• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terdapat dua sektor ekonomi yang menjadi tumpuan perekonomian wilayah Kalimantan Timur selama ini yakni sektor pertambangan dan industri. Kontribusi sektor pertambangan miga s da n non migas da lam struktur Prod uk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Kalimantan Timur selama periode 2006-2009 adalah sebesar 39.37% per tahun. Adapun sektor industri rata-rata sebesar 32.16% per tahun untuk periode yang sama. Kedua sektor tersebut mendominasi PDRB Provinsi Kalimantan Timur rata-rata sebesar 71.53% per tahun. Sisanya 28.47% tersebar ke sektor-sektor ekonomi lainnya, dimana yang cukup besar andilnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 8.07% per tahun, serta sektor pertanian sebesar 6.72% per tahun (BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2010).

Memperhatikan struktur perekonomian di atas, dapat dikatakan bahwa secara sektoral perekonomian Provinsi Kalimantan Timur sedang mengalami ketimpangan yang cukup tinggi, karena hanya dua sektor yang mendominasi pembentukan PDRB selama ini yakni sektor pertambangan dan industri. Ketimpangan sektoral tersebut semakin tampak lebih lebar jika diamati dalam perkembangan ekspor Provinsi Kalimantan Timur. Selama periode 2006-2009 misalkan, ekspor Provinsi Kalimantan Timur lebih banyak bertumpu pada sektor pertambangan migas, dengan rata-rata kontribusinya sekitar 65.06% per tahun, sisanya 39.94% per tahun merupakan ekspor hasil non migas yang tersebar pada komoditas pertanian, kehutanan, perikanan dan industri (BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2010).

Selain menimbulkan ketimpangan sektoral, sektor pertambangan yang dominan juga mengakibatkan ketimpangan antar wilayah. Daerah-daerah yang sangat kaya dengan sumberdaya tambang seperti Bontang, K utai Kartanegara, dan Balikpapan memiliki pendapatan wilayah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain. Dalam kompos isi PDRB Provinsi Kalimantan Timur, ketiga daerah tersebut menguasai pangsa PDRB wilayah sekitar 61.13% per tahun sepanjang periode 2006-2009 (BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2010).

Harapan agar pengembangan pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi Balikpapan, Kutai Kartanegara dan Bontang dapat memberi trickle down effect

terhadap kemajuan kabupaten lainnya di Provinsi Kalimantan Timur tidak sepenuhnya terjadi. Efek pembangunan dari pusat-pusat pertumbuhan eko nomi lebih banyak dirasakan hanya pada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan ketiga daerah tersebut, yang berada di wilayah Selatan Provinsi Kalimantan

Timur. Sedangkan untuk daerah-daerah yang semakin jauh terletak di wilayah Utara, semuanya tidak banyak mendapat efek tersebut. Sebagai indikatornya dapat diperhatikan perkembangan pendapatan per kapita Provinsi Kalimantan Timur periode 2006-2009.

Tabe l 1. Perkembangan Pendapatan Per Kapita Provinsi Kalimantan Timur Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Kabupaten/ Kota Tahun 2006-2009

(juta rupiah/tahun)

Wilayah Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 2009 Rata-rata

Selatan Paser 20.71 23.15 24.55 26.21 23.65 Kutai Barat 16.19 17.01 17.94 18.95 17.52 Kutai Kartanegara 53.67 50.51 51.88 52.09 52.04 Kutai Timur 75.52 79.44 76.71 78.92 77.65 Penaja m PU 13.25 13.61 14.14 14.49 13.87 Ba likpapan 27.09 27.11 29.88 30.05 28.53 Sa marinda 16.60 16.93 17.56 18.16 17.31 Bontang 201.33 187.53 182.94 171.98 185.94 Utara Berau 17.74 18.02 18.20 18.55 18.13 Tarakan 12.32 12.51 12.71 12.78 12.58 Malinau 9.13 9.19 9.41 9.73 9.36 Bulungan 9.09 9.27 9.93 10.09 9.59 Nunukan 10.16 9.94 9.77 9.55 9.86

