• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2 FORMULASI INDEKS RESILIENS

2.3 Hasil-hasil Penelitian

2.3.4 Klasifikasi indeks

Nilai indeks perlu diklasifikasikan untuk mempermudah komunikasi dan interpretasi. Dengan mengacu pada kurva distribusi normal, nilai indeks resiliensi dapat dibagi menjadi 5 (lima) kategori, yaitu sangat baik, baik, sedang, kurang, dan buruk (Table 8). Klasifikasi indeks ini untuk mempermudah para pengelola terumbu karang dalam melaporkan perubahan dan mengambil keputusan pengelolaan. Di Indonesia, data indeks resiliensi terumbu karang menunjukkan distribusi yang normal (rata-rata = 0.468, median = 0.469, N = 1240). Klasifikasi indeks dilakukan berdasarkan kurva distribusi normal dengan rata-rata indeks 0.468 dan simpangan baku (SD) 0.225.

Tabel 8 Klasifikasi indeks resiliensi terumbu karang ke dalam lima kategori, dengan lebar kelas 1 SD.

Kategori Batas kelas A. Baik sekali (excellent) 0.806 B. Baik (good) 0.581 – 0.805 C. Sedang (fair) 0.356– 0.580 D. Kurang (poor) 0.131 – 0.355 E. Buruk (bad) 0.130

Klasifikasi nilai indeks tersebut tidak berkaitan langsung dengan pergantian fase. Di perairan Indonesia, pergantian dominansi karang ke dominansi makroalgae merupakan kejadian yang langka. Dari 1240 transek, yang digunakan dalam formulasi indeks, hanya 10 transek (0.806%) yang memiliki tutupan makroalgae di atas 50%. Di antara kesepuluh transek tersebut, 6 (enam) mempunyai indeks resiliensi dalam kategori buruk dan 4 (empat) lainnya masuk kategori resiliensi kurang.

2.4 Pembahasan

Modifikasi dari rumus indeks resiliensi komunitas tanah Orwin dan Wardle (2004) untuk mengukur resiliensi terumbu karang, menghasilkan indeks resiliensi

terumbu karang dengan acuan data nasional. Dengan acuan tersebut, mestinya dapat dibandingkan indeks resiliensi terumbu karang antar kabupaten, antar provinsi, dan antar wilayah di Indonesia, serta antar waktu. Hasil pengukuran indeks terhadap 1240 transek di Indonesia menunjukkan bahwa indeks resiliensi tersebut dapat memberikan hasil yang memuaskan (Gambar 3). Indeks bertambah dengan bertambahnya tutupan karang, dan berkurang jika terjadi sebaliknya. Tutupan pasir dan lumpur (USS) yang tinggi bertepatan dengan nilai indeks yang rendah. Terumbu karang dengan tutupan karang yang sama dapat memiliki indeks resiliensi yang berbeda.

Indeks resiliensi terumbu karang ini dirancang untuk mengukur indeks dari suatu transek. Setiap transek menghasilkan sebuah nilai indeks. Penilaian indeks resiliensi terumbu karang membutuhkan banyak transek. Kehandalan indeks dalam menilai tingkat resiliensi suatu terumbu karang sangat tergantung dari rancangan pengambilan cuplikan (sampling design) dan pengambilan data di dalam transek. Semakin banyak transek yang digunakan maka presisi indeks akan semakin baik, sebagaimana alat pengambilan cuplikan lainnya. Penggunaan indeks ini sebaiknya mengikuti protokol pengambilan cuplikan terumbu karang dengan transek garis, sebagaimana yang telah dikembangkan dan dibakukan pada English et al. (1994, 1997). Protokol penilaian indeks disajikan pada Lampiran 3.

Rata-rata indeks resiliensi pada suatu terumbu karang pada umumnya lebih kecil daripada 1.000. Penilaian resiliensi terumbu karang membutuhkan sejumlah transek yang dapat dianggap mewakili terumbu karang tersebut. Di suatu terumbu karang atau pulau, penilaian kondisi terumbu karang dilakukan minimal pada dua lokasi, dan di masing-masing lokasi terdiri atas sejumlah transek, yang dapat tersebar di beberapa kedalaman. Pengukuran indeks resiliensi dari setiap transek dapat menguntungkan karena kita dapat melihat ragam dari resiliensi suatu terumbu karang.

Keuntungan dari acuan yang tinggi sebagai referensi indeks adalah indeks resiliensi ini dapat digunakan pada kawasan yang lebih luas. Jika terumbu karang di kawasan Philippines atau GBR tidak melampaui acuan standar di dalam indeks, maka indeks ini dapat digunakan di kawasan tersebut. Hanya ada satu peubah indikator yang memiliki peluang dilampaui oleh data lapang, yaitu CSN (jumlah

koloni ukuran kecil), walaupun peluang tersebut sangat kecil yaitu lebih kecil dari 0.00185 atau 0.185%. Di masa depan indeks ini diharapkan dapat diujicoba penggunaannya di kawasan Indo-Pasifik oleh para peneliti terumbu karang di kawasan tersebut.

Indeks resiliensi yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan indeks resiliensi ekologis yang sangat praktis dan dapat digunakan oleh pengelola terumbu karang hampir di seluruh kabupaten di Indonesia. Pengukuran indeks resiliensi dilakukan dengan metode transek garis atau LIT (line intercept transect) yang diperkenalkan oleh Loya (1972, 1978), dan dibakukan sebagai metode standar penilaian kondisi terumbu karang di kawasan ASEAN dan Australia (English et al. 1994, 1997). Di Indonesia, terdapat 727 orang yang telah mendapat pelatihan Metode Penilaian Kondisi Terumbu Karang (MPTK) yang menggunakan metode transek garis melalui COREMAP (Suharsono 2008). Ratusan atau ribuan mahasiswa juga diperkirakan telah mendapat pelatihan semacam MPTK di bangku kuliah. Dengan bekal ketrampilan tersebut ditambah ketrampilan dasar mengoperasikan perangkat lunak MS Excell atau Lotus untuk menghitung rumus indeks, setiap kabupaten wilayah COREMAP memiliki kemampuan melakukan penilaian indeks resiliensi terumbu karang di wilayahnya masing-masing. Protokol penggunaan indeks disajikan pada Lampiran 3.

Penelitian ini juga menyediakan klasifikasi resiliensi terumbu karang yang diharapkan dapat membantu para pengelola terumbu karang. Pembagian indeks resiliensi ke dalam lima kategori tersebut masih belum memberikan makna penting di dalam pengelolaan, selain menyatakan bahwa terumbu ini lebih resiliens daripada terumbu yang lain. Klasifikasi indeks resiliensi membutuhkan interpretasi yang lebih kongkrit berkaitan dengan waktu pemulihan terumbu karang. Misalnya, jika suatu terumbu karang mempunyai indeks resiliensi baik (0.594) maka terumbu tersebut dapat pulih kembali ke tingkat resiliensi awal dalam waktu X tahun ketika terjadi penurunan indeks sebesar Y. Interpretasi semacam itu akan sangat penting bagi pengelola terumbu karang di dalam pengambilan keputusan. Interpretasi indeks tersebut membutuhkan data runut waktu yang lama (sekitar 15 tahun) yang di dalamnya terjadi kematian masal,

dengan jumlah sampel yang cukup. Sayangnya, data yang dibutuhkan tersebut belum tersedia saat ini di Indonesia.

Penggunaan peubah indikator USS, AOF, dan CHQ (kualitas habitat) ini diduga merupakan yang pertama di dalam pemantauan dan penilaian kondisi terumbu karang. Banyak pemantauan terumbu karang tidak membedakan antara substrat yang berupa pasir dan lumpur, atau substrat yang tertutup oleh algae atau terbuka, misalnya pemantauan terumbu karang di kawasan Florida dan Karibia. Program pemantauan yang mengambil data tutupan pasir dan lumpur juga tidak memasukkan peubah tersebut ke dalam analisisnya sebagai bagian dari kualitas terumbu karang. Tingginya tutupan karang Acropora serta tutupan karang masif dan submasif umumnya juga tidak mendapat perhatian dan interpretasi di dalam analisis kondisi terumbu karang. Kedua peubah tersebut menjadi bagian yang terpadu dari indeks resiliensi.

2.5 Kesimpulan

Modifikasi indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle (2004) menghasilkan indeks resiliensi terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang tersebut diukur berdasarkan enam peubah indikator, yang dapat secara praktis digunakan di dalam pengelolaan. Indeks resiliensi terumbu karang bertambah dengan meningkatnya tutupan karang, dan atau menurunnya tutupan makroalgae dan fauna lain. Nilai indeks tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu baik sekali, baik, sedang, kurang, dan buruk; walaupun interpretasi kategori tersebut masih belum dikembangkan.

Penilaian indeks resiliensi terumbu karang tidak dapat dilakukan dengan satu transek, melainkan membutuhkan banyak transek dengan rancangan pengambilan cuplikan yang baik. Indeks resiliensi terumbu karang mempunyai nilai maksimum 2.130 dan minimum 0.000. Sangat sedikit transek (0.403%) yang mempunyai indeks 1.000. Di Indonesia, rata-rata indeks resiliensi di suatu lokasi atau terumbu karang 1.000. Berdasarkan data yang ada, rata-rata (±SD) indeks resiliensi di suatu lokasi pengamatan antara 0.067±0.032 sampai 0.976±0.107. Uji coba penggunaan indeks secara spasial dan temporal masih diperlukan untuk menilai reliabilitas indeks.

3 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM PENILAIAN

SPASIAL RESILIENSI TERUMBU KARANG

3.1 Pendahuluan

Mengenali ekosistem merupakan tahapan pertama sebelum kita menyusun rencana pengelolaan terhadap ekosistem tersebut. Resiliensi suatu ekosistem atau resiliensi ekologis merupakan kualitas ekosistem yang sangat penting di dalam pengelolaan. Banyak peneliti telah mencoba menggunakan suatu pengukuran resiliensi ekosistem, terutama ekosistem hutan, dan memberikan saran pengelolaan berdasarkan tingkatan resiliensi ekosistem tersebut (di antaranya Moretti et al. 2006; Fischer et al. 2007). Semua peneliti tersebut menggunakan metode penilaian resiliensi yang berbeda-beda, sehingga hasil penelitian tidak dapat diperbandingkan jika penelitinya berbeda.

Pada ekosistem terumbu karang, penilaian resiliensi ekologis belum banyak dilakukan karena metode atau cara pengukuran masih dalam pengembangan. Pada awalnya peneliti masih menggunakan kembalinya tutupan karang sebagai ukuran resiliensi (Berumen & Pratchett 2006; Ledlie et al. 2007; Smith et al. 2008). Metode tersebut tidak dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi sebelum datangnya gangguan. Pada akhir tahun 2009, IUCN telah mengembangkan suatu protokol pengukuran resiliensi terumbu karang yang melibatkan 61 peubah indikator, yang sebagian besar merupakan peubah ekologis dan sebagian lainnya merupakan peubah oseanografis fisik, sosial, dan manajemen (Obura & Grimsditch 2009). Tetapi, protokol tersebut tidak memberikan prosedur baku dalam analisis data sehingga setiap peneliti dapat menggunakan alat analisis yang berbeda. Jika hal ini yang terjadi maka tujuan utama untuk dapat membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial tidak tercapai. Maynard et al. (2010) memberikan cara pengukuran resiliensi yang melibatkan bukan hanya komponen ekologis, melainkan juga oseanografi fisik dan manajemen. Metode Maynard et al. memberikan sebuah angka akhir sebagai ukuran resiliensi. Penelitian di dalam bab ini berbeda dari keduanya karena memberikan penilaian yang lebih rinci tentang faktor resiliensi ekologis yang ada pada komunitas karang.

Sebuah indikator ekologis sebaiknya berupa sebuah angka, yang mudah diinterpretasikan oleh pengelola sumberdaya dan pembuat kebijakan. Indeks- indeks ekologis yang lain, misalnya indeks keanekaragaman, indeks kesamaan dan indeks dominansi, merupakan indikator-indikator ekologis yang mudah digunakan dan diperbandingkan. Indeks-indeks tersebut telah banyak sekali bermanfaat di dalam mengidentifikasi status atau kondisi sumberdaya dan ekosistem yang dikelola. Penilaian resiliensi terumbu karang juga sebaiknya didasarkan pada sebuah angka indeks yang dihitung berdasarkan data dari banyak peubah (multifaktor).

Penilaian indikator ekologis terumbu karang yang melibatkan banyak peubah yang diintegrasikan menjadi sebuah angka telah dilakukan oleh Conservation International (CI), yang dinamakan Reef Condition Index (RCI). Nilai RCI dihitung berdasarkan faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang dan tutupan karang. Penilaian semua peubah tersebut dilakukan dengan 4 (empat) kategori dan masing-masing diberi bobot, sebagai penambahan (bonus) atau pengurangan (penalty) (Mckenna et al. 2002, 68). Penghitungan ini menghasilkan sebuah angka yang dianggap mencerminkan kondisi umum terumbu karang. Pada saat ini, penggunaan RCI masih terbatas di dalam kalangan CI.

Penelitian yang disajikan sebelumnya (bab 2) telah menghasilkan sebuah indeks yang dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi terumbu karang. Dengan menggunakan indeks tersebut, tingkat resiliensi terumbu karang seharusnya dapat diperbandingkan secara spasial. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji coba penggunaan indeks dalam penilaian resiliensi terumbu karang antar kawasan dan antar kabupaten. Terumbu karang dengan tingkat resiliensi yang tinggi seharusnya mendapat prioritas pengelolaan.

Terumbu karang di Indonesia memiliki sejarah geologis yang sangat kompleks, sehingga menghasilkan tipe terumbu yang sangat banyak. Semua tipologi terumbu karang yang sekarang ada bahkan tidak cukup untuk mengklasifikasikan semua terumbu karang di Indonesia (Tomascik et al. 1997). Proses geologis yang tidak sama juga membuat perbedaan dalam usia terumbu karang di Indonesia. Terumbu karang di Samudra Hindia, di bagian utara Biak- Raja Ampat dan Sulawesi terbentuk jauh lebih lama dibandingkan dengan di

Paparan Sunda. Paparan Sunda baru menjadi laut sekitar 8000 tahun yang lalu. Perbedaan dalam oseanografi dan fisiografi laut diperkirakan mempengaruhi ekologi terumbu karang, termasuk diantaranya tingkat resiliensi terumbu karang.

Penelitian di dalam bab 3 ini bertujuan untuk menguji kegunaan indeks resiliensi di dalam menjawab pertanyaan: 1) Apakah ada perbedaan indeks resiliensi terumbu karang antar kawasan, antar fisiografi laut, dan antar kabupaten? 2) Terumbu karang dimanakah yang memiliki indeks resiliensi tinggi? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memvalidasi kegunaan indeks resiliensi dalam perbandingan spasial.

3.2 Metode Penelitian