• Tidak ada hasil yang ditemukan

ketergantungannya dari pemerintah pusat

Dalam dokumen Materi Pelatihan PKD Pendapatan Daerah (Halaman 46-50)

MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH

Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Upaya peningkatan PAD tersebut antara lain dapat dilihat dari pendapatan APBD kabupaten/kota Tahun 2007-2011. Pertumbuhan rata-rata total pendapatan APBD seluruh kabupaten/kota sebesar 17,7 persen, sedangkan pertumbuhan rata PAD seluruh kabupaten/kota sebesar 14,1 persen. Pertumbuhan rata-rata PAD selama kurun waktu 5 tahun ini memberikan gambaran yang cukup baik dalam memperkuat kemandirian daerah. Selanjutnya, rasio PAD seluruh kabupaten/kota pada tahun 2007 tercatat sebesar 56,6 persen, sedangkan pada tahun 2011 adalah sebesar 59,59 persen. (Lihat Tabel-4.1 dan Tabel-4.2). Tabel 3.1 : Pendapatan APBD Kabupaten/Kota Tahun 2007–2011 (Rp Milyar)

Tabel 3.2 : Pendapatan APBD Kabupaten/Kota Rasio Per Bagian Pendapatan

Keterangan : Tahun 2007-2009 angka Realisasi, Tahun 2010-2011 angka Anggaran Sumber : SIKD Kementerian Keuangan, data diolah

Keterangan : Tahun 2007-2009 angka Realisasi, Tahun 2010-2011 angka Anggaran Sumber : SIKD Kementerian Keuangan, data diolah

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000

Lain –lain Dana Perimbangan PAD 35.177,1 22.196.6 4.737,0 44.515,5 45.366,9 47.331,0 59.597,2 47.553,7 42.520,4 45.023,8 47.429,0 2007 2008 2009 2010 2011 14,1% 20,9% 26,2% Pertumbuhan Rata-rata 62.110,7 96.727,3 98.929,6 102.318,5 119.039,6 Total 4.658,2 11.042,4 9.963,7 12.013,4

Keterangan : Tahun 2007-2009 angka Realisasi, Tahun 2010-2011 angka Anggaran Sumber : SIKD Kementerian Keuangan, data diolah

Rp Milyar

Keterangan : Tahun 2007-2009 angka Realisasi, Tahun 2010-2011 angka Anggaran Sumber : SIKD Kementerian Keuangan, data diolah

Lain-lain 7,6% Lain-lain7,6% PAD 56,6% Dana Perimbangan 35,7% PAD 46,0% PAD 45,9% Dana Perimbangan 59,2% PerimbanganDana 43,0% Lain-lain 4,8% Lain-lain 7,6% PAD 46,3% Dana Perimbangan 44% Lain-lain 9,7% PAD 50,1% Dana Perimbangan 39,8% Lain-lain 10,1% Lain-lain 7,6% Lain-lain 11,1% 2007 2008 2009 2011 2010

Pengantar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Walaupun pertumbuhan rata-rata PAD tersebut sudah menunjukkan kondisi yang relatif baik, namun Pemda masih perlu melakukan langkah-langkah strategis terkait pentingnya optimalisasi peningkatan PAD melalui pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), bagi hasil pajak daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Melalui penguatan sistem perpajakan daerah (local taxing power) di dalam struktur pendapatan daerah, peranan PAD juga diharapkan dapat memberikan dampak positip terhadap pertumbuhan ekonomi, selain menjadi alternatip pendanaan bagi penyediaan prasarana dan saran pelayanan di daerah. Hal ini sejalan dengan prinsip penggunaan hasil pungutan retribusi menurut Pasal 161 UU No. 28/2009 bahwa pemanfaatan dari penerimaan setiap jenis retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. Dengan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai diharapkan dapat mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat daerah. Dengan terciptanya lapangan kerja yang baru, diharapkan akan berpengaruh pada peningkatan pendapatan masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat.

Masalah penetapan tarif retribusi daerah 1) Masalah biaya marjinal.