Provinsi Ka limantan Timu r 32.69 32.53 33.32 33.33 32.97

Sumber : BPS Provinsi Provinsi Kalimantan Timur (2010)

Pada Tabel 1 terlihat bahwa selama periode 2006-2009 tingkat pendapatan per kapita untuk daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur, seperti Bontang, Balikpapan, Kutai Timur dan Kutai Kartanegara selalu lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Pendapatan per kapita Kabupaten Bontang sepanjang periode tersebut rata-rata sekitar Rp. 185.94 juta per tahun, sedangkan Kutai Timur sebesar Rp. 77.65 juta per tahun, Kutai Kartanegara sebesar Rp. 52.04 juta per tahun, dan Balikpapan sebesar Rp. 28.53 juta per tahun.

Daerah-daerah yang berdekatan dan letaknya sama dengan wilayah-wilayah tersebut, yakni di Selatan seperti Kabupaten Paser dan Kutai Barat mempunyai pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah yang terletak di sebelah Utara da n jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Timur seperti Nunukan, Malinau dan Bulungan. Ketiga daerah ini mempunyai pendapatan per kapita rata-rata di bawah Rp. 10 juta per tahun, kalah jauh dibandingkan dengan Kabupaten Paser yang mempunyai pendapatan per kapita sebesar Rp. 23.65 juta per tahun atau dengan Kutai Barat sebesar Rp. 17.52 juta per tahun.

Perbedaan di atas akan semakin jelas jika perkembangan pendapatan per kapita di Kalimantan Timur langsung dibagi atas dua wilayah, yakni wilayah Selatan yang terdiri atas Kabupaten Bontang, Balikpapan, Samarinda, Kutai Kartanegera, Kutai Timur, Kutai Barat, Penajem Paser Utara dan Pasir, serta wilayah Utara yang terbagi atas Kabupaten Tarakan, Bulungan, Nunukan, Berau dan Malinau.

Tabel 2. Perkembangan Pendapatan Per Kapita Provinsi Kalimantan Timur Wilayah Selatan dan Utara Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 Tahun 2006-2009

(juta rupiah/tahun)

Tahun Selatan Utara Kesenjangan

2006 53.04 11.69 41.36

2007 51.91 11.79 40.12

2008 51.95 12.00 39.95

2009 51.36 12.14 39.22

Rata-rata 52.07 11.90 40.16

Sumber : BPS Provinsi Ka limantan Timu r, 2010

: Kalimantan Timur W ilayah Uta ra : Kalimantan Timur W ilayah Se latan

Gambar 1. Perkembangan Pendapatan Per Kapita Provinsi Kalimantan Timur Wilayah Selatan dan Utara Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 Periode 2006-2009

Pada Tabel 2 dan Gambar 1 tingkat kesenjangan pendapatan antara wilayah Selatan dengan Utara sangat tinggi sekali rata-rata mencapai 40.16 juta rupiah per tahun, dengan kata lainnya pendapatan per kapita di wilayah Selatan sekitar 40.16 juta rupiah lebih tinggi dibandingkan pendapatan per kapita di wilayah Utara. Meskipun terlihat kecil perubahannya dari tahun ke tahun, namun ada kecenderungan bahwa tingkat kesenjangan pendapatan per kapita antara kedua wilayah tersebut menurun setiap tahunnya, dimana pada tahun 2006 tingkat kesenjangannya adalah 41.36 juta rupiah, kemudian pada tahun 2009 terakhir sebesar 39.22 juta rupiah. Ini berarti ada penurunan tingkat kesenjangan antara wilayah Selatan dengan Utara sekitar 1.72% per tahun

ju ta r u p ia h /ta h u n 53.04 51.91 51.95 51.36 11.69 11.79 12.00 12.14 0 10 20 30 40 50 60 2006 2007 2008 2009 Selatan Utara

Pendalaman mengenai ketimpangan antar wilayah ini akan semakin jelas jika diperhatikan pada kesenjangan kesejahteraan penduduk antar wilayah yang diukur dengan tingkat kemiskinan. Pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur seperti Samarinda, Balikpapan dan Bontang, persentase penduduk miskinnya paling rendah dibandingkan semua wilayah.

