• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemulihan dalam skala puluhan kilometer

DAFTAR LAMPIRAN

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG

4.2 Metode Penelitian 1 Pengambilan data

5.3.2 Pemulihan dalam skala puluhan kilometer

Hasil analisis MDS pada indeks resiliensi menunjukkan bahwa terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat mempunyai perbedaan yang sangat besar antara April 1997 dan September 1998, yang menunjukkan adanya dampak gangguan (Gambar 25). Pemulihan terumbu karang dinilai berdasarkan kondisi sebelum gangguan, yaitu April 1997. Gambar 25 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu September 1998 sampai September 2000, indeks resiliensi terumbu karang berbeda jauh dari indeks resiliensi pada waktu pengamatan yang lainnya.

Gambar 25 Hasil analisis MDS terhadap indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat.

Dengan mengacu pada kondisi sebelum gangguan adalah April 1997, maka kondisi indeks resiliensi yang paling dekat dengan kondisi sebelum gangguan adalah September 2003. Jika dampak gangguan pada indeks resiliensi terjadi pada pengamatan September 1998, dan kondisi pada bulan September 2003 dianggap sebagai pulihnya terumbu karang di Sumbawa Barat, maka waktu yang diperlukan adalah 5.0 tahun.

Dinamika rata-rata indeks resiliensi menunjukkan pola yang sama dengan hasil MDS. Pada bulan September 1998 terumbu karang mengalami penurunan rata-rata indeks (±SE) menjadi 0.426±0.038 dari sebelumnya 0.598±0.086 pada bulan April 1997 (Gambar 26). Di Kabupaten Sumbawa Barat rata-rata indeks memiliki ragam yang sangat besar sehingga sulit mengukur laju pemulihan dengan ketepatan (presisi) yang sedang. Jika ragam tersebut diabaikan, maka pemulihan indeks resiliesi terjadi pada bulan September 2003, ketika rata-rata indeks mencapai 0.649±0.075. Pemulihan rata-rata indeks tersebut membutuhkan waktu 5.0 tahun. Dengan galat baku yang sangat besar, laju pemulihan indeks rata-rata ini sekitar 0.051 per tahun.

Gambar 26 Dinamika rata-rata (±1SE) indeks resiliensi terumbu karang di Kabupaten Sumbawa Barat, April 1997 sampai April 2010.

Analisis MDS pada tutupan karang menunjukkan pola yang serupa dengan indeks resiliensi. Tutupan karang pada kurun waktu September 1998 sampai April 2000 berada dalam kelompok yang sama, sebagai petunjuk bahwa pada kurun waktu tersebut terumbu karang sedang mengalami proses pemulihan akibat gangguan yang besar (Gambar 27). Kedekatan posisi titik April 1997 dengan September 2002 menunjukkan dekatnya persamaan tutupan karang di keenam transek antara sebelum dan sesudah gangguan, yang dapat diinterpretasikan

sebagai telah terjadinya pemulihan terumbu karang, dalam waktu 4 (empat) tahun. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan tutupan karang sebagai ukuran pemulihan terumbu karang memberikan hasil yang lebih cepat daripada pemulihan indeks resiliensi.

Gambar 27 Hasil analisis MDS terhadap tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat.

Dinamika rata-rata tutupan karang menunjukkan secara jelas adanya penurunan tutupan karang yang besar pada waktu antara tahun 1997 sampai 1998 (Gambar 28). Dampak dari gangguan tahun 1998 adalah terjadinya penurunan rata-rata (±SE) tutupan karang 12.72%, dari 31.65±9.38% (April 1997) menjadi 16.12±3.15% (September 1998). Proses pemulihan tutupan karang sudah terlihat enam bulan berikutnya. Tingginya ragam membuat definisi pemulihan tutupan karang menjadi kurang jelas.

Secara umum, pemulihan tutupan karang berlangsung lebih cepat daripada pemulihan indeks resiliensi terumbu karang. Rata-rata tutupan karang tersebut telah kembali mencapai 28.84±4.37%, atau 91% dari tutupan karang sebelum

gangguan, pada bulan April 2000. Pada kondisi ini, laju pemulihan rata-rata tutupan karang 8.48% per tahun. Jika pemulihan tutupan karang didefinisikan mencapai kondisi yang sama atau melewati tutupan sebelum gangguan, maka pemulihan tutupan karang baru terjadi pada bulan September 2002, ketika rata- rata tutupan karang mencapai 35.06±9.83%. Pemulihan tutupan karang terjadi dalam 4 (empat) tahun, dengan laju rata-rata 4.73% per tahun.

Gambar 28 Dinamika rata-rata (±1SE) tutupan karang di Kabupaten Sumbawa Barat, tahun 1997-2010.

