• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Indeks dalam Pengelolaan Terumbu Karang

DAFTAR LAMPIRAN

6 PEMBAHASAN UMUM

6.2 Penggunaan Indeks dalam Pengelolaan Terumbu Karang

Tersedianya rumus indeks resiliensi akan mempermudah pengelola terumbu karang dalam mengambil kebijakan dan tindakan pengelolaan. Arah kebijakan pengelolaan dapat lebih difokuskan untuk meningkatkan resiliensi terumbu karang dengan meningkatkan nilai peubah indikator yang bersifat positif dan mengurangi nilai peubah indikator yang bersifat negatif terhadap nilai indeks. Peubah yang bersifat positif atau meningkatkan indeks adalah tutupan karang (COC), jumlah kelompok fungsional atau bentuk tumbuh karang (CFG), kualitas habitat (CHQ), dan jumlah koloni karang ukuran kecil (CSN). Dua peubah lainnya, USS (substrat tidak stabil) dan AOF (tutupan biota alternatif), bersifat negatif terhadap nilai indeks.

Kabupaten Sikka, misalnya, memiliki terumbu karang dengan indeks resiliensi paling rendah di kawasan timur Indonesia. Dengan melihat nilai peubah indicator indeks dapat diketahui bahwa terumbu karang di Sikka mempunyai rata- rata COC, CFG, dan CSN yang rendah. Tutupan USS juga rendah, sedangkan tutupan AOF sangat tinggi, yaitu rata-rata (±SD) 65.351±25.134%. Kebijakan yang dapat diambil untuk meningkatkan indeks sebaiknya difokuskan untuk mengurangi nilai tutupan AOF serta meningkatkan nilai COC, CFG, dan CSN. Pengkajian lebih lanjut pada data transek garis menunjukkan bahwa komponen AOF yang paling besar adalah tutupan algae berfilamen (turf algae), yaitu rata- rata 53.036±25.826%, disusul oleh tutupan fauna lain (OTF) dengan rata-rata sebesar 11.464±13.737%. Rendahnya tutupan makroalgae merupakan indikasi bahwa terumbu karang di Sikka memiliki lingkungan perairan yang belum banyak tercemar nutrient (oligotrofik). Tingginya tutupan algae berfilamen menunjukkan perairan tersebut kekurangan hewan herbivora. Hewan herbivora yang utama adalah ikan-ikan herbivora, disamping hewan Echinoidea.

Dengan melihat nilai rata-rata peubah indikator indeks resiliensi tersebut pengelola terumbu karang di Sikka dapat mengambil kebijakan yang lebih tepat. Kebijakan pengelolaan terumbu karang di Sikka sebaiknya diarahkan untuk mengurangi penangkapan ikan. Penangkapan ikan herbivora yang berlebihan biasanya menunjukkan kondisi perikanan yang sudah mengalami tangkap lebih (overfishing). Pada kondisi perikanan yang baik, target penangkapan ikan yang

utama adalah ikan karninova karena kelompok ikan tersebut mempunyai harga jual tinggi, misalnya ikan kerapu dan ikan kakap. Setelah kelimpahan ikan karnivora tidak lagi ekonomis dalam penangkapan, maka target penangkapan menurun ke tingkatan trofik di bawahnya yaitu ikan herbivora, misalnya ikan baronang dan ikan kakatua. Rendahnya kelimpahan ikan herbivora biasanya merupakan petunjuk bahwa perikanan di kawasan tersebut tidak lagi berkelanjutan (sustainable). Pengurangan penangkapan ikan herbivora dan penambahan kelimpahan hewan herbivora yang lain (Diadema sp.) dapat mengurangi kelimpahan algae berfilamen.

Di kawasan barat Indonesia, Kabupaten Nias Selatan mempunyai terumbu karang dengan indeks resiliensi yang paling rendah. Sebagaimana di Sikka, terumbu karang di Nias juga memiliki nilai COC, CFG, dan CSN yang rendah. Berbeda dengan Sikka, nilai kualitas habitat (CHQ) terumbu karang juga rendah. Di Nias Selatan, nilai USS lebih tinggi daripada di Sikka dengan rata-rata (±SD) 12.081±14.214%. Nilai AOF di Nias Selatan lebih rendah dengan rata-rata 23.825±26.376%, yang sebagian besar berasal dari tutupan algae berfilamen (17.483±24.005%). Nias Selatan juga mempunyai tutupan karang mati (DC, dead coral) dan karang mati yang sudah tertutup algae (DCA, dead coral algae) yang tinggi dengan rata-rata 34.661±28.664%. Tutupan makroalgae dan algae berfilamen yang rendah menunjukkan perairan di Nias Selatan mempunyai nutrient yang rendah dengan kelimpahan hewan herbivora yang cukup untuk mengendalikan tutupan algae. Rendahnya COC, CFG, dan CSN merupakan akibat dari kematian karang secara masal, yang ditunjukkan oleh DC dan DCA yang tinggi. Rendahnya nilai CHQ yang disebabkan rendahnya tutupan karang Acroporidae (0.919%) menunjukkan bahwa kematian masal tersebut bersifat selektif yang menyerang karang Acroporidae.