Tabel 3. Persentase dan Garis Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Timur Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009

Wilayah Kabupaten/Kota Garis Ke miskinan (Rp) Penduduk Miskin (ribu orang) Persentase Penduduk Miskin (%) Selatan Paser 223 208 18.37 10.11 Kutai Barat 245 687 14.30 8.97 Kutai Kartanegara 248 209 42.48 8.03 Kutai Timur 273 021 22.89 11.88 Penaja m PU 234 325 14.30 11.38 Ba likpapan 281 245 18.44 3.58 Sa marinda 306 730 28.97 4.84 Bontang 285 402 9.03 6.66 Utara Berau 279 428 10.13 5.90 Tarakan 300 459 18.41 9.65 Malinau 289 548 10.35 16.55 Bulungan 229 979 16.50 15.96 Nunukan 211 809 18.85 13.47

Provinsi Kalimantan Timur 261,185 239 220 7.73

Sumber : BPS Provinsi Provinsi Kalimantan Timur (2010)

Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2010

Gambar 2. Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Kalimantan Timur Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009 10,11 8,97 8,03 11,88 11,38 3,58 4,84 6,66 5,9 9,65 16,55 15,96 13,47 7,73 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 P as er K u tai B ar at K u tai K ar tan eg ar a K u ta i T im u r P en aj aa m P as ir Ut a m a B al ik p a p an S am ar in d a B ont a ng B er au T ar ak an M a lin a u B ul ung a n N unuka n K a lim a n T im u r

Sebagaimana yang dipaparkan dalam Tabel 3 dan Gambar 2, persentase penduduk miskin di Balikpapan hanya sebesar 3.58%, kemudian di Samarinda sebesar 4.84% dan Bontang sebesar 6.66%. Ini berarti jumlah penduduk yang tergolong tidak miskin pada ketiga wilayah tersebut rata-rata di atas 94% lebih. Kabupaten lain yang berdekatan dengan ketiga pusat pertumbuhan ekonomi tersebut yakni wilayah Selatan, umumnya mempunyai tingkat kemiskinan yang jauh lebih rendah dibandingkan sebagian daerah yang terletak di sebelah Utara, sebagai contoh antara Kabupa ten Kutai Timur dengan Malinau. Untuk wilayah Selatan, tingkat persentase penduduk miskin di Kutai Timur tergolong paling tinggi yakni sebesar 11.88%. Meskipun demikian, tingkat kemiskinan ini masih jauh lebih rendah dibandingkan Kabupaten Nunukan yang berada di sebelah Utara yang mempunyai pe rsentase pe nduduk miskin sebesar 13.47%. Pada hal untuk wilayah Utara, kabupaten ini merupakan daerah yang mempunyai pe nduduk miskin keempat paling rendah. Secara rata-rata dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk miskin di wilayah Selatan Kalimantan Timur hanya berkisar 8,81%, sedangkan pada wilayah Utara sebesar 11.54%.

Adanya fenomena kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan pe nduduk antarwilayah di atas membuktikan bahwa spill over effect pembangunan pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang terletak di wilayah Selatan yang diharapkan menetes ke daerah-daerah lain pada wilayah Utara sepertinya tidak terlaksana optimal, karena ketimpangan antarwilayah semakin meningkat setiap tahunnya. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa kesenjangan tersebut masih mewarnai pembangunan ekonomi Kalimantan Timur selama ini. Salah satunya adalah perbedaan ketersediaan infrastruktur antara wilayah Selatan dengan Utara,

sebagai contoh dalam pembangunan infrastruktur jalan. Untuk mengurangi beban masalah transportasi, Provinsi Kalimantan Timur telah lama mengupayakan pengembangan infrastruktur jalan sebagai salah satu alternatif utama untuk memperlancar arus transpor tasi. Akan tetapi, ternyata belum dapat berjalan baik sampai kini, dalam kurun waktu 2006-2009 misalnya, pengalokasian dana untuk pembangunan infrastruktur jalan Provinsi Kalimantan Timur yang bersumber dari dana APBD dan APBN hanya dapat mengerjakan jalan sepanjang 11.414.89 km, yakni dari total panjang jalan tersebut diperkirakan 70% yang berada dalam keadaan baik, sedangkan 30% dalam keadaan rusak.

