• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Pemikiran Ahmad Dahlan yang Diteruskan oleh

BAB IV PERKEMBANGAN PEMIKIRAN KH. AHMAD DAHLAN PADA

4.2 Perkembangan Pemikiran Ahmad Dahlan yang Diteruskan oleh

Muhammadiyah, Muhammad Husni dan juga terdapat acara bertajuk “The Coming of The World Teacher” oleh Mirza Wali Ahmad Baig dari Lahore (Hindustan).68

Dari kegiatan tersebut terlihat Perhimpunan Muhammadiyah telah berkembang dengan pesat dan berorientasi pada pengembangan pendidikan serta agama Islam secara lebih terarah dan mendalam. Melihat perspektif dari Islam di luar Hindia Belanda juga menjadi pilihan yang dapat mendukung khazanah keislaman secara lokal maupun nasional. Mulai dari Lahore, Muhammadiyah nampaknya tidak memiliki keraguan untuk melangkah maju dalam memajukan masyarakat Islam melalui pendidikan dan kegiatan sosial lainnya yang terus ditawarkan dan diamalkan oleh Muhammadiyah.

4.2 Perkembangan Pemikiran Ahmad Dahlan yang Diteruskan

yang memahami ranah politik. Politik dan agama tidak patut untuk dicampuradukkan, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan penyimpangan dari jalan yang dianggap benar. Menariknya, di akhir rubrik ini tercantum nama ketua paguyuban “Wal Fadjrie” yaitu A.D. Ha’anie, dan dijelaskan bahwa ia adalah murid KH. Ahmad Dahlan.69 Suatu hal yang kemudian semakin mendekatkan pada fakta bahwa perjuangan Ahmad Dahlan serta karyanya tetap dilestarikan dan menjadi inspirasi orang-orang di luar Muhammadiyah pula.

Di tahun yang sama pula, Muhammadiyah nampaknya mulai mengembangkan sayap ke bagian barat Indonesia, yaitu di Pulau Sumatera.

Laporan pada 5 April 1927 tertulis demikian,

“… het hoofdbestuur van moehammadijah besloten om een intensieve propaganda aan de Westkust van Sumatra te beginnen. Hiervoor zal binnenkort een propagandist derwaarts gedirigeerd worden.

Waakzaamheid van de zijde van de regeering is hier zeker geboden, gezien het godsdienst-fanatisme van de inwoners en de eerst kortgeleden plaatsgehad hebbende relletjes!”70

diterjemahkan menjadi:

“… pengurus pusat Muhammadiyah telah memutuskan untuk memulai kampanye propaganda intensif di pantai Barat Sumatera. Seorang propagandis akan segera diarahkan ke sana untuk ini. Kewaspadaan dari pihak pemerintah tentu diperlukan di sini, mengingat fanatisme agama penduduk dan kerusuhan pertama baru-baru-ini!”

Kutipan laporan di atas tentu langsung dapat dimengerti dan dipahami tentang sepak-terjang Muhammadiyah pada pertengahan 1920-an yang menunjukkan perkembangan, tidak hanya dari segi organisasi, tetapi juga dari segi

69 “Uit de Politiek” dalam De Koerir, 23 September 1927.

70“Moehammadijah ter Westkust” dalam De Indische Courant, 05 April 1927.

aksi nyata sesuai dengan tujuan dan cita-cita dari pendahulu Muhammadiyah tentunya. Tidak dijelaskan secara rinci kerusuhan dan fanatisme agama seperti apa yang terjadi di bagian Barat Sumatera, tetapi dari sisi sumber daya manusia Muhammadiyah sudah mempersiapkan untuk menugaskan orang-orangnya ke wilayah misi di Sumatera. Sisi yang lain menunjukkan bahwa ternyata di belahan lain Indonesia masih terdapat dinamika keagamaan yang cukup kompleks, seperti fanatisme dan dimungkinkan juga pengaruh dari budaya setempat menjadi salah satu faktor kuatnya dinamika keagamaan di sana dan dilestarikan hingga saat ini.

