• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

G. Kiprah Taman Siswa Dalam Membangun Budi Pekerti

Pada masa berdirinya Taman Siswa, keadaan pendidikan dan pangajaran pada waktu itu sangat kurang dan sangat mengecewakan. Seperti yang diketahui sesudah pemerintah kolonial melaksanakan politik etis, jumlah sekolah yang didirikan bertambah banyak. Akan tetapi walaupun demikian, jumlah sekolah dibandingkan

sekolah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan kolonial, baik kepentingan dalam bidang politik, ekonomi maupun administrasi. Jadi sama sekali tidak ada kepentingan rakyat Indonesia.

Misi dari Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan intinya adalah dengan sarana pendidikan yang ada di Taman Siswa akan mengenalkan kebudayaan sosial dan lain sebagainya kepada anak didik, bukan hanya ilmu pengetahuan saja. Semua itu tidak terlepas dari konsep yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri perguruan Taman Siswa. Bagaimanapun Ki Hadjar Dewantara berperan sebagai pionir pendidikan nasional.Hal ini disebabkan karena pada waktu Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, pendidikan yang digunakan adalah pendidikan dari Belanda yang bertentangan dengan kehendak Ki Hadjar Dewantara.Sedangkan Ki Hadjar Dewantara dengan kelompoknya merupakan pionir berdirinya pendidikan yang berbeda dengan Belanda, yaitu dengan membuka Taman Siswa, dimana arah sistem pendidikannya sangat jauh berbeda dengan sistem pendidikan Belanda.

Perbedaan yang mendasar adalah jika pendidikan Belanda mengarahkan anak didiknya agar setelah lulus menjadi stave (budak) atau antek-anteknya Belanda, yaitu menjadi pegawai pemerintah Belanda. Sedangkan Ki Hadjar Dewantara dengan membuka Taman Siswa, beliau menyebar benih untuk memberikan jiwa kemerdekaan pada rakyat Indonesia yang putra-putrinya disekolahkan di Taman Siswa. Risiko dan konsekuensi yang ditanggung cukup berat, termasuk ketika Ki Hadjar Dewantara harus berhadapan langsung dengan pemerintah Belanda dan

dikenai hukuman pengasingan akibat mendirikan sekolah yang melawan arus dengan sistem pendidikan Belanda.Dalam perkembangan selanjutnya, program pendidikan Taman Siswa dikembangkan melalui program SBII (Sifat, Bentuk, Isi, dan Irama). Artinya, konsep pendidikan di Taman Siswa selalu berkembang sesuai dengan sifat, bentuk, isi, dan irama zaman yang dialami saat itu.Jadi tidak benar kalau Taman Siswa dikatakan tidak reformis. Namun demikian, konsep dasar yang dikembangkannya masih tetap sama, yaitu menumbuhkan jiwa merdeka pada setiap diri anak didik, yaitu merdeka lahir batin, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Dengan tujuan agar anak didik menjadi orang yang beriman, bertakwa, terampil, dan akhirnya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat (Nurul Zuriah, 2007: 132).

Taman Siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai dasar perjuangannya.Taman Siswa tidak hanya menghendaki pembentukan intelektual saja, tetapi juga dan terutama pendidikan dalam arti pemeliharaan dan latihan susila. Dengan menggunakan dasar kekeluargaan dengan sistem among dapatlah terwujud dengan baik pendidikan budi pekerti terhadap anak bangsa (Soeratman, 1982: 89).

Selain berdasarkan kekeluargaan, pendidikan di Taman Siswa menggunakan Tri Pusat (Soeratman, 1982: 95-96). Pusat-pusat pendidikan ini masing-masing harus tahu kewajibannya sendiri-sendiri dan mengakui haknya pusat-pusat lainnya, yaitu:

2. Pusat perguruan: sebagai balai wiyata, yaitu untuk usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, di samping pendidikan intelek.

3. Pusat pergerakan pemuda: sebagai daerah merdekanya kaum pemuda atau “Kerajaan Pemuda” untuk melakukan penguasaan diri, yang amat penting untuk pembentukan watak.

Dalam hal ini, perguruan berdiri sebagai titik pusat dari ketiga pusat tersebut dan menjadi perantara keluarga dan anak-anaknya dengan masyarakat. Antara orang tua, murid dengan guru yang menjadi penasihatnya. Di sini guru harus melaksanakan metode among.

