• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan peubah indikator indeks (multifaktor)

DAFTAR LAMPIRAN

2 FORMULASI INDEKS RESILIENS

3.2 Metode Penelitian 1 Pengumpulan data

3.3.2 Perbandingan peubah indikator indeks (multifaktor)

Hasil ANOSIM untuk faktor kawasan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah indikator indeks resiliensi terumbu karang antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur (Global R = 0.148, P < 0.05). Perbedaan yang signifikan juga ditemukan pada peubah indikator indeks antar fisiografi laut (Global R = 0.194, P < 0.01). Perbandingan ganda antara keempat fisiografi laut tersebut menunjukkan, bahwa hanya perbandingan peubah indikator indeks antara Samudra Pasifik dan Sulawesi-Flores (Su-Flo) yang tidak memiliki perbedaan signifikan, seperti berikut:

Perbandingan antar sub-kawasan (fisiografi laut) menunjukkan bahwa terumbu karang di Paparan Sunda memiliki jumlah kelompok fungsional (CFG), tutupan karang (COC) dan kualitas habitat (CHQ) yang lebih baik daripada terumbu karang di sub-kawasan lainnya (Gambar 9). Sebaliknya, terumbu karang di Paparan Sunda mempunyai jumlah koloni ukuran kecil (CSN) yang lebih rendah daripada di lokasi lainnya. Terumbu karang di Samudra Hindia berbeda dari yang lain karena memiliki CHQ dam AOF yang lebih rendah.

Gambar 9 Perbandingan rata-rata (+1SE) peubah indikator indeks resiliensi antar sub-kawasan (fisiografi laut).

ANOSIM untuk faktor kabupaten dilakukan terpisah pada masing-masing kawasan, yaitu Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Perbedaan yang signifikan ditemukan pada perbandingan peubah indikator indeks resiliensi antar kabupaten, baik di kawasan Indonesia Barat (Global R = 0.161, P < 0.01) maupun kawasan Indonesia Timur (Global R = 0.315, P < 0.01). Hasil perbandingan ganda masing- masing kawasan sebagai berikut:

Kabupaten yang memiliki terumbu karang dengan indeks resiliensi tinggi, yaitu Wakatobi, Natuna, dan Bintan, mempunyai rata-rata peubah CFG dan COC yang lebih tinggi dari kabupaten lainnya. Di kawasan Indonesia Timur, Wakatobi memiliki peubah CFG yang sebanding dengan Natuna dan Bintan, yang terletak di kawasan Indonesia Barat (Gambar 10). Disamping kedua peubah indikator tersebut, Natuna dan Bintan menunjukkan rata-rata peubah CHQ yang tinggi pula (13.18% dan 9.93%), sedangkan Wakatobi memiliki rata-rata peubah CHQ yang lebih rendah (4.24%). Pada peubah CSN, Kabupaten Buton, Biak, dan Lingga menunjukkan jumlah koloni kecil yang paling besar.

Terumbu karang yang indeks resiliensinya rendah, yaitu Sikka dan Nias Selatan, menunjukkan pola peubah indikator yang berbeda. Sikka mempunyai rata-rata peubah indikator CHQ yang sedang dan AOF yang tinggi (Gambar 10 dan 11), sedangkan Nias Selatan mempunyai rata-rata yang rendah pada semua (enam) peubah indikator. Di Nias Selatan, tutupan karang mati dan karang mati yang tertutup algae rata-rata (±SD) 34.66±28.66%. Walaupun keduanya

Keterangan:

Rjp= Raja Ampat, Sly= Selayar, Pkp= Pangkep, Btn= Buton, Wktb= Wakatobi, NiSel= Nias Selatan, Tpt= Tapanuli Tengah, Lgg= Lingga, Btm= Batam, Bnt= Bintan, Ntn= Natuna

merupakan terumbu karang dengan indeks resiliensi terrendah, kondisi peubah indikator antar keduanya sangat berbeda. Tutupan AOF yang sangat tinggi di Sikka, yaitu 65.35%, dapat merupakan petunjuk telah terjadinya pergantian fase. Dari tutupan AOF tersebut, sebagian besar berupa tutupan algae berfilamen (turf algae), yaitu 53.13±25.83% (SD). Tutupan fauna lain (karang lunak, sponge) relatif sedikit, yaitu 11.46±13.74%.