5.4 Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks resiliensi dapat digunakan untuk menilai pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang juga dapat digunakan untuk memprediksi dampak gangguan dan laju pemulihan terumbu karang, dalam skala puluhan meter. Sebagai pembanding, tutupan karang dapat digunakan untuk memprediksi dampak gangguan, tetapi tidak dapat untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi merupakan alternatif penilaian pemulihan terumbu karang, yang lebih lengkap daripada tutupan karang.

Pemulihan terumbu karang tercatat lebih lama jika dinilai dari indeks resiliensi dibandingkan dengan tutupan karang. Di Kabupaten Sumbawa Barat

pemulihan terumbu karang antara keduanya berbeda satu tahun. Penggunaan peubah tutupan karang sebagai indikator pemulihan terumbu karang dianggap tidak lagi memuaskan tujuan pengelolaan (Mumby & Harborne 2010; Graham et al. 2011). Hasil penelitian ini menyediakan alternatif untuk menggunakan indeks resiliensi sebagai acuan dalam menilai pemulihan terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang telah mengandung sejumlah peubah-peubah yang penting dalam resiliensi terumbu karang, sebagaimana yang diharapkan oleh Graham et al. dan juga peneliti lainnya.

Gangguan pemutihan karang tahun 1998 membawa dampak penurunan indeks yang bervariasi sebesar 0.032-0.535. Tingkat penurunan indeks ini dapat menjadi acuan dampak dari suatu gangguan pemutihan karang yang sangat besar, karena terjadi secara global. Penggunaan indeks dalam pengukuran dampak gangguan belum pernah dilakukan sehingga tidak ada pembanding dari hasil penelitian lainnya.

Indeks resiliensi yang digunakan di dalam penelitian ini terbukti tidak berselingkupan dengan resistensi, yaitu kemampuan ekosistem untuk mempertahankan strukturnya dari gangguan. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa semakin tinggi indeks semakin besar pula kecenderungannya mengalami dampak yang lebih besar dari gangguan yang sama. Holling (1973) memberikan contoh populasi yang resiliensinya tinggi adalah hama tanaman pertanian. Ketika terjadi gangguan, populasi tersebut berkurang sangat cepat, demikian pula laju pemulihannya.

Menguji kemampuan indeks resiliensi untuk memprediksi pemulihan ekosistem dari gangguan tunggal tidak mudah dilakukan di alam terbuka. Secara alami terumbu karang mengalami banyak gangguan dengan berbagai skala (Adjeroud et al. 2009), sehingga pemulihan setelah gangguan yang diteliti mendapat tambahan beban dari gangguan sesudahnya. Dengan demikian pemulihan ekosistem yang diteliti tidak hanya dari satu gangguan melainkan multi-gangguan yang sulit diprediksi. Fluktuasi indeks setelah tahun 1998 dapat dianggap sebagai indikasi terjadinya gangguan-gangguan kecil dalam kurun waktu tersebut, disamping faktor-faktor lainnya, misalnya perbedaan pengambil data.

Kedekatan hubungan antara indeks resiliensi dengan laju pemulihan ekosistem dapat diteliti secara eksperimental. Peristiwa pemutihan karang yang terjadi pada tahun 2010, merupakan awal yang baik untuk melakukan eksperimen alami dan mendapatkan hubungan regresi antara keduanya. Penggunaan data sekunder sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini merupakan langkah awal untuk membuat indeks resiliensi dan melihat hubungannya dengan pemulihan terumbu karang. Indeks yang dihasilkan telah terbukti dapat digunakan untuk mengukur pemulihan terumbu karang. Berdasarkan data yang tersedia kita dapat membuat ramalan secara kasar lama pemulihan terumbu karang.

Dengan menggunakan nilai laju pemulihan rata-rata tersebut, kita dapat memperkirakan waktu yang diperlukan oleh terumbu karang untuk mencapai nilai indeks resiliensi yang sama dengan sebelum gangguan. Laju pemulihan indeks yang dihitung di dalam penelitian ini adalah laju pertambahan nilai indeks ketika terumbu karang baru saja mengalami gangguan. Laju pertambahan indeks tersebut dapat berbeda dengan perubahan indeks yang merupakan fluktuasi musiman atau tahunan.

Dibandingkan dengan perubahan rata-rata indeks temporal di lokasi COREMAP yang dibahas pada bab 4, rata-rata laju peningkatan indeks resiliensi yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat (0.051 per tahun) masih dalam kisaran rata-rata laju pertambahan indeks di Kabupaten Nias Selatan, yang merupakan laju tertinggi di wilayah COREMAP. Di Nias Selatan laju pemulihan rata-rata indeks resiliensi 0.044 dan 0.066 per tahun. Baik di Sumbawa Barat maupun Nias, keduanya adalah terumbu karang yang sedang mengalami proses pemulihan. Dengan demikian nilai pertambahan indeks 0.044 sampai 0.066 dapat dijadikan sebagai acuan laju pemulihan terumbu karang setelah mengalami gangguan.

