• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran infrastruktur dalam perekonomian sangat penting dan sentral, dimana infrastruktur dipahami sebagai enabler berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini diperkuat Hirschman (1958) yang menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari social overhead capital yang mutlak diperlukan untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi lainnya. Namun baru pada akhir 1980-an, berba ga i studi dilakuka n secara intensif untuk mempelajari bagaimana peranan infrastruktur dalam perekonomian. Berbagai studi mengenai peran infrastrukt ur dalam perekonomian, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni: (1) studi-studi untuk mengetahui peranan infrastruktur dalam perekonomian, dan (2) mengukur elastisitas ketersediaan pe layanan infrastruktur terhadap pe reko nomian.

Untuk studi-studi mengenai peranan infrastruktur da lam pereko nomian diawali oleh Aschauer (1989) dalam DPKPP (2003) yang mengemukakan bahwa

ketersediaan pe layanan infrastruktur merupakan faktor prod uks i penting. Penelitian tersebut juga menemukan fakta bahwa menurunnya produktivitas, dapat disebabkan oleh memburuknya ketersediaan pelayanan infrastruktur. Sementara itu, Bernt dan Hansson (1991) dalam DPKPP (2003) mengemukakan bahwa peningkatan pelayanan infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi.

Sedangkan studi yang berupaya mengukur elastisitas ketersediaan pelayanan infrastruktur terhadap perekonomian dimulai oleh World Bank (1994) dalam Soerjo (2007) yang menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan pertumbuhan PDB memiliki hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur yang diukur sebagai perubahan persentase pertumbuhan PDB per kapita akibat sebagai naiknya 1% ketersediaan infrastruktur diberbagai negara bervariasi antara 0.07 hingga 0.44. Selanjutnya studi-studi yang mengukur elastisitas ketersediaan infrastruktur terhadap perekonomian suatu negara mulai berkembang, seperti yang dilakukan oleh Zegeye (2002), dalam studinya ini dapat memperlihatkan besarnya kontribusi pembangunan infrastruktur terhadap kenaikan produktivitas sektor manufaktur di negara Amerika Serikat. Selain itu ada juga studi yang dilakukan oleh Wylie (1996) yang mengamati tentang peranan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Kanada selama periode 1946-1991, menggunakan fungsi produksi translog untuk memperoleh temuan bahwa setiap terjadi kenaikan stok kapital infrastruktur per jam kerja sebesar 1% akan meningkatkan output per jam kerja sebesar elastisitas produksinya 0.52. Hasil akhir studinya menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kanada sangat tergantung sekali kepada pembangunan infrastruktur.

Studi berikutnya yang dilakukan Haughwout (2000) memberi gambaran bagaimana peranan infrastruktur terhadap tingkat kesejahteraan. Menurutnya, pengaruh investasi infrastruktur terhadap tingkat kesejahteraan melalui dua jalur yakni: (1) by raising income via increased private productivity, dan (2) by increasing benefits enjoyed by households via heightened economic services.

Wilayah Indonesia, salah satu studi yang cukup menarik disajikan adalah studi yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FE-UI) tentang Roadmap

Pembangunan Infrastruktur Indonesia (Pratomo, 2005). Studi ini merupakan studi literatur yang dilanjutkan dengan pembuatan model ekonometrik makroekonomi infrastruktur regional. Hasilnya menunjukkan jika dilihat dari elastisitas apabila stok jalan ditambah 10%, maka pembangunan infrastruktur jalan ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 88%. Dengan kata lain, kenaikan stok jalan sebesar 1% akan menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8.8%, berdasarkan pembagian Kawasan Barat dan Timur, maka dengan tingkat kenaikan stok jalan sebesar 10% akan menghasilkan kepekaan sebesar 77 % untuk kawasan Indonesia bagian Barat (KBI) dan 11% pada Indonesia bagian Timur (KTI). Sementara itu, tingkat elastisitas berdasarkan pulau adalah Jawa-Bali sebesar 59% diikuti oleh Sumatera sebesar 14%, Sulawesi 4% dan terakhir adalah Papua, Maluku dan Nusa Tenggara sebesar 2.7%. Hasil perhitungan elastisitas ini sekali lagi menunjukkan bahwa bagaimanapun juga pembangunan infrastruktur jalan di Pulau Jawa dan Bali mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi yang paling besar. Mencermati hasil simulasi yang dilakukan, studi ini menunjukka n apabila pertumbuhan ekonomi diasumsikan hanya sebagian yaitu sebesar 48%