Gambar 10 Perbandingan rata-rata (+1SE) tiga peubah indikator indeks resiliensi (CFG, CSN, CHQ) antar kabupaten, dan antar kawasan di Indonesia.

Gambar 11 Perbandingan rata-rata (+1SE) tiga peubah indikator indeks resiliensi (COC, USS, AOF) antar kabupaten, di kawasan timur dan barat Indonesia.

3.4 Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi yang dirumuskan pada bab 2 sebelumnya terbukti dapat membedakan tingkat resiliensi terumbu karang antar kawasan, antar fisiografi laut, dan antar kabupaten. Hasil ini memiliki implikasi bahwa indeks resiliensi tersebut juga dapat digunakan untuk membedakan resiliensi terumbu karang dalam skala yang lebih kecil, misalnya

antar stasiun pengamatan yang mempunyai skala puluhan atau ratusan meter. Dengan demikian indeks ini dapat digunakan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang dengan bermacam-macam skala spasial, dari puluhan meter hingga puluhan ribu kilometer.

Membandingkan indeks resiliensi antar terumbu karang yang tersebar pada kawasan seluas Indonesia membutuhkan kehati-hatian di dalam membuat interpretasinya. Di dalam skala ribuan kilometer, gangguan alami terumbu karang dapat sangat berbeda jenis, intensitas, dan siklus kemunculannya. Adanya gangguan insani yang bekerja sinergis dengan gangguan alami akibat kurang efektifnya pengelolaan merupakan hal yang mudah dijumpai di kawasan Indonesia.

Perbandingan indeks resiliensi di dalam penelitian ini juga perlu melihat informasi tentang pengambilan datanya. Penelitian ini menggunakan data yang diambil oleh orang lain dengan tujuan yang berbeda. Data yang digunakan dirancang untuk pemantauan kondisi terumbu karang antar waktu. Pengambilan data tidak dirancang untuk perbandingan secara spasial, sehingga kedalaman transek kadang diubah jika tidak sesuai dengan kondisi lokasi. Perbedaan kedalaman transek tersebut dapat menyebabkan bias dalam perbandingan indeks secara spasial.

Dua peubah indikator yang ditemukan selalu dalam kondisi tinggi pada lokasi terumbu karang yang indeksnya tinggi, adalah tutupan karang (COC) dan jumlah kelompok fungsional (CFG). Kedua peubah indikator tersebut dijumpai tinggi di Kabupaten Wakatobi, Natuna, dan Bintan, serta tiga kabupaten lain di Paparan Sunda. Peubah CHQ yang tinggi juga berkaitan dengan terumbu karang yang indeks resiliensinya tinggi di Natuna dan Bintan.

Tingginya peubah AOF, khususnya turf algae atau algae berfilamen, di Sikka membutuhkan pengamatan lebih mendalam. Kelimpahan algae berfilamen yang tinggi (>50%) menunjukkan kondisi terumbu karang yang mengalami pergantian fase (Bruno et al. 2009). Terumbu karang dengan kondisi tutupan algae berfilamen tinggi biasanya mempunyai kualitas air yang baik atau kandungan nutrien rendah dan kegiatan herbivori rendah akibat penangkapan ikan yang berlebih (Littler et al. 2006). Algae berfilamen merupakan pesaing karang yang

penting (Jompa & McCook 2003a, 2003b), dan dapat berpengaruh pada rekruitmen karang (Birrel et al. 2005).