Gambar 9. De Indische Courant, 08 November 1927

Sumber: www.delpher.nl

Keagamaan dan pendidikan menjadi kunci awal pendirian Muhammadiyah dan tujuan itu sudah mulai tercapai dan makin merambah berbagai kalangan dan kawasan bahkan sempat berhubungan dengan dunia luar mengenai Islam. Dalam suatu surat kabar De Indische Courant disebutkan bahwa Muhammadiyah cabang Solo telah membentuk komite untuk membantu siswa AMS (Algemeene Middelbare School), khususnya yang bersekolah di sekolah dasar. Selain dari itu, disebutkan pula demikian

“Om de inwoners van kampong Kaoeman meer met den Mohammedaanschen godsdienst in aanraking te brengen, heeft de vereeniging Aisiah, een vrouwen-afdeeling van Moehammadijah, een comite te gevormd om aldaar een nieuwe moskee te bouwen, speciaal voor vrouwen.”71

diterjemahkan menjadi:

“Untuk mendekatkan penduduk Kampung Kauman dengan agama Islam, asosiasi Aisiah (Aisyiyah), bagian perempuan Muhammadiyah, membentuk panitia untuk membangun masjid baru di sana, khusus untuk perempuan.”

Muhammadiyah telah menjadi pendukung bagi sarana pendidikan pribumi dan sekolah-sekolah keagamaan Islam yang ada. Tercatat pula dalam surat kabar tersebut mengenai Van der Plas, yang merupakan pejabat pemerintah Hindia Belanda urusan pribumi, memeriksa beberapa sekolah, juga asosiasi pribumi lainnya seperti Boedi Oetomo, dan ia sangat tertarik dengan cara pelajaran agama diberikan di berbagai sekolah. Pelajaran agama Islam yang dahulu sempat dirintis oleh Ahmad Dahlan sudah berkembang dan diterapkan ke berbagai sekolah pada

71“Solo” dalam De Indische Courant, 08 November 1927

saat itu. Perlahan tapi pasti, Muhammadiyah mendapat dukungan dari berbagai pihak, khususnya pemerintah Hindia Belanda hingga membuat mereka terkesan.

Selain menjalin hubungan baik dengan pemerintah dan lembaga lainnya, Muhammadiyah tak luput untuk memberikan semacam sosialisasi untuk pemahaman agama Islam kepada masyarakat yang non-Muslim agar dapat menjadi perhatian bersama dalam konteks keberagaman dan persatuan, baik antara paham dari Timur maupun paham dari Barat. Pemahaman mengenai agama Islam yang berisi prinsip-prinsip dasar telah dijelaskan secara singkat oleh Maulir Muhammad Ali, MA. L. L. B., presiden asosiasi “Achmadiah Andjoeman-i-Isyaat-i-Islam” di Lahore. Naskah tersebut kemudian diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh M.

Moehammad Hoesni selaku sekretaris jenderal asosiasi Muhammadiyah di Jogja dan terakhir naskah tersebut diberi kata pengantar oleh R. A. A. Wiranatakoesoema, Bupati Bandung kala itu. Karya tersebut menjadi bahan diseminasi dan diberikan secara khusus kepada non-Muslim serta memiliki tujuan utama yaitu:72

1. Menghilangkan prasangka terhadap agama di dunia, khususnya Islam.

2. Mencapai kerjasama dan penghargaan yang lebih baik antara dunia Timur dan dunia Barat.

72 “De Islam” dalam De Indische Courant, 13 Januari 1927.

