• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Praktik Keagamaan Islam Di Yogyakarta 1868-1929

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Praktik Keagamaan Islam Di Yogyakarta 1868-1929"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PEMIKIRAN AHMAD DAHLAN MENGENAI

PRAKTIK KEAGAMAAN ISLAM DI YOGYAKARTA 1868- 1929

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Sejarah

Oleh

Alfonsus Pramudya Daneswara 184314025

PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2022

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Alfonsus Pramudya Daneswara Nomor Mahasiswa : 184314025

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya, yang berjudul:

PEMIKIRAN AHMAD DAHLAN MENGENAI PRAKTIK KEAGAMAAN ISLAM DI YOGYAKARTA 1868-1929

Beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya sebagai peneliti.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada 15 November 2022 Yang menyatakan,

Alfonsus Pramudya Daneswara

(6)

vi

MOTTO

“Do not pray for easy lives, pray to be stronger men. Do not pray for tasks equal to your powers, pray for powers equal to your tasks.”

John F. Kennedy

(7)

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk kedua orangtuaku, adikku, keluarga besarku, teman-teman kuliah, teman-teman lektor Pugeran, sahabatku, serta orang-orang yang telah membantuku selama proses penyusunan skripsi ini.

(8)

viii

ABSTRAK

Alfonsus Pramudya Daneswara, Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Praktik Keagamaan Islam di Yogyakarta 1868-1929. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. 2022.

Penulisan skripsi yang berjudul “Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Praktik Keagamaan Islam di Yogyakarta 1868-1929” ini berusaha untuk menjawab tiga permasalahan utama. Pertama, bagaimana konteks kehidupan KH. Ahmad Dahlan, mulai dari pendidikan, lingkungan tempat ia tinggal dan tumbuh, serta karir awalnya pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kedua, bagaimana pemikiran KH. Ahmad Dahlan mengenai masyarakat Jawa di Yogyakarta serta kegiatannya pada 1912-1923. Ketiga, bagaimana perkembangan pemikiran KH. Ahmad Dahlan pada generasi penerusnya pada 1923-1929.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dan menelusuri jejak pemikiran KH. Ahmad Dahlan mulai dari periode awal di Muhammadiyah hingga beberapa tahun setelah wafatnya yang kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya dalam perspektif sejarah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah yang melalui tahapan seperti pemilihan topik dan pengumpulan sumber sejarah (heuristik), kritik sumber (verifikasi), interpretasi, dan historiografi (penulisan).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran KH. Ahmad Dahlan yang tercermin dalam kegiatan dan program kerja di Muhammadiyah mengalami perkembangan. Meskipun pada awal pendirian Muhammadiyah serta beberapa gerakan yang telah dilakukan sebelumnya, seperti merubah arah kiblat Masjid Agung ke arah yang lebih tepat tidak jarang mendapat penolakan.

Kerja keras KH. Ahmad Dahlan juga nampak pada kegiatan di organisasi lainnya seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Pada tahun 1920-an menjadi periode penting dalam Muhammadiyah ketika dibentuknya majelis-majelis untuk menangani berbagai urusan seperti pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan kepustakaan. Program-program Muhammadiyah yang telah dimulai pada era KH. Ahmad Dahlan kemudian dapat diperhatikan oleh generasi penerusnya dan akhirnya bisa sungguh bermanfaat bagi masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta pada awal abad ke-20, melalui klinik PKO dan sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Kata kunci: Ahmad Dahlan, masyarakat Jawa, agama Islam, Muhammadiyah, Yogyakarta, PKO

(9)

ix

ABSTRACT

Alfonsus Pramudya Daneswara, Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Praktik Keagamaan Islam di Yogyakarta 1868-1929. An Undergraduate Thesis.

Yogyakarta: Department of History, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

2022.

The writing of this thesis entitled “Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Praktik Keagamaan Islam di Yogyakarta 1868-1929” tries to answer 3 main questions. First, what is the life context of Ahmad Dahlan such as his academic background, the environment where he lived and grew up, and his early career at the end of 19th century until the beginning of 20th century. Second, how Ahmad Dahlan’s considerations about Javanese society in Yogyakarta and his activities in 1912-1923. Third, how is the development of Ahmad Dahlan’s considerations in the next generations of Muhammadiyah in 1923-1929.

The purpose of this research is to see and trace the thoughts of KH.

Ahmad Dahlan started from his early period in Muhammadiyah until a few years after his death which was then passed on by the next generation in a historical perspective. The research method used is a historical research method that goes through stages such as topic selection and collection of historical sources (heuristics), source criticism (verification), interpretation, and historiography (writing).

The results showed that the thinking of KH. Ahmad Dahlan, which is reflected in the activities and work programs at Muhammadiyah, has developed.

Although at the beginning of the establishment of Muhammadiyah and several previous movements, such as changing the “kiblat” direction of the Great Mosque to a more precise direction, it was often rejected. KH. Ahmad Dahlan’s role also appears in activities in other organizations such as Boedi Oetomo and Sarekat Islam. The 1920s became an important period in Muhammadiyah when “Majlis”

were formed to handle various affairs such as education, health, religion, and literature. Muhammadiyah programs that have been started in the era of KH.

Ahmad Dahlan could then be noticed by the next generation and finally could really benefit the Javanese people, especially in Yogyakarta at the beginning of the 20th century, through PKO clinics and Muhammadiyah schools.

Keywords: Ahmad Dahlan, Javanese, Islam, Muhammadiyah, Yogyakarta, PKO

(10)

x

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Praktik Keagamaan Islam di Yogyakarta 1868-1929” di tengah

pandemi Covid-19.

Dalam penyusunan skripsi ini, tentu tidak terlepas dari keterlibatan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas segala bantuan dan dukungannya, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya, penulisan skripsi ini berjalan dengan baik dan lancar.

2. Kedua orangtua serta adik tercinta yang selama penyusunan telah memberikan dukungan agar bisa menyelesaikan skripsi ini dengan penuh semangat.

3. Keluarga besar Hadisiswayan yang juga telah membantu memberikan dukungan, semangat, serta motivasi dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Rm. Heri Setyawan, S.J., S.S., M.A. selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pendamping akademik mahasiswa Sejarah Angkatan 2018 yang telah memberikan saran dan bantuan demi tercapainya kesempurnaaan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum. selaku ketua Program Studi Sejarah yang telah membantu dalam penyusunan proposal skripsi dan memberikan saran-saran yang sangat berguna dalam penyusunan skripsi ini.

(11)

xi

6. Pengurus Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mencari arsip terkait Muhammadiyah.

7. Mas Rizky selaku redaktur Pusdalit Suara Muhammadiyah yang telah memberikan kesempatan untuk mengakses arsip mengenai Ahmad Dahlan dan juga telah memberikan bantuan berupa sumber tambahan yang sangat besar manfaatnya bagi penyelesaian skripsi ini.

8. Seluruh staf dan dosen Program Studi Sejarah yang telah memberikan wawasan akademik, baik melalui perkuliahan maupun dalam mengurus segala kebutuhan dalam proses penulisan skripsi hingga akhir serta Mas Doni yang membantu dalam kelancaran segala proses administrasi penulisan skripsi ini.

9. Teman-teman Prodi Sejarah, khususnya Angkatan 2018 Suryo, Biaggi, Savio, Riyan, Endy, Leo, Ado, Mellin, Puspa, Ara, Dina, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu termasuk dari angkatan lain yang telah membantu mendukung penyusunan skripsi ini hingga selesai.

10. Teman-teman Lektor dan Gereja Pugeran yang juga senantiasa memberikan dukungan dan perhatian dalam penyusunan skripsi agar dapat berjalan dengan lancar dari awal sampai akhir.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran bagi para pembaca serta para peneliti yang berminat dalam membahas Muhammadiyah di awal pendiriannya agar penulisan skripsi ini bisa menjadi lebih baik. Semoga skripsi

(12)

xii

ini dapat berguna bagi para pembacanya, khususnya yang ingin meneliti topik terkait.