Tingginya indeks resiliensi di Paparan Sunda membutuhkan penjelasan khusus, karena terumbu karang di paparan ini merupakan terumbu karang yang paling muda di Indonesia. Secara fisiografis laut, Pulau Bintan, Batam, Natuna dan Lingga merupakan bagian dari Paparan Sunda (Sunda Shelf). Terumbu karang di Paparan Sunda merupakan terumbu yang masih baru dari usia geologis. Paparan ini menjadi lautan sekitar 8000 tahun yang lalu (Tomascik et al. 1997, 603), sehingga terumbu di sini termasuk kategori terumbu Holosin (Holocene reef). Terumbu karang di Tapanuli Tengah, Nias, Nias Selatan, dan Mentawai, merupakan terumbu karang oseanis di Samudra Hindia, yang berumur jauh lebih tua. Veron (2000, 37) membuat peta yang menunjukkan bahwa di selatan Pulau Sumatra telah ada terumbu karang sejak Era Jurasic, atau 206-144 juta yang lalu. Pulau Buton, Kepulauan Wakatobi, dan Flores merupakan pulau tua yang bergerak menjauhi Antartika dan berada di kawasan tropis sekitar 30 juta tahun yang lalu, bersamaan dengan bergesernya Paparan Sahul ke utara. Usia 30 juta tahun tersebut sama dengan rata-rata usia genus karang di Indonesia (Veron 2000, 42). Terumbu karang yang lebih tua diharapkan memiliki indeks resiliensi yang lebih baik.

Ditemukannya indeks resiliensi terumbu karang yang tinggi di Paparan Sunda setidaknya ada dua penjelasan. Pertama, penilaian indeks resiliensi di Paparan Sunda (selain Natuna) tidak dilakukan pada kedalaman yang sama dengan di lokasi lainnya. Hal ini disebabkan karena tujuan pengumpulan data transek garis bukan untuk perbandingan spasial, melainkan untuk perbandingan temporal. Kedua, di Paparan Sunda terumbu karang memiliki kedalaman maksimum pertumbuhan karang rendah, sehingga kelimpahan ikan target tidak cukup tinggi untuk menarik nelayan melakukan eksploitasi secara destruktif. Kurangnya kegiatan nelayan yang destruktif menyebabkan resiliensi terumbu karang di kawasan ini terpelihara dengan baik.

Laporan CRITC-COREMAP menunjukkan bahwa di Kabupaten-kabupaten Bintan, Batam, dan Lingga (Paparan Sunda), sebagian besar transek permanen tersebut dibuat pada kedalaman 3 (tiga) dan 4 (empat) meter (CRITC 2007;

Cappenberg & Djuwariah 2008; Cappenberg & Salatalohi 2008; Cappenberg & Souhoka 2009). Penempatan transek yang baku adalah pada kedalaman 5 (lima) meter. Penempatan transek yang lebih dangkal ini disebabkan pada kedalaman 5 (lima) meter terumbu karang sudah tertutup sedimen pasir dan lumpur. Jika dilakukan penilaian pada kedalaman yang sama (5 meter), maka akan ditemukan indeks resiliensi yang sangat rendah di Paparan Sunda. Di kawasan timur Indonesia, kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Buton. Tingginya indeks resiliensi di Buton, yang menjadi nomor dua setelah Wakatobii, juga memiliki bias pada kedalaman transek.