Gambar 10. “De Islam” dalam De Indische Courant, 13 Januari 1927

Sumber: www.delpher.nl

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa masyarakat Jawa menjadi mayoritas yang memeluk Islam di sekitar Yogyakarta dan daerah di Jawa Tengah, secara khusus di wilayah Solo. Yogyakarta dan Solo memiliki kesamaan, selain dari hubungan Sejarah tetapi juga sama-sama memiliki Kampung Kauman. Kauman di Yogyakarta menjadi Kampung Muhammadiyah melalui Ahmad Dahlan dan akhirnya juga menular ke Kauman di Solo. Muhammadiyah di Solo mulai berkembang pada era 1920-an dan salah satu program mereka tercatat dalam surat kabar De Locomotief. Surat kabar yang terbit pada 18 Februari 1927 itu memberitakan mengenai percetakan Persatuan Muhammadiyah di Solo yang mencetak sekitar 12.000 eksemplar “Doa Islam” dalam karakter Jawa dan

diterbitkan secara gratis.73 Sebelum ini tercatat majalah Suara Muhammadiyah diterbitkan dalam bahasa Jawa di Yogyakarta dan kini diteruskan pengurus Muhammadiyah di Solo dengan penerbitan “Doa Islam” tersebut secara gratis.

Kiprah tokoh Muhammadiyah di berbagai cabang terlihat dalam berbagai aksi nyata mereka dan mirip seperti yang terjadi dalam Muhammadiyah era Ahmad Dahlan dengan mencetak majalah Suara Muhammadiyah agar masyarakat yang kurang mampu masih dapat mengakses informasi dan membacanya dengan mudah.

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah barisan pemuda Muhammadiyah yang juga telah terbentuk sebelumnya menjadi salah satu alat propaganda untuk mengenalkan Muhammadiyah di berbagai daerah sekaligus memberikan dampak dan perubahan bagi daerah yang menjadi misi mereka. Barisan pemuda Muhammadiyah ternyata juga membantu dalam mengarahkan para anak-anak yang sekiranya tidak berperilaku berlandaskan moral yang baik. Tercatat pada salah satu surat kabar yaitu De Locomotief mengenai kekhawatiran asisten residen Pekalongan mengenai sikap anak-anak di desa yang dianggap kurang bermoral seperti menghilangkan sarang burung, menembak burung dengan ketapel, dan lain-lain. Ia berharap agar barisan pemuda Muhammadiyah ini melihat dan mengamati hal ini dan sebisa mungkin melawannya.74 Asisten Residen yang lebih mengerti kondisi desa di sekitar Pekalongan mengharapkan barisan pemuda Muhammadiyah ini ketika masuk ke desa-desa membantu melihat kondisi anak-anak di sana dan dapat

“meluruskan” tindakan yang dianggap tidak terpuji dan bermoral. Tentu hal ini

73 “Solo: Het Islamietisch gebed” dalam De Locomotief, 18 Februari 1927.

74 ”Ingezonden: Moehammadijah” dalam De Locomotief, 28 Maret 1927.

menjadi berguna, selain melatih fisik kaum muda, tetapi juga melatih hati nurani dalam mengambil sikap ketika menghadapi suatu kenyataan yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

Kembali membahas masalah haji, tentu ada perkembangan cukup signifikan dari sisi jumlah jemaah yang menjalankan kewajiban umat Islam kelima ini. Dari De Nieuwe Vorstenlanden dapat disimpulkan bahwa melalui konsul Belanda di Jeddah, Hadji Sudja’ telah menerima pesan mengenai jumlah jemaah haji hingga akhir Februari 1927 terdapat 25.000 jemaah telah tiba di Tanah Suci dari Hindia.

Jumlah itu kemudian meningkat menjadi sekitar 40.000 jemaah pada akhir Maret 1927. Jumlah kisaran yang dihabiskan jemaah per orang adalah kira-kira 1.000 f untuk haji, sehingga di tahun 1927 tidak kurang 40.000.000 f dihabiskan untuk menunaikan haji.75 Berita yang cukup menghebohkan dan sekaligus memberikan kebahagiaan, karena umat Islam di Hindia Belanda dapat menunaikan haji dengan lebih nyaman dan menjadi agenda yang rutin dijalankan bagi penyelenggara haji di Hindia Belanda melalui para asosiasi Islam seperti Muhammadiyah karena pada masa itu belum ada penyelenggara haji resmi dari pemerintah.

