• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR

DAFTAR LAMPIRAN

III. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kriteria Pendaftaran a Industri Pengolahan

3.2 KHAMR DALAM ISLAM

3.2.1 Definisi dan Pendapat Seputar Khamr

Kata khamr secara jelas tersebut di dalam Al-Qur‘an dan merupakan minuman yang diharamkan dalam Islam. Namun, masyarakat perlu mengetahui apa definisi dari khamr itu sendiri. Hal ini dikarenakan teknologi pengolahan minuman saat ini sudah semakin maju dan berkembang, baik dari segi bahan baku, pengolahan, dan pengemasan, sehingga dapat mengaburkan pandangan dan definisi mengenai khamr. Oleh karena itu, pendapat dari beberapa ulama mengenai khamr akan disajikan guna memberikan wawasan seluas-luasnya mengenai berbagai definisi khamr.

Menurut Basith (2006), khamr diambil dari kata khamara dalam bahasa Arab, yang berarti

‗menutupi‘. Menurut pengertian urfi pada masa itu, khamr adalah apa yang bisa menutupi akal yang

terbuat dari perasan anggur. Sedangkan dalam pengertian syara', khamr tidak terbatas pada perasan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan. Pengertian ini diambil berdasarkan beberapa hadits Nabi SAW, diantaranya adalah hadits dari Nu'man bin Basyir bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya dari biji gandum itu terbuat khamr, dari jewawut itu terbuat khamr, dari

kismis terbuat khamr, dari kurma terbuat khamr, dan dari madu terbuat khamr” (HR Jama'ah, kecuali An Nasa'i). Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW juga bersabda: ―Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram” (HR Muslim dan Daruquthni).

Ulama kontemporer menyimpulkan makna khamr adalah setiap yang memabukkan, baik dalam pengertian etimologi dan terminologi, dari jenis apa saja, baik berupa minuman maupun makanan, baik dengan cara dihirup, disuntik, maupun dengan cara lainnya. Mengenai khamr, para ulama berbeda pendapat tentang istilah khamr.

Pendapat para ulama mengenai khamr terbagi ke dalam pendapat yang ketat dalam hal mengacu konteks Al Quran, pendapat yang moderat, dan pendapat yang longgar. Pendapat yang ketat dalam hal mengacu konteks Al Quran menyebutkan bahwa khamr hanya terbatas pada perasan anggur saja. Ulama yang berpendapat untuk hal ini terdiri dari ulama Hanafiyah dan Syafi‘iyah. Pendapat yang moderat dalam hal mengacu konteks Al Quran menyebutkan bahwa khamr tidak terbatas pada anggur saja, melainkan setiap minuman yang memabukkan, baik mentah maupun matang (dimasak). Ulama yang berpendapat ketat hal ini terdiri dari ulama Malikiyah, sebagian Syafi‘iyah, dan Hanabilah. Pendapat yang longgar dalam hal mengacu konteks Al Quran mengenai khamr memberikan pendapat bahwa istilah khamr mencakup semua hal yang memabukkan, baik berasal dari perasan anggur atau bahan-bahan lainnya, baik berupa zat cair atau zat padat.

Namun, terdapat pendapat yang kuat tentang khamr yaitu madzhab ulama moderat yang berpendapat bahwa khamr terbatas pada minuman yang memabukkan saja, atau zat cair saja, baik perasan anggur maupun bahan lain. Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai khamr adalah setiap minuman yang memabukkan, baik dari anggur atau yang lainnya, baik dimasak ataupun tidak (MUI, 2010).

3.2.2 Alur Pengharaman Khamr

Sebagai salah satu pangan yang diharamkan dalam Islam, khamr memiliki alur pengharaman yang terdiri atas beberapa tahapan. Alur pengharaman khamr diawali dengan turunnya surat An-Nahl ayat 67, ―Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan.” Ayat Al Quran tersebut mengisyaratakan bahwa kebiasaan bangsa Arab meminum minuman keras yang terbuat dari perasan anggur dan kurma memberikan efek negatif, yaitu memabukkan.

