• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model pertumbuhan regional, Export-Base Model, seperti Hoyt’s Model, Export-Led Keynesian dan model dinamis lainnya, mengatakan bahwa wilayah merupakan sistem ekonomi yang kecil dan oleh karena itu memiliki pasar yang terbatas bagi barang dan faktor produksi. Karena struktur produktif yang dimilikinya cenderung sangat terspesialisasi, sistem ekonomi menghasilkan barang yang berlebih akan tetapi tidak mampu memenuhi pasar lokal dengan beragam sumberdaya dan kapital, sehingga hanya dapat diperoleh dari pasar luar wilayah.

Mekanisme dimana hubungan antar wilayah menent uka n tingka t out put, pendapatan dan pembentukan kapital menciptakan kondisi makroekonomi yang sangat beragam. Keseimbangan interaksi antar wilayah akan tercipta dan dapat memberikan dampak positif pada saat masing- masing wilayah dapat mengidentifikasi aset produktif spesifik yang dapat menghasilkan produk kompetitif yang mampu bersaing di pasar yang lebih serta memiliki tingkat permintaan yang dapat menembus hambatan lokal. Pada kondisi tersebut maka spesialisasi produktif merupakan faktor kunci dari pertumbuhan ekonomi lokal dan dapat dihasilkan dari kondisi wilayah yang sangat berbeda, sebagai berikut (Capello, 2007):

1.Volume ekspor yang besar yang disebabkan oleh sistem produksi yang sangat kompetitif mampu membiayai impor yang diperluka n wilayah. Situasi ini menjelaskan bahwa kondisi makroekonomi yang positif membentuk karakter

wilayah, sistem produksi yang kompetitif bahkan mengindikasikan tingkat produksi, ketenagakerjaan dan pendapatan riil yang tinggi.

2.Transfer publik yang besar menghasilkan peningkatan pada pendapatan, tetapi tidak meningkatkan produksi lokal. Dalam hal ini, pertumbuhan dibiayai oleh wilayah lain, pendapatan tidak menggambarkan kapasitas riil dari produksi lokal. Jika arus dana luar berhenti, sebagai akibat dari keputusan politik atau karena krisis ekonomi nasional, pertumbuhan wilayah dapat terhenti dan tidak mampu untuk melakukan perbaikan ekonomi secara spo ntan. Kondisi makroekonomi yang mengiringi pola pembangunan seperti ini, cenderung memiliki tingkat daya saing loka l yang terbatas yang terkait denga n pengangguran dan stagnasi.

3.Arus masuk kapital antarwilayah untuk pembayaran aset kepemilikan seperti tanah dan bangunan, yang meningkatkan kemakmuran wilayah yang dipegang dalam bentuk likuiditas dan dapat menciptakan pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi. Akan tetapi, dalam kasus ini dalam keseimbangan makroekonomi masih dapat menyembunyikan kondisi pengangguran dan stagnasi.

4.Arus masuk kapital antar wilayah untuk kegiatan investasi langsung dalam wilayah, dengan dampak positif terhadap produk domestik bruto akibat investasi riil yang lebih besar merangsang lapangan pekerjaan dan kapasitas produksi riil wilayah tersebut. Pada kondisi ini dimana keseimbangan pos itif tercipta, terdapat kecenderungan tidak ada masalah pengangguran terutama dalam jangka panjang.

5.Arus masuk kapital dalam bentuk pembiayaan jangka pendek memberikan dampak terhadap peningkatan volume impor. Masalah makroekonomi yang mungkin tersembunyi pada kasus ini tidak terlalu jelas.

Dalam teor i-teori berikut, terlihat bagaimana kondisi diatas menjadi pengganti model pertumbuhan lokal. Teori pertama, teori export-base

menjelaskan bahwa pertumbuhan sangat bergantung pada daya saing sistem produksi lokal (kasus 1), peningkatan pada ekspor akan meningkatkan tingkat pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Model berikutnya yang dikembangkan oleh Harrod Domar menekankan pada pentingnya arus masuk tabungan dan kapital bagi pertumbuhan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja, konsep pemikiran model ini berkaitan dengan kasus 3, 4 dan 5. Sementara itu Hukum Thirlwall mengingatkan bahwa pembangunan dapat terhambat oleh kondisi negatif dari neraca perdagangan, jika ekspor merupakan satu-satunya sumber pembiayaan impor, seperti pada kasus 1.

Pada pertengahan tahun 1960-an, Williamson menyampaikan pemikiran bahwa pembangunan melalui berbagai tahapan dan menganalisis bagaimana disparitas wilayah muncul dalam suatu negara. Dalam tesisnya, Williamson menuliskan bahwa pembangunan pada awal tahapan terkonsentrasi dan terpusat di wilayah pusat negara, da n pernyataan ini diterima oleh berba ga i eko nom wilayah. Hanya kemudian, terjadi penyebaran ke wilayah yang lebih peripheral dan ke sektor lain yang lebih lemah. Akibat dari pembangunan dengan dua kecepatan tersebut adalah terjadi gap yang semakin lebar pada fase awal dari pembangunan ekonomi suatu negara, dan kemudian gap tersebut berkurang ketika pendapatan nasional mencapai level tertentu. Alasan terjadinya gap yang semakin lebar antara

wilayah yang kuat dan lemah pada fase awal pembangunan terkait dengan dampak

crowding-out yang lebih menguntungkan ekonomi yang kuat dibandingkan yang lemah (Capello, 2007). Alasan-alasan tersebut adalah:

1. Imigrasi tenaga kerja terlatih dari ekonomi wilayah yang lemah ke ekonomi wilayah yang kuat.

2. Arus kapital ke wilayah yang lebih kaya, dimana terdapat permintaan yang lebih tinggi dengan adanya ketersediaan infrastruktur, jasa, potensi pasar dan kondisi lingkungan yang lebih baik bagi perusahaan.