Tabel 4. Infrastruktur Jalan di Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2009 Wilayah Kabupaten/Kota Luas Wilayah (km2 Panjang Jalan

(km) ) Rasio Aksesbilitas (km/ km2) Selatan Paser 10 936.38 1 082.98 0.0990 Kutai Barat 30 943.79 802.42 0.0259 Kutai Kartanegara 26 326.00 2 156.61 0.0819 Kutai Timur 31 884.59 1 616.23 0.0507 Penaja m PU 3 209.66 752.63 0.2345 Ba likpapan 560.70 508.82 0.9075 Sa marinda 718.23 725.52 1.0101 Bontang 251.81 177.44 0.7047 Utara Berau 22 521.71 1 337.81 0.0594 Tarakan 251.81 177.44 0.7047 Malinau 39 799.88 528.76 0.0133 Bulungan 17 249.61 980.59 0.0568 Nunukan 13 875.42 522.67 0.0377

Provinsi Ka limantan Timu r 198 441.17 11 414.89 0.0575

Sumber : BPS Provinsi Provinsi Kalimantan Timur (2010)

Kondisi di atas semakin diperburuk dengan adanya ketimpangan pembangunan jalan antarwilayah. Ketimpangan dalam Rasio aksesbilitas jalan menunjukkan kondisi tersebut, perhatikan Tabel 4. Jika diperhatikan dengan seksama, pada Tabel 4 rata-rata rasio aksesbilitas di wilayah Selatan untuk tahun 2009 adalah sebesar 0.3893 dan wilayah Utara sebesar 0.1744. Hal ini berarti untuk 1 km2 luas wilayah di Selatan terdapat jalan sepanjang 0.3893 km,

sedangkan untuk wilayah Utara hanya sepanjang 0.1744 km. Jelas dengan ketersediaan infrastruktur jalan yang timpang seperti ini membuat pelaksanaan pembangunan daerah di Provinsi Kalimantan Timur menjadi tidak merata.

Keterbatasan infrastruktur jalan tersebut mengakibatkan rentang kendali pemerintah daerah yang berpusat di wilayah Selatan menjadi panjang dan sulit menjangka u daerah-daerah di sebelah Utara. Dampaknya percepatan pembangunan di wilayah Utara sulit dilakukan. Melihat fakta ini, dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur transportasi yang dijalankan oleh pemerintah daerah belum dapat berjalan sesuai fungsinya secara utuh. Meski fungsi mediasi transpor tasi sebagai penghubung antara wilayah Selatan dan Utara sudah terlaksana, namun akibat konsentrasi pembangunan infrastruktur berada di sekitar wilayah Selatan, maka ketimpangan pembangunan diantara dua wilayah tersebut tidak dapat dihindari.

Tanpa pembangunan infrastruktur yang mencukupi, kegiatan investasi pembangunan seperti kegiatan produksi, jelas tidak akan meningkat secara signifikan. Sebagai misal untuk periode 2006-2009, meskipun pertumbuhan sektor infrastruktur tumbuh pesat mencapai 8.70% per tahun (BPS Provinsi Kalimantan Timur, 2010), namun kenyataannya tidak mampu mendorong sektor-sektor produksi lain seperti sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, da n industri yang tumbuh rata-rata-rata di bawah 3% per tahun, akibatnya laju pertumbuhan ekonomi wilayah juga berjalan lambat. Di samping itu kelihatan pembangunan infrastruktur yang dilakukan selama ini belum dapat mengurangi ketimpangan sektoral yang terjadi.

