kebiasaan penduduk Jawa, khususnya di Yogyakarta sejak era Wali Sanga. Hadji Sudja’ mengungkapkan konsep ziarah kubur yang diilhami oleh Ahmad Dahlan.

Sekitar tahun 1906, ia melontarkan suatu pendapat dan pemikiran mengenai ziarah kubur, kemudian menyimpulkan bahwa ziarah kubur itu kufur, ziarah kubur itu musyrik, dan ziarah kubur itu haram. Dahlan tentu saja mendapat respon dan kecaman keras dari kaum Muslimin dan para ulama Islam terkait pemikirannya itu.

Dengan penuh ketenangan dan kesabaran, Dahlan menerima semua tuduhan dan kritik mereka, karena ia tahu bahwa mereka belum sadar mengenai Islam yang sesungguhnya. Dapat dikatakan demikian dikarenakan Dahlan telah membuka pintu kamar tamunya untuk memberi kesempatan bagi kaum Muslimin dan para ulama yang ingin memberikan pendapatnya, tentangan atau bantahan terkait konsep ziarah kubur yang diilhami Ahmad Dahlan. Namun, ternyata mereka tidak

32 Abdul Mu’thi, op. cit., hlm. 42.

33 “De godsdienst als drijfkracht” dalam Bataviaasch Nieuwsblad, 20 Juni 1916.

memberikan ketegasan akan hal itu. Padahal, secara umum dalam agama Islam diajarkan bahwa ziarah kubur adalah sunnah, boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan. Akhirnya, Dahlan bersedia memberikan penjelasan dengan terlebih dahulu memperlihatkan konteks kaum Muslimin di Indonesia (Hindia Belanda) secara umum dan kaum Muslimin di Yogykarta secara khusus. Selain itu, ia juga menanyakan kepada si peminta penjelasan mengenai apa yang dirasakan ketika melaksanakan ziarah kubur para wali, orang saleh maupun ziarah kubur ke keluarga mereka sendiri.34 Ahmad Dahlan memang tidak banyak meninggalkan jejak karya pemikiran, tetapi karyanya dapat dilihat dari pengalamannya bersama dengan murid serta kerabatnya yang sempat berdinamika dengan Ahmad Dahlan dalam memajukan Islam serta masyarakat pada awal abad ke-20.

Muhammadiyah pada masa awal berdirinya masih berbentuk

“persyarikatan” dan pada rapat pertama yang diadakan oleh pengurus Muhammadiyah pada Minggu terakhir bulan Desember 1912 mayoritas masih diisi dan dihadiri oleh para kerabat seperti dari Boedi Oetomo dan rekan satu kampung KH. Ahmad Dahlan. Ucapan syukur dihaturkan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan membuka dan menutup rapat tersebut yang ternyata juga dihadiri dengan tamu yang tidak diundang. Muhammadiyah diharapkan berguna bagi kemajuan bangsa serta agama Islam di Jawa dan Hindia Belanda masa itu.35

34 HM. Sudja’, Cerita tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan: Catatan Haji Muhammad Sudja’, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018, hlm. 111-112.

35 Haji Muhammad Syoedja’, Cerita Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan: Catatan Haji Muhammad Syoedja’, hlm. 75.

Gambar 3. Kweekschool Muhammadiyah circa tahun 1918

Sumber: https://suaramuhammadiyah.id/2016/04/15/tafsir-amali-dan-gerakan-pendidikan/ (diakses pada 12 Oktober 2022)

Kegiatan selanjutnya masih berhubungan dengan pendidikan, karena memang menjadi salah satu tujuan dan amal Muhammadiyah pada awal pendiriannya. Dalam De Preangerbode yang terbit pada 19 Maret 1914, Dahlan senpat menyampaikan bahwa pengajaran mengenai agama juga sebaiknya diimbangi dengan pengembangan pendidikan lainnya. Kweekschool Moehammadijah (Sekolah Guru Muhammadiyah) menjadi salah satu terobosan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan beserta rekan anggota Muhammadiyah untuk membantu mendorong lahirnya pendidik-pendidik pribumi yang berkualitas serta dapat mengabdi kepada masyarakat yang sangat membutuhkan sarana pendidikan yang dapat diakses semua orang. Selain itu juga, terdapat madrasah yang telah Ahmad Dahlan rintis sebelum Muhammadiyah yang terletak di Kampung Kauman yang juga menjadi pionir dalam memadukan pendidikan tradisional dengan pendidikan model Barat.