Yogyakarta, 15 November 2022

Alfonsus Pramudya Daneswara

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v

MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

PRAKATA ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Identifikasi Masalah ... 4

1.3Pembatasan Masalah ... 5

1.4Perumusan Masalah ... 6

1.5Tujuan Penelitian ... 7

1.6Manfaat Penelitian ... 7

1.7Kajian Pustaka ... 7

1.8Landasan Teori ... 15

1.9Metode Penelitian ... 16

1.10Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KONTEKS SOSIAL-BUDAYA KH. AHMAD DAHLAN 1868-1923 ... 18

2.1KH. Ahmad Dahlan: Kehidupan, Pendidikan, dan Awal Karyanya 18 2.2Konteks Sosial-Budaya dan Agama pada Masyarakat Jawa di Yogyakarta 1870-1923 ... 26

2.3Kesimpulan ... 32

BAB III PEMIKIRAN AHMAD DAHLAN MENGENAI MASYARAKAT JAWA DI YOGYAKARTA 1912-1923 ... 33

3.1Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Masyarakat Jawa di Yogyakarta serta Kegiatannya dalam Muhammadiyah pada 1912-1919 ... 33

3.2Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Masyarakat Jawa dan Kegiatannya dalam Muhammadiyah pada 1920-1923 ... 47

(14)

xiv

3.3Kesimpulan ... 55

BAB IV PERKEMBANGAN PEMIKIRAN KH. AHMAD DAHLAN PADA GENERASI SETELAHNYA 1923-1929 ... 56

4.1Perkembangan Pemikiran Ahmad Dahlan yang Diteruskan oleh Generasi Setelahnya 1923-1926 ... 56

4.2Perkembangan Pemikiran Ahmad Dahlan yang Diteruskan oleh Generasi Setelahnya 1927-1929 ... 69

4.3Kesimpulan ... 81

BAB V PENUTUP ... 82

5.1Kesimpulan ... 82

5.2Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86

LAMPIRAN ... 90

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pertemuan Tahunan Muhammadiyah 1912-1923 ... 42

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kyai Haji Ahmad Dahlan ... 21

Gambar 2. Sekolah privat HIS oleh RM. Panji Gondo Atmojo (Pakualaman) Yogyakarta beserta para guru Jawa ... 30

Gambar 3. Kweekschool Muhammadiyah circa tahun 1918 ... 39

Gambar 4. Majelis Taman Pustaka Muhammadiyah... 44

Gambar 5. Pengurus Muhammadiyah 1918-1921 ... 46

Gambar 6. Bestuur dan Pengarang Taman Pustaka Muhammadiyah... 48

Gambar 7. Salah satu Bagian Tulisan dalam Nieuwe Tilburgsche Courant, 19 April 1922 ... 50

Gambar 8. “Moehammadijah-scholen” dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant, 14 Desember 1925 ... 66

Gambar 9. De Indische Courant, 08 November 1927 ... 71

Gambar 10. “De Islam” dalam De Indische Courant, 13 Januari 1927 ... 74

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Muhammadiyah telah menancapkan tiang dakwah dan syiar agama Islam, terutama di Jawa. Pendirinya yang tidak lain adalah KH. Ahmad Dahlan, seorang warga Kraton Yogyakarta yang sangat dekat dengan kebudayaan Jawa. Tentunya, KH. Ahmad Dahlan adalah sosok yang sangat memperhatikan agama Islam sebagai kehidupan kesehariannya.

Memang sudah menjadi rahasia umum, apabila Muhammadiyah, sejak awal pendiriannya memfokuskan diri pada pengembangan sekolah dan pendidikan bagi masyarakat. Hal itu pun tidak dapat dipungkiri dengan terbentuknya institusi pendidikan Muhammadiyah yang berkembang hingga sekarang. Hal itu terjadi tak luput dari peran pendirinya sendiri yaitu KH. Ahmad Dahlan untuk bisa mencerdaskan masyarakat Jawa.

Kemudian dalam praktiknya, Muhammadiyah juga dapat bersaing dengan pengaruh Kristenisasi yang semakin berkembang dengan banyaknya zending di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Dan peran pemimpin agaknya selalu berpengaruh, terutama pemikirannya untuk bisa membawa kehidupan masyarakat ke taraf yang lebih baik.

Selain bersaing dengan Kristenisasi yang marak pada awal abad ke-20, KH.

Ahmad Dahlan harus berbenturan dengan praktik keagamaan pada masyarakat Jawa di Yogyakarta. Dikatakan demikian karena pandangan dan pemikirannya

(18)

telah dipengaruhi model pemikiran Islam dari berbagai guru terkemuka di Timur Tengah. Di samping itu, menurut KH. Ahmad Dahlan, praktik keagamaan yang berupa tradisi seolah “dicampur-adukkan” dengan ajaran agama Islam sehingga perlu diluruskan agar tidak terjadi penurunan nilai norma keagamaan dan sosial sekaligus.

Kauman menjadi “saksi bisu” dari perjalanan karir KH. Ahmad Dahlan dalam mereformasi ajaran Islam dan ajaran keagamaan pada awal abad ke-20 di Yogyakarta setelah pendalaman berbagai ilmu, baik dari Timur Tengah maupun dari kyai-kyai lokal untuk semakin memantapkan dirinya di dalam melakukan pergerakan. Kauman sebagai kampung Islam dahulunya bukan seperti yang dibayangkan sekarang ini. Tumpuan perubahan yang terjadi di Kauman tidak lepas dari KH. Ahmad Dahlan; segala pemikiran dan perjuangannya dalam meluruskan ajaran Islam dengan ajaran tradisional pada budaya Jawa yang masih sering tercampur dalam penerapannya pada masyarakat.

Pada penelitian ini akan dibahas pula beberapa contoh konflik yang dihadapi karena benturan cara pandang mengenai praktik keagamaan antara KH. Ahmad Dahlan dengan kaum tradisionalis. Dapat dipahami bahwa dalam memulai suatu hal yang dianggap “berbeda” selalu menghadapi tantangan yang justru semakin memotivasi KH. Ahmad Dahlan untuk meneruskan perjuangannya sampai akhir dalam menyampaikan gagasan serta pemikirannya.

Pengaruh pemikiran KH. Ahmad Dahlan setelah masa kepemimpinannya juga menarik untuk dikaji karena tanpa kerja kerasnya, Muhammadiyah tidak akan berkembang seperti sekarang, khususnya dalam melihat realitas masyarakat masa

(19)

awal abad ke-20 hingga pertengahan abad ke-20. Penting dikaji juga perubahan pengaruh pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan penerapannya di dalam kepemimpinan Muhammadiyah selanjutnya hingga sekitar tahun 1949-1950.

Penelitian ini terfokus pada periode tahun 1868-1923. Periode ini dipilih karena tahun 1868 adalah tahun kelahiran KH. Ahmad Dahlan yang menjadi penanda kehidupan keagamaan yang lebih baik, khususnya pada masyarakat Jawa di Yogyakarta. Kemudian tahun 1923 dipilih bukan hanya menjadi penanda tahun KH. Ahmad Dahlan wafat, melainkan untuk lebih melihat sejauh mana pemikiran KH. Ahmad Dahlan bertahan serta relevan dengan arus zaman. Pemikiran KH.

Ahmad Dahlan tentunya tidak akan berhenti begitu saja dan dalam hal inilah juga menjadi bagian dalam penelitian ini.

Pembahasan mengenai peran KH. Ahmad Dahlan dan pemikirannya memang sudah ada sebelumnya, tetapi penelitian kali ini juga melihat identitas KH.

Ahmad Dahlan sebagai seorang Jawa dan seorang Muslim. Di samping itu, penelitian ini akan melihat kembali perubahan yang terjadi dalam diri Muhammadiyah yang tentunya tak lepas dari pemikiran-pemikiran KH. Ahmad Dahlan.

Kyai Haji Ahmad Dahlan selama ini dipandang sebagai tokoh pembaharu dan dikenang karena gerakannya. Fokus persoalannya yaitu apa saja yang melatarbelakangi tindakannya. Untuk dapat melihatnya secara lebih menyeluruh perlu diungkap apa yang sesungguhnya terjadi pada awal abad ke-20 di Yogyakarta dan kampungnya tercintanya, Kauman yang menjadi titik tolak perjuangannya dalam meluruskan ajaran Islam.

(20)

Penelitian ini ingin melihat dan membahas KH. Ahmad Dahlan dalam identitasnya sebagai bagian dari masyarakat Jawa sekaligus pemeluk agama Islam.

Kajian-kajian sebelumnya masih belum membahas mengenai hal ini dan lebih membahas mengenai karya-karya KH. Ahmad Dahlan serta beberapa landasan pemikirannya mengenai agama Islam.

1.2 Identifikasi Masalah

Pemikiran Dahlan yang telah diketahui sebelumnya membawa dampak besar bagi pemikiran Islam tradisional melalui gerakan reformasi dan pengajaran agama Islam modern. Ini akan berdampak pada perlawanan terhadap Islam tradisional yang sudah berakar kuat dalam tradisi Jawa, terutama dalam lingkungan Kraton Yogyakarta.

Dahlan memandang bahwa Islam tradisional yang sudah dianggap sebagai tradisi dalam budaya Jawa sebagai ketidaksempurnaan, terutama karena menentang pula budaya Barat yang identik dengan Kristenisasi. Dahlan seringkali mendapat ancaman bahkan dari pihak Kraton dan Sultan Yogyakarta karena gerakan yang dilakukannya dan juga karena ajarannya yang berbeda dengan praktik agama Islam di Hindia Belanda.

Pemikiran Dahlan menjadi pokok permasalahan di sini karena hal ini melahirkan berbagai pertentangan dalam pendirian dan perkembangan Muhammadiyah. Pemahaman keagamaan yang dinilai kurang oleh Ahmad Dahlan kemudian membuatnya yakin untuk meluruskannya. Budaya serta tradisinya perlu

(21)

dipahami secara berbeda dan bukan berarti “sejalan” dengan agama Islam dalam konteks modern awal abad ke-20.