Membangun infrastruktur fisik, misalkan jalan dan jembatan, membutuhkan beberapa tahapan yang dimulai dari masa persiapan, kontruksi hingga pemeliharaan. Setiap tahapan pembangunan yang dikerjakan akan menyerap lapangan kerja. Hal ini karena pembangunan infrastruktur umumnya merupakan padat karya, yang banyak menyerap lapangan kerja bagi tenaga profesional, operator, produksi, buruh kasar, hingga administrasi. Oleh sebab itu dengan semakin besar stimulus fiskal pada pembangunan infrastruktur, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi pertambahan pendapatan tenaga kerja, yang pada akhirnya akan memberi pengaruh juga terhadap pertambahan pendapatan rumahtangga sebagai pemilik faktor tenaga kerja.

Tabel 5. Struktur Tenaga Kerja Sektoral di Provinsi Kalimantan Timur Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2007 (%) Kabupaten/Kota Pertanian Pertamb & Penggl Industri Listrik, Gas dan Air Minum Konstruksi Transp, Komks & Pergudg

Jasa Lain Total

Wilayah Selatan: Pasir 55.63 5.90 2.00 0.40 5.44 3.73 26.89 100.00 Kubar 70.48 5.57 2.87 0.21 1.33 0.88 18.65 100.00 Kutai 41.35 9.85 5.64 0.21 7.43 5.27 30.25 100.00 Kutim 59.67 9.90 2.75 0.33 5.25 3.94 18.16 100.00 Penajam PU 53.05 1.55 9.52 0.25 4.90 6.76 23.98 100.00 Balikpapan 5.72 6.29 9.52 0.46 10.88 11.38 55.75 100.00 Samarinda 7.60 3.79 12.43 0.57 4.03 9.95 61.63 100.00 Bontang 11.24 6.72 16.41 0.49 11.57 7.01 46.56 100.00 Wilayah Utara: Tarakan 19.52 1.26 15.88 0.64 7.44 9.68 45.59 100.00 Berau 44.35 6.66 4.30 1.21 6.41 4.78 32.30 100.00 Malinau 68.53 1.11 0.66 0.27 2.58 2.37 24.48 100.00 Bulungan 57.25 2.48 4.72 0.13 3.38 4.01 28.03 100.00 Nunukan 59.08 0.48 1.36 0.41 7.14 4.54 27.00 100.00 Kaltim 33.87 5.70 7.60 0.43 6.34 6.80 39.26 100.00 Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Timur (2007)

Fakta menunjukkan bahwa peranan sektor-sektor infrastruktur dalam menyerap tenaga kerja di Kalimantan Timur ternyata sangat renda h. Keadaan di tahun 2007 memberi gambaran tersebut sebagaimana yang disajikan dalam

Tabel 5. Secara keseluruhan sektor-sektor infrastruktur (konstruksi, listrik, gas dan air minum serta sektor transpor tasi) rata-rata hanya mampu menyerap lapangan kerja sekitar 4.52%, jauh sekali dibandingkan sektor-sektor yang lain. Begitu juga jika diperhatikan antar wilayah, ko ntribusi sektor-sektor infrastruktur dalam menyerap lapangan kerja di setiap kota/kabupaten Kalimantan Timur sangat rendah, terkecuali di Kota Balikpapan saja yang cukup besar kontribusinya.

Pembangunan infrastruktur fisik di Kalimantan Timur memang terus meningkat, akan tetapi penyediaan yang ada belum mampu menjawab kekurangan permintaan. Hal ini berarti terjadi excess demand antara penyediaan dan permintaan, yang sekaligus juga menandakan terjadinya kekurangan dana penyediaan infrastruktur oleh pemerintah daerah. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan memburuknya kualitas pelayanan infrastruktur dan tertundanya pembangunan infrastruktur baru, yang akhirnya mengurangi peranan infrastruktur dalam mendorong perekonomian wilayah, menyerap lapangan kerja, mengatasi ketimpangan antarwilayah, dan mempersulit upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Akiba t keterbatasan infrastruktur dalam menjangkau daerah-daerah sebelah Utara, rentang kendali dari pusat-pusat pertumbuhan eko nomi terutama Samarinda, ke daerah Tarakan, Berau, Nunukan, Bulungan dan Malinau menjadi sulit dilakukan. Akhirnya, untuk mendekatkan pihak pengambil kebijakan (yang bertempat di ibu kota pemerintahan daerah) dengan masyarakat, daerah-daerah di sebelah Utara ini memandang perlu untuk memekarkan diri dari provinsi induk Kalimantan Timur menjadi Provinsi Kalimantan Utara. Upaya pemekaran wilayah yang dilakuka n tersebut dipa nda ng seba gai langka h untuk mempe rcepat