Di dalam proses pemulihan, rekolonisasi suatu ekosistem dapat terjadi dengan cepat pada ruang kosong yang terbuka akibat dampak gangguan. Di the Great Barrier Reef (GBR), Australia, pertambahan tutupan karang lebih cepat pada terumbu yang mengalami gangguan pemangsaan bintang laut duri seribu (COT, crown of thorns) daripada yang tidak terganggu (Lourey et al. 2000). Pada terumbu karang yang terserang COT, di GBR selatan, pertambahan tutupan karang 4% per tahun, dan hanya 2% pada terumbu yang tidak terserang COT.

Pertambahan tutupan karang (COC) yang terjadi lewat rekruitmen secara teoritis juga akan diikuti dengan jumlah koloni kecil (CSN), dan mungkin sekali juga oleh pertambahan jumlah kelompok fungsional CFG. Ketiga peubah tersebut akan meningkatkan nilai indeks resiliensi terumbu karang. Jika kolonisasi terumbu tersebut memiliki perimbangan yang baik antara karang massif dan submasif dengan karang Acropora, maka peningkatan indeks akan lebih cepat lagi karena terjadi peningkatan nilai CHQ.

Pemulihan tutupan karang di Sumbawa Barat dapat berjalan dengan laju yang sangat cepat. Kecepatan pertambahan tutupan karang pada transek tunggal di Benete 2 mencapai 14.56% per tahun. Laju pemulihan rata-rata tutupan karang adalah 4.73 % per tahun di Sumbawa Barat. Laju rata-rata tersebut relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Tomascik et al. (1996) di bagian utara Pulau Gunung Api, Kepulauan Banda, yang mempunyai tutupan rata- rata 61.6% dalam lima tahun. Laju peningkatan tutupan karang rata-rata di Banda tersebut merupakan laju pada masa pemulihan. Di Banda pemulihan karang terjadi di atas batu bekuan lava dari letusan Gunung Api. Kecepatan pertambahan tutupan karang tersebut sekitar 12.21% per tahun. Di Sumbawa Barat, laju pemulihan tutupan karang hampir sama dengan laju pemulihan di GBR yang dilaporkan Lourey et al. (2000), yaitu sekitar 4% pada terumbu karang yang telah mengalami gangguan. Pertambahan tutupan karang yang tinggi biasanya berkaitan dengan karang Acroporidae. Di GBR, median pertambahan tutupan karang famili Acroporidae 11% per tahun, sedangkan famili lainnya 2-3% per tahun (Thompson & Dolman 2010).

Waktu pemulihan tutupan karang setelah kematian masal akibat pemutihan (bleaching) juga termasuk sangat cepat di Sumbawa Barat, dengan rentang waktu 2.0-4.5 tahun, dengan waktu pemulihan rata-rata 4.0 tahun. Pemulihan tutupan karang yang dilaporkan sangat cepat di Fiji dalam waktu 5 (lima) tahun, setelah kematian masal tahun 2000 (Lovell & Sykes 2008), dan di Ishigaki Island, Jepang, dalam waktu 4-6 tahun, setelah kematian masal karang tahun 1998 (Ohba et al.

2008). Ketiga kematian masal tersebut akibat dari pemutihan karang terkait peningkatan suhu yang ekstrim tinggi. Di GBR Australia, pemulihan tutupan karang dari gangguan pemangsaan COT berkisar antara 10-25 tahun (Lourey et al.

2000), sedangkan di Moorea, Society Islands pemulihannya 21 tahun (Berumen & Pratchet 2006). Pemulihan terumbu karang sangat tergantung pada dampak gangguan pada terumbu tersebut. Pembandingan waktu pemulihan saja tidak cukup untuk membuat kesimpulan tanpa melihat dampak gangguan. Keempat penelitian tersebut tidak mencantumkan data dampak gangguan dalam bentuk angka persentase penurunan tutupan karang. Dampak gangguan seringkali didiskripsikan dalam bentuk persentase karang yang mati atau yang memutih.