Permasalahan berlanjut kepada masa kepemimpinan Muhammadiyah setelah KH. Ahmad Dahlan. Pemikiran Ahmad Dahlan tentu berperan penting terhadap pertumbuhan Muhammadiyah dan kehidupan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta masa awal abad ke-20 hingga pertengahan abad ke-20.

Perubahan-perubahan pemikiran KH. Ahmad Dahlan seperti apa yang terjadi selanjutnya dan penerapannya di dalam organisasi Muhammadiyah untuk dilanjutkan menjadi suatu sikap dasar organisasi.

1.3 Pembatasan Masalah

Untuk aspek temporal, permasalahan akan berada dalam rentang tahun 1868 ketika KH. Ahmad Dahlan lahir, menjalani pendidikan keislamannya, menjadi anggota dan pengurus organisasi pergerakan yang marak pada awal abad ke-20 seperti Boedi Oetomo dan membuat berbagai program syiar melalui keanggotaannya itu. Kemudian aspek temporal akan berakhir pada tahun 1923 ketika KH. Ahmad Dahlan wafat. Dipilihnya tahun tersebut mengingat penelitian ini membahas mengenai pengaruh pemikiran tokoh KH. Ahmad Dahlan melalui karya-karyanya di Muhammadiyah atau pun di organisasi lain serta berita tentang KH. Ahmad Dahlan, sehingga periode diperluas untuk kemudahan dalam penelitian.

Untuk aspek spasial, akan dilihat berbagai hal, yaitu:

(22)

1. Konteks kehidupan sosial-budaya pada masa KH. Ahmad Dahlan hidup (pendidikan, tindakan, serta awal karirnya dalam berdakwah) dan kondisi masyarakat Jawa di Yogyakarta pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

2. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan mengenai masyarakat Jawa di Yogyakarta serta berbagai gerakan yang ia lakukan pada 1912 hingga 1923.

3. Perkembangan pemikiran KH. Ahmad Dahlan yang diteruskan oleh generasi selanjutnya pada 1923 hingga 1929.

1.4 Perumusan Masalah

Beranjak dari latar belakang dan pembatasan permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dari penelitian ini. Permasalahan penelitian ini adalah

1. Bagaimana konteks kehidupan sosial-budaya pada masa KH. Ahmad Dahlan hidup, mulai dari kehidupan pribadi KH. Ahmad Dahlan serta kehidupan masyarakat Jawa di Yogyakarta pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20?

2. Bagaimana pemikiran KH. Ahmad Dahlan mengenai masyarakat Jawa di Yogyakarta pada 1912 hingga 1923?

3. Bagaimana perkembangan pemikiran KH. Ahmad Dahlan yang diteruskan oleh generasi selanjutnya pada 1923 hingga 1929?

(23)

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Penelitian ditujukan sebagai pengantar mengenai kehidupan KH. Ahmad Dahlan mulai dari pendidikan dan awal kiprahnya dalam berdakwah serta memberi gambaran singkat kehidupan sosial-budaya masyarakat Jawa di Yogyakarta pada masa KH. Ahmad Dahlan hidup.

2. Penelitian ini juga akan melihat pemikiran KH. Ahmad Dahlan mengenai masyarakat Jawa di Yogyakarta mulai tahun 1912 hingga 1923.

3. Penelitian akan membahas pula perkembangan pemikiran KH. Ahmad Dahlan yang diteruskan oleh generasi setelahnya pada 1923 hingga 1929.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini ditujukan bagi masyarakat, khususnya masyarakat Jawa serta anggota Muhammadiyah agar dapat memahami dinamika Islam dan Jawa pada awal abad ke-20 dalam konteks tindakan nyata dari KH. Ahmad Dahlan beserta pemikirannya tentang ajaran keagamaan Islam, budaya Jawa masa itu, dan perannya dalam organisasi Muhammadiyah serta organisasi lain kala itu.

1.7 Kajian Pustaka

Jurnal berjudul The ideological shift of Muhammadiyah from cultural into puritanical tendency in 1930s diawali dengan pemaparan mengenai kehadiran ulama dari Minang yaitu Haji Abdul Karim Amrullah, yang juga merupakan ayah dari Hamka, yang kemudian berpengaruh terhadap pemikiran Muhammadiyah, terutama dalam memandang kearifan lokal (dalam hal ini adalah Jawa). Haji Rasul

(24)

(sebutan untuk ayah dari Hamka) ini merupakan golongan yang terpelajar, tetapi kurang mendalami kebudayaan modern. Bisa disebut juga “kolot” atau konservatif.

Setelah itu, sekitar setelah tahun 1930-an, Muhammadiyah mulai membuka pemikirannya, terutama karena pengaruh kemerdekaan yang kemudian mempengaruhi di berbagai aspek seperti pemberian nama Indonesia atau luar seperti Arab dan Inggris, dan sebagainya. Penulis juga menggambarkan bahwa perbedaan yang signifikan antara sebelum 1930-an dan setelah 1930-an adalah penampakan dari Muhammadiyah sendiri. Sebelum tahun 1930, Muhammadiyah lebih memfokuskan diri pada pengembangan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan pada setelah 1930-an, Muhammadiyah memfokuskan pada pengembangan keagamaan yang kemudian juga terpengaruh dengan unsur-unsur nasionalisme (dikatakan penulis bahwa sebagian besar pengikut Muhammadiyah adalah nasionalis) dalam hal berpakaian, pemberian nama, dan sebagainya.

Terdapat ulasan menarik dari penulis yang sama yaitu Ahmad Najib Burhani yang mengangkat tema seputar reformasi Islam di Jawa. Dalam tulisannya yang berjudul Revealing the neglected missions: Some comments on the Javanese elements of Muhammadiyah Reformism, ia mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah bentuk kecil dari pergerakan para abdi dalem yang tinggal di Kraton Yogyakarta. Dalam jurnal ini, cukup banyak pembahasan mengenai Muhammadiyah dengan hubungannya pada kebudayaan Jawa. Sosok KH. Ahmad Dahlan yang digambarkan adalah menerima apa yang telah melekat dalam pribadinya dan masyarakat Jawa, terutama bagi yang juga ikut dalam keanggotaan Muhammadiyah di berbagai tempat.

(25)

Konklusi yang menarik dari penulis adalah Jawa, sebagai ideologi, justru ditolak oleh Muhammadiyah, sedangkan yang diterima adalah Jawa sebagai suatu kebudayaan. Betapa berkembangnya Muhammadiyah pada waktu KH. Ahmad Dahlan masih hidup dan Dahlan sendiri menggunakan cara yang dapat dikatakan lebih ke arah “damai”, tanpa adanya unsur pemaksaan. Dahlan pun tidak bisa menolak Jawa karena adalah jati dirinya sedari kecil dan tidak dapat dipungkiri, karena juga terdapat darah dari abdi dalem Kraton Yogyakarta yang merupakan para pendahulunya. Di sisi lain, dari ilmu keagamaan yang telah dipelajarinya, ada sesuatu yang perlu dibenahi dari alam pemikiran masyarakat Jawa. Menurut penulis, Islam, secara kebudayaan, telah “dijawakan” dan Jawa telah “diislamkan”

pula, serta Jawa telah dimodernkan dan dirasionalisasikan dari segi ideologi, dan bukan secara kultural.

Pembahasan mengenai gerakan pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyah di dalam jurnal yang berjudul KH. Ahmad Dahlan sebagai Tokoh Pembaharu cukup menarik. Dibandingkan dengan sumber-sumber sebelumnya, kajian yang disusun oleh Muh. Dahlan tersebut dijelaskan lebih rinci dan praktik- praktik nyata yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan di lingkungan sekitarnya, yaitu Kasultanan Yogyakarta. Kiranya baik jika kajian ini dapat dijadikan sebagai pemahaman umum tentang apa yang sesungguhnya ingin dilakukan oleh Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan organisasi keagamaan bernama Muhammadiyah. Dalam mendirikan Muhammadiyah serta mengakkan agam Islam tak luput dari tantangan, baik dari dari masyarakat Jawa maupun terhadap para

(26)

tokoh agama Islam kala itu. Untuk itulah, penting untuk memahami pemikiran tokoh tersebut dari sudut yang diperluas dan yang melatarbelakangi hal itu.

Pokok pembahasan yang dijelaskan pada artikel jurnal yang berjudul Praxis and Religious Authority in Islam: The Case of Ahmad Dahlan, Founder of Muhammadiyah memiliki kemiripan ide dengan sebelumnya. Hyung Jun-Kim menitikberatkan pada peran Ahmad Dahlan dalam gerakan reformasi Islam modern terhadap praktik Islam tradisional yang dianggap menyimpang. Di sisi lain, penulis juga mengkaji peran pemikiran Ahmad Dahlan pada masa setelah Ahmad Dahlan wafat. Dahlan memfokuskan gerakannya pada ajaran Islam yang berbasis “aksi”.

Ketika ajaran yang dibagikan Ahmad Dahlan dapat dilakukan oleh murid-muridnya di sekolah (baik yang didirikan oleh Muhammadiyah maupun tempat ajaran Dahlan berkembang), saat itulah keinginan dan semangat serta cita-cita Dahlan terpenuhi.