pembangunan daerah melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat, serta meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan pembangunan.

Menurut Hermanislamet (2005) dalam Effendy (2007) terdapat beberapa alasan mengapa pemekaran wilayah sekarang menjadi salah satu pendekatan yang cukup diminati dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan peningkatan pelayanan publik, yaitu (1) keinginan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dalam wilayah kewenangan yang terbatas atau terukur, (2) memberi pelayanan publik sesuai kebutuhan lokal yang lebih tersedia, (3) mempercepat pertumbuhan ekonomi setempat melalui perbaikan kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan potensi lokal, dan (4) penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di semua sektor.

Salah satu studi yang mengungkap dampak positif dari pemekaran adalah penelitian yang dilakukan oleh LAN (2004) di Kabupaten Tasikmalaya yang telah membuktikan bahwa sebelum pemekaran wilayah terjadi kesenjangan antara wilayah yang ada di pe rkot aan de ngan wilayah yang ada di perdesaan. Kesenjangan tersebut terjadi pada berbagai dimensi kehidupan dan sektor perekonomian, antara lain kesenjangan pendapatan, pendidikan, kesehatan, dan kesenjangan sarana dan prasarana umum. Setelah pemekaran dilakukan, pemerataan pendapatan di Kabupaten Tasikmalaya semakin meningkat. Pemekaran wilayah juga telah berdampak terhadap peningkatan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB. Selain itu kebijakan pemekaran wilayah telah berdampak positif terhadap daerah yang wilayahnya sebagian besar perdesaan dalam pembangunan sarana dan prasarana dasar seperti listrik dan jalan. Hal ini

disebabkan program-program pemerintah dalam pembangunan sarana dan prasarana dasar baik sebelum maupun sesudah pemekaran wilayah diorientasikan kepada wilayah perdesaan.

Namun studi yang dilakukan oleh Bappenas dan UNDP (2008) yang menyajikan evaluasi terhadap pemekaran kabupaten yang telah berlangsung di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2005 menunjukan kondisi yang berbeda. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa daerah-daerah pemekaran yang menjadi cakupan wilayah studi, secara umum memang tidak be rada dalam kondisi awal yang lebih ba ik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Setelah lima tahun dimekarkan, ternyata kondisi daerah pemekaran juga secara umum masih tetap berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol. Pertumbuhan ekonomi daerah pe mekaran lebih flukt uatif diba ndingka n de ngan daerah induk yang relatif stabil dan terus meningkat. Salah satu permasalahan utama yang menjadi penyebab ketertinggalan daerah pemekaran dari daerah induk maupun daerah lainnya adalah keterbatasan infrastruktur sosial dan ekonomi yang tersedia. Berdasarkan kompleksitas permasalahan infrastruktur dalam pembangunan daerah selama ini, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang diangkat da lam studi seba gai be rikut :

1. Berapa besar pembangunan sektor infrastruktur dapat meningkatkan nilai tambah perekonomian, pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja di Provinsi Kalimantan Timur?

2. Berapa besar pembangunan sektor infrastruktur menciptakan keterkaitan ekonomi (spill over effect) antara wilayah Selatan da n Utara di Provinsi Kalimantan Timur?

3. Berapa besar dampak kebijakan pembangunan sektor infrastruktur mempengaruhi perekonomian dan ketimpangan antara wilayah Selatan dan Utara di Provinsi Kalimantan Timur?