• Tidak ada hasil yang ditemukan

48

AN KOMNAS PEREMPU

48

KOMNAS PEREMPUANAN KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012

48

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI nomor 98 tahun 2012 tentang Komponen dan Besarnya biaya penempatan Calon tenaga kerja Indonesia sektor Domestik Negara tujuan Hongkong SAR, tanggal 24 Mei 2012. Biaya penempatan sebesar Rp. 14.780.400.

Adanya kebijakan dan payung hukum mengenai standar biaya keberangkatan bagi pekerja migran patut diapresiasi mengingat persoalan ketiadaan standar biaya menyebabkan praktek eksploitasi dan pembebanan biaya berlapis hingga praktek bondage labour kepada pekerja migran dan keluarganya. Komnas Perempuan memandang, dilihat dari muatan peraturan tersebut, besaran biaya yang begitu besar dan komponen pembiayaan seperti biaya akomodasi dan konsumsi di penampungan selama 110 hari sebesar Rp. 5.500.000 dan biaya peralatan dan bahan praktek sebesar Rp. 3.000.000 yang tidak jelas peruntukannya, harus dikaji ulang secara komprehensif.

Sistem Pengadilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dan Pengadilan Khusus sebagai Upaya Mendekatkan Akses Keadilan bagi Perempuan Korban

Sebagai tindak lanjut dari MOU yang ditandatangani Komnas Perempuan dengan KPPPA, Kapolri, Kejagung, MA dan Peradi pada akhir tahun 2010, maka di tahun 2012 telah dikeluarkan SK DPN Peradi Nomor:KEP.299/Peradi/DPN/XII/2012 yang mewajibkan Materi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak masuk dalam kurikulum Wajib dalam Pelaksanaan PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) Peradi.

Sampai saat ini upaya membangun pemahaman bersama pentingnya sinergi penanganan kasus dan monitoring evaluasi akses keadilan bagi perempuan korban antara penegak hukum, pemerintah dan pendamping terus diupayakan, diharapkan akan segera muncul kebijakan bersama yang mengatur keduanya, baik melalui kurikulum pendidikan Penegak Hukum, maupun mekanisme kerja bersama yang sistemik.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2012 MK tentang Hubungan Keperdataan Anak dengan Ayah

Putusan Bulan Februari 2012, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan tetap memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya, yang sepanjang 38 tahun sebelumnya telah dinegasikan oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelum hadirnya Putusan MK ini, perempuan atau ibu dalam perkawinan tidak tercatat rentan menanggung beban stigma dari masyarakat dan menanggung beban orang tua tunggal dalam perawatan anak. Anak pun tumbuh dalam stigma sebagai anak haram. Hadirnya Putusan ini selain memulihkan hak keperdataan anak, diharapkan juga dapat

49

KOMNAS PEREMPUAN

Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012 KOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUAN

49 49 49

meminimalkan kekerasan berlapis pada perempuan atau ibu yang terjebak dalam perkawinan tidak tercatat. Putusan ini diharapkan dapat menjerakan para pelaku perkawinan tidak tercatat yang selama ini dengan mudah menghindar dari kewajibannya terhadap anak yang dilahirkan karena tidak tercatatnya perkawinan tersebut. Dengan demikian, Putusan ini juga menegaskan urgensi negara mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai jaminan perlindungan bagi para pihak yang terikat dalam perkawinan. Sepanjang Tahun 2012 juga telah terbit hukum yang melindungi anak, yaitu:

Undang Undang Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol To The Convention On The Rights Of The Child On The Involvement Of Children In Armed Conflict (Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata)

Konvensi Hak Anak yang selanjutnya disebut KHA adalah kesepakatan PBB tentang hak-hak anak yang telah diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dimana KHA ini menyatakan bahwa anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional karena itu pembinaan dan pengembangannya dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara dan pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian kesempatan untuk mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang tua, keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerjasama internasional. Oleh karena itu Pengesahan Protokol Opsional ini merupakan bagian yang memperkuat perlindungan bagi anak di Indonesia yang rentan dalam situasi konflik.

Undang Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol To The Convention On The Rights Of The Child On The Sale Of Children, Child Prostitution And Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak)

Pengesahan Protokol Opsional ini merupakan langkah maju Pemerintah Indonesia dalam upaya memberikan perlindungan pada anak karena Protokol optional ini memperkuat pelaksanaan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan mengkoreksi UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang telah melakukan perlindungan hak anak dari tindak pidana perdagangan orang dan objek pornografi.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun tentang 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang disahkan pada bulan Juli 2012 berpijak pada prinsip perlindungan bagi anak sebagai pelaku atau korban tindak pidana. Prinsip ini dalam implementasinya harus dipastikan peletakannya secara tepat ketika berhadapan dengan kepentingan korban, terutama anak perempuan sebagai korban.

Sebagai salah satu cara dalam menerjemahkan prinsip restorative justice, UU SPPA ini mewajibkan dilakukannya Diversi mulai dari tingkat penyelidikan sampai peradilan. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Artinya, kasus yang di-Diversi tidak akan diselesaikan melalui proses peradilan pidana. UU SPPA menggariskan bahwa Diversi hanya dilakukan terhadap tindak pidana yang ancaman pidana penjaranya di bawah 7

Dokumen terkait