diakibatkan oleh pembangunan infrastruktur. Maka pada tingkat pertumbuhan 3.93%, perkiraan kebutuhan kenaikan stok jalan untuk kawasan barat sebesar 10% yang artinya adalah 22.797 km. Sedangkan untuk kawasan Indonesia Timur kebutuhan tambahan stok jalan hanya sebesar 2% atau sepanjang 3.029 km. Studi ini juga memperkirakan bahwa jumlah dana yang dibutuhkan untuk kawasan Barat adalah Rp. 31.9 triliun dan Rp. 4.2 triliun untuk kawasan Timur. Secara keseluruhan untuk pembangunan infrastruktur jalan, studi ini memperkirakan pada tingkat pertumbuhan ekonomi 3.93%, jumlah dana yang dibutuhkan Rp. 36.2 triliun untuk mencapai tingkat pertumbuhan sebesar 5.14% dibutuhkan dana sebanyak Rp. 40.4 triliun. Dengan hasil studi ini sebenarnya kita dapat memperkirakan apakah pemerintah kini benar-benar mampu memenuhi kebutuhan akan infrastruktur jalan di tengah keterbatasan dana yang dimiliki. Karena itu, pembangunan infrastruktur jalan membutuhkan modal besar. Daerah-daerah terpencil yang dinilai tidak memiliki potensi ekonomi dan sosial budaya yang memadai cenderung ditelantarkan. Pembangunan infrastruktur jalan di daerah-daerah seperti ini mungkin lebih sering dianggap sebagai beban dan bukan dipandang sebagai bentuk investasi bangsa. Dalam kondisi seperti ini, pembangunan infrastruktur jalan di kawasan-kawasan terpencil menuntut kemauan politik yang kuat dan konsisten dari pemerintah. Selain itu, pemahaman atau definisi tentang daerah tetinggal juga perlu diluruskan, yaitu daerah yang memiliki potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia, tetapi miskin sarana dan prasarana.

Jauh sebelum model I-O diperkenalkan oleh Leontief, seorang ekonom Perancis yaitu Francois Quesnay pada tahun 1758, telah menyampaikan ide dasar

tentang keterkaitan antar sektor da n mempublika sika n sebuah Tableau Economique dalam bentuk diagram-diagram yang memperlihatkan bagaimana pengeluaran masyarakat dapat dilacak melalui perekonomian dengan cara sistematis (Miller dan Blair, 1985). Berdasarkan konsep pemikiran Tableau Economique tersebut, kemudian Leontif menyampaikan ide tentang penyusunan Tabe l I-O yang dibuatnya pertama kali untuk negara Amerika Serikat pada tahun 1930-an, dan semenjak itu pemakaian tabel I-O dalam bidang ekonomi semakin banyak digunakan oleh ahli-ahli ekonomi, khususnya untuk menjelaskan keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian.

Chenery-Watanabe (1958), Hirschman (1958) dan Rasmussen (1956), adalah ahli- ahli ekonomi yang lebih dahulu menyampaikan ide- ide dasar tentang pengukuran keterkaitan antarsektor melalui mode l I-O. Mereka berhasil merumuska n ukuran- ukuran keterkaitan antar sektor seperti backward linkage dan

forward linkageratio.

