• Tidak ada hasil yang ditemukan

RAHMAN TERHADAP PEMAKNAAN AHLI KITAB

A. Aplikasi Hermenutika Double Movement Dalam Tafsir al- Qur’an

1. Ahli Kitab Masa Sekarang

Pada era kontemporer ini masih banyak pertanyaan yang muncul tentang ahli kitab. Apakah ahli kitab yang didefinisikan oleh al-Qur’an masih ada di era sekarang. Dalam menjawab persoalan ini

memang perlu adanya penelitian yang intensif dengan mereka ahli kitab. Akan tetapi beberapa pendapat dalam menjawab persoalan ini yaitu pertama136, suatu kelompok berpendapat masih ada dan menunjuk pada kelompok agama Kristen modern sebagai contohnya.

87

Pendapat ini banyak mengalami perubahan dan terutama berpendapat bahwa Yesus adalah Tuhan. Sebuah dogma yang secara ditolak oleh al-Qur’an, sehingga menjadi kontradiksi yang cukup jelas. Kedua,

kelompok ini berpendapat bahwa ahli kitab sebagaimana didefinisikan oleh al-Qur’an sudahlah musnah, sudah tidak ada lagi. Namun

demikian, pendapat kedua ini tampaknya juga lebih sulit diterima. Hal ini dikarenakan jika satu saja terdapat ahli kitab yang sama dengan definisi al-Qur’an maka hal itu sudah memberikan kesimpulan bahwa

pendapat tersebut tidak tepat.137 Seperti apa yang telah dijelaskan, bahwa ahli kitab menurut al-Qur’an mempunyai karakteristik yang

berbeda-beda. Sebagian mereka mengimani kenabian Muhammad, mengimani al-Qur’an dan kitab suci mereka masing-masing akan tetapi sebagian yang lain ingkar dengan Muhammad dan memerangi Islam.

Berbicara tentang kitab suci ahli kitab baik Yahudi dan Nasrani, telah dijelaskan pula bahwa dari kitab keduanya telah mengalami perubahan yang mana para pemikir Muslim berpendapat berbeda-beda. Menarik ketika pertanyaan apakah Taurat – orang Islam

sering merujuk pada suci Yahudi dengan kata “Tawrah” (Taurat)

seperti yang disebut dalam al-Qur’an. Jelaslah bahwa ketika

menggunakan kata Taurat yang dimaksudkan adalah kitab suci Ibrani itu, bukan bagiannya saja—sekarang yang dimiliki oleh orang Yahudi

88

masih bisa dipertanggungjawabkan validitasnya?138 Untuk menjawab pertanyaan ini, seorang mufasir Suriah, Qasimi merujuk pada pendapat Ibnu Taymiyah dan Ibn Qayyim. Yang pertama berpendapat bahwa seluruh isi Taurat telah diubah dan Taurat yang ada sekarang tidaklah sakral sama sekali dan sebagian yang lain mengatakan bahwa yang diubah bukan isinya akan tetapi penafsirannya. Sementara teksnya masih bisa dipertanggung jawabkan. Ibn Taymiyah berpendapat bahwa beberapa orang Islam berargumen bahwa saat ini tidak ada teks al kitab yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya. Di sisi lain, beberapa orang Islam yang percaya bahwa perubahan teks Alkitab tidak mungkin karena al-Qur’an menegaskan bahwa “Bawalah Taurat,

lalu bacalah jika kamu orang-orang yang benar.”(QS 3:39).139

Sebenarnya perubahan dari kitab suci Yahudi dan Nasrani terletak pada berita tentang datangnya Muhammad sebagai Nabi (utusan Allah) terakhir. Hal ini dijelaskan dalam QS Shaf (61) ayat : 6140;

Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)". Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata".

