BAB II KONTEKS SOSIAL-BUDAYA KH. AHMAD DAHLAN 1868-1923
2.1 KH. Ahmad Dahlan: Kehidupan, Pendidikan, dan Awal Karyanya 18
Moehammad Darwis, dikenal sebagai KH. Ahmad Dahlan, lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1 Agustus 1868. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikannya dalam belajar dan mendalami ilmu. Meski belum pernah mendalami ilmu secara formal di sekolah-sekolah Eropa pada waktu itu, ia justru menimba berbagai ilmu, khususnya agama Islam, dimulai pada saat ia berhaji pertama kali tahun 1883 selama kurang lebih lima tahun dan pada 1888 kembali ke tanah air. Setelah kembali ke tanah air, ia memperdalam ilmu agama serta
mempertajam pemikirannya dari berbagai guru di Hindia Belanda, khususnya di Jawa. 3
KH. Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai salah satu tokoh reformis Islam yang membawa konsep-konsep modern dalam mendalami agama Islam, khususnya bagi masyarakat Jawa di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Ricklefs pernah berpendapat demikian dalam salah satu karyanya, “Para Jemaah haji Indonesia tentu saja terbuka bagi gerakan-gerakan pembaharuan dan kebangkitan yang muncul dalam Islam Timur Tengah pada abad XIX.”4 Tidak dapat dipungkiri bahwa yang terjadi pada Islam di Timur Tengah pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 cukup berpengaruh terhadap para jemaah haji asal Indonesia (Hindia Belanda) pada waktu itu. Contoh nyata adalah KH. Ahmad Dahlan.
Masa kecil Ahmad Dahlan diwarnai dengan pendidikan karakter dan keagamaan oleh orang tuanya. Pengetahuan akan agama Islam serta pengetahuan mengenai membaca Al-Quran menjadi landasan Ahmad Dahlan di kemudian hari untuk kembali mengeksplorasi lebih jauh akan keislaman dan pemikiran mengenai Islam dari berbagai guru dan tokoh Islam lokal maupun tokoh dari Timur Tengah.
Ilmu keagamaan yang dipelajari sebagai permulaan adalah ilmu tajwid,5 yang secara bertahap diberikan oleh kedua orang tuanya. Jika dirasa sudah mampu untuk lanjut, maka materi selanjutnya akan diberikan. Terbukti pada usia 8 tahun atau
3 Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hlm. 7.
4 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993, hlm. 198.
5 Ilmu mengenai aturan-aturan dalam membaca Al-Quran.
sekitar tahun 1876, Darwis sudah dapat dikatakan mampu dalam menguasai ilmu tajwid tersebut.6 Lingkungan tempat tinggalnya yang juga aman, tenteram, dan suasana yang penuh kebahagiaan menjadi salah satu faktor memiliki karakter yang baik, berbudi pekerti dan berakhlak mulia dalam hal beragama dan bertingkah laku.
Bekal pendidikan keislaman dari orang tuanya kemudian yang mengantarkan KH. Ahmad Dahlan untuk meneruskan pendalaman agama Islam pada saat menunaikan haji di Mekkah tahun 1883. Setelah beberapa tahun di Mekkah, ia sempat kembali ke tanah air, tetapi kemudian kembali melanjutkan ibadah hajinya untuk kedua kali pada 1902.7 Sekembalinya dari ibadah haji, Dahlan memilih untuk menjadi pengajar di Kweekschool, Yogyakarta dan juga OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) atau dapat disebut sebagai Sekolah Calon Pegawai Pemerintah Hindia Belanda yang berada di Magelang. Di samping itu, Ahmad Dahlan juga sempat diangkat oleh Sultan sebagai abdi dalem8 di Masjid Gede Kauman, Yogyakarta.9 Tentu untuk mengimbangi pemikirannya mengenai agama Islam, ia belajar dari berbagai Guru di berbagai daerah di Jawa.
Kitab-kitab dari berbagai pemikir revolusionis Islam juga ia geluti seperti Kitab Tauhid, Kitab Al-islam wan Nasronijah, serta Kitab Tafsir Djuz Amma yang
6 Abdul Mu’thi, d.k.k, K. H. Ahmad Dahlan (1868-1923), Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, 2015, hlm. 182.