Upaya peningkatan resiliensi terumbu karang di Nias Selatan lebih tepat dimaksudkan untuk meningkatkan nilai COC, CFG, dan CSN. Dengan melihat kondisi yang ada, yaitu nutrient rendah, kelimpahan ikan herbivora cukup, serta tutupan pasir dan lumpur yang sedang; maka pemulihan terumbu karang secara alami masih dapat diharapkan di Nias Selatan. Rendahnya nilai CSN di Nias Selatan tidak berarti bahwa suplai larva karang atau rekruitmen karang rendah,

melainkan lebih disebabkan oleh kematian masal karang yang baru saja terjadi (DC dan DCA tinggi). Pengelolaan terumbu karang sebaiknya lebih banyak diarahkan untuk menjaga terumbu karang dari penyebab kerusakan yang insani, agar resiliensi terumbu karang dapat pulih kembali secara alami.

Intervensi atau kebijakan pengelolaan yang dapat diperoleh dari indeks sangat tergantung dari kondisi terumbu karang. Terumbu karang yang indeks resiliensinya rendah, dengan tutupan karang (COC) yang rendah, dapat memiliki USS yang tinggi atau AOF yang tinggi. Kedua kondisi tersebut membutuhkan kebijakan yang berbeda (Tabel 13). Pada terumbu karang yang memiliki USS tinggi, penambahan susbtrat atau terumbu buatan dapat meningkatkan CSN, CFG, dan CHQ sekaligus mengurangi USS. Reef BallTM telah dibuktikan dapat meningkatkan tutupan dan rekruitmen karang (Bachtiar & Prayogo 2010). Hasil yang sama juga dilaporkan pada penggunaan terumbu buatan yang lain, misalnya Eco-block (Maekouchi et al. 2008), atau balok beton biasa (Bachtiar 2003a).

Tabel 13 Kebijakan pengelolaan untuk meningkatkan indeks resiliensi terumbu karang.

Persoalan Kondisi Intervensi (kebijakan) 1) AOF tinggi Turf algae tinggi herbivori ditingkatkan

Makroalgae tinggi nutrien dikurangi, herbivori ditingkatkan Karang lunak tinggi pembersihan karang lunak 2) USS tinggi Pasir dan lumpur tinggi terumbu buatan

3) COC rendah AOF dan USS rendah transplantasi karang AOF dan USS tinggi Lihat 1) dan 2).

4) CHQ rendah Acroporidae rendah pengurangan sumber sedimen Karang masif submasif

rendah

terumbu buatan 5) CFG rendah Acroporidae rendah Lihat 4).

Karang masif submasif rendah

Lihat 4).

Penggunaan indeks resiliensi untuk penentuan prioritas pengelolaan terumbu karang perlu dilengkapi dengan informasi tentang batas kedalaman pertumbuhan karang. Batas kedalaman karang tersebut memang tidak berkaitan langsung dengan resiliensi terumbu karang, sehingga tidak dapat dimasukkan ke

dalam rumus indeks resiliensi. Batas kedalaman tersebut merupakan faktor penting yang sering dilupakan di dalam banyak survei terumbu karang. Batas kedalaman pertumbuhan karang dapat menunjukkan kondisi perairan dan masa depan terumbu karang. Di kawasan perairan Kepulauan Riau, misalnya, banyak terumbu karang yang memiliki indeks resiliensi tinggi dan tutupan karang yang tinggi pula. Sebagian besar terumbu karang di kawasan ini memiliki batas kedalaman maksimal pertumbuhan karang kurang dari 5 (lima) meter. Hal ini sangat berbeda dengan terumbu karang di Wakatobi yang mempunyai batas kedalaman maksimum pertumbuhan karang sekitar 30 meter. Jika indeks resiliensi tersebut digunakan bersama-sama dengan faktor batas kedalaman pertumbuhan karang, maka akan dapat diperoleh informasi yang lebih lengkap untuk membuat prioritas pengelolaan yang lebih tepat.