Umat Nasrani pada masa sekarang ini, mereka masih mempercayai trinitas yang mana sebenarnya al-Qur’an telah

138Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.174

139Mun’im Sirry, Polemik kitab Suci, terj. Cecep Lukman Yasin, hlm.175 140

Dalam pembagian Surah al-Qur’an menurut Noldeke, Surah Shaf termasuk Surah

89

mengkritik hal tersebut, akan tetapi umat Nasrani tetap percaya pada kepercayaan mereka yang mana telah mereka dapatkan melalui proses yang begitu lama.

Konsep Trinitas yang dipercayai oleh umat Nasrani juga menjadi problem tersendiri. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa

ayat yang menurut beberapa penafsir menolak adanya konsep Trinitas Nasrani.

Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.141

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.142

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?". Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib".143

141 QS 4:171

142 QS 5:73

90

Sejumlah ulama Muslim polemis sering mengutip ayat di atas untuk menentang doktrin Trinitas, tetapi beberapa sarjana mempertanyakan kevalidan penafsiran ini. Montgomery Watt misalnya, mengatakan bahwa penolakan al-Qur’an terhadap “Tuhan adalah satu dari yang tiga” (QS 5:73) biasanya dijadikan

dalil untuk menolak Trinitas, tetapi yang mengejutkan adalah doktrin triteisme juga ditolak oleh kristen ortodoks. Geoffrey Parrinder juga mengatakan bahwa yang ditolak dalam al-Qur’an

adalah doktrin heterik, dan orang kristen ortodoks sepakat atas hal tersebut. Sarjana lain mengatakan bahwa hal ini mungkin adanya kesalahpahaman tentang makna doktrin Trinitas karena dikaburkan oleh Triteisme. Seperti yang dikemukakan oleh Chawkat Moucarry,

“apa yang sebenarnya dibantah oleh al-Qur’an adalah kesalahan konsepsi tentang Trinitas”. 144 Yang dimaksud al-Qur’an itu bukan

Trinitas sebagaimana yang dipahami kaum Nasrani, tetapi Triteisme monophysite tertentu yakni penganut keyakinan bahwa Tuhan benar tiga dengan meyakini bahwa Jesus adalah benar-benar Tuhan (yang qadim dan azali). Yang pertama, yakni trinitas, tetap merupakan tauhid, yakni tiga dalam satu (unitas), (yakni yang dua adalah semacam tajalli-Nya, jika mengikuti pandangan ‘irfan).

Dalam konteks ini menarik untuk dicatat bahwa Hujjatul Islam

Imam al-Ghazali menyatakan ketika umat Kristen menyebut Allah

91

sebagai tsalitsu tsalatsah (salah satu dari yang tiga), pernyataan ini tidaklah dipahami bahwa Allah itu tiga. Sebaliknya, Allah itu Esa namun tiga itu ditinjau dari sifatnya. Dalam kata-kata mereka sendiri, kutip al-Ghazali, “Allah itu Esa secara jauhar dan tiga secara oknum”. “oknum dipahami sebagai sifat. Dengan kata lain meskipun al-Ghazali menolak doktrin ini, beliau tetap adil untuk mengakuinya megandung satu jenis monoteisme tertentu.145

Mungkin juga orang Kristen mempunyai konsepsi yang berbeda tentang Trinitas daripada yang kita pahami saat ini, jadi itu sama sekali bukan kesalahpahaman. Perlu diingat pula bahwa Kristen juga fleksibel dan telah mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu dan kekokohannya yang terus menguat pada universalitas dogmatik.146 Maka dari itu untuk menyimpulkan masih ada atau tidakkah ahli kitab pada zaman sekarang ini, memunculkan dua analisa jawaban yang berbeda. Kemungkinan pertama yaitu masih ada jika ahli kitab tersebut mempercayai kitab sucinya—meski diperdebatkan perubahannya—dan mempercayai bahwa seluruh agama yang ada berasal dari Tuhan dan Nasrani tidak mempercayai

Tuhan adalah tiga melainkan hanya satu “Esa”.