Menurut saya, dibandingkan dengan berbagai artikel yang dicantumkan dalam kajian pustaka, artikel jurnal ini bisa menjadi pembanding kekurangan pada artikel lain yang mayoritas kurang memperhatikan praktik ajaran Islam yang ditekankan Dahlan serta pengaruhnya terhadap masa setelah kepemimpinan Dahlan hingga menjelang akhir abad ke-20.

Perbedaan dengan kajian sebelumnya adalah penelitian ini mencoba melihat pengaruh pemikiran dari luar diri KH. Ahmad Dahlan, terkhusus peran para zending yang pada masa awal abad ke-20 cukup masif serta kedekatan KH. Ahmad Dahlan dengan salah seorang pastor yaitu Van Lith. Selain itu akan melihat dinamika mereka terkait pembahasan masalah pendidikan maupun keagamaan. Kajian ini dapat memberikan suatu pandangan baru mengenai dinamika yang harus dihadapi

(27)

Ahmad Dahlan seperti ketegangan pendapat dan argumen, serta membantu melihat sikap KH. Ahmad Dahlan dalam mengambil hal yang menurutnya baik untuk diterapkan pada masyarakat, khususunya masyarakat Jawa.

Dari buku Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, Abdul Munir Mulkhan mengambil pembahasan mengenai kehidupan keagamaan KH. Ahmad Dahlan, mulai dari pendidikan Islam dari keluarganya, pendidikannya di luar Hindia Belanda, khususnya di daerah Timur Tengah dan pendalaman keagamaan pada guru-guru lokal di Jawa, serta pemikirannya tentang ajaran agama Islam yang kemudian melahirkan organisasi Muhammadiyah. Kemudian, akan diambil juga bagian mengenai kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan di dalam Muhammadiyah yang akan sangat membantu dalam mengkaji masalah-masalah penelitian yang telah dituliskan di atas.

Kajian ini akan melengkapi penelitian-penelitian dalam jurnal di atas yang notabene masih terpusat pada peran nyata KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tentang praktik keagamaan dan masih belum banyak membahas latar belakang kehidupan, pendidikan, serta peran di dalam mendirikan serta memimpin Muhammadiyah.

Pustaka ini juga membantu dalam mendalami berbagai macam ilmu yang dipelajari oleh KH. Ahmad Dahlan yang masih belum didapatkan dari beberapa kajian sebelumnya. Meski pustaka ini sedikit “tua”, tetapi yang disusun oleh Abdul Munir Mulkhan kurang lebih sejalan dengan penelitian ini. Memang tidak akan diambil semua pemikiran Abdul Munir Mulkhan tentang KH. Ahmad Dahlan, dan hanya akan dikhususkan kepada pendidikan KH. Ahmad Dahlan, baik yang

(28)

dipelajari secara otodidak maupun berguru kepada kyai baik di Hindia Belanda maupun juga di luar ketika ia pergi naik haji. Ini sangat penting tentunya dalam melihat pengaruh yang terpancar dari berbagai bidang keilmuan yang dipelajarinya.

Dari pustaka ini pula akan dilihat secara khusus pemikiran-pemikiran KH.

Ahmad Dahlan dari hasil pembelajarannya tentang ilmu agama. Mengenai penerapan ajaran keagamaannya juga akan dilihat, tetapi tidak menyeluruh dan akan dilengkapi dengan pustaka lainnya yang masih dalam topik yang sama. Yang menarik dari pustka ini juga melihat adanya peran KH. Ahmad Dahlan di dalam organisasi Boedi Oetomo mulai dari tahun 1909, satu tahun setelah pendirian Boedi Oetomo, yang tentunya akan menjadi bahan pengujian ketika sumber-sumber primer terkait telah didapatkan, karena secara sekilas, dari Boedi Oetomo, karir KH.

Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah kemudian cukup berkembang dan keduanya, antara Boedi Oetomo dan KH. Ahmad Dahlan, pun saling bekerja sama untuk kepentingan masing-masing.

Dalam kajian berjudul Tajdid Muhammadiyah Dari Ahmad Dahlan Hingga Amien Rais dan Syafii Maarif, Heri Sucipto serta Nadjamuddin Ramly berfokus pada pendidikan Islam yang diterima KH. Ahmad Dahlan serta peran nyatanya dalam belajar serta mengajarkan ajaran Islam pada masyarakat Jawa di Yogyakarta.

Penulis mengambil bahasan pada awal buku karena membahas khusus mengenai KH. Ahmad Dahlan yang digambarkan sangat aktif berperan di dalam menggalakkan pendidikan, terutama pendidikan keagamaan, pada masa itu serta berani menentang tindakan yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran agama Islam yang ia telah terima dan dapatkan selama hidupnya. Perannya dalam

(29)

Muhammadiyah juga menjadi pembahasan yang cukup membantu dalam penelitian ini dan melengkapi penelitian sebelumnya yang mungkin masih belum kompleks dalam membahas KH. Ahmad Dahlan.

Tidak lupa akan dilihat dari pustaka ini mengenai kepemimpinan di dalam organisasi Muhammadiyah setelah KH. Ahmad Dahlan karena ingin melihat perubahan penerapan pemikirannya di dalam Muhammadiyah hingga tahun 1950 ketika perubahan nama dari Kongres menjadi Muktamar ke-31 Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Pada bagian KH. Ahmad Dahlan secara khusus akan dilihat perannya di dalam membangun Muhammadiyah dan di masyarakat sekitar Kraton Yogyakarta dan Kampung Kauman sebagai titik tolak perjuangannya “meluruskan” agama Islam di Yogyakarta masa itu. Dan untuk melihat perubahan pengamalan pemikiran KH. Ahmad Dahlan, tentunya dalam pustaka ini akan melihat secara ringkas perkembangan Muhammadiyah selanjutnya hingga tahun 1950 dan juga melihat sekilas perubahan nama dari Algemeene Vergadering hingga menjadi Muktamar.

Pustaka ini akan membantu melihat perubahan pemikiran KH. Ahmad Dahlan dari waktu ke waktu dan membantu dalam menjawab rumusan pertanyaan ketiga.

Adaby Darban dalam karyanya yang berjudul Sejarah Kauman: Menguak Identitas Muhammadiyah cukup memberikan gambaran tentang perubahan yang terjadi di Kampung Kauman atau bisa disebut juga sebagai “Kampung Muhammadiyah”. Tulisan ini tidak hanya melihat dan membahas terkait Muhammadiyah dan perannya bagi Kauman, tetapi juga menjelaskan Kauman dari berbagai sisi seperti sosial, ekonomi, geografi, maupun budaya dan tradisi

(30)

keagamaan mereka, baik sebelum KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah maupun setelah Muhammadiyah muncul dan berkembang dengan berbagai pemikirannya tentang ajaran keagamaan, khususnya Islam yang lebih modern.

Penelitian-penelitian sebelumnya memang sudah cukup banyak membahas tentang peran KH. Ahmad Dahlan serta Muhammadiyah dalam mereformasi dan meluruskan ajaran Islam pada masyarakat Jawa. Namun, akan lebih mendalam penelitian ini jika dikaitkan dengan adanya entitas Kampung Kauman beserta masyarakat dan kehidupan di dalamnya. Melihat gerakan yang dilakukan oleh KH.

Ahmad Dahlan dari tempat kelahiran KH. Ahmad Dahlan dan kelahiran Muhammadiyah yang kemudian sedikit demi sedikit mempengaruhi kegiatan keagamaan di Kauman dan menjalar ke dalam Kraton Yogyakarta.

Pertama, penelitian ini ingin meninjau kembali perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam mereformasi Islam Jawa di Yogyakarta dengan menggunakan sumber-sumber primer. Dengan adanya sumber primer terkait, kajian yang telah ada serta yang akan dilakukan pada penelitian ini akan menjadi lebih mendekatkan pada kebenaran. Meski penelitian Sejarah, khususnya mengenai sinkretisme, akan sangat terpengaruh dengan suatu pemikiran dan perspektif peneliti, tetapi setidaknya dapat memberikan dukungan kepada para peneliti serupa yang telah mengkaji Islam dan Jawa dalam tempo yang cukup lama.

Kedua, perspektif baru akan diberikan dalam penelitian kali ini. Walaupun menggunakan berbagai sumber yang serupa dengan penelitian ini (sumber yang berupa kajian-kajian sebelumnya) akan dilihat pula dari sumber primer yang akan sangat menentukan dalam penyusunan historiografi. Pada kajian-kajian

(31)

sebelumnya sudah terlihat bahwa ada yang berpendapat bahwa KH. Ahmad Dahlan adalah sosok pahlawan bagi masyarakat Jawa yang menganut Islam, tetapi di sisi lain terdapat pula anggapan mengenai cara penyebaran dan dakwah-nya yang kurang bisa diterima dengan baik sehingga melahirkan pertentangan. Penelitian kali ini akan membahas keduanya berdasarkan sumber yang didapatkan dan pada akhirnya dapat terlihat secara utuh konteks yang ada dari berbagai sumber yang digunakan.