7 Dep. Penerangan, Makin Lama Makin Cinta: Muhammadiyah Setengah Abad 1912-1962, Jakarta, 1963, hlm. 146.
8 Orang yang bertugas membantu mengurus urusan Keraton Yogyakarta dalam berbagai bidang.
9 Abdul Mu’thi, op. cit., hlm. 187.
ketiganya adalah karangan salah satu gurunya ketika di Timur Tengah, Syekh Mohammad Abduh.10 Pada akhirnya, ia pun berhasil dalam menggerakkan dan merombak pemikiran Islam di Hindia Belanda yang dibelenggu oleh tradisionalisme dan konservatisme.
Gambar 1. Kyai Haji Ahmad Dahlan
Sumber: https://suaramuhammadiyah.id/2021/08/20/memori-tentang-kh-ahmad-dahlan-di-majalah-pandji-masjarakat/ (diakses pada 15 Oktober
2022)
Pendidikan, dalam kacamata KH. Ahmad Dahlan, merupakan suatu hal yang mampu mengubah kehidupan suatu bangsa. Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya menuliskan kegigihan KH. Ahmad Dahlan dalam belajar. Suatu ketika Dahlan diberi seseorang uang sekitar 500 gulden. Uang yang seharusnya digunakan untuk modal usaha atau berniaga justru ia gunakan untuk berbelanja buku serta kitab.
Jejak pendidikan KH. Ahmad Dahlan cukup banyak ditemukan dalam buku tersebut
10 Dep. Penerangan, loc. cit.
dan bahkan ketika berada di Mekkah telah terjadi pertukaran pemikiran dengan tokoh-tokoh Islam dari tanah air seperti Syekh Muhammad Khatib (Minangkabau), Kyai Nawawi (Banten), Kyai Mas Abdullah (Surabaya), dan Kyai Faqih Kumambang (Gresik).11 Akhir abad ke-19, seperti yang telah dijelaskan oleh Ricklefs, menjadi titik tolak perkembangan paham modernisme Islam dan berdampak pada gerakan berbasis agama pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda.
Dalam pendalamannya mengenai agama Islam, Dahlan menjelajah cakrawala pemikiran Islam dari berbagai guru dan ilmu yang bermacam-macam, setelah menjalankan ibadah hajinya pada awal abad ke-20. Beberapa ilmu yang dipelajarinya yaitu ilmu fiqih dari KH. Muhammad Saleh, ilmu nahwu dari KH.
Muhsin, ilmu falaq dari KH. Raden Dahlan, ilmu Hadits dari Kyai Mahfud serta Syekh Khayyat, ilmu mengenai Al-Quran dari Syekh Amin serta Sayyid Bakri Satock, dan ilmu pengobatan serta racun binatang dari Syekh Hasan. Seluruh pemikiran dari berbagai keilmuan dan ulama ini ia pelajari sebelum ia menunaikan haji pertama kali pada 1890 atau ketika Darwis berusia 22 tahun.12 Dengan keilmuan tersebut, ia tetap mengasah pemikirannya hingga sekembalinya Ahmad Dahlan dari ibadah haji ke tanah air untuk memulai pembaharuan berdasarkan pengolahan ilmu yang telah didalaminya sebelumnya.
Pengakuan akan semangat serta minatnya yang besar akan keilmuan, khususnya agama Islam, ditampakkan oleh Heri Sucipto serta Nadjamuddin Ramly.
11 Abdul Munir Mulkhan, loc.cit.
12 Heri Sucipto dan Nadjamuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah Dari Ahmad Dahlan Hingga Amien Rais dan Syafii Maarif, Jakarta: Grafindo, 2005, hlm. 24-25.