145 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia, (Bandung: Mizan, 2017), 206-207

92 2. Ahli Kitab Masa Pra-Islam

Situasi keagamaan di Arabia sebelum Islam, menarik minat banyak penulis Barat. Peneliti berfokus pada kemunculan Islam, situasi-situasi tersebut memiliki signifikansi guna “menjelaskan”

fenomena kelahiran Islam. Ketertarikan mereka adalah pada apa

yang disebut sebagai “sumber-sumber dari al-Qur’an”. Namun

terdapat perbedaan opini di kalangan sarjana Barat tentang apakah terdapat kelompok Yahudi dan Nasrani di dalam dan di sekitar kota Mekah dan jika demikian, sejuah mana dan bagaimana konsekuensi keagamaannya.147

Rahman mengkritik para peneliti Barat bahwa mereka hanya sibuk meneliti berbagai hal mengenai al-Qur’an dengan dokumen-dokumen keagamaan dan tradisi-tradisi Yahudi Kristen, yang hampir tidak menyinggung sedikitpun tentang keberadaan pemikiran Yahudi-Nasrani di kalangan penduduk Arab Mekah sebelum masa Islam. Opini ini secara tajam terbagi menjadi dua kubu. Pertama, diwakili oleh Richard Bell, menyatakan bahwa sumber historis utama dari ajaran al-Qur’an adalah Kristen

(Nasrani) sedangkan kubu kedua diwakili oleh Torrey, menekankan bahwa ajaran Yahudi adalah sumber historis utama al-Qur’an.

Montgomery Watt berpendapat bahwa pemikiran Yahudi-Nasrani

93

secara umum telah ada di lingkungan Arabia, khusunya di Mekah dan tradisi Yahudi-Kristen.148

Ada berbagai perbedaan mengenai apakah di Mekah pernah ada sejumlah besar populasi Yahudi atau Kristen. Bell dan Watt berpendapat bahwa tidak ada populasi “Ahli Kitab” di sana dalam jumlah cukup besar. Torrey menyebut ada “koloni besar” Yahudi

tanpa menunjukkan bukti spesifik. Problem utama dengan opini Torrey adalah bahwa kita tahu dengan baik apa terjadi pada komunitas Yahudi di madinah dan Khaibar, tetapi tidak ada satu ayatpun yang menjelaskan dalam al-Qur’an maupun literatur

historis umat Islam yang pernah menyebut keberadaan komunitas besar Yahudi di Mekah. Pandangan yang berseberangan bahwa hampir tidak ada komunitas Yahudi atau Kristen di Mekah. Di sini perlu dikembangkan pandangan alternatif yang bisa menengahi kedua kubu ini. Solusi memuaskan atas masalah ini juga akan menggambarkan secara lebih jelas mengenai perjalanan Islam di Mekah vis a vis “ahli kitab” dan kaum Musyrik Mekkah, yang secara krusial mengubah beberapa pandangan sarjana Barat mengenai perkembangan apa saja yang mencirikan karakteristik ayat-ayat Madaniyah dan Makkiyah dan akan memberikan penjelasan mengenai istilah-istilah kunci tertentu dalam

94

Qur’an.149 Menurut al-Shahrastani, ia membedakan ahli kitab dan

Umiyyun. Perbedaan diantara keduanya jika Umiyyun adalah orang tidak mengetahui kitabnya. Jika Yahudi dan Nasrani adalah ahli kitab yang berada di Madinah sedangkan Umiyyun bertempat di Mekah.150 Berdasarkan penjelasan tersebut maka Shahrastani menyetujui akan adanya ahli kitab yang hidup di Mekah. Ahli kitab bersumber dari bani Israil sedangkan Umiyyun bersumber dari Qobail, Bani Ismail.151

Al-Qur’an menjelaskan tentang kaum Yahudi yang ada

pada masa pra-kenabian Muhammad adalah tentang asal-usulnya dan sikap mereka terhadap nabi Musa, Isa dan Maryam. Kaum Yahudi berasal dari keturunan Nabi Ibrahim dari anak cucunya yang

bernama Ya’qub bin Ishak. Ishak adalah anak Ibrahim. Israil adalah

nama kedua dari Ya’qub, ayahnya Yusuf. Mereka sebagai

pendatang Mesir setelah Nabi Yusuf tinggal di Mesir. Sebagai

pendatang, sepeninggal Yusuf mereka berhadapan dengan Fir’aun.