1.8 Landasan Teori

Terdapat beberapa pemahaman untuk melihat pemikiran seseorang, yaitu teori pengaruh dan juga teori pemikiran. Teori pengaruh menurut Robert F.

Berkhofer mengenai penelitian terhadap kebudayaan adalah mengungkapkan sudut pandang dari para pelaku budaya yang diteliti. Para peneliti (dalam hal ini peneliti Sejarah dan sosial) suatu kebudayaan harus dapat menyatakan bagaimana para pelaku budaya tersebut berperilaku dan melakukan sesuatu dalam konteks cara mereka, secara kolektif, mendefinisikan dan memahami situasi.1

Melengkapi teori dari Berkhofer, Kuntowijoyo juga menegaskan dalam mengkaji sejarah pemikiran, seorang peneliti harus bisa melihat pemikiran- pemikiran besar tokoh yang dimaksud (teks), mengungkapkan konteks sejarah tempat tokoh tersebut hidup atau tinggal dan berkembang, dan yang terakhir

1 Robert F. Berkhofer, A Behavioral Approach to Historical Analysis, New York:

The Free Press, 1971, hlm. 118.

(32)

seorang peneliti harus bisa menggali pengaruh pemikiran terhadap konteks masyarakat, tempat tokoh yang dimaksud berkarya dan tinggal.2

Berdasarkan teori pengaruh menurut Berkhofer, dilengkapi dengan pandangan Kuntowijoyo mengenai penelitian sejarah pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai sejarah pemikiran seorang tokoh akan menjadi efektif dan mendekatkan pada hasil yang diinginkan, ketika melihat pemikiran suatu tokoh melalui berbagai aspek yang mempengaruhinya, seperti latar belakang pendidikan, kondisi sosial tempat tokoh tersebut tinggal, yang dalam hal ini adalah KH. Ahmad Dahlan, dan melihat pula cara pandang KH. Ahmad Dahlan terhadap suatu masyarakat, yaitu masyarakat Jawa di Yogyakarta dalam konteks praktik keagamaan masa itu. Kedua pandangan tersebut juga digunakan untuk melihat respon masyarakat Jawa di Yogyakarta dalam memahami pengajaran yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dan pengaruh dari respon masyarakat terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan.

1.9 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian sejarah. Dimulai proses penyusunan topik dan pengumpulan sumber, kemudian kritik sumber, interpretasi, dan terakhir penulisan karya sejarah (historiografi). Penelitian ini juga merupakan penelitian kualitatif yang berarti tidak didasarkan pada data statistik, tetapi lebih kepada pengumpulan informasi melalui studi pustaka. Kepustakaan akan terlebih

2 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003, hlm. 191.

(33)

dahulu didasarkan dari sumber sekunder (jurnal maupun penelitian serupa) dan dari sumber-sumber sekunder tersebut, peneliti mencoba melacak sumber primer yang sekiranya digunakan dalam penulisan sumber sekunder tersebut. Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa arsip koran-koran Belanda sekitar tahun 1912 sampai 1929.

1.10 Sistematika Penulisan

Bab I berisi latar belakang penelitian, gambaran umum tentang topik yang diambil, masalah yang coba diteliti, serta manfaat dan tujuan penelitian dilakukan.

Bab II berisi konteks kehidupan Ahmad Dahlan, pendidikannya, serta karir awalnya sebelum mendirikan Muhammadiyah mulai 1868-1912.

Bab III berisi pemikiran mengenai masyarakat Jawa di Yogyakarta serta kegiatannya hingga akhir hidupnya pada 1912-1923.

Bab IV berisi perkembangan pemikiran Ahmad Dahlan pada generasi selanjutnya setelah wafatnya pada 1923 hingga 1929.

Bab V berisi kesimpulan dari penelitian ini secara ringkas serta saran yang diambil untuk penelitian serupa di masa yang akan datang.

(34)

BAB II

KONTEKS SOSIAL-BUDAYA KH. AHMAD DAHLAN 1868-1923

Bab ini dapat dikatakan sebagai pengantar dalam membahas pemikiran KH.

Ahmad Dahlan yang tidak bisa dilepaskan dari konteks kehidupannya yakni pada periode akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Masa ini juga merupakan periode yang cukup berpengaruh dalam dunia, khususnya Islam. Pendidikan yang ia terima sangat berpengaruh di dalam kiprahnya seperti berdakwah dalam berbagai organisasi. Kehidupan sosial-budaya masyarakat Jawa pada masa KH. Ahmad Dahlan hidup (1868-1923) serta lingkungan tempat tinggalnya menjadi faktor penentu lain dari aktivitas yang berhasil ia lakukan.

2.1 KH. Ahmad Dahlan: Kehidupan, Pendidikan, dan Awal Karyanya

Moehammad Darwis, dikenal sebagai KH. Ahmad Dahlan, lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1 Agustus 1868. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikannya dalam belajar dan mendalami ilmu. Meski belum pernah mendalami ilmu secara formal di sekolah-sekolah Eropa pada waktu itu, ia justru menimba berbagai ilmu, khususnya agama Islam, dimulai pada saat ia berhaji pertama kali tahun 1883 selama kurang lebih lima tahun dan pada 1888 kembali ke tanah air. Setelah kembali ke tanah air, ia memperdalam ilmu agama serta

(35)

mempertajam pemikirannya dari berbagai guru di Hindia Belanda, khususnya di Jawa. 3

KH. Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai salah satu tokoh reformis Islam yang membawa konsep-konsep modern dalam mendalami agama Islam, khususnya bagi masyarakat Jawa di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Ricklefs pernah berpendapat demikian dalam salah satu karyanya, “Para Jemaah haji Indonesia tentu saja terbuka bagi gerakan-gerakan pembaharuan dan kebangkitan yang muncul dalam Islam Timur Tengah pada abad XIX.”4 Tidak dapat dipungkiri bahwa yang terjadi pada Islam di Timur Tengah pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 cukup berpengaruh terhadap para jemaah haji asal Indonesia (Hindia Belanda) pada waktu itu. Contoh nyata adalah KH. Ahmad Dahlan.

Masa kecil Ahmad Dahlan diwarnai dengan pendidikan karakter dan keagamaan oleh orang tuanya. Pengetahuan akan agama Islam serta pengetahuan mengenai membaca Al-Quran menjadi landasan Ahmad Dahlan di kemudian hari untuk kembali mengeksplorasi lebih jauh akan keislaman dan pemikiran mengenai Islam dari berbagai guru dan tokoh Islam lokal maupun tokoh dari Timur Tengah.

Ilmu keagamaan yang dipelajari sebagai permulaan adalah ilmu tajwid,5 yang secara bertahap diberikan oleh kedua orang tuanya. Jika dirasa sudah mampu untuk lanjut, maka materi selanjutnya akan diberikan. Terbukti pada usia 8 tahun atau

3 Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hlm. 7.

4 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993, hlm. 198.

5 Ilmu mengenai aturan-aturan dalam membaca Al-Quran.

(36)

sekitar tahun 1876, Darwis sudah dapat dikatakan mampu dalam menguasai ilmu tajwid tersebut.6 Lingkungan tempat tinggalnya yang juga aman, tenteram, dan suasana yang penuh kebahagiaan menjadi salah satu faktor memiliki karakter yang baik, berbudi pekerti dan berakhlak mulia dalam hal beragama dan bertingkah laku.

Bekal pendidikan keislaman dari orang tuanya kemudian yang mengantarkan KH. Ahmad Dahlan untuk meneruskan pendalaman agama Islam pada saat menunaikan haji di Mekkah tahun 1883. Setelah beberapa tahun di Mekkah, ia sempat kembali ke tanah air, tetapi kemudian kembali melanjutkan ibadah hajinya untuk kedua kali pada 1902.7 Sekembalinya dari ibadah haji, Dahlan memilih untuk menjadi pengajar di Kweekschool, Yogyakarta dan juga OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) atau dapat disebut sebagai Sekolah Calon Pegawai Pemerintah Hindia Belanda yang berada di Magelang. Di samping itu, Ahmad Dahlan juga sempat diangkat oleh Sultan sebagai abdi dalem8 di Masjid Gede Kauman, Yogyakarta.9 Tentu untuk mengimbangi pemikirannya mengenai agama Islam, ia belajar dari berbagai Guru di berbagai daerah di Jawa.

Kitab-kitab dari berbagai pemikir revolusionis Islam juga ia geluti seperti Kitab Tauhid, Kitab Al-islam wan Nasronijah, serta Kitab Tafsir Djuz Amma yang

6 Abdul Mu’thi, d.k.k, K. H. Ahmad Dahlan (1868-1923), Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, 2015, hlm. 182.

7 Dep. Penerangan, Makin Lama Makin Cinta: Muhammadiyah Setengah Abad 1912-1962, Jakarta, 1963, hlm. 146.

8 Orang yang bertugas membantu mengurus urusan Keraton Yogyakarta dalam berbagai bidang.

9 Abdul Mu’thi, op. cit., hlm. 187.

(37)

ketiganya adalah karangan salah satu gurunya ketika di Timur Tengah, Syekh Mohammad Abduh.10 Pada akhirnya, ia pun berhasil dalam menggerakkan dan merombak pemikiran Islam di Hindia Belanda yang dibelenggu oleh tradisionalisme dan konservatisme.