O’Callaghan, Andreosso dan Guoqiang (1997) melakukan pengamatan tentang keterkaitan antar sektor dan sektor-sektor utama dalam perekonomian China selama periode 1987-1997, dengan memakai sekaligus metode tradisional yang dike mba ngka n oleh Chenery-Watanabe dan Rasmussen, serta metode ekstraksi dari Cella dan Dietzenbacher. Hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa selama periode 1987-1997 setiap sektor memiliki kecenderungan angka rasio backward linkage da n forward linkage yang terus meningkat sepanjang tahun. Ini berarti terdapat suatu hubungan yang pos itif antarpertumbuhan aktivitas produksi dan peningkatan di dalam keterkaitan antar sektor selama periode tersebut. Selain itu, mereka juga memperlihatkan bahwa sektor-sektor yang

mendominasi perekonomian China sepanjang periode 1987-1997 adalah sektor konstruksi, industri dan pertambangan karena dari hasil analisis I-O menunjukkan ketiga sektor tersebut mempunyai rasio backward linkage dan forward linkage

yang paling tinggi diantara semua sektor.

Idenburg dan Wilting (2000), dengan menggunakan Dynamic Input-Output Model mencoba menjelaskan dampak dari inovasi teknologi terhadap produksi sektoral di negara Belanda yang menggunakan natural resources dan

emissions terhadap lingk ungan. Pemilihan analisis input-output secara nyata dianggap dapat menjelaskan hubungan struktur ekonomi, penggunaan energi dan sumberdaya lingk ungan. Selain itu, analisis input-output juga dapat digunakan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pencarian teknologi-teknologi baru. Studi ini mencoba menganalisis secara tentative dampak perubahan-perubahan teknologi terhadap permintaan energi pada perekonomian Belanda selama periode 1980-1997.

Indonesia sendiri, Kaneko (1985) dalam Kuncoro, et al. (1997) memperkenalkan konsep (1) derajat ketergantungan kegiatan tiap sektor terhadap setiap unsur permintaan akhir, (2) pengganda reaksi (repercussion multiplier) pada kegiatan ekonomi yang diakibatkan oleh setiap unsur permintaan akhir, dan (3) rasio giveand take sebagai koefisien keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang. Sebagaimana dirumuskan Hirschman dengan mengolah tabel I-O tahun 1971, 1975, 1980, dan 1983, menyimpulkan bahwa: Pertama, selama periode 1971-1980 derajat ketergantungan kegiatan ekonomi pada konsumen cenderung menurun pada sektor primer dan tersier namun meningkat pada sektor industri.

pada tahun 1980 dan 1983, terutama karena kebijakan subtitusi impor dan kebijakan pemanfaatan produk dalam negeri yang telah dianut sejak awal dekade 1980. Ketiga, dalam tahun 1970-an pengganda reaksi yang diakibatkan oleh pembentukan modal tetap telah menurun. Keempat, orientasi pembangunan industri Indonesia selama periode 1971-1980 lebih berciri kepada industri subtitusi impor. Kelima, besarnya kebocoron impor menyebabkan produksi barang-barang modal tetap sangat kurang bersifat padat karya.

Studi lainnya tentang keterkaitan antarsektor di Indonesia juga pernah dilakukan oleh Poot, Kuyvenhoven dan Jansen (1991) berdasarkan data input-ouput Indonesia tahun 1971, 1975 dan 1980. Mereka menunjukkan keterkaitan antarindustri pada perekonomian Indonesia yang dilihat melalui koe fisien

backward linkage dan forward linkage, dari hasil pengamatannya menunjukkan sektor-sektor industri yang mempunyai backward linkage tinggi terutama adalah sektor industri makanan, sedangkan sektor yang memiliki forward linkage paling tinggi adalah industri kimia, peralatan kertas, pupuk dan pestisida. Berdasarkan analisis I-O, mereka juga memaparkan bahwa pembangunan industri di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap komponen impor, terutama sekali bagi sektor-sektor industri non makanan, seperti: industri baja, kertas, kendaraan bermotor, elektronik, perkapalan dan pesawat terbang, dimana semua industri ini umumnya memiliki rasio ketergantungan impor di atas 50% dan yang paling tinggi adalah industri baja dengan rasionya sebesar 0.73.