Mereka yang masih beragama Tauhid bercengkrama dibawah tekanan manusia yang mengaku Tuhan. Allah mengutus Nabi Musa

untuk menyelamatkan mereka dari cengkeraman Fir’aun.152

149 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al Quran, hlm. 220

150 Al-Shahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, hlm.247

151 Al-Shahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, hlm.247

152 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, hlm.421

95

Nabi Musa membawa mereka keluar dari Mesir

menghindari kejaran tentang Fir’aun melalui lautan yang dibelah. Begitu selamat dari kejaran Fir’aun, mereka justru menentang dan

menolak mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Musa ketika Musa sedang menghadap Tuhan selama kurang lebih 40 hari.153

Rahman membuat catatan penting dalam permasalahan ini, bahwa sebelum Islam, telah ada kontak antara orang-orang Arab dan Ahli Kitab, khususnya Umat Yahudi –mungkin kontak berskala besar dan sistematis yang berlangsung lama, sehingga penduduk Mekah bisa menyatakan bahwa mereka dan nenek moyang mereka telah diberitahu tentang hari Akhir, dan al-Qur’an menyampaikan

kepada penduduk Mekah bahwa mereka pernah diajar oleh kitab Musa apa yang mereka dan nenek moyang mereka tidak mengetahuinya.154

Sebenarnya dalam beberapa literatur menjelaskan bahwa kelompok yang hidup sebelum kedatangan Isam di Mekah adalah kaum Pagan. Meskipun seperti apa yang telah dijelaskan bahwa adanya Yahudi dan Nasrani meskipun dalam skala kecil. Penolakan dakwah Nabi sejak periode Mekah bukan oleh Yahudi dan Nasrani akan tetapi dari kaum Pagan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Patricia Crone telah dengan sukses memperlihatkan bahwa

153 Lihat QS (2): 40, 83, 211 dan QS (3): 93

96

orang-orang pagan tidak kurang monoteisnya dibanding mereka yang mengimani Tuhannya al-Qur’an.155 Akan tetapi dalam pembahasan ini difokuskan pada ahli kitab yang hidup pra-Islam di Mekah sebagai tempat pertama yang dijadikan lahan dakwah oleh Nabi Muhammad.

Sebelum masuknya dakwah Muhammad masuk Mekah, dinyatakan bahwa masyarakat Mekah menginginkan adanya agama baru yang bercorak Yahudi-Kristen (QS 37: 168-170). Situasi ini sebagian merupakan penetrasi pemikiran Yahudi-Kristen terhadap ingkungan Arab. Al-Qur’an mengakui adanya benih-benih religius di beberapa kalangan individu kelompok yang tercerahkan. Meskipun hanya sedikit bukti historis yang menyatakan adanya populasi Yahudi-Kristen di Mekah, dapat dipastikan bahwa sejumlah individu telah sampai pada gagasan monoteisme dan beberapa diantaranya penganut Kristen.156 Namun apa yang sering ditonjolkan oleh al-Qur’an yaitu adanya messianisme, sebuah hasrat

untuk kehadiran seorang Nabi Arab yang baru (35:42). Dinyatakan juga dalam al-Qur’an bahwa orang Mekah tidak ingin

“mendapatkan petunjuk yang lebih baik” daripada dua umat

terdahulu, Nasrani dan Yahudi (6: 157-158, 28:47-49, 28: 47-49). Karena bagian-bagian tersebut muncul dalam pelbagai konteks

155Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm.247, lihat lebih jelasnya pada Patricia Crome,

“The Religion of the Qur’anic Pagans: God and the Lesser Deities,” Arabica 57 (2010), hlm. 151-200

97

berbeda selama perbincangan yang panjang dan sengit antara orang Mekah dan Nabi Muhammad SAW, sungguh sulit untuk secara utuh menilai pendirian mereka menyangkut isu tersebut selama periode sesaat sebelum datangnya misi Nabi Muhammad. Sebab, sebagaimana disindir oleh al-Qur’an bahwa mereka mengatakan

hal-hal tertentu demi menimbulkan kontroversi saja.157 3. Ahli Kitab Masa Pewahyuan

a. Masa Pewahyuan di Mekah

Dakwah Nabi memicu pertentangan sengit warga Mekah, terutama kaum Oligarki yang menguasai kehidupan kota ini. mereka tidak hanya khawatir bahwa Muhammad akan mengancam agama leluhur mereka yang tak lain adalah politeisme itu, tetapi juga mengkhawatirkan struktur masyarakat mereka beserta kepentingan dagangnya, yang kian terancam dengan ajaran Nabi yang mengutamakan keadilan sosial dan belakangan menjurus pada pelarangan riba dan penekanan zakat. Segala macam tuduhan dilontarkan kepada Nabi. Semakin hari permusuhan semakin gencar dan kemarahan menjadi cemoohan, cemoohan menjadi serapah. Permusuhan semakin panas disertai dengan penganiayaan tanpa belas kasihan.158

157 Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 2017), hlm.198

98

Seiring dengan perjuangan yang bergulir, ajaran Nabi perlahan semakin terumuskan dengan memperjelas asumsi metafisiknya, yakni teologi dasarnya, menggunakan strategi argumentasi dan dengan mempertegas kewajiban-kewajiban para pemeluknya, baik terhadap pemeluk maupun penantang. Riwayat batiniah Nabi selanjutnya berada di antara dua sisi, yaitu kekecewaan terhadap sikap orang Mekah yang di luar kendalinya dan dorongan kuat untuk menunaikan tugasnya, karena sebagian doktrin al-Qur’an sendiri

mengatakan bahwa sebatas menyampaikan risalah saja, lalu merasa kecewa dan tidak mengupayakannya, adalah termasuk spiritual yang mentah.159

Al-Qur’an juga menggambarkan sikap kaum ahli kitab

terhadap kenabian Muhammad periode Mekah. Sikap sangat apresiatif dan tidak ada tanda-tanda kekerasan baik dari ahli kitab kepada Muhammad dan umat Islam maupun al-Qur’an sendiri

terhadap mereka, terutama periode awal Mekah. Sikap ini mucul lantaran adanya kesamaan antara al-Qur’an dan kitab suci mereka,

dan kesamaan itu mendorong mereka untuk mempercayai kebenaran risalah kanabian Muhammad dan kitab suci al-Qur’an (al -Muddatstsir: 31)160

159 Fazlur Rahman, Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie, hlm.12

160 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, hlm. 382

99

Kesamaannya meliputi beberapa hal, misalnya al-Qur’an

memperkuat kitab suci samawi ahli kitab, sembari menjelaskan adanya kesamaan dengan prinsip-prinsip dasar dan orientasi ajarannya. Penegasan adanya kesesuaian, kecocokan dan kesatuan sumber antara kitab suci al-Qur’an dengan kitab suci ahli kitab

disuarakan oleh al-Qur’an sejak periode awal sampai periode akhir

dakwah kenabian Muhammad.161

Kepercayaan ahli kitab Mekah terhadap kitab suci al-Qur’an

menjadi bukti adanya kesatuan pesan dan orientasi antara al-Qur’an

dengan kitab-kitab samawi pertama, pengakuan ahli kitab tersebut sekaligus menjadi pukulan telak bagi orang-orang kafir Mekah yang menolak kenabian Muhammad. Hal ini seolah-olah menunjukkan kepada orang-orang kafir dan musyrik bahwa penentangan dan penolakan mereka terhadap dakwah kenabian Muhammad tidak ada artinya sama sekali selama kaum ahli kitab yang mempunyai kitab samawi mengakui kebenaran dakwah kenabian Muhammad. Pengakuan ahli kitab lebih bernilai daripada pengakuan mereka.

Al-Qur’an juga menginformasikan adanya ahli kitab yang terpengaruh

oleh hasutan orang-orang musyrik, fanatisme berlebihan terhadap agamanya dan ada yang mementingkan materi. Mereka pada umumnya menggunakan cara berdialog kendati ada yang berlagak

161 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, hlm. 385

100

sombong, terkadang melakukan tuduhan palsu, bahkan zalim terhadap Nabi Muhammad dan umat Islam. Karena itu, al-Qur’an

mengajari tata cara berkomunikasi dengan mereka.162 Cara itu sesuai dengan pengakuan yang diberikan al-Qur’an terhadap mereka, juga

dengan gaya ungkapan al-Qur’an fase Mekah, yakni berdialog

dengan baik. Penegasan cara berkomunikasi yang baik ini bernilai penting terutama setelah umat Islam hijrah ke Madinah, dimana kaum Yahudi yang menjadi sasaran dakwah mereka menjadi kaum mayoritas di sana.163

Di dalam al-Qur’an Makiyyah tidak ada rincian tentang

penyimpangan dan pebedaan-perbedaan keyakinan kaum ahli kitab Makkah. Penyimpangan Yahudi yang dibicarakan al-Qur’an adalah sikap mereka di masa lalu pada zaman Nabi Musa dan sesudahnya, penyimpangan mereka yang menyembah waktu, kesewenangan mereka terhadap perintah Allah dan para nabi dan rendahnya akhlak sosial mereka. Hanya saja karena kaum Yahudi di Mekah sangat sedikit jumlahnya, mereka tidak mengambil bentuk permusuhan dengan kaum Nasrani, Nabi Muhammad dan umat Islam. Selain karena jumlahnya yang sedikit, juga karena secara subtansi ada kesamaan dan kecocokan antara mereka dan dakwah Islam.164

162

QS. Al-Ankabut: 46-47 163

Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, hlm. 387

164

Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, hlm. 385

101

Nabi menginginkan risalahnya dapat ditegakkan sepenuhnya dan memang begitulah dia bisa menjadi risalah yang sejati, karena itu wajar jika Nabi tidak melewatkan kesempatan yang tersedia demi melewatkan kesempatan yang tersedia demi mewujudkan rencananya. Musuh-musuhnya, menyadari bahwa keprihatinan Nabi terhadap kemanusiaan dan menawarinya kesempatan menarik dengan imbalan konsesi Nabi, tetapi al-Qur’an terus

memperingatkan agar tidak melakukan kompromi apapun dan mempertegas perbedaan antara kompromi dan strategi.165

Di Mekah Nabi berhasil mengumpulkan segelintir pengikut setia, namun jelas setelah tiga belas tahun penyiaran dan perjuangan tanpa henti, upayanya menemui kebuntuan dan tampaknya kecil sekali peluang untuk memenangkan para penenteng yang keras kepala. Pada titik inilah orang Madinah menjalin hubungan dengan Nabi dan memohonnya untuk pindah dan menjadi pemimpin di sana. Seandainya di Mekah misi Nabi berjalan dengan baik maka Nabi tidak ingin meninggalkan Mekah, karena menguasai kota yang merupakan pusat keagamaan adalah sasaran utamanya.

b. Masa Pewahyuan di Madinah

Keprihatinan dan perhatian Nabi terhadap kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah pada hakikatnya sama dengan keprihatinan dan

102

perhatian Nabi kepada kaum Pagan Arab di Mekah,166 sebagaimana dalam ayat QS 5: 68;