Gambar 1. Kyai Haji Ahmad Dahlan

Sumber: https://suaramuhammadiyah.id/2021/08/20/memori-tentang-kh- ahmad-dahlan-di-majalah-pandji-masjarakat/ (diakses pada 15 Oktober

2022)

Pendidikan, dalam kacamata KH. Ahmad Dahlan, merupakan suatu hal yang mampu mengubah kehidupan suatu bangsa. Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya menuliskan kegigihan KH. Ahmad Dahlan dalam belajar. Suatu ketika Dahlan diberi seseorang uang sekitar 500 gulden. Uang yang seharusnya digunakan untuk modal usaha atau berniaga justru ia gunakan untuk berbelanja buku serta kitab.

Jejak pendidikan KH. Ahmad Dahlan cukup banyak ditemukan dalam buku tersebut

10 Dep. Penerangan, loc. cit.

(38)

dan bahkan ketika berada di Mekkah telah terjadi pertukaran pemikiran dengan tokoh-tokoh Islam dari tanah air seperti Syekh Muhammad Khatib (Minangkabau), Kyai Nawawi (Banten), Kyai Mas Abdullah (Surabaya), dan Kyai Faqih Kumambang (Gresik).11 Akhir abad ke-19, seperti yang telah dijelaskan oleh Ricklefs, menjadi titik tolak perkembangan paham modernisme Islam dan berdampak pada gerakan berbasis agama pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda.

Dalam pendalamannya mengenai agama Islam, Dahlan menjelajah cakrawala pemikiran Islam dari berbagai guru dan ilmu yang bermacam-macam, setelah menjalankan ibadah hajinya pada awal abad ke-20. Beberapa ilmu yang dipelajarinya yaitu ilmu fiqih dari KH. Muhammad Saleh, ilmu nahwu dari KH.

Muhsin, ilmu falaq dari KH. Raden Dahlan, ilmu Hadits dari Kyai Mahfud serta Syekh Khayyat, ilmu mengenai Al-Quran dari Syekh Amin serta Sayyid Bakri Satock, dan ilmu pengobatan serta racun binatang dari Syekh Hasan. Seluruh pemikiran dari berbagai keilmuan dan ulama ini ia pelajari sebelum ia menunaikan haji pertama kali pada 1890 atau ketika Darwis berusia 22 tahun.12 Dengan keilmuan tersebut, ia tetap mengasah pemikirannya hingga sekembalinya Ahmad Dahlan dari ibadah haji ke tanah air untuk memulai pembaharuan berdasarkan pengolahan ilmu yang telah didalaminya sebelumnya.

Pengakuan akan semangat serta minatnya yang besar akan keilmuan, khususnya agama Islam, ditampakkan oleh Heri Sucipto serta Nadjamuddin Ramly.

11 Abdul Munir Mulkhan, loc.cit.

12 Heri Sucipto dan Nadjamuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah Dari Ahmad Dahlan Hingga Amien Rais dan Syafii Maarif, Jakarta: Grafindo, 2005, hlm. 24-25.

(39)

Mereka berpendapat demikian, “Kiai Dahlan tampaknya benar-benar mengamalkan Hadis Rasulullah: menuntut ilmu diwajibkan bagi Muslimin dan Muslimat sejak lahir hingga mati. Karena itu, sepulang dari Mekkah, ia mencari guru-guru baru lagi.”13 Tak dapat disangkal, pemikiran yang ia perjuangkan menghasilkan perkembangan dalam segi keagamaan Islam serta masyarakat Jawa waktu itu

Pemikiran mengenai agama Islam mulai berkembang pada awal abad ke-20, dengan adanya revolusi dan gerakan reformisme di Timur Tengah oleh berbagai tokoh, seperti Syekh Mohammad Abduh yang kemudian menyebar seiring meningkatnya jemaah haji, khususnya dari Indonesia (Hindia Belanda). Jemaah haji dari Jawa menjadi penyumbang jemaah cukup besar di Hindia Belanda14 dan dari hal ini dapat disimpulkan bahwa “islamisasi” di Jawa mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19 dan mulai muncul berbagai gerakan berbasis reformasi agama Islam pada awal abad ke-20, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Islam di Indonesia kemudian semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan dari tahun ke tahun bahkan hingga penelitian ini dilakukan. Organisasi Muhammadiyah, secara khusus, menjadi salah satu organisasi sosial-keagamaan yang sangat terkenal di Indonesia selain Nahdlatul Ulama. Namun, setiap zaman tentu memiliki tantangannya masing-masing meski dalam kondisi yang stabil sekalipun. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan selalu menjadi acuan dalam melihat tantangan dan konteks zaman yang dihadapinya dahulu.

13 Ibid., hal. 29.

14 M. C. Ricklefs, loc.cit.

(40)

Perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam menimba ilmu nampaknya berbanding terbalik dengan konsekuensi yang harus ia terima atas pemikirannya tentang Islam. Tidak hanya melawan penjajah kolonial serta misi “kristenisasi”, tetapi dia harus “melawan” bangsanya sendiri. Dalam konteks ini, KH. Ahmad Dahlan berhadapan dengan kenyataan bahwa pembauran antara budaya dan agama dan masih dilakukan oleh masyarakat Kauman dan masyarakat Jawa awal abad ke- 20. Ia harus berjuang lebih keras lagi untuk dapat mencapai cita-citanya, seperti meluruskan ajaran Islam yang dianggap keliru olehnya, mendidik masyarakat melalui pendidikan dan sekolah yang didirikannya serta membebaskan masyarakat Jawa dari belenggu konservatisme dan tradisionalisme yang pada waktu itu sangat melekat pada masyarakat Jawa.

Abdul Munir Mulkhan pernah menulis demikian,

“Di dalam sebuah tulisan Kyai ‘Tali Pengikat Hidup’ yang disusun oleh sahabat dan murid-muridnya, dengan jelas Kyai menunjuk Ilmu Manthiq (Logika) sebagai metode (alat) untuk mengembangkan akal-pikiran yang menjadi kebutuhan manusia dalam memahami dan mengamalkan ajaran (amr) Islam sebagaimana telah diuraikan.”15

Sebelum mendirikan organisasi yang berlandaskan sosial-keagamaan, KH.

Ahmad Dahlan pada awalnya mulai dengan dakwah serta mendirikan sebuah madrasah di Kauman, tempat tinggalnya pada 1908-1909.16 Pendidikan menjadi salah satu cita KH. Ahmad Dahlan agar dapat menyejahterakan masyarakat Jawa dan juga mereka dapat “tercerahkan” sehingga apa yang memang salah dalam pandangan Islam, pantang untuk dilakukan. Berbagai terobosan dan ilmu yang

15 Abdul Munir Mulkhan, op.cit., hlm. 18.

16 Heri Sucipto dan Nadjamuddin Ramly, op. cit., hlm.26.

(41)

diajarkan pun sarat akan nilai kemanusiaan dan cinta kasih, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama. Kristenisasi dapat dianggap sebagai “batu loncatan” bagi Ahmad Dahlan untuk bisa belajar hal-hal baru yang kemudian akan dapat diamalkan kepada masyarakat, khususnya mereka yang lebih membutuhkan pertolongannya. Pengalaman dari berbagai organisasi seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam semakin memantapkannya untuk terus berdakwah, mengamalkan ayat dalam Al-Quran dengan tetap memperhatikan sesama serta bertakwa kepada Tuhan.

Kauman sebagai kampung kelahiran salah satu tokoh besar pembaharu Islam serta sebagai awal perjuangan Muhammadiyah oleh warganya sendiri, salah satunya adalah KH. Ahmad Dahlan. Tantangannya pun dimulai dari Kauman ini dengan “menyadarkan” warga kampung dengan berbagai cara seperti pendidikan, dakwah, dan praktik ajaran Islam terhadap orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Islam di Kauman pada awalnya masih berbaur dengan budaya Jawa dan berbagai praktik yang dianggap KH. Ahmad Dahlan menyimpang dari ajaran Islam yang dipelajari dan didalaminya, seperti selamatan dan juga ziarah kubur.17

Kampung Kauman sering disebut sebagai “Kampung Muhammadiyah” dan stereotip semacam ini memang dilandasi fakta sejarah. Awal kiprah Ahmad Dahlan dalam menerapkan pemikirannya tentang agama Islam tentu saja dimulai dari tempat kelahirannya. Sebelum ia mendirikan Muhammadiyah, pada tahun 1910, Ahmad Dahlan pernah melakukan perubahan arah kiblat masjid di Kauman yang

17 Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Muhammadiyah, Yogyakarta: Tarawang, 2000, hlm. 3.

(42)

didasarkan oleh ilmu falaq yang telah ia pelajari sebelumnya.18 Menurut Hadji Sudja’ sekitar 1900-an, masjid di tanah Jawa banyak yang dibangun tidak didasarkan kepada kepentingan agama, melainkan didasarkan pada kerapihan pembangunan negara (dalam konteks ini Kraton Yogyakarta). Kiblatnya berbeda- beda, kecuali untuk beberapa masjid kuno seperti Masjid Demak dan Masjid Ki Panembahan Senopati. Meskipun demikian, kiblat bagi orang Islam di Jawa tidak menjadi perhatian khusus. Oleh karena itu, berbekal ilmu falaq (ilmu mengenai cakrawala), KH. Ahmad Dahlan berusaha membetulkan arah kiblat masjid-masjid di Yogyakarta khususnya agar mengarah ke Masjidil Haram di Mekkah.19 Menjelang pendirian Muhammadiyah, terlihat bahwa Ahmad Dahlan begitu keras menggiatkan dakwah dan bahkan mendirikan sekolah semacam madrasah di kampungnya sendiri demi kelancaran usahanya untuk meluruskan ajaran keagamaan yang ia anut dan pahami.

2.2 Konteks Sosial-Budaya dan Agama pada Masyarakat Jawa di Yogyakarta 1870-1923

Setelah melihat sekilas kehidupan dan pendidikan yang diperjuangkan Ahmad Dahlan, bagian ini akan memberikan gambaran kehidupan masyarakat di Yogyakarta, khususnya mengenai agama Islam dan kebudayaan Jawa pada periode Ahmad Dahlan atau sekitar 1870-1923 yang sejatinya sudah melekat pada mereka dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan masyarakat Jawa di Yogyakarta tentu

18 Ibid., hlm. 37.

19 HM. Sudja’, op. cit., hlm. 45-46.

(43)

identik dengan konsep feodal. Raja serta pemimpin suatu daerah memiliki kuasa tertentu dalam segi ekonomi, sosial, politik, bahkan agama sekalipun.

Budaya Jawa yang sangat kental akan unsur dinamisme dan animisme kemudian harus berdampingan dengan ajaran agama yang pernah dibawa oleh Wali Sanga. Mayoritas dari mereka melakukan metode dakwah dengan melakukan pendekatan kebudayaan, seperti wayang maupun alat musik tradisional. Kembali Heri Sucipto dan kawannya menyimpulkan bahwa pembauran yang terjadi antara budaya Jawa serta ajaran Islam oleh Wali Sanga menyebabkan munculnya suatu gejala penyimpangan ajaran agama Islam yang nantinya akan diperjuangkan oleh Ahmad Dahlan.20 Penyimpangan ajaran yang sering disebut sebagai TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat) sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadis serta ajaran Nabi Muhammad s.a.w.

Menjadi masalah lagi ketika ajaran “pembauran” ini harus dilestarikan oleh penjajah serta sikap dari pejabat maupun kaum elit kerajaan di Jawa kurang bisa menanggapi perkembangan zaman dengan baik, yang kemudian memunculkan berbagai gerakan terkait penyebaran ajaran Islam yang cenderung berbeda dengan masa ketika Wali Sanga berdakwah pada sekitar abad ke-15 hingga abad ke-16.

Gerakan pemurnian Islam dan pemulihan budaya Jawa di awal abad ke-20 harus dihadapi para kaum feodal ini.21

Masa ini menjadi periode kebangkitan Islam di Hindia Belanda (Indonesia).

Dapat disimpulkan demikian karena pada masa ini, Islam di Jawa khususnya

20 Heri Sucipto dan Nadjamuddin Ramly, op. cit., hlm. 23.

21 M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 196.

(44)

Yogyakarta berbaur dengan tradisi setempat yang menyebabkan pemeluknya semakin menjauh dari ajaran Islam yang seperti diteladankan oleh KH. Ahmad Dahlan.22 Meski demikian, gerakan yang nantinya muncul harus berhadapan dengan perkembangan pemikiran politik yang juga bersamaan dengan modernisme Islam.

Dalam Sejarah Indonesia Modern, Ricklefs kembali menuliskan mengenai pertentangan yang harus dihadapi Muhammadiyah, yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran KH. Ahmad Dahlan, terhadap pemeluk Islam tradisional serta masyarakat Jawa yang mendukung budaya Jawa. Sudah menjadi hal yang wajar ketika sudah nyaman dalam suatu kepercayaan atau kebudayaan tertentu kemudian harus berhadapan dengan paham yang bertentangan dengan yang telah mereka pahami selama ini. Seperti yang diutarakan oleh Berkhofer bahwa sebagai seorang peneliti kebudayaan dan sejarah, perlu adanya pemahaman akan pemikiran masyarakat Jawa yang dalam hal ini adalah hal yang baru ketika bersinggungan dengan paham modern.23

Kehidupan masyarakat Jawa yang sangat kompleks mengenai konteks agama dan budaya yang bercampur serta melebur menjadi suatu paham “sinkretis”

juga muncul di Kauman, kampung kelahiran Ahmad Dahlan dan awal perjuangannya. Masyarakat Kauman masih melaksanakan ajaran agama secara

“sinkretis” dan bersifat tradisional, pada sebelum abad ke-20, seperti tahlilan dan selamatan. Dari hal ini tampak bahwa belenggu tradisional serta kekolotan pada

22 Heri Sucipto dan Nadjamuddin Ramly, op. cit., hlm. 35.

23 Robert F. Berkhofer, loc. cit.

(45)

tradisi Jawa yang sudah bercampur dengan ajaran Islam tradisional menyebabkan ketertinggalan dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Konteks kehidupan yang masih diliputi rasa tidak tenteram karena kolonialisme bangsa Belanda ini juga menjadi faktor yang membuat masyarakat pribumi, dalam hal ini masyarakat Jawa, menjadi terbelakang secara sosial dan pendidikan. Meski demikian, masyarakat kampung Kauman ialah kaum muslimin yang taat dalam menjalankan syari’at Islam sejak kampung Kauman terbentuk hingga sekitar tahun 1950-an.24

Segala macam masalah ini semakin menyemangati Ahmad Dahlan di kemudian hari untuk berjuang dalam bidang dakwah (agama) serta pendidikan.

Pendidikan pada masa itu memang cukup sulit untuk diakses masyarakat pribumi, khususnya kalangan bawah. Hanya mereka yang memiliki relasi dengan pejabat Hindia Belanda atau memang dari kaum bangsawan Jawalah yang bisa mengakses pendidikan. Memang pada masa itu mulai bermunculan berbagai organisasi yang bersifat menentang kolonialisme, tetapi belum ada yang sungguh-sungguh berfokus pada bidang pendidikan.

Lembaga pendidikan Islam sekitar awal abad ke-20 belum memadai untuk dapat dikatakan sebagai “lembaga pendidikan” secara umum. Pendidikan keagamaan masih sebatas pengajaran dan tafsir atas Al-Quran di dalam pesantren- pesantren yang notabene dinaungi oleh kyai-kyai lokal. Materi yang dibahas pun hanya terbatas pada tafsir ayat dan itu pun tidak memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian, karena justru mereka tidak merasakan kebebasan; penjajahan yang

24 Ahmad Adaby Darban, op. cit., hlm. 17.

(46)

seharusnya dapat dilawan dengan pendidikan, nampaknya belum dapat terwujud.

Dapat disimpulkan, dalam konteks ini, Muhammadiyah dan Ahmad Dahlan-lah yang menjadi pelopor pemerhati pendidikan serta agama Islam, khususnya bagi masyarakat Jawa.

Penguasaan kebahasaan tertentu seperti yang pada waktu itu lazim digunakan adalah bahasa Belanda dan bahasa Melayu masih menjadi bahasa golongan atas. Masih dapat dimungkinkan jika rakyat paham akan bahasa Melayu yang sering mereka dengar dan memang bukan bahasa asing seperti bahasa Belanda. Literasi hanya sebatas pada buku-buku tradisional seperti yang dipelajari di lingkungan Keraton dan pada golongan santri, dari buku-buku keagamaan Islam seperti Al-Quran dan Hadits yang dipelajari entah bersama dengan gurunya atau pun dapat belajar secara otodidak. Pendidikan yang masih melukiskan dan memandang strata sosial tertentu membuat problem atau permasalahan dalam hidup masyarakat Jawa dapat teratasi.

Gambar 2. Sekolah privat HIS oleh RM. Panji Gondo Atmojo (Pakualaman) Yogyakarta beserta para guru Jawa

Sumber: Nederlandsch-Indie Oud & Nieuw, Tweede Jaargang 1917-1918, hlm. 4.

(47)

Pendidikan tradisional tidak mengenal ilmu pengetahuan umum seperti pada bangsa Eropa. Ahmad Adaby Darban kemudian menuliskan hal demikian,

“Dengan demikian, apabila seorang muslim mempelajari ilmu pengetahuan umum dianggapnya sudah menjadi kafir, maka ketika KHA.

