• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEOR

B. Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual

1. Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual

Keterlaksanaan berasal dari kata laksana, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:627) berarti sifat, laku, atau perbuatan. Imbuhan keter-an menyatakan sesuatu hal atau peristiwa yang telah terjadi. Dengan demikian, keterlaksanaan berarti sesuatu hal atau peristiwa yang sudah terjadi, sedangkan menurut Komalasari (2011:7) pembelajaran kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata peserta didik sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi

kehidupannya. Sementara itu menurut Johnson (2002:67), pembelajaran dan pengajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para peserta didik melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks dalam keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka.

Menurut Kunandar (2007:296), pembelajaran kontekstual

(Contextual Teaching and Learning atau CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru menghubungkan antara materi pelajaran yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Menurut Rusman (2013:187) Pendekatan kontekstual adalah usaha untuk membuat peserta didik aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat, sebab peserta didik berusaha mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkannya dengan dunia nyata.

Berdasarkan dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang telah dilaksanakan oleh suatu sekolah dengan cara mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

2. Konsep Pembelajaran Kontekstual

Menurut Muslich (2007:41-42), untuk memahami secara lebih

mendalam konsep pembelajaran kontekstual, COR (Center for

Occupational Reseach) di Amerika menjabarkannya menjadi lima konsep bawahan yang disingkat REACT, yaitu relating, experiencing, applying, coorperating, dan transfering. Masing-masing konsep tersebut antara lain:

a. Relating

Bentuk belajar dalam konteks kehidupan nyata atau

pengalaman nyata. Pembelajaran harus digunakan untuk

menghubungkan situasi sehari-hari dengan informasi baru untuk dipahami atau dengan masalah untuk dipecahkan.

b. Experiencing

Belajar dalam konteks ini adalah belajar mengekplorasi, penemuan, dan penciptaan. Ini bearti bahwa pengetahuan yang diperoleh siswa melalui pembelajaran yang mengedepankan proses berpikir kritis lewat siklus inqury.

c. Applying

Belajar dalam bentuk ini menerapkan hasil belajar dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Dalam praktiknya, siswa menerapkan konsep dan informasi ke dalam kebutuhan kehidupan mendatang yang dibayangkan.

d. Cooperating

Belajar dalam bentuk ini adalah dengan cara berbagi informasi dan pengalaman, saling merespon, dan saling berkomunikasi. Bentuk belajar ini tidak hanya membantu siwa belajar tentang materi, tetapi juga konsisten dengan penekanan belajar kontekstual dalam kehidupan nyata. Dalam kehiduan yang nyata siswa akan menjadi warga yang hidup berdampingan dan berkomunikasi dengan warga lain.

e. Transfering

Kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru.

3. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual

Menurut Johnson (Kunandar, 2007:296-297), pembelajaran

kontekstual memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful

connections). Artinya peserta didik dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan mintanya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat bekerja sambil berbuat (learning by doing)

b. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work). Artinya, siswa membuat hubungan-hubungan anatara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.

c. Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning)

d. Bekerja sama (collaborating). Artinya, siswa dapat bekerja sama, guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.

e. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Artinya, siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif, dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika serta bukti- bukti.

f. Mengasuh atau memelihara pribadi peserta didik (nurturing the individual). Artinya, peserta didik memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tingi, memotivasi, dan memperkuat diri sendiri. Peserta didik tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa.

g. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Artinya, peserta didik mengenal dan mencapai standar yang tingi mengidentifikasi tujuan dan memotivasi peserta didik untuk mencapainya.

h. Menggunakan penilaian authentic (using authentic assesment).

Menurut Komalasari (2010:13), pembelajaran kontekstual memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Keterkaitan (relating), artinya proses pembelajaran yang memiliki keterkaitan (relevansi) dengan bekal pengetahuan (prerequisite knowledge) yang telah ada pada diri peserta didik dan dengan konteks pengalaman dalam kehidupan dunia nyata peserta didik.

b. Pengalaman langsung (experiencing), artinya proses pembelajaran yang memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengonstruksi pengetahuan dengan cara menemukan dan mengalami sendiri secara langsung.

c. Aplikasi (applying), artinya proses pembelajaran yang menekankan pada penerapan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang dipelajari dalam situasi dan konteks lain yang berbeda sehingga bermanfaat bagi kehidupan peserta didik.

d. Kerja sama (cooperating), artinya pembelajaran yang mendorong kerja sama di antara peserta didik, antara peserta didik dengan guru dan sumber belajar.

e. Pengaturan diri (self-regulating), artinya pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk mengatur diri dan pembelajarannya secara mandiri.

f. Asesmen autentik (authentic assessment), artinya pembelajaran yang mengukur, memonitor, dan menilai semua sapek hasil belajar (yang tercakup dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotor), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran maupun berupa perubahan dan perkembanagan aktivitas, dan perolehan belajar selama proses pembelajaran di dalam kelas ataupun di luar kelas.

4. Perbedaan Pembelajaran Kontektual dengan Pembelajaran Tradhisional menurut Ditjen Dikdasmen dalam (Komalasari: 2010, 18-19).

Tabel 2.1

Perbedaan Pembelajaran CTL dengan Pembelajaran Tradhisional

Pendekatan CTL Pendekatan Tradhisional

Peserta didik secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran

Peserta didik adalah penerima informasi secara pasif

Peserta didik belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, dan saling mengoreksi

Peserta didik belajar secara individual

Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang distimulasikan

Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis

Perilaku dibangun atas kesadaran diri

Perliaku dibangunatas kebiasaan

Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan

Hadiah untuk perilaku baik

adalah pujian atau nilai Keterampilan dibangu atas dasar

pemahaman

Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan

Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan

Seseorang tidak melakukan yang jelek karena takut hukuman

Bahasa yang diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni peserta didik diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata

Bahasa diajarkan dengan

pendekatan structural, rumus

diterangkan sampai paham

kemudian dilatihkan kepada

peserta didik Pemahaman rumus dikembangkan

atas dasar schemata yang sudah ada dalam diri peserta didik

Rumus itu ada di luar diri peserta

didik, jadi rumus harus

diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan

Pendekatan CTL Pendekatan Tradhisional

berbeda anatar peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lainnya sesuai dengan schemata peserta didik

karena hanya ada dua pemahaman rumus yaitu rumus yang salah atau benar.

Peserta didik diminta bertanggung

jawab memonitor dan

mengembangkan pembelajaran

mereka masing-masing

Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran

Penghargaan terhadap

pengalaman peserta didik sangat diutamakan

Pembelajaran tidak

memperhatikan pengalaman

peserta didik

Hasil belajar diukur dengan

berbagai cara proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes, dll.

Hasil belajar diukur hanya dengan tes

Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting

Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas

Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek

Sanksi adalah hukuman dari perilaku jelek

Perilaku baik berdasar motivasi instrinsik

Perilaku baik berasal dari

motivasi ekstrinsik Seorang berperilaku baik karena

yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat

Seseorang berperilaku baik

karena dia terbiasa melakukan

begitu. Kebiasaan yang ada

dibangun dengan hadiah yang menyenangkan

5. Ciri-ciri Pembelajaran Kontekstual

Menurut Kunandar (2007:298-299), terdapat beberapa ciri-ciri pembelajaran kontekstual, yaitu:

a. adanya kerja sama antar semua pihak;

b. menekankan pentingnya pemecahan masalah atau problem;

c. bermuara pada keragaman konteks kehidupan peserta didik yang berbeda-beda;

d. saling menunjang;

e. menyenangkan, tidak membosankan;

f. belajar dengan bergairah; g. pembelajaran terintegrasi;

h. menggunakan berbagai sumber;

i. peserta didik aktif; j. sharing dengan teman;

k. peserta didik kritis, guru kreatif;

l. dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya peserta didik, pet-peta, gambar, artikel, humor, dan sebagainya;

m. laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya peserta didik, laporan hasil pratikum, karangan peserta didik, dan sebagainya.

6. Fokus Pembelajaran Kontekstual

Menurut Kunandar (2007:300-301), pembelajaran kontekstual menempatkan peserta didik di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal peserta didik dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memerhatikan daktor kebutuhan individual peserta didik dan peranan guru. Berkaitan dengan itu, maka pendekatan pembelajaran kontekstual harus menekankan hal-hal sebagai berikut. a. Belajar berbasis masalah (problem based learning), yaitu suatu

pendekatan pengajaran yang menggunakan maslah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tetang berpikir kritis dan

keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh

pengetahuan dan konsep yang esensi dari mata pelajaran.

b. Pengajaran Autentik (Authentic Instruction), yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan peserta didik untuk mempelajari konteks bermakna, sesuai dengan kehidupan nyata.