Eksistensi dan inti pendidikan di Taman Siswa sebenarnya adalah sebuah lembaga pendidikan yang tetap mempertahankan kebudayaan dan juga sosial untuk kemerdekaan anak bangsa. Jadi, dengan pendidikan tersebut diusahakan agar sebanyak mungkin anak bisa sekolah dan mempunyai jiwa merdeka. Oleh karena itu, pendidikan di Taman Siswa didasarkan atas prinsip atau slogan Ing Ngarsa Sung Tuladha, yang artinya seorang pendidik selalu berada di depan untuk memberi teladan. Ia adalah pemimpin yang memberi contoh dalam perkataan dan perbuatannya sehingga pantas diteladani oleh para muridnya. Ing Madya Mangun Karsa, yang artinya seseorang pendidik selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus memprakarsai/ memotivasi peserta didiknya untuk berkarya, membangun niat, semangat, dan menumbuhkan ide-ide agar peserta didiknya produktif dalam berkarya. Tut Wuri Handayani, yang artinya seorang

pendidik selalu mendukung dan menopang (mendorong) para muridnya berkarya ke arah yang benar bagi hidup masyarakat (Bartolomeus, 2013: 78).

Sebagai komunitas pendidikan, sikap dan hidup yang ditanamkan Ki Hadjar Dewantara ke dalam setiap anggota Taman Siswa sebagai dasar dan sikap perjuangan hidup mereka di tengah-tengah masyarakat adalah Trikon (kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi) (Bartolomeus, 2013: 90-91).

Kontinuitas (atau dasar kultural): terkait dengan kebudayaan yang selalu dinamis dan terbuka untuk nilai-nilai baru dari luar. Bagi Ki Hadjar Dewantara kebudayaan itu adalah garis kehidupan suatu bangsa yang terus berkembang tanpa terputus-putus. Dalam konteks itu, pengaruh dari kebudayaan lain berupa nilai-nilai baru dapat diterima dengan catatan bahwa kebudayaan bangsa sendiri tetap berjalan sebagai penuntun nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, kebudayaan wajib dihidupkan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Kemajuan suatu bangsa adalah ketika bangsa itu tetap setia melajutkan garis hidup dari asal-usulnya yang ditarik terus dari sumber awalnya sembari terbuka menerima nilai-nilai baru, baik dari bangsa sendiri maupun dari bangsa lain.

Konsentrisitas (dasar nasional): terkait dengan alam hidup manusia yang diyakini Ki Hadjar Dewantara sebagai “alam hidup berbulatan” (konsentris). Ki Hadjar Dewantara berupaya menginternalisasi kesadaran akan pentingnya menghormati fakta pluralitas kepada segenap anggota Taman Siswa. Ia menekankan bahwa, meskipun manusia itu berasal dari keluarga yang berbeda, daerah yang

suatu lingkungan hidup yang luas cakupannya. Persatuan bangsa tidak akan rugi manakala perasaan cinta keluarga, cinta suku, cinta daerah, cinta agama dan cinta golongan disertai dengan kesadaran bahwa perasaan cinta itu berada dalam kondisi damai dan tertib dari lingkungan yang meliputinya, yakni bangsa. Kesadaran seorang bahwa keluarga, suku, agama, golongan dan daerahnya berada dalam lingkungan bangsa, dan tertib damainya kehidupan keluarganya hanya akan tercapai apabila ada ketertiban dan kedamaian nasional, menjadi jaminan tidak munculnya primordialisme sempit. Demikian juga manakala semangat kebangsaan kita atau nasionalisme mengakui bahwa suatu bangsa hanya bisa hidup tentram dan selamat manakala ada perdamaian dunia, maka luapan ekspresi nasionalisme tidak akan membahayakan kepentingan perdamaian dunia.

Konvergensi (dasar kemasyarakatan): kehidupan di Taman Siswa selalu bertaut erat dengan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Berdasarkan keyakinan seperti itu, Ki Hadjar Dewantara membiasakan bahkan mewajibkan setiap anggota Taman Siswa untuk hidup membaur dan menjalin relasi dengan masyarakat luas dalam prinsip saling menghormati perbedaan identitas. Setiap anggota Taman Siswa harus menghubungkan dirinya dengan masyarakat kalau ia ingin hidup mengabdi kepentingan masyarakat. Bagi Ki Hadjar Dewantara, semangat hidup yang memencil dan penyakit menjaga “kemurni-murnian” berdasarkan identitas primordial, dia akan membawa kepada kematian. Di sini semakin jelas bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah pemimpin yang berjiwa pluralis. Baginya, perbedaan bukanlah hal yang harus dipertentangkan, diperlawankan satu terhadap yang lain,

dan diperdebatkan, tetapi merupakan keniscayaan yang wajib diterima sebagai anugerah istimewa dari sang Pencipta.

H.Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dikembangkan berdasarkan rumusan masalah dan digunakan sebagai rambu-rambu untuk memperoleh data penelitian. Berikut ini adalah pertanyaan penelitian yang peneliti kemukakan sebelum diadakan penelitian di lapangan.

1. Bagaimana strategi pengembangan pendidikan budi pekerti di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta?

2. Bagaimana metode pendidikan budi pekerti di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta?

3. Bagaimana penanaman nilai-nilai budi pekerti di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta?

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Andi Prastowo (2012: 24), penelitian kualitatif merupakan penelitian yang sistematis yang digunakan untuk mengkaji atau meneliti suatu objek pada latar alamiah tanpa ada manipulasi di dalamnya dan tanpa ada pengujian hipotesis, dengan metode-metode yang alamiah ketika hasil penelitian yang diharapkan bukanlah generalisasi berdasarkan ukuran-ukuran kuantitas, namun makna (segi kulaitas) dari fenomena yang diamati. Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian kualitatif deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi pendidikan budi pekerti di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa.

Dasar pendekatan yang peneliti pergunakan adalah pendapat dari Sugiyono (2010: 15), yang mendeskripsikan metode kualitatif adalah sebagai berikut:

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposivedan snowball, teknik pengumpulan data dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Jadi, fokus yang dilakukan dalam penelitian ini adalah peneliti berusaha untuk mendeskripsikan secara mendalam implementasi pendidikan budi pekerti di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa. Hal yang diteliti dalam penelitian ini

berkaitan dengan dasar dan bentuk pelaksanaan yang menggambarkan secara deskriptif implementasi pendidikan budi pekerti di SD tersebut. Pendekatan kualitatif deskriptif ini banyak menggunakan data yang diamati mendalam dari informan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi.

B.Setting Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan baik di kelas maupun di luar kelas SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa yang beralamat di Jalan Tamansiswa nomor 25, Desa Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota Madya Yogyakarta, Daerah Istimewa Yoyakarta. Alasan pemilihan lokasi ini adalah dari hasil observasi awal yang dilakukan, Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa adalah sekolah dasar yang dalam pelaksanaan pendidikannya bertujuan untuk mewujudkan cita-cita dengan berdasarkan pada pengenalan pendidikan budi pekerti kepada anak didik di semua mata pelajaran di sekolah sehingga anak bisa menjadi manusia yang luhur dan berguna untuk masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari konsep yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai pendiri Perguruan Tamansiswa. Aplikasi pendidikan budi pekerti juga terlihat dalam kegiatan sehari-hari anak di sekolah, seperti salah satunya adanya pembiasaan senyum, salam, sapa, sopan, dan santun. Hal ini terbukti dengan semua peserta

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei-Juni 2016 setelah peneliti memperoleh izin penelitian.

C.Sumber Data

Sumber data merupakan hal yang sangat penting dalam mengumpulkan data, hal ini karena sumber data yang akan menentukan relevansi data yang telah dikumpulkan untuk diteliti. Menurut Lofland (dalam Lexy J. Moloeng, 2005: 157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Selain itu, menurut Bisri dalam (Andi Prastowo, 2012: 207), penentuan sumber data berdasarkan jenis data yang telah ditentukan, yakni sumber primer dan sumber sekunder.

Sejalan dengan pendapat Bisri, lebih jelasnya Sugiyono (2010: 308-309) mengungkapkan bahwa, sumber data dalam penelitian berasal dari sumber data utama dan sumber data tambahan. Sumber data utama disebut juga dengan sumber data primer, yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Sedangkan sumber data tambahan disebut sebagai sumber data sekunder, yaitu sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.

Oleh karenanya, sumber data dalam penelitian ini berasal dari sumber data utama yang langsung memberikan data penelitian (primer) dan sumber data tambahan yang tidak langsung memberikan data penelitian (sekunder).

1. Sumber data utama (primer) yaitu data yang berasal dari narasumber yang mengalami langsung pelaksanaan pendidikan budi pekerti. Narasumber yang dimaksud adalah pendidik (pamong) yang menjadi pelaksana pendidikan budi pekerti itu sendiri. Agar mendapatkan hasil yang maksimal maka diperlukan narasumber lain yang terlibat dalam proses pendidikan budi pekerti, yakni Kepala Sekolah dan peserta didik SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa yang juga merupakan pelaksana pendidikan budi pekerti di SD tersebut. Tujuan sumber data primer dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana nilai-nilai luhur budi pekerti terintegrasi pada peserta didik dengan baik dalam pelaksanaannya melalui pengimplementasian pendidikan budi pekerti di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa.

2. Sumber data tambahan (sekunder), yaitu berasal dari dokumentasi. Sumber foto inilah yang akan memberikan penguatan bagaimana implementasi pendidikan budi pekerti di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa setelah didapat data dari subjek penelitian.

D.Subyek dan Objek Penelitian