Muhammadiyah telah melebarkan pengaruhnya dan kemudian memikirkan berbagai hal terkait fenomena yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat Jawa secara umum. Salah satu fenomena yang menjadi perhatian pengurus Muhammadiyah yaitu masalah perkawinan adat masyarakat Muslim Jawa yang dapat dinikahkan tanpa meminta persetujuan dari pria dan wanita calon pengantin

75 “De Bedevaart naar het Heilige Land” dalam De Nieuwe Vorstenlanden, 09 April 1927.

terhadap pilihan orangtua mereka. Para pimpinan Muhammadiyah kemudian meminta beberapa tokoh agama untuk mengungkapkan pemikiran mereka mengenai permasalahan ini. Dari majalah Jogja Mataram, disebutkan bahwa jawaban yang diterima terkait hal ini sangat beragam. Di satu sisi mempertahankan adat ini berdasarkan Al-Qur’an dan di sisi lain mengutuk sistem ini. Namun sangat disayangkan, survei ini tidak mengarahkan kepada hasil yang positif untuk menuju keputusan yang terbaik dalam menangani masalah tersebut.76 Muhammadiyah berusaha mengamati kebutuhan dan hal yang terjadi pada masyarakat Jawa, tetapi tidak semuanya dapat diatasi dengan mudah dan terkadang butuh bantuan dari pihak yang dianggap lebih bisa memahami segala permasalahan yang terjadi, seperti para tokoh agama dari berbagai wilayah di dunia. Meski meminta bantuan dalam beberapa hal, dan kadang bantuan tersebut menemukan “jalan buntu”, Muhammadiyah pada akhirnya harus tetap memberikan keputusan untuk kemudian harus bertindak seperti apa. Aksi nyata menjadi hal yang lebih diperhatikan daripada sebatas pikiran yang melayang di kepala tanpa realisasi langsung.

Kegiatan selanjutnya yang dilakukan oleh penerus Muhammadiyah yaitu ketika Hadji Sudja’, salah satu murid KH. Ahmad Dahlan serta penafsir dalam realitas gerakan Muhammadiyah dari pemikiran KH. Ahmad Dahlan, pada tahun 1928 memberikan pidatonya secara terbuka mengenai hubungan Islam dan ilmu pengetahuan. Pro dan kontra hubungan keduanya dibahas pada pidato tersebut, yaitu orang beriman melihat sains sebagai “omong kosong” dan juga seringkali

76 “Het gedwongen huwelijk, een onderzoek van Moehammadijah” dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant, 29 April 1927.

agama dihancurkan oleh ilmu pengetahuan. Setidaknya itulah yang dilihat secara umum oleh Hadji Sudja’ kala itu. Namun, meski terdapat suatu pertentangan di antara keduanya, ia kembali menuturkan bahwa Islam juga dapat membantu para intelektual dan sains secara khusus semakin memperdalam kehidupan Islam.

Kehidupan Islam harus terus dikembangkan dan dilakukan oleh seluruh umat Islam serta berbagai kaum intelektual yang menekuni agama Islam di Hindia Belanda masa itu.

Hadji Sudja’ kembali menekankan mengenai “Dana Dachlan” yang telah diupayakan di tahun-tahun sebelumnya, bahwa tujuannya semakin menguatkan siswa-siswi, secara khusus yang bersekolah di sekolah Muhammadiyah untuk dapat melanjutkan sekolahnya di tempat lain (sekolah lanjutan) agar menghasilkan semakin banyak kaum muda berbekal intelektual dengan pendampingan ilmu agama Islam yang dapat mengembangkan pendidikan di Hindia Belanda di awal abad ke-20. Segala kekurangan dalam Muhammadiyah juga tak luput dari pembahasan waktu itu, yaitu ketika seseorang tidak dapat memimpin, secara khusus dalam pembahasan mengenai Islam dan ilmu pengetahuan, meski tujuannya baik.