Setiawan (2006) dengan menggunakan pendekatan Input-Output

Multiregional Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat meneliti peranan sektor unggulan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah baik antar wilayah sendiri

maupun antar wilayah. Hasil studinya menunjukkan bahwa sektor unggulan yang terpilih di masing provinsi (yang memiliki bobo t terbesar di masing-masing provinsi) adalah sektor industri makanan, minuman, tembakau dan sektor perdagangan di Provinsi Jawa Timur sedangkan sektor hotel dan restoran serta sektor peternakan dan hasilnya, terpilih sebagai sektor unggulan di Provinsi Bali, sektor industri makanan, minuman, tembakau dan sektor hotel dan restoran terpilih di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Seandainya dibandingkan dampak dalam wilayah kedua sektor unggulan di Jawa Timur antara sektor industri makanan, minuman dan tembakau dengan sektor perdagangan, maka sektor perdagangan memiliki dampak yang lebih besar dan kuat baik itu pada pertumbuhan output, pertumbuhan nilai tambah bruto dan penciptaan lapangan kerja di Provinsi Jawa Timur.

Dampak antar wilayah dari pertumbuhan sektor industri maka nan, minuman, dan tembakau di Provinsi Jawa Timur ini, terlihat lebih kuat terjadi di provinsi Nusa Tenggara Barat dibandingkan dengan Provinsi Bali, baik itu pada pertumbuhan output, pertumbuhan nilai tambah bruto dan penciptaan lapangan kerja. Sebaliknya sektor perdagangan di Provinsi Jawa Timur mempunyai dampak antar wilayah lebih kuat terjadi di Provinsi Bali dibandingkan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat baik pada pertumbuhan output, pertumbuhan nilai tambah bruto dan penciptaan lapangan kerja. Di Provinsi Bali seandainya dibandingkan dampak antar wilayah kedua sektor unggulan antara sektor hotel dan restoran dengan sektor peternakan dan hasilnya, maka sektor hotel dan restoran memiliki dampak yang lebih besar dan kuat pada pertumbuhan output dan pertumbuhan

nilai tambah bruto, sedangkan sektor peternakan dan hasilnya memberikan dampak yang lebih besar pada penciptaan lapangan kerja.

Muchdie (1999) dengan mengaplikasikan model Input-Output antar daerah membahas struktur ruang perekonomian Indonesia yang dirinci menurut lima kelompok pulau besar, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Sulawesi serta Papua. Pembahasan struktur ruang difokuskan kepada pengganda total baik sektoral maupun spasial, dampak bersih baik sektoral maupun spasial dan dampak luberan serta dampak balik spasial. Analisis pengganda spasial menunjukkan bahwa secara umum pengganda yang terjadi di pulau sendiri lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi di pulau lain. Sedangkan analisis distribusi sektoral dan spasial pada dampak bersih juga menunjukkan hal yang serupa, selanjutnya analisis dampak luberan dan dampak balik dapat menjelaskan kedua hasil analisis di atas. Sumatera dan Jawa memiliki dampak luberan yang relatif kecil, hal ini berarti bahwa dampak yang terjadi di pulau sendiri jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak luberan yang terjadi di pulau lain. Ini menunjukkan bahwa Sumatera dan Jawa relatif lebih mandiri.