Mereka berpendapat demikian, “Kiai Dahlan tampaknya benar-benar mengamalkan Hadis Rasulullah: menuntut ilmu diwajibkan bagi Muslimin dan Muslimat sejak lahir hingga mati. Karena itu, sepulang dari Mekkah, ia mencari guru-guru baru lagi.”13 Tak dapat disangkal, pemikiran yang ia perjuangkan menghasilkan perkembangan dalam segi keagamaan Islam serta masyarakat Jawa waktu itu
Pemikiran mengenai agama Islam mulai berkembang pada awal abad ke-20, dengan adanya revolusi dan gerakan reformisme di Timur Tengah oleh berbagai tokoh, seperti Syekh Mohammad Abduh yang kemudian menyebar seiring meningkatnya jemaah haji, khususnya dari Indonesia (Hindia Belanda). Jemaah haji dari Jawa menjadi penyumbang jemaah cukup besar di Hindia Belanda14 dan dari hal ini dapat disimpulkan bahwa “islamisasi” di Jawa mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19 dan mulai muncul berbagai gerakan berbasis reformasi agama Islam pada awal abad ke-20, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Islam di Indonesia kemudian semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan dari tahun ke tahun bahkan hingga penelitian ini dilakukan. Organisasi Muhammadiyah, secara khusus, menjadi salah satu organisasi sosial-keagamaan yang sangat terkenal di Indonesia selain Nahdlatul Ulama. Namun, setiap zaman tentu memiliki tantangannya masing-masing meski dalam kondisi yang stabil sekalipun. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan selalu menjadi acuan dalam melihat tantangan dan konteks zaman yang dihadapinya dahulu.
13 Ibid., hal. 29.
14 M. C. Ricklefs, loc.cit.
Perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam menimba ilmu nampaknya berbanding terbalik dengan konsekuensi yang harus ia terima atas pemikirannya tentang Islam. Tidak hanya melawan penjajah kolonial serta misi “kristenisasi”, tetapi dia harus “melawan” bangsanya sendiri. Dalam konteks ini, KH. Ahmad Dahlan berhadapan dengan kenyataan bahwa pembauran antara budaya dan agama dan masih dilakukan oleh masyarakat Kauman dan masyarakat Jawa awal abad ke-20. Ia harus berjuang lebih keras lagi untuk dapat mencapai cita-citanya, seperti meluruskan ajaran Islam yang dianggap keliru olehnya, mendidik masyarakat melalui pendidikan dan sekolah yang didirikannya serta membebaskan masyarakat Jawa dari belenggu konservatisme dan tradisionalisme yang pada waktu itu sangat melekat pada masyarakat Jawa.
Abdul Munir Mulkhan pernah menulis demikian,
“Di dalam sebuah tulisan Kyai ‘Tali Pengikat Hidup’ yang disusun oleh sahabat dan murid-muridnya, dengan jelas Kyai menunjuk Ilmu Manthiq (Logika) sebagai metode (alat) untuk mengembangkan akal-pikiran yang menjadi kebutuhan manusia dalam memahami dan mengamalkan ajaran (amr) Islam sebagaimana telah diuraikan.”15
Sebelum mendirikan organisasi yang berlandaskan sosial-keagamaan, KH.
Ahmad Dahlan pada awalnya mulai dengan dakwah serta mendirikan sebuah madrasah di Kauman, tempat tinggalnya pada 1908-1909.16 Pendidikan menjadi salah satu cita KH. Ahmad Dahlan agar dapat menyejahterakan masyarakat Jawa dan juga mereka dapat “tercerahkan” sehingga apa yang memang salah dalam pandangan Islam, pantang untuk dilakukan. Berbagai terobosan dan ilmu yang
15 Abdul Munir Mulkhan, op.cit., hlm. 18.
16 Heri Sucipto dan Nadjamuddin Ramly, op. cit., hlm.26.
diajarkan pun sarat akan nilai kemanusiaan dan cinta kasih, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama. Kristenisasi dapat dianggap sebagai “batu loncatan” bagi Ahmad Dahlan untuk bisa belajar hal-hal baru yang kemudian akan dapat diamalkan kepada masyarakat, khususnya mereka yang lebih membutuhkan pertolongannya. Pengalaman dari berbagai organisasi seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam semakin memantapkannya untuk terus berdakwah, mengamalkan ayat dalam Al-Quran dengan tetap memperhatikan sesama serta bertakwa kepada Tuhan.