3. Bagian alokasi yang lebih besar dari investasi publik ke sektor yang kuat, sebagai respon terhadap permintaan aktual dan potensial.

4. Perdaga ngan antar wilayah yang terbatas dalam hal sumberdaya, sehingga pada tahap awal, wilayah yang kaya tidak dapat memberikan daya dorong terhadap wilayah yang miskin.

Walaupun secara empiris terbukti bahwa ketimpangan wilayah meningkat pada tahapan awal pembangunan, akan tetapi hal tersebut tidak membuktikan hipotesis bahwa perbedaan pada tingkat pertumbuhan semakin berkurang. Teori tersebut seolah-olah bersifat optimis terhadap interpretasinya mengenai disparitas yang dianggap sebagai suatu hukum yang alami, tertentu dan universal. Kemajuan teknologi, perubahan sosial dan evolusi pengetahuan, adalah merupakan faktor yang mungkin dapat meningkatkan kapasitas suatu wilayah untuk menarik kapital dan tenaga kerja dari wilayah yang lebih lemah, dan untuk memperoleh investasi publik di bidang sosial kapital modern dan infrastruktur (contoh: bandara dan kereta api kecepatan tinggi). Terdapat kecenderungan bahwa pembangunan pada wilayah yang lebih lemah didasarka n pada ind ustri tradisional yang hanya

memerluka n proses prod uksi yang sifatnya non inovatif dengan teknologi yang standar seperti yang tertuang dalam teori life-cycle. Ketimpangan antara wilayah pemimpin (leader) dan pengikut (follower) dapat terus terjadi dalam hal kualitas, ketimbang kuantitas.

Dalam menganalisa ketimpangan wilayah Tadjoeddin, et al. (2001) melakuka n pe mbedaan yang jelas antara ko nsep output wilayah yang menggunakan pendekatan wilayah (area approach) dan kesejahteraan masyarakat (community welfare) yang menggunakan pendekatan rumahtangga (household approach). O utput wilayah direpresentasikan oleh indikator Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, sementara kesejahteraan masyarakat dilihat dari beberapa indikator, yaitu konsumsi (pengeluaran konsumsi rumahtangga per kapita), pendidikan (tingkat melek huruf dan rata-rata lama bersekolah), kesehatan (angka harapan hidup) dan angka komposit Indekss Pembangunan Manusia (IPM). Dengan demikian, ketimpangan regional bisa dilihat dari berbagai aspek, untuk lebih memperjelas ketimpangan atau pemerataan dalam hal apa (equality of what). Pembedaan ini menjadi penting dalam upaya untuk melihat berbagai aspek pemerataan yang akan dijadikan dasar kebijakan pemerataan karena pemerataan dalam satu aspek misalnya pendapatan, belum tentu menjamin pemerataan dalam aspek lain misalnya pemerataan hak menentukan nasib sendiri. Sedangkan pemerataan kesempatan tidak secara otomatis menjamin pemerataan pendapatan.

Masalah kesenjangan antar wilayah dapat ditelaah dengan melihat potensi sumberdaya alam, kegiatan ekonomi, pola investasi, pola penggunaan lahan, penduduk dan ketenagakerjaan, kelembagaan sosial budaya dan ekonomi yang ada di masyarakat, sarana dan prasarana dan sebagainya. Dari hasil penelahaan

tersebut dapat diperoleh gambaran mengenai faktor- faktor penyebab terjadinya masalah kesenjangan baik antar wilayah maupun sektoral yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menetapkan strategi kebijakan pembangunan yang dapat dirumuskan sebagai dasar bagi penentuan rangkaian program-program dan kegiatan-kegiatan pembangunan yang diperlukan berikut sasaran dan besarannya. Oleh karena itu menurut Tadjoeddin, et al. (2001), mengantisipasi kesenjangan dan ketimpangan pembangunan antar kabupaten perlu dikembangkan basis ekonomi di setiap kabupaten.

Adisasmita (1989) melihat perlunya perpaduan dua sasaran pembangunan yaitu membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional (to promote growth in the national economy) dan memperbaiki ketidakserasian sebagai akibat disparitas dari antarwilayah (to handle inequality resulting from large interregional disparities). Maka yang menjadi sasaran pertama adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi yang harus diperbandingkan dengan pengaruh peningkatan kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi secara wilayah atau yang terjadi di berbagai lokasi. Selanjutnya Umar (2001) menekankan perlunya investasi modal publik guna memacu arus komoditi baik dalam wilayah sendiri maupun antarwilayah. Perlunya keterkaitan antara sektor tradisional yang memiliki lahan dan tenaga kerja dan sektor modern yang memiliki moda l dan manajemen.