Nilai dampak balik yang cukup besar untuk Jawa dan Sumatera menggambarkan bahwa hasil pembangunan yang mengalir dari Jawa setelah beberapa saat akan kembali lagi ke Jawa. Hasil analisis ini mempunyai implikasi bahwa untuk merelokasikan kegiatan pembangunan diperlukan intervensi pemerintah mengingat bahwa tumpahan antar sektor dan tumpahan antar pulau tidak akan memadai. Berkaitan dengan dampak balik dan dampak t umpa han hasil-hasil analisis menjustifikasikan pemikiran bahwa kegiatan pembangunan sebaiknya difokuskan di Kawasan Timur Indonesia. Kebijakan relokasi ini bukan

hanya akan menguntungkan Kawasan Timur Indonesia, tetapi bagian lain dari negara ini juga aka n tetap menikmati hasil- hasil pembangunan karena adanya keterkaitan spasial dan dampak tumpahan. Adanya konsentrasi kegiatan pembangunan di Jawa dan Sumatera akan memperburuk masalah pemerataan dalam perekonomian Indonesia. Wilayah Jawa dan Sumatera secara tradisional telah mendominasi perekonomian Indonesia, rendahnya dampak tumpahan dari kedua pulau tersebut berarti bahwa dampak bersih di Jawa dan Sumatera tidak mengalir secara memadai ke wilayah lain di Indonesia. Sebaliknya, dampak umpan balik dari pembangunan di Kawasan Timur Indonesia akan mengalir ke Jawa dan Sumatera.

Dalam beberapa studi ada juga yang menerapkan model I-O untuk melihat peranan infrastruktur dalam suatu perekonomian. Sebagai misal yang dilakukan oleh Benvenuti dan Marangoni (1998) yang menggunakan multiplier I-O untuk mengukur dampak investasi dibidang konstruksi terhadap nilai tambah pada dua puluh wilayah negara Italia, hasil studinya menunjukkan bahwa: (1) efek internal lebih besar terlihat di wilayah Utara dibandingka n wilayah Selatan, sedangkan efek spill-over lebih tampak besar di wilayah Selatan dari pada Utara, (2) akibat ada perbedaan propensity to consume mengakibatkan efek total lebih besar terlihat di wilayah Selatan dari pada Utara. Di wilayah Selatan, p enduduknya lebih miskin sehingga sebagian besar pendapatan habis untuk konsumsi. Selain kedua temuan tersebut, hasil studinya yang sangat penting adalah mengenai peranan infrastruktur dalam menciptakan nilai tambah. Disini diperoleh temuan bahwa sekitar 50% nilai tambah negara Italia diciptakan oleh sektor infrastruktur, dimana

sebagian besar nilai tambah tersebut dihasilkan oleh wilayah Selatan. Kondisi ini menunjukkan peranan sektor infrastruktur paling penting bagi wilayah Selatan.

Studi lainnya adalah mengenai kebutuhan energi da n infrastruktur di India yang dilakuka n oleh Roy da n Mukhopa dhay (1995) , studi ini be rtuj uan untuk mengestimasi multiplier infrastruktur dan multiplier energi, yang sangat bermanfaat untuk mengevaluasi alternatif pembangunan ekonomi secara logis dan kuantitatif. Analisis multiplier sektoral menunjukkan bahwa kebutuhan energi India akan meningkat paling tinggi akibat peningkatan satu unit pada penggunaan energi di sektor pertambangan, diikuti pertanian, peralatan dan jasa lainnya. Untuk

multiplier infrastruktur kebutuhan infrastruktur meningkat lebih besar pada periode 1989-1990, dibandingkan periode 1983-1984 bagi sektor pertambangan.

Lebih lanjut, multiplier infrastruktur listrik merupakan yang tertinggi bagi sektor produksi energi pada periode 1989-1990 diikuti oleh infrastruktur transportasi, perlengkapan dan lain- lain. Dari studi ini kemudian dibuat formulasi kebijakan yakni maksimisasi output dan minimisasi penggunaan energi dan infrastruktur yang secara tidak langsung dapat mengurangi beban dana investasi.