Kauman sebagai kampung kelahiran salah satu tokoh besar pembaharu Islam serta sebagai awal perjuangan Muhammadiyah oleh warganya sendiri, salah satunya adalah KH. Ahmad Dahlan. Tantangannya pun dimulai dari Kauman ini dengan “menyadarkan” warga kampung dengan berbagai cara seperti pendidikan, dakwah, dan praktik ajaran Islam terhadap orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Islam di Kauman pada awalnya masih berbaur dengan budaya Jawa dan berbagai praktik yang dianggap KH. Ahmad Dahlan menyimpang dari ajaran Islam yang dipelajari dan didalaminya, seperti selamatan dan juga ziarah kubur.17
Kampung Kauman sering disebut sebagai “Kampung Muhammadiyah” dan stereotip semacam ini memang dilandasi fakta sejarah. Awal kiprah Ahmad Dahlan dalam menerapkan pemikirannya tentang agama Islam tentu saja dimulai dari tempat kelahirannya. Sebelum ia mendirikan Muhammadiyah, pada tahun 1910, Ahmad Dahlan pernah melakukan perubahan arah kiblat masjid di Kauman yang
17 Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Muhammadiyah, Yogyakarta: Tarawang, 2000, hlm. 3.
didasarkan oleh ilmu falaq yang telah ia pelajari sebelumnya.18 Menurut Hadji Sudja’ sekitar 1900-an, masjid di tanah Jawa banyak yang dibangun tidak didasarkan kepada kepentingan agama, melainkan didasarkan pada kerapihan pembangunan negara (dalam konteks ini Kraton Yogyakarta). Kiblatnya berbeda-beda, kecuali untuk beberapa masjid kuno seperti Masjid Demak dan Masjid Ki Panembahan Senopati. Meskipun demikian, kiblat bagi orang Islam di Jawa tidak menjadi perhatian khusus. Oleh karena itu, berbekal ilmu falaq (ilmu mengenai cakrawala), KH. Ahmad Dahlan berusaha membetulkan arah kiblat masjid-masjid di Yogyakarta khususnya agar mengarah ke Masjidil Haram di Mekkah.19 Menjelang pendirian Muhammadiyah, terlihat bahwa Ahmad Dahlan begitu keras menggiatkan dakwah dan bahkan mendirikan sekolah semacam madrasah di kampungnya sendiri demi kelancaran usahanya untuk meluruskan ajaran keagamaan yang ia anut dan pahami.
2.2 Konteks Sosial-Budaya dan Agama pada Masyarakat Jawa di Yogyakarta 1870-1923
Setelah melihat sekilas kehidupan dan pendidikan yang diperjuangkan Ahmad Dahlan, bagian ini akan memberikan gambaran kehidupan masyarakat di Yogyakarta, khususnya mengenai agama Islam dan kebudayaan Jawa pada periode Ahmad Dahlan atau sekitar 1870-1923 yang sejatinya sudah melekat pada mereka dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan masyarakat Jawa di Yogyakarta tentu
18 Ibid., hlm. 37.
19 HM. Sudja’, op. cit., hlm. 45-46.
identik dengan konsep feodal. Raja serta pemimpin suatu daerah memiliki kuasa tertentu dalam segi ekonomi, sosial, politik, bahkan agama sekalipun.
Budaya Jawa yang sangat kental akan unsur dinamisme dan animisme kemudian harus berdampingan dengan ajaran agama yang pernah dibawa oleh Wali Sanga. Mayoritas dari mereka melakukan metode dakwah dengan melakukan pendekatan kebudayaan, seperti wayang maupun alat musik tradisional. Kembali Heri Sucipto dan kawannya menyimpulkan bahwa pembauran yang terjadi antara budaya Jawa serta ajaran Islam oleh Wali Sanga menyebabkan munculnya suatu gejala penyimpangan ajaran agama Islam yang nantinya akan diperjuangkan oleh Ahmad Dahlan.20 Penyimpangan ajaran yang sering disebut sebagai TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat) sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadis serta ajaran Nabi Muhammad s.a.w.
