• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Hermeneutika Barat

2. Model-Model Hermeneutika

merupakan titik pangkal dan persoalan serius bagi hermeneutik.27 Jika dilihat dalam berbagai pembahasan, interpretasi dan pemahaman –dimana pemahaman adalah hal yang menjadi tujuan hermeneutika—erat terjalin. Setiap masalah interpretasi adalah masalah pemahaman, dengan alasan bahwa pemahaman dicapai melalui interpretasi.

Memahami teks melalui interpretasi menurut hermeneutika tidak bisa lepas dari konteks sejarah dimana teks itu muncul, kepada siapa teks itu berdialog, mengapa teks itu dibuat dan seterusnya, yang pasti tidak lepas dari ruang yang mengintarinya. Teks adalah produk kebudayaan yang mengintarinya sehingga harus dipahami secara kritik historis. Menurut Schleiermacher, karya sastra atau seni merupakan manifestasi pribadi sehingga membaca teks adalah suatu dialogia dengan pengarang atau seniman. Teks bukanlah objek mati, bukan sekedar benda yang merentang dalam ruang dan waktu (res extensa).28

2. Model-Model Hermeneutika

Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga bentuk atau model. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya F. Schleimacher, W. Dilthey, dan Emilio Betti. Menurut model ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang ada di dalam teks adalah ungkapan jiwa pengarangya, sehingga apa yang disebut makna atau tafsiran

27Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, terj. Muhammad Mansur, (Jakarta: ICIP, 2004), hlm. 3

26

atasnya tidak didasarkan pada kesimpulan pembaca melainkan diturunkan dan bersifat instruktif.29 Untuk dapat mencapai tingkatan itu, menurut Schleiermacher, ada dua cara yang dapat ditempuh, dengan bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru atau lewat karakteristik bahasanya yang ditransfer kepada kita. Ketentuan ini didasarkan atas konsepnya tentang teks. Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua sisi yaitu

pertama, sisi linguistik yang merujuk pada bahasa yang memungkinkan proses memahami menjadi mungkin dan kedua, sisi psikologis yang isi pikiran si pengarang yang termenifestasi pada gaya bahasa yang digunakan. Dua sisi ini mencerminkan pengalaman pengarang yang mana pembaca mengkontruksikannya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan pengalamannya.30

Untuk memahami maksud pengarang –dengan gaya bahasa yang berbeda- maka tidak ada jalan lain bagi mufasir kecuali harus keluar dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk ke dalam tradisi dimana si penulis teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Dengan masuk ke dalam dunia pengarang, memahami dan menghayati budaya yang melingkupinya, mufasir akan mendapatkan makna objektif sebagaimana yang dimaksud si pengarang.31

29 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London: Roudege & Kegars Paul,1980), hlm.29

30

Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, terj. Muhammad Mansur, hlm.11

31

27

Scheleimacher juga telah mempelopori tokoh-tokoh setelahnya, terutama Dilthey dan Gadamer. Dilthey memulai pembahasannya dalam wilayah yang mana Schelemacher berhenti, yakni pembahasan tentang penafsiran dan pemahaman yang benar dalam bidang ilmu-ilmu humaniora. Usaha Dilthey terfokus pada pemisahan antara disiplin ilmu alam, sejarah dan humaniora. Dilthey menolak metode kalangan positivisme yang mengatakan bahwa penyelamatan satu-satunya bagi ketertinggalan ilmu humaniora dan ilmu-ilmu alam adalah dengan menerapkan metode eksperimental ilmu-ilmu eksakta dalam ilmu-ilmu humaniora, sebagai upaya untuk mencapai aturan umum yang pasti dan untuk menghindari subjektivitas dan kedangkalan ilmu humaniora.32

Dilthey berusaha membangun ilmu sosial dengan landasan metode yang berbeda dengan ilmu alam. Menurutnya, perbedaan diantara keduanya terletak pada persoalan materinya, materi ilmu sosial (akal manusia) bukan merupakan bentukan di luar dirinya sebagaimana materi ilmu alam adalah derivasi dari alam.

Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh modern Hans Georg Gadamer dan Jacques Derida. Menurut model ini, hermeneutika bukan sebuah usaha untuk menemukan makna objektif yang dimaksud penulis melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri.33 Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan

32

Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan kekuasaan, terj. Dede Iswadi, (Bandung:RqiS), hlm.47