Kemudian Umar bin Khattab berdoa memohon penjelasan dari Allah mengenai khamr sehingga turunlah ayat 219 surat Al Baqarah, ―Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi; katakanlah: “Pada yang demikian itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya…” Ayat ini menjelaskan bahwa pada khamr (dan judi) terdapat dosa besar dan manfaat, namun dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Kemudian setelah itu turun kembali ayat 43 surat An Nisaa, ―Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” Ayat ini baru merupakan larangan mengerjakan shalat jika dalam keadaan mabuk. Akhirnya turunlah ayat 90-91 surat Al-Maaidah, ―Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Basyir, 1994)

Pengharaman khamr melalui beberapa tahapan yang diawali dengan penjelasan bahwa dalam minuman keras, yang biasa dibuat oleh bangsa Arab, memiliki dampak negatif, yaitu memabukkan. Kemudian dilanjutkan dengan turunnya ayat yang menjelaskan bahwa dalam khamr terdapat dosa yang lebih besar daripada manfaatnya. Lalu larangan untuk mengerjakan solat dalam kondisi mabuk. Kemudian alur pengharaman ditutup dengan perintah dari Allah untuk menjauhi dan berhenti dari meminum khamr. Oleh karena itu, hukum mengonsumsi khamr adalah haram dalam Islam. Mengenai hal tersebut juga ditegaskan melalui hadist dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: ―Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram” (HR Muslim dan Daruquthni).

3.2.3 Pengidentikan Khamr dengan Alkohol

Dalam memandang khamr dan alkohol, masyarakat seringkali salah dan cenderung mengidentikkan khamr dengan alkohol. Masyarakat seringkali menyebutkan bahwa khamr adalah alkohol dan begitu pula sebaliknya. Pada kenyataannya, kedua benda ini memiliki pengertiannya masing-masing. Jika ditinjau dari segi istilah, terdapat kesalahan dalam penerjemahan istilah khamr (bahasa Arab) menjadi alcohol (bahasa Inggris). Berdasarkan definisinya, kedua benda ini sangat berbeda. Khamr adalah setiap yang memabukkan, baik dalam pengertian etimologi dan terminologi, dari jenis apa saja, baik berupa minuman maupun makanan, baik dengan cara dihirup, disuntik, maupun dengan cara lainnya (Yaqub, 2009).

Mengenai pengertian khamr ini, meskipun para ulama berbeda pendapat, namun secara keseluruhan mengerucut pada dampaknya, yaitu memabukkan. Istilah khamr berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah setiap minuman yang memabukkan, baik dari anggur atau yang lainnya, baik dimasak ataupun tidak. Pengertian alkohol jika dilihat dari perspektif kimia, lebih dari sekedar etanol (Hashim, 2010). Alkohol merupakan suatu senyawa organik yang mengandung gugus hidroksil (-OH) sebagai gugus fungsionalnya (Arsyat, 2001). Alkohol merupakan cairan yang tidak berwarna, jernih, mudah menguap, mudah terbakar dengan nyala biru yang tidak berasap, rasa panas membakar. Proses untuk memperoleh alkohol terdiri dari dua cara, yaitu secara sintesis (reaksi kimia elementer) dan secara fermentasi (aktivitas mikroba). Senyawa alkohol hasil dari proses fermentasi yang terdapat pada minuman adalah etanol (Mardoni et al., 2007). Etanol merupakan senyawa penyusun minuman beralkohol. Etanol atau etil alkohol adalah jenis alkohol yang paling populer dan digunakan dalam berbagai industri, terutama industri minuman (Darwis, 1994). Komponen yang menyebabkan mabuk pada khamr yang hingga saat ini diketahui adalah salah satu komponen alkohol yang terdapat pada minuman, yaitu etanol. Berdasarkan definisi masing-masing, maka dapat disimpulkan bahwa khamr tidaklah sama dengan alkohol atau dapat dikatakan khamr tidak identik dengan alkohol. Alkohol tidak serta merta merupakan khamr meskipun senyawa yang menyebabkan kemabukan dalam khamr adalah salah satu jenis alkohol, yaitu etanol.

3.2.4 Nabidz dan Hadist Acuan

Menurut hasil Muzakarah Nasional LPPOM MUI nabidz merupakan jenis minuman keras yang diharamkan. Muskir, yang dikenal dengan istilah nabidz, adalah minuman memabukkan yang terbuat bukan dari perasan buah anggur. Atas dasar ijma’, meminum muskir (nabidz) pada kadar yang memabukkan hukumnya adalah haram (Hosen,1994).