Menjadi masalah lagi ketika ajaran “pembauran” ini harus dilestarikan oleh penjajah serta sikap dari pejabat maupun kaum elit kerajaan di Jawa kurang bisa menanggapi perkembangan zaman dengan baik, yang kemudian memunculkan berbagai gerakan terkait penyebaran ajaran Islam yang cenderung berbeda dengan masa ketika Wali Sanga berdakwah pada sekitar abad ke-15 hingga abad ke-16.
Gerakan pemurnian Islam dan pemulihan budaya Jawa di awal abad ke-20 harus dihadapi para kaum feodal ini.21
Masa ini menjadi periode kebangkitan Islam di Hindia Belanda (Indonesia).
Dapat disimpulkan demikian karena pada masa ini, Islam di Jawa khususnya
20 Heri Sucipto dan Nadjamuddin Ramly, op. cit., hlm. 23.
21 M. C. Ricklefs, op. cit., hlm. 196.
Yogyakarta berbaur dengan tradisi setempat yang menyebabkan pemeluknya semakin menjauh dari ajaran Islam yang seperti diteladankan oleh KH. Ahmad Dahlan.22 Meski demikian, gerakan yang nantinya muncul harus berhadapan dengan perkembangan pemikiran politik yang juga bersamaan dengan modernisme Islam.
Dalam Sejarah Indonesia Modern, Ricklefs kembali menuliskan mengenai pertentangan yang harus dihadapi Muhammadiyah, yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran KH. Ahmad Dahlan, terhadap pemeluk Islam tradisional serta masyarakat Jawa yang mendukung budaya Jawa. Sudah menjadi hal yang wajar ketika sudah nyaman dalam suatu kepercayaan atau kebudayaan tertentu kemudian harus berhadapan dengan paham yang bertentangan dengan yang telah mereka pahami selama ini. Seperti yang diutarakan oleh Berkhofer bahwa sebagai seorang peneliti kebudayaan dan sejarah, perlu adanya pemahaman akan pemikiran masyarakat Jawa yang dalam hal ini adalah hal yang baru ketika bersinggungan dengan paham modern.23
Kehidupan masyarakat Jawa yang sangat kompleks mengenai konteks agama dan budaya yang bercampur serta melebur menjadi suatu paham “sinkretis”
juga muncul di Kauman, kampung kelahiran Ahmad Dahlan dan awal perjuangannya. Masyarakat Kauman masih melaksanakan ajaran agama secara
“sinkretis” dan bersifat tradisional, pada sebelum abad ke-20, seperti tahlilan dan selamatan. Dari hal ini tampak bahwa belenggu tradisional serta kekolotan pada
22 Heri Sucipto dan Nadjamuddin Ramly, op. cit., hlm. 35.
23 Robert F. Berkhofer, loc. cit.
tradisi Jawa yang sudah bercampur dengan ajaran Islam tradisional menyebabkan ketertinggalan dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Konteks kehidupan yang masih diliputi rasa tidak tenteram karena kolonialisme bangsa Belanda ini juga menjadi faktor yang membuat masyarakat pribumi, dalam hal ini masyarakat Jawa, menjadi terbelakang secara sosial dan pendidikan. Meski demikian, masyarakat kampung Kauman ialah kaum muslimin yang taat dalam menjalankan syari’at Islam sejak kampung Kauman terbentuk hingga sekitar tahun 1950-an.24
Segala macam masalah ini semakin menyemangati Ahmad Dahlan di kemudian hari untuk berjuang dalam bidang dakwah (agama) serta pendidikan.
Pendidikan pada masa itu memang cukup sulit untuk diakses masyarakat pribumi, khususnya kalangan bawah. Hanya mereka yang memiliki relasi dengan pejabat Hindia Belanda atau memang dari kaum bangsawan Jawalah yang bisa mengakses pendidikan. Memang pada masa itu mulai bermunculan berbagai organisasi yang bersifat menentang kolonialisme, tetapi belum ada yang sungguh-sungguh berfokus pada bidang pendidikan.