Dalam hal inilah seorang pemimpin mampu menjadi jembatan antara persilangan pendapat yang bermacam-macam. Pada bagian terakhir teks tersebut, Hadji Sudja’

kembali ingin menegaskan mengenai menumbuhkembangkan intelektual dapat menegakkan iman (kesilaman) dengan beragam, meski dalam berbagai pendapat yang berbeda oleh para intelektual.77

77 “Het congress te Jogja van Mohammadijah: Islam en wetenschap” dalam De Locomotief, Eerste blad, Semarang, Donderdag, 16 Februari 1928, No. 39.

Salah satu pemikiran Ahmad Dahlan yang kemudian terealisasikan dan akhirnya berkembang yaitu Suara Muhammadiyah, yang pada 1928 telah menjadi organ di dalam Muhammadiyah. Majalah-majalah terbitan Suara Muhammadiyah ini ternyata telah merambah kepada pembaca di luar Hindia Belanda dan kepada orang-orang yang belum memahami agama Islam. Dalam salah satu rubrik di surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant yang terbit pada 27 September 1928 sempat menuliskan mengenai perkembangan pada majalah-majalah terbitan Suara Muhammadiyah seperti “Miratul-Muhammadijah” yang terbit dalam bahasa Arab, kemudian diubah namanya menjadi “Miratul-Ashargi” karena telah banyak dibaca oleh pembaca dari luar negeri dan mereka ingin menjadikannya sebagai majalah umum, bukan terbatas kepada masyarakat Islam saja. Perkembangan tidak berhenti di situ saja, karena ternyata pada bulan Juli 1928, cabang Tabligh Muhammadiyah di Solo menerbitkan majalah bulanan yang membahas mengenai pembelajaran Islam yang tentunya diawasi oleh semua komite dan semua mubaligh. Menariknya adalah majalah ini telah menggunakan bahasa Jawa juga dengan aksara Jawa.78

Dalam hal ini, penyebaran Islam harus bisa dimaksimalkan lewat budaya membaca yang mudah diakses oleh semua kalangan, khususnya masyarakat Jawa.

Baik di era Ahmad Dahlan maupun generasi selanjutnya, penyebaran agama Islam harus menggunakan cara yang lebih mudah dimengerti oleh semua kalangan, khususnya masyarakat Muslim yang berada di Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah kala itu.

78 “Moehammadijah” dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant, 27 September 1928.

Muhammadiyah melalui PKO juga kini semakin menginspirasi berbagai kalangan untuk memiliki niat yang sama, yaitu memberikan layanan kesehatan secara gratis bagi para pribumi yang membutuhkan pertolongan medis. Dengan hadirnya PKO sekitar tahun 1922-1923 di Yogyakarta dan Surabaya, secara tidak langsung menarik perhatian asosiasi yang bekerja untuk kepentingan sosial masyarakat Semarang juga mendirikan semacam “PKO” mereka sendiri yang dinamakan “Poliklinik Kesengsaraan Umum.” Meski dalam surat kabar Algemeen Handelsblad voor Nedelandsch-Indie pada November 1929 menyebutkan “PKO”

yang dimaksud tidak ada hubungannya dengan PPKO dari Muhammadiyah. Tujuan dan niat yang sama untuk memberikan layanan dan fasilitas kesehatan kepada pribumi waktu itu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak seperti donatur dan beberapa doktor yang mengabdikan diri untuk melayani kesehatan masyarakat yaitu Dr. Masoeki dan Dr. de Nooy.79 Kesamaan cita-cita yang ingin diperjuangkan berbagai kalangan untuk menciptakan kondisi kesehatan yang baik bagi masyarakat pribumi ditunjukkan dalam surat kabar tersebut. Inspirasi untuk melakukan aksi mulai mewabah pada kaum intelektual yang peduli pada nasib pribumi. Kesehatan yang masih menjadi perhatian penting kala itu sudah mulai dilakukan dalam Muhammadiyah seperti PKO yang nantinya berkembang di berbagai daerah dan semakin menjangkau banyak masyarakat yang sekiranya membutuhkan fasilitas dan layanan kesehatan yang baik.

79 “Polikliniek Kesangsaraan Oemoem” dalam Algemeen Handelsblad voor Nedelandsch-Indie, 16 November 1929.