Namun, kedua hal tersebut (agama dan pendidikan) dilakukan pada waktunya masing-masing, sehingga memiliki manfaat yang baik bagi orang yang mempelajarinya.36 Kondisi masyarakat Islam (kaum Muslim) di Jawa yang dapat dikatakan “terpecah” menjadi “Muslim Putihan” dan “Muslim Abangan” yang keduanya saling bertentangan satu sama lain. Ricklefs dalam karyanya berjudul Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang menjelaskan bahwa asal usul mengenai polarisasi masyarakat Jawa “putihan” dan “abangan” tidak diketahui secara jelas dan pasti. Namun, pada sekitar 1880-an, seorang misionaris Belanda bernama Carel Poensen yang telah tinggal di daerah Kediri selama kurang lebih 30 tahun memberikan deskripsi mengenai masyarakat Jawa yang dipengaruhi ajaran Islam yang kuat (putihan) dan yang lainnya justru semakin menjauh dari praktik-praktik religius yang sebelumnya telah dilakukan (abangan). Kaum “putihan” dan “abangan” semakin nampak perbedaannya, selain dalam hal praktik religius (keagamaan) juga berbeda dalam aspek sosial, seperti pendidikan dan ekonomi, mereka memiliki ciri khas yang tentunya berbanding terbalik antara “putihan” dan “abangan”.37 Madrasah yang telah Ahmad Dahlan dirikan sebelum Muhammadiyah dapat digunakan olehnya untuk meredam pertentangan dua golongan kaum Muslim ini. Hal tersebut

36 “Sarekat Islam” dalam De Preangerbode, No. 78, 19 Maret 1914.

37 M. C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013, hlm.

50-51.

dilakukannya untuk dapat mencetak generasi ulama berikutnya yang bukan hanya cerdas dan pandai, melainkan bermanfaat bagi masyarakat dan sesamanya.38

Mengajar pengetahuan umum serta berdakwah terus dilakukan pada masa awal Muhammadiyah. Ahmad Dahlan terus menerus mengadakan acara tabligh ke berbagai daerah dan kota dan secara khusus melalui acara atau rapat kepengurusan organisasi di luar Muhmmadiyah, seperti Sarekat Islam untuk menyebarkan pemikirannya. Melalui rapat pengurus Sarekat Islam di Semarang pada 15 Maret 1914, Dahlan berpendapat bahwa pengalaman agama harus dilakukan bersamaan dengan pencarian nafkah. Ketika harus menghadapi pemikiran atau pendapat yang berbeda, orang Islam harus menunjukkan kesabarannya dengan tidak lupa melakukan amal sebagai salah satu ajaran nabi.39 Tidak luput pula ia mengembangkan relasi dagangnya untuk semakin memperluas gagasan-gagasannya agar rakyat Indonesia (Hindia Belanda) akan tersadar dari “nina boboknya” oleh kolonialisme Belanda yang semakin memiskinkan dan mengurangi ruang gerak rakyat untuk berkembang.40

Pada masa awal kepemimpinan dalam Muhammadiyah, Ahmad Dahlan cukup banyak mengembangkan program dan kegiatan dalam organisasi agar Muhammadiyah menjadi kokoh dan semakin dapat menyesuaikan arus zaman serta membantu dalam penyelesaian masalah dalam masyarakat. Sebagai contoh, Ahmad

38 Haji Muhammad Syoedja’, op.cit., hlm. 85.

39 “Constitutie Vergadering van de S. I. Semarang op Zondag 15 Maart” dalam Tweede Blad, De Expres, Bandoeng, Dinsdag, 17 Maret 1914.

40 Nurhayati, d.k.k, Muhammadiyah Dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai, Yogyakarta: TrustMedia Publishing, 2018, hlm. 12.