Kelimpahan ikan terumbu target lebih sulit diperbandingkan antar terumbu karang untuk mendukung penjelasan kedua. Kelimpahan yang tercatat dalam sensus visual bawah air merupakan kelimpahan ikan terumbu dengan kondisi tereksploitasi, bukan merupakan kelimpahan alami. Di dalam laporan pemantauan terumbu karang yang tersedia, kelimpahan ikan ditemukan tidak konsisten berkaitan dengan kedalaman maksimal pertumbuhan karang. Sebagai alternatif, keanekaragaman ikan terumbu karang berkaitan dengan kedalaman maksimal pertumbuhan karang. Di perairan Kabupaten Natuna yang memiliki kedalaman maksimal pertumbuhan karang 15 meter, keanekaragaman ikan terumbu adalah 204 spesies (26 suku) per 16 lokasi di Ranai dan Kelarik (Budiyanto & Cappenberg 2009), dan 133 spesies (22 suku) per 8 lokasi di Bungaran Barat (Cappenberg et al. 2009.). Ukuran transek sabuk pada sensus visual ikan adalah 350 m2, atau 70 x 5 m2, di setiap lokasi (stasiun) pengamatan. Keanekaragaman ikan terumbu di Natuna tersebut jauh lebih tinggi daripada di Paparan Sunda lainnya (selain Natuna) yang kedalaman maksimal pertumbuhan karang dangkal (3-4 meter), misalnya 99 spesies (21 suku) per 6 lokasi di Bintan Timur dan Numbing (Tuti & Salatalohi 2009), 157 spesies (23 suku) per 12 lokasi di Tambelan (Cappenberg & Djuwariah 2009), dan 72 spesies (18 suku) per 8 lokasi di Lingga Utara (Cappenberg & Salatalohi 2008). Keanekaragaman ikan terumbu di Biak lebih tinggi lagi, yaitu 212 spesies (25 suku) per 5 lokasi di Biak Timur dan 260 spesies (30 suku) per 7 lokasi di Padaido (Hukom & Suyarso 2009). Jika kaenekaragaman ikan terumbu tersebut dapat menunjukkan proporsi kelimpahan ikan (misal Wakatobi) dalam kondisi tanpa eksploitasi, maka eksploitasi yang

menguntungkan terjadi pada terumbu karang yang mempunyai kedalaman maksimal pertumbuhan karang tinggi (lebih dalam). Pada terumbu karang yang subur dengan kelimpahan ikan, maka eksploitasi nelayan juga akan tumbuh subur di sini. Pengelolaan terumbu karang yang lemah memungkinkan nelayan yang serakah menggunakan alat tangkap yang merusak, sehingga dalam kondisi eksploitasi tinggi peluang terjadinya kerusakan terumbu karang insani juga tinggi. Kerusakan terumbu karang menurunkan nilai indeks resiliensi akibat berkurangnya tutupan karang (COC), jumlah kelompok fungsional karang (CFG), atau peubah indikator yang lainnya.

Kepulauan Wakatobi yang mewakili terumbu karang dengan resiliensi tertinggi di Indonesia Timur dapat menjadi referensi tentang terumbu karang yang ideal. Keempat pulau yang disurvei COREMAP memiliki rata-rata batas kedalaman pertumbuhan karang 30 meter. Di Pulau Wanci, Pulau Kadelupa, Pulau Tomia, dan Karang (Terumbu) Kapota masing-masing mempunyai batas kedalaman pertumbuhan karang secara berurutan 40, 30, 25, dan 30 meter (Budiyanto et al. 2009). Batas kedalaman pertumbuhan karang ini jauh melebihi batas kedalaman pada terumbu karang di seluruh Paparan Sunda. Kelimpahan ikan target 6000 ekor per 15 lokasi (Budiyanto et al. 2009). Kelimpahan ini sangat jauh melebihi kelimpahan ikan target di Bintan yang sekitar 3000 ekor per 24 lokasi (Tuti & Salatalohi 2009; Cappenberg & Salatalohi 2009; Cappenberg & Djuwariah 2009).