c. Belajar berbasis inkuiri (Inquiry Based Learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.

d. Belajar berbasis proyek atau tugas (Project Based Learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif di mana lingkungan belajar peserta didik (kelas) didesain agar peserta didik

dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya.

e. Belajar berbasis kerja (Work Based Learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinan peserta didik yang menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi

pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut

dipergunakan kembali di tempat kerja.

f. Belajar berbasis jasa layanan (Service Learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksi jasa layanan tersebut , jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis.

g. Belajar kooperatif (Cooperatif Learning) yang memerlukan

pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil peserta didik untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar (Nurhadi,dkk,2003).

7. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kontekstual

Menurut Johnson (2010:68-85), terdapat tiga prinsip ilmiah dalam CTL, yaitu:

a. Prinsip Kesaling-bergantungan, prinsip ini menuntun pada penciptaan hubungan, bukan isolasi. Para pendidik yang bertindak menurut prinsip ini akan mengadopsi praktik CTL dalam menolong para peserta didik membuat hubungan-hubungan menemukan makna.

b. Prinsip Diferensiasi, prinsip ini dapat menjadi nyata ketika CTL menantang para peserta didik untuk saling menghormati keunikan masing-masing, untuk menghormati perbedaan-perbedaan, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja sama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda, dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan.

c. Prinsip Pengaturan atau Pengorganisasian diri. Pengorganisasian diri terlihat ketika para peserta didik mencari dan menemukan kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda, mendapat umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam tuntunan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi, dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada peserta didik yang membuat hati mereka bernyanyi.

Menurut Kunandar (2007:303-305), beberapa prinsip pembelajaran kontekstual adalah:

a. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental peserta didik.

b. Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (Independent Learning Groups).

c. Menyediakan lingkungan yang mendorong pembelajaran mandiri (self regulated learning).

d. Mempertimbangkan keragaman peserta didik (diversity of students). e. Memerhatikan multi intelegensia (multiple intelligences) peserta didik.

f. Menggunakan teknik-teknik bertanya (Questioning) untuk

meningkatkan pembelajaran peserta didik, perkembangan pemecahan masalah, dan keterampilan berpikir tingkat tingi.

g. Menerapkan penilaian authentic (Authentic Assessment).

8. Langkah-langkah pembelajaran kontekstual

Menurut Rusman (2013:192), sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL tentu saja lebih dahulu guru harus membuat desain/skenariopembelajaran sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat control dalam pelaksanaannya. Pada intinya pengembangan setiap komponen CTL tersebut dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mengembangkan pemikiran peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna.

b. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topic yang diajarkan.

c. Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan.

d. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, Tanya jawab, dan lain sebagainya.

e. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya.

f. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

g. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap peserta didik.

9. Komponen Utama Pembelajaran Kontekstual

Sementara menurut Kunandar (2007:305-317), memiliki tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual adalah:

a. Konstruktivisme adalah pembelajaran harus dikemas menjadi proses

“mengkontruksi” bukan “menerima”pengetahuan. Dalam proses

pembelajaran peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar.

b. Menemukan (inquiry), merupakan bagian inti dari kegiatan

pembelajaran berbasis kontekstual yang berpendapat bahwa

pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.

c. Bertanya (Questioning) merupakan strategi utama pembelajaran berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir peserta didik.

d. Masyarakat Belajar (Learning Community) adalah membiasakan peserta didik untuk melakukan kerja sama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya.

e. Pemodelan (Modelling) artinya dalam sebuah pembelajaran

keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Permodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para peserta didiknya untuk belajar, dan melakukan apa yang diinginkan guru agar peserta didik-peserta didiknya melakukan kegiatan pembelajaran. f. Refleksi (Reflection) adalah cara berpikir ke belakang tentang apa-apa

yang sudah dilakukan di masa lalu. Peserta didik juga mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.

g. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assesment) adalah proses

pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar peserta didik.

Menurut Johnson (2009:65-66), dalam sistem Contextual Teaching and Learning (CTL) memiliki 8 komponen:

a. Membuat kerterkaitan-keterkaitan yang bermakna b. Melakukan pekerjaan yang berarti

c. Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri d. Bekerja sama

e. Berpikir kritis dan kreatif

f. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang

g. Mencapai standar yang tinggi h. Menggunakan penilaian autentik

Dokumen terkait