Dahlan memberikan fasilitas kepada para anggota dan pengurus Muhammadiyah untuk melakukan evaluasi kerja serta pemilihan pemimpin. Program tersebut diadakan setiap rapat atau pertemuan anggota yang diadakan kurang lebih setahun sekali. Pertemuan tahunan tersebut dinamakan Algemeene Vergadering (persidangan umum).41 Selama kepemimpinan Ahmad Dahlan telah diadakan 12 kali pertemuan anggota Muhammadiyah dari tahun 1912-1923 sebagai berikut.42

Tabel 1. Pertemuan Tahunan Muhammadiyah 1912-1923 Tahun Nama Kegiatan Tempat Pemimpin

Rapat

1912 Algemeene

Vergadering Yogyakarta KH. Ahmad Dahlan

1913 Algemeene

Vergadering Yogyakarta KH. Ahmad Dahlan

1914 Algemeene

Vergadering Yogyakarta KH. Ahmad Dahlan

1915 Algemeene

Vergadering Yogyakarta KH. Ahmad Dahlan

1916 Algemeene

Vergadering Yogyakarta KH. Ahmad Dahlan

1917 Algemeene

Vergadering Yogyakarta KH. Ahmad Dahlan

1918 Algemeene

Vergadering Yogyakarta KH. Ahmad Dahlan

1919 Algemeene

Vergadering Yogyakarta KH. Ahmad Dahlan

1920 Algemeene

Vergadering Yogyakarta KH. Ahmad Dahlan

1921 Algemeene

Vergadering Yogyakarta KH. Ahmad Dahlan 1922 Jaarvergadering Yogyakarta KH. Ahmad

Dahlan 1923 Perkoempoelan

Tahoenan Yogyakarta KH. Ibrahim

41 Ibid., hlm. 13.

42 Dep. Penerangan, op. cit., hlm. 109.

Cita-cita yang disematkan Ahmad Dahlan dalam nama “Muhammadiyah”

tentunya sangat sesuai dengan segala yang telah dilakukan Dahlan pada masa itu.

Dari asal katanya sudah terlihat bahwa cita-cita Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah yaitu mengembalikan segala sesuatu sesuai dengan tuntunan nabi Muhammad s.a.w. serta Al-Quran dan Hadits. Yang kedua dan yang tidak kalah penting yaitu membebaskan masyarakat dari tradisionalisme, kolonialisme, dan sebagainya yang membelenggu masyarakat saat itu. Dan cita-cita yang terakhir tentu saja mengenai amalan Muhammadiyah yang berorientasi langsung pada praktik dalam masyarakat dan menyesuaikan dengan kondisi serta permasalahan yang terjadi, khususnya pada awal abad ke-20.43

Menjadi catatan adalah Dahlan tidak mengarahkan kegiatan keagamaannya ke ranah politik seperti yang dilakukan oleh mayoritas gerakan dan organisasi nasional yang tergolong dalam gerakan politik, seperti Sarekat Islam. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa Dahlan dan Muhammadiyah dapat menjalin hubungan dengan organisasi lain dalam mengembangkan dan menjalankan tujuannya terkait pendidikan dan keagamaan Islam di Hindia Belanda.

Keinginan untuk merdeka adalah satu hal yang patut digarisbawahi.

“Merdeka” dalam hal ini tidak hanya melawan kolonialisme, tetapi juga melawan konservatisme dan tradisionalisme yang selama ini membelenggu masyarakat Indonesia untuk bisa bangkit dan berkembang serta memajukan kehidupan.

Keinginan untuk “merdeka” inilah yang kemudian membawa semangat baru,

43 Ibid., hlm. 157-158.

khususnya dalam hal literasi bagi seluruh lapisan masyarakat. Pada tahun 1915, majalah Suara Muhammadiyah pertama kali diterbitkan. Meski masih sangat sederhana dan tidak memuat banyak konten, hal ini dapat dilihat dari perspektif yang lebih luas yaitu kebermanfaatan kepada sesama dan masyarakat. Pendidikan yang masih belum memadai, sekolah yang masih sedikit, dan bahkan di pesantren tradisional pun hanya berfokus pada tafsir dan baca Al-Qur’an serta Hadits.