Solusi dari perbedaan indeks resiliensi pada kedalaman yang berbeda adalah dengan menetapkan sebuah kedalaman baku untuk penilaian indkes resiliensi terumbu karang. Jika penilaian indeks resiliensi dilakukan pada kedalaman 10 meter, maka sebagian besar transek di kabupaten Bintan dan Batam akan memiliki indeks yang sangat rendah, karena pada kedalaman tersebut sebagian besar lokasi memiliki tutupan pasir dan lumpur (USS) yang sangat tinggi. Dengan menggunakan kedalaman baku ini, akan terlihat bahwa Paparan Sunda yang memiliki terumbu karang paling muda juga memiliki indeks resiliensi yang lebih rendah daripada terumbu karang yang lebih tua, misalnya Wakatobi dan Raja Ampat. Solusi ini hanya untuk membedakan nilai konservasi antara terumbu karang dengan menggunakan indeks resiliensi, bukan metode baku penilaian indeks. Penilaian indeks resiliensi sendiri dapat dilakukan pada semua kedalaman. Faktor sosial dan pengelolaan juga sangat penting untuk melengkapi indeks resiliensi ekologis yang dikembangkan di dalam penelitian ini. Metode penilaian resiliensi terumbu karang yang dikembangkan oleh Maynard et al. (2010) dapat melengkapi indeks resiliensi ekologis ini. Obura dan Grimsditch (2009) juga memasukkan faktor efektivitas pengelolaan dan tekanan penduduk di dalam pengukuran resiliensi terumbu karang. Metode analisis data yang diberikan oleh Maynard et al. jauh lebih praktis daripada statistik multifaktor yang diberikan oleh Obura dan Grimsditch. Penyusunan indeks ini memang untuk mengenali kondisi

ekologis ekosistem terumbu karang. Penggunaan indeks untuk pengelolaan membutuhkan juga faktor sosial, sehingga indeks ini perlu disinergikan dengan indeks yang lainnya.

Indeks resiliensi ini mempunyai potensi atau kemungkinan untuk dapat digunakan di seluruh dunia. Indeks resiliensi tersebut dibuat dengan referensi kondisi ideal terumbu karang di Indonesia. Perairan laut Indonesia merupakan salah satu kawasan dengan terumbu karang terbaik di dunia. Kawasan Raja Ampat dan Wakatobi, misalnya, memiliki keanekaragaman spesies karang yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Papua New Guinea dan the Great Barrier Reef (Pet-Soede & Erdman 2003, 36). Veron (2002) juga memperkirakan bahwa seluruh wilayah Indonesia dan Filipina merupakan pusat keanekaragaman spesies karang tertinggi di dunia, dengan kisaran 500-564 spesies. Dengan asumsi bahwa referensi dari indeks resiliensi ini adalah terumbu karang yang terbaik di dunia, maka indeks tersebut semestinya dapat juga diaplikasikan di semua terumbu karang seluruh dunia. Walaupun demikian, spekulasi ini masih perlu dibuktikan dengan data dari negara-negara yang memiliki terumbu karang terbaik di wilayah tropis, terutama dari negara Filipina.

Jika indeks tersebut digunakan utuk membandingkan terumbu karang di perairan Karibia dengan di perairan Indo-Pasifik, misalnya, maka indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Karibia akan jauh lebih kecil daripada yang di Indo- Pasifik. Tutupan karang umumnya kecil di kawasan Karibia, pada tahun 2001- 2005 tutupan karang di bawah 30% kecuali Teluk Mexico 58% (Schutte et al. 2010). Jumlah kelompok fungsional karang di kawasan ini juga lebih rendah daripada di Indo-Pasifik (Bellwood et al. 2004). Perbedaan kondisi terumbu karang ini menimbulkan pertanyaan tentang perlunya setiap kawasan menggunakan referensi indeks tersendiri. Perbandingan tingkat resiliensi terumbu karang antar kawasan membutuhkan referensi yang sama. Dengan menggunakan indeks resiliensi ini, yang disusun dengan referensi kondisi terumbu karang Indonesia, perbandingan antara kedua kawasan dengan kondisi lingkungan yang berbeda tersebut dapat dilakukan. Jika ternyata kedua kawasan memiliki pola perubahan temporal indeks yang berbeda, maka perlu dilakukan perbedaan di

dalam interpretasi indeks, sedangkan nilai indeks tetap dihitung menggunakan rumus atau terumbu karang acuan yang sama.

Penilaian resiliensi terumbu karang yang dilakukan dengan data transek garis, sebagaimana indeks resiliensi dalam disertasi ini, perlu dilengkapi dengan pengukuran faktor lingkungan. Kualitas perairan terumbu karang, misalnya, sudah dimasukkan ke dalam indeks melalui peubah kualitas habitat (CHQ). Kelimpahan karang Acropora dianggap mencerminkan perairan yang jernih dan jauh dari tekanan polusi daratan. Meskipun demikian, pengukuran kecerahan air yang menjadi bagian dari kualitas air masih perlu dilakukan, misalnya dengan alat sederhana seperti cakram Sechi. Pengukuran tersebut telah menjadi bagian dari pengukuran faktor lingkungan yang baku dalam penilaian kondisi terumbu karang (Engish et al. 1994). Pengukuran faktor lingkungan yang sama juga diperlukan dalam penilaian resiliensi terumbu karang.