Dahlan memasukkan ilmu-ilmu pengetahuan umum di dalam Sekolah Kyainya, masyarakat Kauman mengecapnya sebagai kyai palsu, kyai kafir, dan Kristen alus.”25

Hal tersebut menunjukkan kondisi masyarakat Jawa yang bisa dikatakan memprihatinkan. Respon masyarakat yang sedemikian rupa bisa dilihat dalam berbagai faktor, salah satunya adalah pendidikan, sehingga menyebabkan kurang terbukanya masyarakat terhadap paham atau pandangan baru dan justru menganggap sesuatu yang berasal dari luar dianggap menyimpang.

Kehidupan santri pada masa muda Ahmad Dahlan patut dilihat kembali.

Dalam praktiknya, santri memang tergantung dengan ajaran Al-Quran dan Hadits.

Praktik keagamaan atau “amalan” sudah menjadi suatu ciri khusus dari realita kehidupan masyarakat Jawa yang beragama Islam. Berdasarkan pendapat Kyai A.

R. Fachruddin, para santri bahkan menganggap ilmu yang berasal dari Barat itu haram. Konsep mengenai pendidikan dan sekolah diidentikkan dengan Barat dan dalam konteks ini juga sebagai “ilmu dari penjajah”.26 Pemikiran semacam inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu upaya Ahmad Dahlan untuk bisa diluruskan sesuai pada tempatnya.

25 Ibid., hlm. 83.

26 A. R. Fachruddin, Menudju Muhammadijah, Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1970, hlm. 29.

(48)

Islam dan Jawa memang sejatinya sudah menjadi suatu paham yang berkembang beriringan dari waktu ke waktu. Ajaran Islam sesungguhnya tidak berubah dan sifatnya tetap seperti aturan agama-agama yang lain. Perubahan yang menjadi anggapan umum tentu saja pada unsur “amalan” yang berakulturasi; terjadi penyesuaian dengan tradisi lokal setempat yang dalam hal ini adalah budaya Jawa.

Namun, terkadang atau bahkan banyak dari masyarakat Islam-Jawa masih sering keliru membedakan yang mana “ajaran Islam” dan yang mana “amalan dalam Islam”.

2.3 Kesimpulan

Dari pemaparan tersebut dapat dijelaskan bahwa Ahmad Dahlan sedari kecil telah menunjukkan kharisma serta keuletan dalam mempelajari ilmu agama Islam, baik yang didapat melalui lingkungan keluarganya maupun secara otodidak ketika ia mulai pergi haji menjelang akhir abad ke-19. Kauman menjadi salah satu pengaruh besar bagi kehidupan Ahmad Dahlan selanjutnya. Sekembalinya dari haji, Ahmad Dahlan berguru kepada kyai-kyai lokal di berbagai tempat di Jawa. Ia melihat bahwa masyarakat Jawa masih dalam tidur nyenyak mereka mengenai konsep keagamaan dan tradisi. Ahmad Dahlan berusaha untuk meluruskan kepada kaidah Islam yang benar dengan tidak mengurangi penghayatan pada tradisi Jawa pada awal abad ke-20.

(49)

BAB III

PEMIKIRAN AHMAD DAHLAN MENGENAI MASYARAKAT JAWA DI YOGYAKARTA 1912-

1923

Setelah memiliki gambaran mengenai konteks kehidupan KH. Ahmad Dahlan serta awal kiprah sebelum pendirian Muhammadiyah, bagian ini akan melihat pemikiran Ahmad Dahlan terhadap masyarakat Jawa di Yogyakarta serta kiprahnya bagi masyarakat Jawa di Yogyakarta melalui organisasi Muhammadiyah yang ia dan teman-temannya telah dirikan pada 1912. Pemikiran dan pendapat melalui catatan dalam Muhammadiyah maupun rekaman peristiwa dalam surat kabar akan membantu menerangkan bagian ini. Mulai dari pendirian Muhammadiyah hingga pada akhir hidup KH. Ahmad Dahlan menjadi periode penentu dalam memperkuat fondasi Muhammadiyah dalam konteks mengembangkan kehidupan masyarakat Jawa dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari sosial, budaya, ekonomi, pendidikan serta keagamaan mereka.

3.1 Pemikiran Ahmad Dahlan Mengenai Masyarakat Jawa di Yogyakarta serta Kegiatannya dalam Muhammadiyah pada 1912- 1919

Muhammadiyah, yang menjadi implementasi cita-cita serta pemikiran Ahmad Dahlan, lahir karena berbagai faktor. Selain dari faktor pendirinya, KH.

(50)

Ahmad Dahlan, dukungan juga berasal dari berbagai pihak, khususnya dari rekan- rekannya di dalam organisasi lain seperti Boedi Oetomo. Hubungan dengan berbagai golongan, mulai dari para pelajar, pensiunan pegawai, guru-guru kweekschool dan para pengurus organisasi yang diikuti Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyah menjadi salah satu landasan untuk mewadahi kegiatannya kelak.27

Meski tercatat dalam berbagai literatur bahwa Muhammadiyah lahir pada tahun 1912, hal tersebut memang tidaklah salah jika dilihat dari sudut pandang Ahmad Dahlan dan rekan-rekannya. Akan tetapi, untuk menjadi sebuah organisasi, berbagai aturan dan perizinan harus diikuti dan kemudian Ahmad Dahlan mulai mengurus organisasi Muhammadiyah agar sah secara hukum. Akhirnya, surat resmi dari pihak kolonial Belanda resmi diterbitkan pada 22 Agustus 1914.28

Hal yang perlu digarisbawahi ialah Belanda hanya memberikan izin bagi Muhammadiyah yang hanya akan berlaku di wilayah Yogyakarta saja.29 Dalam arsip berjudul Extract uit het Register den Besluit van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indie yang diterbitkan pada 22 Agustus 1914 tidak disebutkan secara rinci persyaratannya dan hanya mengesahkan Muhammadiyah untuk wilayah Yogyakarta. Belanda melihat potensi kekuatan Muhammadiyah di masa yang akan datang dapat merugikan dan bahkan dapat memberontak, karena

27 Ibid., hlm. 3.

28 Extract uit het Register den Besluit van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indie, 22 Agustus 1914, Buitenzorg.

29 Ibid.

(51)

Muhammadiyah telah menjalin hubungan dengan kekuatan Islam di luar Jawa, yaitu daerah Minang yang terkenal dengan tokoh-tokoh Islam dan pers yang berkembang pesat di sana. Alasan kedua ialah Muhammadiyah menjadi asosiasi pribumi-Islam pertama kala itu dan menentang penjajahan melalui kegiatan sosial yang menyasar masyarakat pribumi Jawa yang juga mayoritas Muslim kala itu.

Jawa pada awal abad ke-20 menjadi pusat administrasi dan pemerintahan kolonial Belanda. Dengan adanya Muhammadiyah melalui Ahmad Dahlan serta kawan- kawannya akan memunculkan semakin banyak perlawanan di berbagai wilayah.

Meskipun tidak melalui perlawanan dengan senjata, tetapi dengan meningkatkan kualitas pendidikan bagi pribumi sudah dapat membuat posisi kolonial menjadi terancam. Berbagai cabang Muhammadiyah yang berkembang dalam dua tahun awal pendirian sebelum surat keputusan diterbitkan kemudian disiasati oleh Ahmad Dahlan dengan berganti nama agar tidak dicurigai pemerintah kolonial. Hal itu berlaku bagi mereka yang ada di luar Yogyakarta, seperti Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujungpandang, dan Ahmadiyah di Garut.

Pemikiran Ahmad Dahlan tercermin dalam perannya di berbagai kegiatannya baik di dalam maupun di luar Muhammadiyah, seperti pada kongres di Sarekat Islam. Mengenai kegiatannya di luar Muhammadiyah lebih banyak tercatat dalam arsip berbahasa Belanda seperti yang tercantum dokumen Kongres Sarekat Islam pada 17-24 Juni 1916. Ahmad Dahlan menjabat sebagai komisaris atau penasehat Sarekat Islam cabang Yogyakarta yang juga berpendapat untuk mengajak

Referensi

Dokumen terkait

RIKA MELIANSYAH. Peranan Gulma sebagai Inang Alternatif Geminivirus di Pertanaman Cabai di Jawa. Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT dan KIKIN HAMZAH MUTAQIN. Geminivirus

Pemakaian alat Bio-test Omega Air Sampler, prinsip pengoperasiannya dengan mengalirkan udara yang terukur volumenya (100 liter) pada suatu pelindung (penapis) screen dan di

Narasumber juga memberikan hasil penilaian dari validasi media dari segi komponen materi dengan nilai 90% yang tergolong sangat baik penilaian ini diberikan oleh

dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga diperoleh sebuah pengetahuan baru yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kejadian untuk membuat model simulasi.Dari hasil output sistem yang telah diperbaiki dimana jumlah teller ditambah menjadi 2 orang teller,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh karakteristik pekerjaan, kompensasi dan gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja karyawan dealer di Purbalingga

Semakin banyak bibit ayam petelur maka telur yang dihasilkan akan semakin banyak, dengan demikian maka tidak akan terjadi kelangkaan dan harga telur akan relatif murah,

STEL batas paparan jangka pendek: 2) batas paparan jangka pendek: nilai batas yang di atasnya paparan hendaknya tidak terjadi dan yang terkait dengan jangka 15-menit (kecuali