Dalam hadist disebutkan, Ibnu Abbas mengatakan bahwa nabidz (perasan buah) dipersiapkan untuk Rasulullah pada suatu malam. Kemudian Rasulullah masih meminumnya pada pagi harinya dan malam harinya, dan pada hari berikutnya hingga malam harinya, dan pada hari berikutnya sampai sore harinya. Jika masih ada yang tersisa, maka Rasulullah memberikannya pada pelayan atau menyuruh membuangnya (HR Muslim, 4971-4974). Dalam hadist lain disebutkan, “Rasulullah Saw bersabda,

“Minumlah perasan buah selagi ia belum keras. Sahabat-sahabat bertanya, “Berapa lama ia menjadi keras?”“Dalam tiga hari”, jawab Nabi. (HR Imam Ahmad).

Hadis di atas adalah shahih. Imam Nawawi berkata bahwa hadis tersebut menunjukkan atas dibolehkannya membuat nabidz dan boleh meminumnya selagi manis, aroma dan rasanya tidak berubah, dan tidak menghilangkan akal. Minuman ini berdasarkan ijma’ ulama adalah halal. Adapun sikap Nabi yang memberikan minuman itu kepada pelayannya setelah tiga hari atau menumpahkannya, itu karena beliau tidak yakin bahwa setelah tiga hari berselang, minuman itu tidak berubah. Sementara Nabi menghindari nabidz itu setelah berselang tiga hari lamanya. Adapun mengenai Nabi yang mengonsumsi nabidz sebelum tiga hari berselang, maka ini karena minuman tersebut tidak mengalami perubahan, juga tidak tampak tanda-tanda perubahan (Yaqub, 2009).

Mengenai nabidz, dibedakan antara meminumnya sampai kadar yang memabukkan dengan kadar yang tidak sampai memabukkan. Jika sampai memabukkan maka merupakan dosa besar dan menyebabkan peminumnya dijatuhi hukum hadd serta kesaksiannya ditolak. Berdasarkan ijma‘ orang yang menghalalkannya dinyatakan kafir. Adapun jika tidak sampai kadar memabukkan, terdapat perbedaan pendapat, yaitu:

1. Menurut Imam Malik, termasuk dosa besar dan menyebabkan peminumnya dijatuhi hukuman hadd serta tertolak kesaksiannya

2. Menurut Imam Syafi‘i dan sebagian ulama mazhab Maliki, termasuk dosa kecil, tidak

menyebabkan dijatuhi hukuman hadd dan tidak pula ditolak kesaksiannya

3. Menurut Abu Hanifah, tidak berdosa bahkan dibolehkan meminumnya. Oleh karena itu, peminumnya tidak dijatuhi hukuman hadd dan tidak pula ditolak kesaksiannya. Jika seseorang tidak mabuk kecuali ketika meminum gelas yang keempat, maka yang diharamkan baginya hanyalah minuman gelas yang keempat.

4. Sebagian ulama mazhab Hanafi mensyaratan kebolehan meminum nabidz yang tidak sampai pada kadar memabukkan itu jika untuk keperluan dan menambah kekuatan beribadah, bukan sekedar untuk berfoya-foya (Hosen, 1994).

3.2.5 Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Khamr dan Alkohol

Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (2010), khamr adalah setiap minuman yang memabukkan, baik dari anggur atau yang lainnya, baik dimasak ataupun tidak. Alkohol adalah istilah yang umum untuk senyawa organik apapun yang memiliki gugus fungsional yang disebut gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon. Rumus umum senyawa alkohol tersebut adalah R- OH atau Ar-OH di mana R adalah gugus alkil dan Ar adalah gugus aril. Minuman beralkohol memiliki definisi, yaitu minuman yang mengandung etanol dan senyawa lain diantaranya metanol, asetaldehida, dan etilasetat yang dibuat secara fermentasi dengan rekayasa dari berbagai jenis bahan baku nabati yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung etanol dan/atau metanol yang ditambahkan dengan sengaja.

Meminum minuman beralkohol sebagaimana tersebut definisinya di atas hukumnya haram dan khamr, sebagaimana tersebut definisinya di atas, adalah najis. Alkohol yang berasal dari khamr adalah najis, sedangkan alkohol yang tidak berasal dari khamr adalah tidak najis. Minuman beralkohol adalah najis jika alkohol/etanolnya berasal dari khamr dan minuman beralkohol adalah tidak najis jika alkohol/etanolnya berasal dari bukan khamr. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri khamr untuk produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat-obatan, hukumnya haram. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr) untuk proses produksi produk makanan, minuman,

kosmetika, dan obat-obatan, hukumnya adalah mubah jika secara medis tidak membahayakan dan menjadi haram jika secara medis membahayakan.

3.3 FERMENTASI