Di terumbu karang Indonesia, pemulihan tutupan karang dapat lebih lambat daripada yang ditemukan di Sumbawa Barat. Di Kepulauan Seribu, pemulihan tutupan karang baru mencapai 50% dalam waktu lima tahun, dari gangguan pemutihan karang tahun 1983 (Brown & Suharsono 1990). Brown dan Suharsono menyajikan data tutupan karang awal sehingga dampak gangguan berupa penurunan tutupan karang dapat dihitung, yaitu 18-25%. Pemulihan tutupan karang di Kepulauan Seribu juga sulit dibandingkan dengan di Sumbawa Barat, karena proses pemulihan belum mencapai tingkat tutupan yang sama dengan sebelum gangguan.

Secara teoritis, tingkat resiliensi suatu ekosistem berkurang dengan adanya tekanan dan gangguan. Jika tekanan dan gangguan tersebut demikian besar sehingga melewati nilai kritis (ambang) perubahan ekosistem, maka terjadilah pergantian fase atau rejim (Scheffer et al. 2002). Di dalam penelitian ini, nilai indeks resiliensi sebesar 0.288, misalnya di Tanjung Amat 2, masih belum merupakan titik kritis pergantian fase. Jika nilai kritis pergantian fase terlewati, indeks resiliensi terumbu karang tersebut tidak dapat kembali lagi ke arah yang lebih baik.

Pergantian fase dari dominansi karang ke dominansi makroalgae merupakan sesuatu yang langka pada terumbu karang di Indonesia. Kejadian pergantian fase yang dilaporkan oleh Hughes (1994) memang banyak dianggap sebagai kejadian yang khusus (Bruno et al. 2009; Mumby 2009; Adjeroud et al. 2009), yang sulit ditemukan di lokasi lain. Sampai sekarang, definisi dari komunitas yang didominasi makroalgae juga masih belum jelas (Mumby 2009). Jika pergantian fase didefinisikan sebagai terumbu karang yang memiliki tutupan makroalgae di

atas 50% (Bruno et al. 2009), maka hanya 0.008% peluangnya terjadi di Indonesia (bab 4).

Secara umum dapat dilaporkan bahwa dengan menggunakan indeks resiliensi terumbu karang kita dapat mengukur laju pemulihan terumbu karang. Pengukuran pemulihan dengan SARCC (Mumby & Harborne 2010) tidak dapat diperbandingkan karena perbedaan data, metode, dan tujuan penelitian. Penelitian lebih lanjut untuk membandingkan keduanya sangat penting dalam pencarian metode penilaian terumbu karang yang lebih praktis dan akurat.

Di Sumbawa Barat, kurangnya replikasi atau cuplikan dapat membuat nilai perubahan indeks atau laju pemulihan terumbu karang menjadi berlebihan (overestimate) atau kekurangan (underestimate). Laju pemulihan indeks resiliensi yang sangat cepat dapat terjadi pada individu transek yang memiliki kondisi ideal. Jika pengamatan dilakukan dengan replikasi yang lebih banyak maka laju pemulihan yang ekstrim tinggi akan tereduksi di dalam laju pemulihan rata-rata, sehingga akan menjadi lebih meyakinkan.

Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menggunakan indeks resiliensi untuk menilai dan memprediksi pemulihan terumbu karang. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi secara umum waktu pemulihan terumbu karang yang dapat diharapkan ketika pengelolaan berjalan efektif. Metode penilaian resiliensi dari Obura dan Grimsditch (2009) dan Maynard et al.

(2010) belum digunakan sampai sejauh indeks resiliensi di dalam penelitian ini.

5.5Kesimpulan

Indeks resiliensi terumbu karang yang dikembangkan di dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menilai pemulihan terumbu karang, serta memprediksi besarnya dampak gangguan dan laju pemulihan terumbu karang. Di Sumbawa Barat kematian masal akibat pemutihan karang pada tahun 1998 membawa dampak pada penurunan indeks sebesar 0.094-0.535. Pemulihan indeks resiliensi terumbu karang dari gangguan tersebut membutuhkan waktu 5.0 tahun. Laju pemulihan indeks 0.044-0.066 per tahun dapat menjadi acuan prakiraan pada terumbu karang yang baru mengalami gangguan kematian karang secara masal.

Di Kabupaten Sumbawa Barat, dampak gangguan akut langsung terhadap indeks resiliensi terumbu karang dapat diprediksi dengan model persamaan regresi = -0.693 + 1.323X, dimana X adalah indeks resiliensi awal (sebelum gangguan). Indeks resiliensi ini juga dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang (indeks per tahun), dengan menggunakan model persamaan regresi = -0.280 + 0.492X, dengan X adalah indeks resiliensi awal. Ketepatan prediksi dari indeks resiliensi ini sangat penting diuji di dalam kondisi yang berbeda dari kondisi di bagian timur Selat Alas (Kabupaten Sumbawa Barat), agar dapat digeneralisasikan pada wilayah yang lebih luas.