28

pada ide awal penulis. Inilah yang membedakan antara hermeneutika subjektif dan objektif. Dalam pandangan subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun, ia telah berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan penulis. Karena itu, teks tidak harus dipahami berdasarkan ide penulis melainkan berdasarkan materi yang ada dalam teks itu sendiri. seseorang menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini (vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht), dan apa yang diperoleh kemudian (vorgriff).34 Menurut pendapat Gadamer, ketiga unsur tersebut, yang disebut dengan lingkaran hermeneutika, didiskusikan oleh Heidegger bukan sebagai usaha pemahaman praktis, melainkan dimaksudkan untuk memberikan deskripsi cara pencapaian pemahaman melalui interpretasi. Heidegger menjelaskan bahwa jika ingin memahami sesuatu, maka seseorang haruslah membawa latar belakang tradisi yang telah ia miliki sebelumnya. Unsur pertama dalam lingkaran hermeneutika disebut dengan vorhabe(fore-have). Selanjutnya dalam menafsirkan, orang itu dibimbing oleh cara pandang tertentu. Maka dari itu dalam melakukan proses pemahaman ia selalu didasari oleh apa yang telah dilihat sebelumnya yang disebut pada unsur kedua dengan vorsicht (fore-sight). Unsur selanjutnya yaitu Vorgiff (fore-conception) yang menjadi syarat pemahaman adalah konsep-konsep yang memberi kerangka awal. Ketiga unsur tersebut menjadi syarat pemahaman dalam lingkaran hermeneutik yang bertitik tolak dari konsep ontologis Heidegger yang lebih mendasar pada being there dari Dasein yang terikat

34

29

temporalitasnya. Menurut penjelasan Gadamer bahwa lingkaran hermeneutika mengandung kapasitas primordial pemahaman manusia yang positif karena adanya pra-pengertian.35

Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh Muslim kontemporer yaitu Hassan Hanafi dan Farid Esack. Pada model ini hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi akan tetapi lebih pada aksi.36 Hassan Hanafi biasanya dianggap sebagai filosof dibandingkan dengan hermeneutikus, namun disertasinya merupakan sebuah pengkajian hermeneutik Islam yang sangat komprehensif dan sangat disayangkan jika diabaikan begitu saja. Dia juga menulis beberapa artikel yang berisi tentang hermeneutika al-Qur’an dan juga karya eksegetis meskipun dalam

pengertian tradisionalnya bukan merupakan kitab tafsir. Menurutnya, hermeneutika bukan hanya sebuah seni interpretasi dan teori pemahaman, namun juga merupakan ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu dari tingkat kata ke tingkat realitas, dari logos ke praksis. Dia mengusulkan sebuah hermeneutika al-Qur’an yang spesifik (juz’i), tematik, temporal dan realistik, dia juga lebih menekankan makna dan tujuan ketimbang kata-kata dan huruf. Hermeneutika al-Qur’an haruslah berdasarkan atas pengalaman

hidup, dimulai dengan kajian atas problem-problem manusia. Teori hermeneutikanya terutama didasarkan atas pengertian asbaab an nuzul

dalam pengertian realitas selalu mendahului wahyu. Interpretasi haruslah

35Agus Darmaji, “Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-Georg Gadamer”,

Refleksi, (Vol.13,No.4,2013),hlm.473

36 Hassan Hanafi, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus, (Yogyakarta:Prisma,2003), hlm.109

30

mengambil titik berangkatnya dari realitas, dalam problem-problem di mana manusia mendapatkan dirinya, kemudian kembali kepada wahyu

(al-Qur’an) untuk mendapatkan sebuah jawaban teoritis. Jawaban teoritis ini

haruslah kemudian diterapkan dalam praksis. Interpretasi selalu berakhir dalam praksis.37

Farid Esack, seorang intelektual Muslim Afrika Selatan dan aktivis hak asasi manusia, mengusulkan sebuah hermeneutika al-Qur’an tentang

plularisme religius untuk pembebasan. Yang didasarkan atas konteks dan pengalaman hidup di Afrika Selatan, yang pernah dibentuk oleh politik aparteid, ketidakadilan dan penindasan. Dia lebih menekankan hermeneutika penerimaan yang biasanya didiskusikan dalam konteks fungsionalisme. Yang sentral dalam hermeneutika adalah pertanyaan mengenai bagaimana teks al-Qur’an diterima oleh masyarakat Muslim

Afrika Selatan. Demikian pula koteks spesifik di mana teks

al-Qur’anditerima dan dialami, dan bukannya konteks universal, adalah titik

dimana interpretasi apapun dimulai. Dalam hal ini masyarakatlah yang berhak menginterpreatsi wahyu Allah bukanlah Ulama.38

Dengan demikian, terdapat tiga model hermeneutika. Pertama, hermeneutika objektif yang berusaha memahami makna asal dengan cara mengajak kembali ke masa lalu; Kedua, hermeneutika subjektif yang memahami makna dalam konteks kekinian dengan menepikan masa lalu;

37

Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, (Jakarta:TERAJU, 2003), hlm.40

38

31

Ketiga, hermeneutika pembebasan yang memahami makna asal dalam konteks kekinian tanpa menghilangkan masa lalu dan yang terpenting pemahaman tersebut tidak sekedar berkutat dalam wacana melainkan benar-benar mampu menggerakan sebuah aksi dan perubahan sosial.39