Hasil penggunaan indeks resiliensi juga menunjukkan bahwa Kepulauan Raja Ampat memiliki terumbu karang dengan indeks resiliensi yang sedang, setara dengan Pangkep dan Selayar. Rendahnya indeks resiliensi terumbu karang di Raja Ampat dapat mengkonfirmasi tentang kemampuan indeks dalam membedakan terumbu karang yang resiliensinya baik dengan yang kurang baik. Kepulauan Raja Ampat sudah sangat terkenal sebagai salah satu kawasan yang memiliki terumbu karang terbaik di dunia. Kekayaan spesies karang, ikan terumbu karang dan molluska yang menakjubkan (outstanding) juga sering dikaitkan dengan kawasan ini (McKenna et al. 2002a, 20). Allen dan Erdman (2009) juga melaporkan bahwa terdapat 1320 spesies ikan terumbu di Raja Ampat. Sedangkan di kawasan laut terdekatnya, yaitu Pantai Fakfak-Kaimana dan Teluk

Cendrawasih, kekayaan spesies ikan terumbu berurutan 995 dan 877 spesies. Walaupun Kepulauan Raja Ampat merupakan salah satu yang terkaya dengan spesies ikan terumbu di dunia, indeks resiliensi terumbu karang termasuk sedang.

Salah satu peubah indikator yang sangat menentukan nilai indeks resiliensi adalah tutupan karang (COC), disamping jumlah kelompok fungsional karang (CFG). Berdasarkan penilaian kondisi terumbu karang yang konvensional, tutupan karang di Raja Ampat memang pada umumnya dalam kategori sedang atau di bawah 50%. Prayudha et al. (2009) melaporkan di kawasan pulau-pulau Batangpele dari 5 (lima) stasiun pengamatan, 3 (tiga) stasiun mempunyai tutupan karang kategori sedang. Tutupan karang di dua stasiun lainnya masuk kategori jelek atau rusak. Di kawasan Pulau Waigeo Selatan, dari 7 (tujuh) stasiun pemantauan, 5 (lima) stasiun memiliki tutupan karang sedang, dan dua stasiun memiliki tutupan karang jelek atau rusak (Prayudha & Picasaw 2009). Rendahnya tutupan karang di kawasan Raja Ampat juga dilaporkan oleh McKenna et al.

(2002b), yang dilakukan oleh sebuah lembaga konservasi internasional. Dari 45 lokasi dan 121 transek garis sepanjang 100 meter, hanya 10% transek yang mempunyai tutupan karang >50%, dengan rata-rata (±SD) tutupan karang 27.45±17.22%. Laporan McKenna et al. ini memperkuat status terumbu karang Raja Ampat yang memiliki tutupan karang relatif rendah.

Hasil penelitian yang sama dari COREMAP juga menunjukkan bahwa kekayaan biota terumbu karang di Raja Ampat juga tidak istimewa dibandingkan Wakatobi. Di dalam survei COREMAP dlaporkan bahwa terdapat 71 spesies karang (11 suku) di kawasan Batangpele, dan 83 spesies karang (11 suku) di kawasan Waigeo selatan (Prayudha et al. 2009; Prayudha & Picasaw 2009). Kekayaan spesies ikan-ikan terumbu dilaporkan 183 spesies (27 suku) di Batangpele dan 219 spesies (30 suku) di Waigeo selatan. Terumbu karang Wakatobi memiliki kekayaan spesies karang sebanyak 154 spesies (16 suku) dan ikan terumbu 309 spesies (34 suku) (Budiyanto et al. 2009). Dengan demikian, kekayaan spesies karang dan ikan terumbu di Raja Ampat bukanlah yang paling istimewa di Indonesia. Jumlah stasiun pemantauan di kawasan Batangpele dan Waigeo selatan adalah 5 (lima) dan 7 (tujuh) stasiun, sedangkan di Wakatobi 12 stasiun. Peta kekayaan spesies karang hermatipik yang dibuat Veron (2002) juga

menunjukkan bahwa antara Raja Ampat dengan Natuna tidak berbeda. Pemetaan keanekaragaman karang P2O LIPI juga menunjukkan bahwa kekayaan genus karang di Raja Ampat (61) lebih rendah daripada Wakatobi dan Buton (65 dan 69) atau Pangkep (68) (Suharsono 2008).