Biaya marjinal atas suatu pelayanan terkadang agak sulit dihitung secara tepat, dalam prakteknya, untuk memudahkan umumnya digunakan biaya rata-rata. Meskipun cara ini bertentangan dengan prinsip ekonomi efisiensi, namun dalam beberapa kasus, biaya marjinal hanya memiliki sedikit perbedaan dengan biaya rata-rata misalnya pemakaian air berdasarkan m3. Selain itu, masalah pengukuran dan pemungutan menjadikan penetapan harga berdasarkan biaya marjinal sulit diimplementasikan. Dalam kasus pelayanan infrastruktur, harga berdasarkan biaya marjinal dapat saja terlalu rendah jika dibandingkan dengan biaya pemungutan.

Terdapat hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah penetapan harga berdasarkan biaya marjinal bersifat jangka pendek atau jangka panjang: dalam kasus penyediaan air bersih, misalnya, terdapat suatu titik di mana tambahan konsumen akan membutuhkan tambahan pelayanan; jelas bahwa dalam situasi seperti ini sangat tidak beralasan apabila mereka dibebankan dengan harga berdasarkan biaya penuh (full cost).

Kasus di atas merupakan bagian dari pendekatan harga berdasarkan biaya marjinal di mana kapasitas yang tersedia seluruhnya terpakai, dan permintaan cenderung melebihi penawaran. Pada kondisi ini, pasar akan menentukan harga di atas biaya marjinal jangka pendek untuk memberikan tambahan sumber daya yang dibutuhkan dalam rangka peningkatan kapasitas.

Penetapan harga berdasarkan biaya marjinal tidak berarti bahwa harga menutupi seluruh biaya (full cost recovery): dalam hal ini biaya modal historis tidak diperhitungkan, atau bahkan biaya operasional (misalnya, biaya operasional overhead tetap yang tidak terpengaruh dengan penggunaan pelayanan). Dalam situasi di mana sumber daya langka, kegagalan untuk menutupi biaya menunjukkan hilangnya kesempatan sebagai alternatif dari penggunaan sumber daya MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH

Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

tersebut. Kerugian ini harus dipertimbangkan dengan kerugian efisiensi sehingga penetapan harga di atas biaya marjinal dapat tercapai.

Terdapat pertentangan pandangan dengan konsep “keadilan” (fairness): (1) Hanya mereka yang menerima manfaat yang harus membayar, sementara mereka yang tidak menerima manfaat tidak harus berkontribusi dalam sistem perpajakan; (2) Semua konsumen harus membayar sama, tanpa memandang biaya penyediaan pelayanan tersebut (khususnya biaya pelayanan bagi rakyat miskin umumnya tinggi). Bagian pertama menjelaskan prinsip Marginal Cost Pricing, dan prinsip manfaat, sementara bagian kedua lebih mengarah kepada kerugian atas ekonomi efisiensi yang dihasilkan dari penetapan harga sama dibandingkan dengan penetapan harga marjinal.

Eksternalitas konsumsi, seperti manfaat air bersih untuk mencuci dan memasak bagi kesehatan masyarakat secara signifikan dapat mengubah “harga efisiensi” yang telah ditentukan berdasarkan biaya marjinal. Pada kondisi ini, dapat dibenarkan apabila pelayanan tersebut disubsidi atau bahkan gratis sampai dengan titik tertentu.

Pada akhirnya, berdasarkan pertimbangan keadilan maka orang kaya harus membayar lebih, setidaknya untuk pelayanan seperti air bersih, di mana diskriminasi harga (misalnya, tarif progresif) atas pelayanan dapat dilakukan. Namun demikian, hal ini menyalahi syarat efisiensi.

2) Tanpa pelayanan tidak boleh dipungut retribusi daerah.

Retribusi daerah hanya boleh dipungut apabila pemerintah daerah menyediakan pelayanan yang bermanfaat bagi penerima jasa.

3) Masalah ‘closed-list’ retribusi daerah.

Sesuai prinsip desentralisasi, sebagian besar fungsi pelayanan masyarakat dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Namun, meskipun suatu daerah memiliki kewenangan dan menyediakan layanan, tapi karena kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah bersifat closed list, maka atas pelayanan yang diberikan tidak boleh dipungut retribusi.

3.2. Soal Latihan

1) Bagaimana peranan PAD dalam mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan membangun kemandirian daerah?

2) Jelaskan mengapa pengukuran dan pemungutan menjadikan penetapan harga berdasarkan biaya marjinal sulit diimplementasikan?

PAJAK DAERAH

Dalam dokumen Materi Pelatihan PKD Pendapatan Daerah (Halaman 46-50)