Pendidikan pesantren pun tidak menjamin seseorang bisa baca-tulis, selain daripada Al-Qur’an dan Hadits.

Gambar 4. Majelis Taman Pustaka Muhammadiyah

Sumber: https://www.republika.co.id/berita/qxhwvw366/muhammadiyah- buku-dan-literasi-di-hindia-belanda (diakses pada 12 Oktober 2022)

Suara Muhammadiyah dapat menjadi “angin segar” bagi masyarakat Jawa, khususnya yang bukan kalangan terpelajar. Percetakan memang dapat dihitung dengan jari, tetapi Muhammadiyah dan Ahmad Dahlan tidak menghiraukannya.

Setiap orang yang dianggap mampu untuk membelinya, sekiranya sudah selesai dibaca dan dipahami akan lebih baik jika diberikan kepada orang lain yang belum

bisa mendapatkannya. Konsep berbagai ini cukup menarik, karena pada masa itu belum banyak yang berpikiran demikian. Ditambah lagi, Suara Muhammadiyah edisi pertama ini menggunakan tulisan aksara Jawa dan tentunya berbahasa Jawa.

Ahmad Dahlan ingin agar hal ini semakin dapat mempermudah semua orang dari semua kalangan dalam membaca dan memahaminya.

Pada tahun 1917, sekitar bulan Maret, Ahmad Dahlan mempersiapkan acara sidang tahunan organisasi Boedi Oetomo di sekolah miliknya di Kampung Kauman, Yogyakarta. Ia mempersiapkan segala sesuatu mulai dari perlengkapan acara seperti mimbar dan kursi untuk murid-muridnya dan pembicara. Ahmad Dahlan juga sempat menyuruh lima orang muridnya yang sudah agak dewasa untuk membantu mempersiapkan hal tersebut. Ketika sidang dimulai, warga Kampung Kauman rupanya cukup antusias dengan acara tersebut, meski ada yang sembunyi-sembunyi karena takut dan malu serta beberapa dari mereka yang tidak bisa memahami pembicaraan tersebut karena menggunakan bahasa asing. Ketika acara telah selesai, murid-murid Ahmad Dahlan yang diutus untuk membantunya ini kemudian berpikir akan indahnya agama Islam jika dapat dibicarakan di depan khalayak umum dan dibawakan dalam bahasa lokal yaitu bahasa Jawa. Dari situlah ide tersebut mulai ramai dibicarakan di antara mereka dan pada akhirnya mencetuskan suatu kegiatan yang dinamakan “Malam Djoem’ah”.44

44H. M. Sudja’, op. cit., hlm. 113-116.

Gambar 5. Pengurus Muhammadiyah 1918-1921

Sumber: https://kemuhammadiyahan.com/sejarah-berdirinya-muhammadiyah/ (diakses pada 15 Oktober 2022)

Dari peristiwa tersebut, Ahmad Dahlan dimungkinkan telah merancang agar sidang tahunan Boedi Oetomo dapat dilangsungkan di Kauman, sehingga secara tidak langsung dapat membantu mempromosikan Muhammadiyah beserta Islam sekaligus. Hal itu juga terbukti dari antusiasme warga kampung yang penasaran dan sekaligus kurang bisa memahami pembicaraan dalam sidang tersebut karena terkendala bahasa. Dari hal inilah, ide seperti membuat Pengajian Malam Djoem’ah muncul, tetapi bukan secara langsung dari Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan tidak hanya mewarisi pemikiran, tetapi juga semangat yang kemudian diteruskan oleh murid-muridnya sendiri dalam mendirikan kegiatan berupa Pengajian Malam Djoem’ah. Bahasa Jawa kemudian yang dapat mempersatukan umat Islam karena memang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kauman dan

Yogyakarta, sehingga hal ini pun menjadi pertimbangan dalam men-syiar-kan agama Islam dalam kegiatan-kegiatan yang ada kemudian.

3.2 Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Masyarakat Jawa dan