Hubungan antara tingkat resiliensi dengan kekayaan spesies di Raja Ampat lebih mudah dijelaskan jika data yang dibandingkan dari sumber yang sama, misalnya data dari CRITC-COREMAP yang digunakan di dalam penelitian ini. Indeks resiliensi dan kekayaan spesies ikan terumbu keduanya secara konsisten menunjukkan tingkatan kualitas terumbu karang yang sama di Kepulauan Raja Ampat. Masalah baru muncul ketika kita membandingkan dengan data yang berbeda, yaitu kekayaan spesies ikan terumbu dari Allen dan Erdman (2009) yang dibuat berdasarkan rekapitulasi banyak penelitian sejak tahun 1920-an ditambah hasil-hasil survei yang baru. Kedalaman penyelaman Allen dan Erdman disebutkan hingga 60 meter, sedangkan kedalaman survei dan pemantauan terumbu karang COREMAP hanya 5-12 meter. Semua stasiun pemantauan COREMAP di Raja Ampat mempunyai batas kedalaman partumbuhan komunitas karang hanya sampai 20 meter. Hal ini menjelaskan bahwa kedua data tersebut diambil dari kawasan yang sama di lokasi yang berbeda.

Pengelolaan terumbu karang seharusnya diprioritaskan kepada terumbu karang yang lebih tua yang mendapat ancaman lebih tinggi (Done 1995). Dengan kedua kriteria tersebut, maka terumbu karang di perairan Samudra Hindia dan kawasan Indonesia Timur memiliki nilai prioritas yang lebih tinggi daripada terumbu di Paparan Sunda. Nilai indeks resiliensi sebaiknya merupakan salah satu pertimbangan penting di dalam penyusunan prioritas tersebut. Perbandingan indeks resiliensi lebih baik dilakukan pada kedalaman 10 meter, dimana kelimpahan (tutupan) dan keanekaragaman karang tinggi, contohnya di Raja Ampat dan Gili Indah Lombok (P2O LIPI, unpublished data). Pada kedalaman ini indeks resiliensi tidak hanya menunjukkan potensi pemulihan terumbu karang, tetapi juga kondisi terumbu karang secara umum. Terumbu karang di Paparan Sunda akan memiliki nilai indeks resiliensi yang rendah pada kedalaman 10 meter. Hasil uji coba ini menganjurkan bahwa kita perlu mencermati kedalaman transek garis yang digunakan dalam penilaian indeks resiliensi.

3.5 Kesimpulan

Hasil uji coba penggunaan indeks dalam penelitian ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi terumbu karang dapat digunakan untuk menilai dan membandingkan tingkat resiliensi antar terumbu karang. Penilaian indeks resiliensi pada dasarnya dapat dilakukan pada semua kedalaman. Jika penilaian indeks resiliensi juga dimaksudkan untuk melihat kondisi terumbu karang secara umum, misalnya untuk tujuan prioritas konservasi, maka penilaian sebaiknya dilakukan pada kedalaman minimal 10 meter.

Paparan Sunda mempunyai indeks resiliensi yang paling tinggi. Kabupaten Bintan dan Natuna yang keduanya di Paparan Sunda juga menunjukkan sebagai kabupaten dengan indeks resiliensi terumbu karang terbaik di kawasan Indonesia bagian barat. Di kawasan Indonesia bagian timur, terumbu karang di Wakatobi memiliki indeks resiliensi yang paling tinggi. Indeks resiliensi terumbu karang di Raja Ampat tidak banyak berbeda dari terumbu karang di Selayar dan Pangkep.

Peubah tutupan karang (COC), jumlah kelompok fungsional karang (CFG), dan kualitas habitat (CHQ) berkaitan dengan indeks resiliensi yang tinggi. Terumbu karang yang mempunyai indeks resiliensi rendah dapat memiliki tutupan algae dan fauna lain (AOF) yang tinggi, dapat juga memiliki semua peubah indikator yang rendah.

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI