• Tidak ada hasil yang ditemukan

38

AN KOMNAS PEREMPU

38

KOMNAS PEREMPUANAN KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012

38

Gambaran kasus

Sepanjang tahun 2012 ada sejumlah 56 kasus kekerasan terhadap perempuan yang pelakunya adalah Pejabat maupun Tokoh publik yang diadukan ke Komnas Perempuan. Pejabat dan tokoh publik tersebut melingkupi PNS, aparat polisi, anggota tentara, pejabat pemerintahan/pengambil kebijakan seperti Walikota, Gubernur, Kepala Dinas, anggota DPRD, kepala badan; lembaga pendidik, guru, dosen, tokoh agama, dan pengurus parpol.

Bentuk-bentuk kekerasan yang terbesar dilakukan oleh pejabat publik adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terdiri dari pengingkaran terhadap anak yang lahir dari hubungan perkawinan, penelantaran anak dan kekerasan ekonomi sehingga isteri terpaksa menjadi orangtua tunggal yang menanggung biaya kehidupan anak-anaknya, kawin siri serta kejahatan perkawinan yakni suami melakukan poligami tanpa seijin korban sebagai isteri pertama. Kasus KDRT ini antara lain pelakunya adalah Walikota Palembang, Bupati Bogor, dan juga Gubernur Sulawesi Tenggara. Pemiskinan atau pencerabutan sumber kehidupan dari perempuan, yakni konflik sumber daya alam yang terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat dan Ogan Ilir, Sumatera Selatan, serta penggusuran perempuan pedagang di Lampung, dan sepanjang jalur Kereta Api Listrik (KRL) Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), serta penggusuran tempat tinggal.

Sementara, ada 46 kasus kekerasan terhadap perempuan yang pelakunya adalah aparat keamanan, dalam hal ini polisi dan militer/tentara, 32 orang diantaranya pelakunya adalah polisi, dan 14 orang militer/tentara dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Kasus KDRT merupakan bentuk kekerasan terbanyak yang dilakukan oleh aparat keamanan, utamanya penelantaran keluarga dikarena pelaku berpoligami tanpa seijin isteri pertama, perzinahan, kawin siri, perselingkuhan, kekerasan psikis, dan fisik, serta penceraian sepihak. Berikutnya kekerasan seksual, 5 di antaranya adalah kekerasan seksual terhadap anak, yakni perkosaan, serta kekerasan dalam pacaran. Secara umum korban mengalami korban berlapis, kehilangan hak asuh atas anak, menderita tekanan psikis, ditelantarkan, bahkan ada yang mengalami kriminalisasi dan dibunuh.

Proses Hukum Dan Penjatuhan Sanksi Hukum Terhadap Pelaku

Dari 46 kasus tersebut, ada 14 kasus yang pelakunya mengingkari bahwa pelaku melakukan tindak kekerasan sebagaimana yang dilaporkan oleh korban atau keluarga korban. Selanjutnya ada 30 kasus yang terjadi pengabaian dan pembungkaman terhadap korban, antara lain mengintimidasi, janji akan dikawini, berjanji kembali kepada istri pertama, korban dinikahkan dengan pelaku sehingga pengaduan korban/keluarga korban tidak ditindak lanjuti oleh kepolisian atau Propam; bahkan ada 3 kasus yang korbannya mengalami kriminalisasi diproses oleh polisi sementara pengaduan korban tidak ditindak lanjuti.

Tragisnya, institusi keamanan baik kepolisian maupun tentara/militer seolah melakukan pembiaran

K E K E R A S A N T E R H A DA P P E R E M P UA N YA N G D I L A K U K A N P E JA B A T P U B L I K DA N TO K O H P U B L I K

39

KOMNAS PEREMPUAN

Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012 KOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUAN

39 39 39

terhadap pelaku. Hal ini terlihat dari minimnya pelaku yang dikenakan sanksi hukum yang tegas dan yang dapat memberikan efek jera, selain itu institusi nyaris tak peduli akan pentingnya pemulihan bagi korban. Pemenuhan hak korban atas keadilan dan kebenaran juga diabaikan oleh institusi-institusi keamanan. Seolah-oleh semua bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pelaku itu adalah merupakan hal yang lumrah terjadi.

Oleh karena itu Komnas Perempuan mendorong adanya reformasi di sektor keamanan (security sector reform), agar membangun mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang menggunakan perspektif HAM dan gender. Sehingga akses korban terhadap kebenaran, keadilan dan pemulihan dapat terpenuhi. Selain itu juga mendorong mendorong penerapan Sistem Penanganan Pidana Terpadu untuk menghindari terjadinya kriminalisasi terhadap korban.

Pernyataan Diskriminatif Pejabat Publik

Pernyataan Marzuki Ali terkait Larangan Menggunakan Rok Mini di DPR

Awal Maret 2012 lalu, Ketua DPR RI menuding perempuan yang mengenakan rok mini sebagai penyebab laki-laki berbuat ‘sesuatu’. Dalam wawancaranya dengan beberapa wartawan di gedung DPR RI, Marzuki Ali mengungkapkan:

DPR ini nggak urusi rok mini. Tetapi, kita tahu, banyak sekali terjadinya perkosaan, kasus-kasus asusila, karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga membuat hasrat laki-laki itu menjadi berubah. Itu yang harus dihindari. Namanya laki-laki, ada pakaian yang tidak pantas, itu yang menarik laki-laki itu akhirnya berbuat sesuatu, ” 6

Ungkapan Marzuki Ali ini langsung diprotes oleh anggota komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin. Dia merasa pernyataan seperti itu tidak layak diucapkan oleh seorang Ketua DPR. Artinya Marzuki Ali merendahkan sendiri kelompoknya. Pelarangan ini malah memperburuk citra DPR. Sebaiknya DPR fokus pada tugasnya, utang legislasi begitu banyak.7

Komnas Perempuan berpendapat bahwa pernyataan Marzuki Ali menempatkan korban perkosaan berada dalam posisi yang dipersalahkan dan mengakibatkan korban kembali dikorbankan (reviktimisasi). Padahal korban juga harus berhadapan dengan dampak dari perkosaan, terutama trauma berkepanjangan, difungsi seksual maupun rusaknya organ reproduksi, dan juga stigma ‘kehilangan kesucian’ Korban perkosaan seharusnya mendapat jaminan dari Negara dalam memperoleh keadilan atas peristiwa yang dialaminya. Bahkan Negara sepatutnya menganggarkan pembiayaan bagi perempuan korban perkosaan atas pemulihan fisik dan psikisnya, agar dapat pulih.

Pernyataan Muhammad Nuh Tentang Siswi Korban Kekerasan Seksual

Pada Oktober 2012, dunia pendidikan di Indonesia mengalami titik nadir keprihatinan dengan pernyataan Menteri Pendidikan M Nuh terkait kasus kekerasan seorang siswi sebuah SMP di Depok. ASS adalah korban penculikan oleh sindikat perdagangan manusia untuk seks komersial yang justru mengalami penolakan dan tuduhan pencemaran nama baik sekolah oleh pihak sekolahnya (Kompas, 8 Oktober 2012).

6 Selasa, 6 Maret 2012 dikutip dari Tribunnews.com 7 Selasa, 6 Maret 2012 dikutip dari Detik.com

Dokumen terkait