Lembaga pendidikan Islam sekitar awal abad ke-20 belum memadai untuk dapat dikatakan sebagai “lembaga pendidikan” secara umum. Pendidikan keagamaan masih sebatas pengajaran dan tafsir atas Al-Quran di dalam pesantren-pesantren yang notabene dinaungi oleh kyai-kyai lokal. Materi yang dibahas pun hanya terbatas pada tafsir ayat dan itu pun tidak memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian, karena justru mereka tidak merasakan kebebasan; penjajahan yang
24 Ahmad Adaby Darban, op. cit., hlm. 17.
seharusnya dapat dilawan dengan pendidikan, nampaknya belum dapat terwujud.
Dapat disimpulkan, dalam konteks ini, Muhammadiyah dan Ahmad Dahlan-lah yang menjadi pelopor pemerhati pendidikan serta agama Islam, khususnya bagi masyarakat Jawa.
Penguasaan kebahasaan tertentu seperti yang pada waktu itu lazim digunakan adalah bahasa Belanda dan bahasa Melayu masih menjadi bahasa golongan atas. Masih dapat dimungkinkan jika rakyat paham akan bahasa Melayu yang sering mereka dengar dan memang bukan bahasa asing seperti bahasa Belanda. Literasi hanya sebatas pada buku-buku tradisional seperti yang dipelajari di lingkungan Keraton dan pada golongan santri, dari buku-buku keagamaan Islam seperti Al-Quran dan Hadits yang dipelajari entah bersama dengan gurunya atau pun dapat belajar secara otodidak. Pendidikan yang masih melukiskan dan memandang strata sosial tertentu membuat problem atau permasalahan dalam hidup masyarakat Jawa dapat teratasi.
Gambar 2. Sekolah privat HIS oleh RM. Panji Gondo Atmojo (Pakualaman) Yogyakarta beserta para guru Jawa
Sumber: Nederlandsch-Indie Oud & Nieuw, Tweede Jaargang 1917-1918, hlm. 4.
Pendidikan tradisional tidak mengenal ilmu pengetahuan umum seperti pada bangsa Eropa. Ahmad Adaby Darban kemudian menuliskan hal demikian,
“Dengan demikian, apabila seorang muslim mempelajari ilmu pengetahuan umum dianggapnya sudah menjadi kafir, maka ketika KHA.
Dahlan memasukkan ilmu-ilmu pengetahuan umum di dalam Sekolah Kyainya, masyarakat Kauman mengecapnya sebagai kyai palsu, kyai kafir, dan Kristen alus.”25
Hal tersebut menunjukkan kondisi masyarakat Jawa yang bisa dikatakan memprihatinkan. Respon masyarakat yang sedemikian rupa bisa dilihat dalam berbagai faktor, salah satunya adalah pendidikan, sehingga menyebabkan kurang terbukanya masyarakat terhadap paham atau pandangan baru dan justru menganggap sesuatu yang berasal dari luar dianggap menyimpang.
Kehidupan santri pada masa muda Ahmad Dahlan patut dilihat kembali.
Dalam praktiknya, santri memang tergantung dengan ajaran Al-Quran dan Hadits.
Praktik keagamaan atau “amalan” sudah menjadi suatu ciri khusus dari realita kehidupan masyarakat Jawa yang beragama Islam. Berdasarkan pendapat Kyai A.
R. Fachruddin, para santri bahkan menganggap ilmu yang berasal dari Barat itu haram. Konsep mengenai pendidikan dan sekolah diidentikkan dengan Barat dan dalam konteks ini juga sebagai “ilmu dari penjajah”.26 Pemikiran semacam inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu upaya Ahmad Dahlan untuk bisa diluruskan sesuai pada tempatnya.
25 Ibid., hlm. 83.
26 A. R. Fachruddin, Menudju Muhammadijah, Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, 1970, hlm. 29.
Islam dan Jawa memang sejatinya sudah menjadi suatu paham yang berkembang beriringan dari waktu ke waktu. Ajaran Islam sesungguhnya tidak berubah dan sifatnya tetap seperti aturan agama-agama yang lain. Perubahan yang menjadi anggapan umum tentu saja pada unsur “amalan” yang berakulturasi; terjadi penyesuaian dengan tradisi lokal setempat yang dalam hal ini adalah budaya Jawa.
Namun, terkadang atau bahkan banyak dari masyarakat Islam-Jawa masih sering keliru membedakan yang mana “ajaran Islam” dan yang mana “amalan dalam Islam”.